Legalitas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun oleh Warga Negara Asing dalam UU Cipta Kerja

Galih Sabathany Hardyan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Cokorda Dalem Dahana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan pada artikel ini yaitu untuk mengetahui dan memahami pengaturan Hak Milik atas Sarusun dalam UUPA dan UU Rusun dan untuk mengetahui dan menganalisa legalitas ketentuan Hak Milik atas Sarusun dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif didukung jenis pendekatan analisa konsep hukum dan perundang-undangan serta menggunakan teknik analisa data deskriptif kualitatif. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengaturan hak milik atas Sarusun dalam UUPA dan UU Rumah Susun jelas diatur pada Pasal 47 ayat (2) UU Rusun yang menentukan persyaratan hak milik sama seperti ketentuan hak milik atas tanah yang diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UUPA yakni menegaskan bahwa pemegang hak milik hanya oleh WNI. Untuk itu ketentuan hak milik atas Sarusun dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021 telah yang memberikan hak milik kepada WNA sejatinya telah bertentangan dengan asas dan prinsip dasar dalam UUPA dan UU Rusun, sehingga ketentuan tersebut hendaknya dikaji ulang keberlakuannya di dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021.

Kata Kunci: Hak Milik, Satuan Rumah Susun, Warga Negara Asing, UU Cipta Kerja.

ABSTRACT

This article aims to find out and understand the regulation of freehold title of flat units in the UUPA and the Flats Law and to find out and analyze the legality of the provisions freehold title of flat units in the Job Creation Law and PP no. 18 of 2021. This research uses a juridical-normative type of research, supported by an approach to analyzing the concept of law and legislation and also use descriptive qualitiatif for the analize the data. The results of this study indicate that the regulation of ownership rights to condominium units in the LoGA and the Flats Law clearly stipulates Article 47 paragraph (2) of the Flats Law which determines the requirements for property rights as well as the provisions for land ownership rights as regulated in Article 20 and Article 21 of the UUPA, which emphasizes that the holders of property rights are only Indonesian citizens. For this reason, the provisions on the ownership rights to the condominium unit in the Job Creation Law and PP No. 18 of 2021, which has given property rights to foreigners, has actually contradicted the basic principles and principles in the UUPA and the Flats Law, so that the validity of these provisions should be reviewed in the Job Creation Law and PP. 18 Year 2021.

Keywords: Property Rights, Flat Units, Foreigners, Job Creation Law.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Semakin bertambahnya populasi manusia, seharusnya disertai dengan kesediaan aspek penunjang kehidupan salah satunya lahan pemukiman. Kebutuhan akan lahan pemukiman setiap tahunnya akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah populasi manusia. Meningkatkan kebutuhan lahan pemukiman tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lahan pemukiman. Untuk memenuhi kebutuhan lahan pemukiman, pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait kebutuhan lahan pemukiman untuk membangun rumah penduduk dengan bentuk yang tidak lagi memanjang ke samping (horizontal), melainkan diganti dengan bentuk meninggi ke atas (vertikal). Kebijakan ini diambil untuk menyiasati kebutuhan lahan pemukiman yang luas jika bangunan di secara horizontal dan bangunan yang berbentuk vertikal pun lebih sedikit menggunakan lahan dan dapat dihuni oleh banyak orang yang disering sebut sebagai rumah susun (untuk selanjutnya disebut Rusun).1

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (untuk selanjutnya disebut UU Rusun) menyatakan “Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.” Mengacu pada pengertian tersebut, Rusun merupakan bangunan yang kepemilikannya dapat dimiliki dalam bentuk satuan sebagai tempat yang untuk dihuni masyarakat dengan status benda lainnya dimiliki secara bersama. Hanya untuk satuan tempat hunian dari Rusun yang dapat dimiliki yang disebut Satuan Rumah Susun (untuk selanjutnya disebut Sarusun).

Menurut Pasal 1 angka 3 UU Rusun menjelaskan “Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.” Artinya, Sarusun merupakan unit dari Rusun yang dapat dimiliki oleh masyarakat untuk menjadi tempat tinggalnya terutama oleh masyarakat yang memiliki pendapat menengah ke bawah. Rusun sejatinya diperuntukan awal mulanya rakyat dengan penghasilan rendah dan tidak mampu memiliki tempat tinggal terutama yang bermukim di kota besar. Dikarenakan harga properti disana cukup tinggi, hal ini akibat dari semakin sempitnya lahan karena semakin padatnya populasi manusia saat ini. Untuk itulah pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan tersebut bagi seluruh masyarakat terkhusus mereka yang tergolong masyarakat berpendapatan rendah. Selain itu, Rusun juga menjadi solusi konsep bangunan di kota-kota besar yang sulit melakukan pengadaan lahan pemukiman.2

Bahwa kebutuhan pemukiman bagi seluruh masyarakat wajib dipenuhi oleh pemerintah untuk kelangsungan kehidupan masyarakat yang lebih baik sebagaimana tercantum jelas pada Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”3 Maknanya, tempat tinggal merupakan hak konstitusional setiap orang yang wajib dijamin pemenuhannya oleh pemerintah sebagimana kewajiban konstitusional negara memenuhi hak-hak dasar sekaligus hak konstitusional warga negaranya termasuk hak atas tempat tinggal yang baik dan sehat. Maka, dapat dikatakan bahwa pengadaan Rusun yang dapat dihaki dengan hak milik Sarusun oleh masyarakat yang didasarkan pada UU Rusun merupakan bentuk upaya pemerintah menjamin pemenuhan hak konstitusonal warga negaranya.

Adanya legalitas pengadaan Rusun berdasarkan UU Rusun, menjadikan perkembangan pembangunan Rusun banyak dilakukan diberbagai kota terutamanya di kota-kota besar yang mengalami krisis lahan pemukiman. Adanya UU Rusun sebagai payung hukum pengembangan dan pembangunan Rusun diharapakan dapat mempercepat pembangunan Rusun sewa dan Rusun sederhana milik.4 Adanya aturan ini pun menjadi jaminan kepastian hukum bagi masyarakat agar masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya jika membeli Sarusun sehingga kemungkinan munculnya permasalahan yang merugikannya dapat terhindarkan.5 Selain itu, aturan ini pun memuat berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah kepada para pengembang dalam proyek pembangunan Rusun.6

Mengenai kepemilikan Sarusun, menurut Pasal 1 angka 11 UU Rusun bahwa “Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.” Berdasarkan ketentuan tersebut, setiap orang yang memiliki unit Sarusun wajib memiliki SHM Sarusun sebagai bukti otentik kepemilikan Sarusun yang diterbitkan bagi setiap orang yang berhak. Menurut Pasal 47 ayat (2) UU Rusun menyatakan bahwa “SHM Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.” Dapat dimaknai bahwa setiap orang yang berhak atas SHM Sarusun persyaratannya merujuk pada syarat pemegang hak atas tanah dalam hal ini hak milik yang diatur dalam UUPA.7

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA tegas berbunyi “Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.” Artinya, yang berhak memilik HM atas tanah hanya WNI berdasarkan atas asas nasionalitas yang terkandung di dalam rezim hukum tanah Indonesia di dalam UUPA. Untuk itu, WNA tidak diperbolehkan memiliki HM atas tanah dan hanya dapat menjadi pemegang hak atas tanah lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA. Merujuk pada penjelasan tersebut dan Pasal 47 ayat (2) UU Rusun maknanya, SHM Sarusun juga hanya dapat dimiliki oleh WNI dan tidak untuk WNA. Akan tetapi, ketentuan tersebut berubah pasca diundangkannya UU Cipta Kerja dan PP 18 Tahun 2021. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Pasal 144 ayat (1) UU Cipta Kerja yang berbunyi “Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada: … c. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan

perutndang-undangan; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; …” Perubahan ketentuan ini tidak sedikit yang menolak dan memberikan kritikan dikarenakan SHM Sarusun saat ini dapat diberikan kepada WNA dan/atau badan hukum asing. Hal mana kepemilikan SHM Sarusun oleh WNA bertentangan dengan asas nasionalitas dan Pasal 9 ayat (1) UUPA jo. Pasal 47 ayat (2) UU Rusun yang tegas mengatur bahwa hanya WNI yang berhak memiliki SHM Sarusun.

Salah satu kritikan datang dari oleh Maria SW Sumardjono yang disampaikan dalam diskusi publik yang menyatakan “Subtansi pemberian hak milik atas Satuan Rumah Susun/Sarusun untuk Orang Asing pada hakekatnya bukan merupakan penyederhanaan regulasi, tetapi penyelundupan substansi yang telah ditunda pembahasaannya karena bermasalah yang ada pada RUU Pertanahan, singkatnya substansi-subtansi pertanahan dalam RUU Cipta Kerja adalah salah tempat disamping bermasalah, sehingga harus dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.”8 Tidak hanya oleh Maria SW Sumardjono, kritikan juga disampaikan oleh Nurhasan Ismail, dalam diskusi public yang sama menyatakan bahwa “Pemberian perlakuan khusus kepada WNI seperti di atas didukung oleh Asas Nasionalitet & Asas Pemerataan Kepemilikan Tanah dan hal tersebut wajar saja karena Negara dibangun memang untuk menjamin kepentingan warga negaranya, akan tetapi RUU Cipta Kerja/peraturan perUUan menyibukkan diri untuk memberi WNA hak atas tanah yang sama dengan WNI merupakan ketidakwajaran & bertentangan dengan prinsip UUPA.”

Bahwa kajian ini merupakan kajian yang orisinil dan merupakan gagasan baru untuk menganalisa legalitas HM atas Sarusun kepada WNA jika merujuk asas dan prinsip dasar di dalam UUPA. Meskipun terdapat kajian sebelumnya yang membahas mengenai pengaturan rumah susun di RUU Cipta Kerja yaitu pada beberapa jurnal nasional yang pertama artikel berjudul “Dampak Ketentuan Omnibus Law (Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja) Terhadap Ketentuan Rumah Susun (The Impact of The Omnibus Law on The Flats)” oleh Febri Meutia dan M Ilham Hermawan, yang menganalisa implikasi RUU Cipta Kerja terhadap ketentuan Rusun. Artikel terbit pada Jurnal Legal Reasoning, tahun 2020. Artikel kedua dengan judul “Kepemilikan Satuan Rumah Susun Diatas Tanah Hak Guna Bangunan Oleh Orang Asing” oleh Nanda Soraya, Nia Kurniati, dan Elis Nurhayati yang menganalisa mengenai kepemilikan Sarusun di atas tanah guna bangunan oleh orang asing berdasarkan UUPA. Artikel terbit pada ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, tahun 2021. Tentu tujuan kajian artikel tersebut berbeda dengan kajian dalam artikel ini yang lebih memfokuskan pada kajian legalitas pemberian hak milik atas Sarusun yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021.

Untuk itu, sudah semestinya dikaji kembali status kepemilikan SHM Sarusun bagi WNA dalam UU Cipta Kerja apakah telah sesuai dengan asas dan prinsip dasar yang berlaku dalam UUPA atau tidak? Setidak-tidaknya dalam merumuskan norma baru tersebut, pembentuk undang-undang memperhatikan konsideran menimbang huruf d UU Rusun yang tegas menyatakan bahwa “negara berkewajiban memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.” Hal tersebut menjadi disangsikan pelaksanaan kedepannya pasca diberikannya izin bagi WNA untuk memperoleh SHM Sarusun. Untuk itu perlu ditelaah kembali dengan

melakukan penelitian yang berjudul “Legalitas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Oleh Warga Negara Asing Dalam UU Cipta Kerja.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Merujuk pada uraian tersebut, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu :

  • 1.    Bagaimana pengaturan hak milik atas Sarusun dalam UUPA dan UU Rusun?

  • 2.    Bagaimana legalitas ketentuan hak milik atas Sarusun dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami pengaturan hak milik atas Sarusun dalam UUPA dan UU Rusun dan untuk mengetahui dan menganalisa legalitas ketentuan hak milik atas Sarusun dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum untuk meneliti suatu norma, asas dan/atau doktrin hukum.9 Adapun jenis pendekatan yang digunakan untuk menunjang penelitian ini yaitu pertama pendekatan perundang-undnagan diterapkan untuk mengkaji semua produk hukum mulai dari undang-undang hingga peraturan yang relevan dengan ruang lingkup permasalahan yang diteliti.10 Penelitian ini menitikberatkan pada argumentasi hukum yang dibangun dalam kajian peraturan hukum yang ada yakni UU Cipta Kerja dan PP 18 Tahun 2021, sedangkan pendekatan kedua yaitu pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk mengkaji legalitas HM atas Sarusun kepada WNA berdasarkan asas dan prinsip dasar UUPA. Teknik studi dokumen diaplikasikan dalam jurnal ini sebagai teknik penelusuran bahan hukum dengan analisis kualitatif sebagai analisis kajian.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pengaturan HM Atas Sarusun dalam UUPA dan UU Rusun

Pengejawatan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum tercermin dari kewenangan yang diberikan untuk menguasai SDA termasuk namun tidak terbatas pada kewenangan dalam pengaturan pengelolaan sumber daya alam termasuk tanah dan hal-hal yang berada diantaranya sebagai salah satu kekayaan nasional. Pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan dengan wewenang negara c.q. pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan mengenai peruntukan, persedian, perencanaan, penguasaan, dan penggunaan pun juga pemeliharaan sumber daya alam yang masih dalam wilayah negara Indonesia.11 Penguasaan tersebut semata-mata untuk tujuan agar diperuntukan bagi sebesar-besarnya kemaslatan rakyat. Ketentuan mengenai wewenang dan pelaksanaan hak menguasai negara atas sumber daya terkhusus tanah merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA.12 Termasuk di dalamnya kewenangan negara dalam mengatur peruntukan kepemilikan Sarusun yang

merupakan bagian tak terpisahkan konsep kepemilikan hak atas tanah dalam hal, namun tidak terbatas pada hak milik atas Sarusun. Menurut Jum Anggriani, berpendapat bahwa “asas nasionalitas dalam hukum pertanahan yang diatur dalam UUPA, orang asing tidak diperkenankan memiliki hak atas tanah tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA.”13

Berdasarkan ketentuan tersebut, tegas bahwa pengertian “bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah” dalam rumusan Pasal 47 ayat (2) UU Rusun disebutkan bahwa “Hak Milik atas satuan rumah susun diberikan kepada setiap orang yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia.” Untuk itu sangat tidak dimungkinkan orang asing untuk menjadi pemegang HM atas tanah dan Sarusun merujuk pada persyaratan dalam rumusan UU Rusun yang meletakkan dasar persyaratan kepemilikannya pada UUPA.14 Dengan kata lain, UUPA masih menjadi dasar dalam penentuan hak atas Sarusun karena Rusun berdiri di atas tanah dan rezim hukum pertanahan masih mengacu pada UUPA. Pengaturan HM atas tanah dalam UUPA dapat merujuk pada Pasal 20 UUPA.15

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 UUPA bahwa, “hak milik adalah hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh yang dalam penjelasan pasalnya yaitu mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan tanahnya dan luas lingkup penggunaanya yang meliputi baik untuk diusahakan ataupun digunakan sebagai tempat membangun sesuatu.” Menurut Dewik Kusumawati, “kedudukan hak milik atas tanah sebagai hak terkuat dan terpenuh dibandingkan hak atas tanah lainnya menempatkan hak milik sebagai bentuk penghakian sesuatu yang sangat berharga tidak terbatas pada objek tanah saja, melainkan objek lainnya termasuk Sarusun.”16 Bahwa hak milik berdasarkan hukum agraria memiliki ciri khas yang menurut Nurlaila yaitu “Diperoleh secara turun temurun, merupakan hak terkuat dan terpenuh daripada hak lainnya, tidak terdapat batas waktu, dapat beralih dan juga dialihkan, hanya dapat dimiliki oleh WNI dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum positif Indonesia, dan dapat dijadikan jaminan utang dengan diletakkan hak tanggungan.”17 Mengenai hak milik yang tidak dapat dipegang oleh WNA ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA.

Lebih lanjut diatur bahwa “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya

jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung,”18 sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA.

Dipertegas pula pada Pasal 21 ayat (1) UUPA bahwa “selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.” Kedua aturan tersebut menegaskan adanya kemungkinan terjadi WNA memiliki HM melalui proses pewarisan tiada wasiat ataupun adanya harta yang bercampur akan gugur ketika undang-undang ini berlaku dan mengugurkan status kewarganegaraan gandanya, sehingga hak milik atas tanah tersebut pun akan serta merta dicabut dan dikembalikan kepada negara.19 Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas bahwa menurut persyaratan hak milik atas tanah menurut UUPA tidak dimungkinkan WNA menjadi pemegang HM atas tanah. Bahwa ketentuan itu dimuat untuk penentuan subjek yang berhak menjadi pemegang hak milik atas Sarusun pada Pasal 47 ayat (2) UU Rusun.20

Bahwa pengaturan tersebut selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU Rusun bahwa “penyelenggaraan rumah susun berasaskan pada: … b. keadilan dan pemerataan; c. kenasionalan; d. keterjangkauan dan kemudahan…” Adapun yang dimaksud dengan “asas keadilan dan pemerataan dalam penjelasan Pasal 2 huruf b yaitu memberikan hasil pembangunan di bidang rumah susun agar dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.”21 Ini bermakna bahwa priotitas penggunaan dan kepemilikan Rusun sudah seharusnya diberikan masyarakat yang memerlukan rumah yang terjangkau. Hal mana sesuai juga dengan penjelasan Pasal 2 huruf b UUPA bahwa “asas keterjangkauan dan kemudahan yang bermakna memberikan landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR.”22

Merujuk pada penjelasan tersebut, ketentuan HM atas Sarusun berdasarkan UUPA dan UU Rusun mengatur bahwa kepemilikan hak milik atas Sarusun hanya diperuntukan bagi WNI sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU Rusun yang menentukan persyaratan hak milik sama seperti ketentuan hak milik atas tanah yang diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UUPA yang menegaskan bahwa hak milik hanya diperoleh bagi WNI. Hal ini selaras dengan asas kenasionalan, oleh karena itu, status hak milik atas Sarusun selain oleh WNI dan badan hukum yang diberikan hak berdasarkan UUPA dan UU Rusun patut dinyatakan melanggar konsepsi dasar yang telah diatur tegas dalam UUPA sebagai aturan dasar dalam penyelenggaraan penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

  • 3.2.    Legalitas Ketentuan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021

Pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021 menandai lahirnya rezim baru pengaturan hak milik atas Sarusun di Indonesia. Sebagaimana diketahui pemegang hak milik atas Sarusun berdasarkan UU Rusun merujuk pada ketentuan hak milik atas tanah dalam UUPA hanya diberikan kepada WNI dan badan hukum yang berdiri menurut hukum Indonesia. Berbeda kemudian setelah berlakunya UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021. Ketentuan tersebut mengalami perubahan yang sangat fundamental dengan memberikan WNA sebagai pemegang hak atas Sarusun. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 144 ayat (1) UU Cipta Kerja jo. Pasal 67 ayat (1) PP 18 Tahun 2021 “Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada: … c. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perutndang-undangan; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; … .” bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan beberapa dasar dan aturan yang menjadi dasar keberlakuan dan persyatan pemberian hak milik.23

Pertama, dengan diberikannya hak milik kepada WNA yang mana hal tersebut akan mengabaikan tujuan dasar pembangunan Rusun sebagaimana termuat dalam konsideran menimbang huruf d UU Rusun yang menjelasakan “bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.” Artinya, peruntukan Rusun ditujukan dan diprioritaskan kepada masyarakat dengan penghasilan rendah, bukan WNA yang tentu memiliki penghasilan jauh di atas rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia. Kedua, bahwa dengan diberikannya hak milik atas Sarusun kepada WNA telah mengingkari asas nasionalitas sebagaimana dianut dalam UUPA dan UU Rusun. Bukan sebaliknya memberikan hak milik atas Sarusun yang artinya memberikan hak terkuat dan terpenuh dalam status hak atas tanah kepada WNA yang tentunya akan diikuti dengan kepemilikan hak-hak lainnya.

Bahwa hal tersebut pun tertuang di dalam Pasal 144 UU Cipta Kerja yaitu “(2) Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan, (3) Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”24 Artinya, WNA pun dapat mengalihkan dan menjaminkan SHM atas Sarusun untuk kepentingan dirinya hal mana ketentuan tersebut terlalu menguatkan kekuasaan orang asing atas hal-hal vital yang seharusnya tetap dibatasi demi menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional terutama menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara atas tempat tinggal.25 Hal mana kewajiban asasi tersebut dibebankan kepada negara untuk pemenuhannya.

Lebih lanjut, di dalam Pasal 68 ayat (1) PP No. 18 Tahun 2021 menyebutkan bahwa “Hak milik atas Satuan Rumah Susun dapat dilakukan pemecahan atau penggabungan dengan melampirkan perubahan akta pemisahan hak milik atas Satuan Rumah Susun yang sudah disetujui atau disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan ini semakin menguatkan kedudukan WNA atas kepemilikan Sarusun yang seharusnya tidak diberlakukan demikian sebagaiman ketentuan sebelumnya. Bahwa semakin luasnya hak yang dimiliki oleh WNA atas Sarusun termasuk untuk melalukan pemecahan atau penggabungan dimungkinkan terjadinya monopoli Sarusun oleh pihak asing dan menjadikan harganya semakin meningkat dan akhirnya Sarusun pun menjadi lahan bisnis yang dikuasai asing.26 Muaranya adalah rakyat dengan penghasilan rendah yang menjadi prioritas untuk menjadi pemegang hak milik atas Sarusun semakin tergeser posisinya pasca berlakunya aturan tersebut.

Tidak hanya itu, ketentuan Pasal 69 ayat (1) PP No. 18 Tahun 2021 yang mengatur bahwa “Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian merupakan Orang Asing yang mernpunyai dokumen keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Menurut ayat (2) ketika “Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwariskan kepada ahli waris.” Apabila dicermati ketentuan tersebut sangat bernuasa kebepihakan pemerintah saat ini kepada orang asing dan mengabaikan rakyat yang memerlukan tempat tinggal yang layak, nyaman, baik, sehat dan terjangkau.27 Hal ini telah jauh mengingkari amanat Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa besarnya penguasaan asing atas sumber daya alam Indonesia terkhususnya tanah diperkuat dengan ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 18 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa “Warga Negara Indonesia yang rnelaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki Hak Atas Tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya dan bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri yang dibuat dengan akta notaris.” Penjelasan ketentuan pasaca berlakunya UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021 telah menunjukkan pengingkaran negara untuk memberikan jaminan terhadap tempat tinggal yang layak dan terjangkau khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui pembangunan Rusun dengan memberikan hak milik kepada WNA yang sejatinya telah bertentangan dengan hal-hal dasar dalam hukum pertanahan di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan dikaji ulang mengenai keabasahaan pengaturan hak milik atas Sarusun bagi WNA pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021.

  • IV.    Kesimpulan

Pengaturan hak milik atas Sarusun dalam UUPA dan UU Rumah Susun jelas mengatur pada Pasal 47 ayat (2) UU Rusun yang menentukan persyaratan hak milik sama seperti ketentuan hak milik atas tanah yang diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UUPA yakni menegaskan bahwa pemegang hak milik hanya oleh WNI. Untuk itu ketentuan hak milik atas Sarusun dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021 telah yang memberikan hak milik kepada WNA sejatinya telah bertentangan dengan asas dan prinsip dasar dalam UUPA dan UU Rusun, sehingga ketentuan tersebut hendaknya dikaji ulang keberlakuannya di dalam UU Cipta Kerja dan PP No. 18 Tahun 2021.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Sinar Grafika, Jakarta, 2021).

Jurnal

Anggriani, Jum. "Penerapan Asas Nasionalitas Dalam Perundang-Undangan Agraria Indonesia (Studi Kasus Pp No. 40 Tahun 1996)." Jurnal Dinamika Hukum 12, No. 1 (2012).

Aswadi, Khairul, and M. Saoki Oktava. "Perlindungan Hukum Penguasaan Tanah Oleh WNA Terhadap Tanah Hak Milik Atas Nama WNI Untuk Kepentingan Investasi Di Indonesia (Studi Kasus Putusan Nomor: 100/Pdt. G/2019/Pn. Sel)." Jurnal Muhakkamah 5, No. 2 (2020).

Aziz, Ahmad Fauzi, and Abdul Chalim Nur. "Wakaf Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun." Minhaj: Jurnal Ilmu Syariah 1, No. 1 (2020).

Cuga, Candra. "Tinjauan Sosio-Yuridis Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)." Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal 5, No. 2 (2020).

Francis, Teddy, and Ariawan Gunadi. "Akibat Hukum Bagi Pemilik Satuan Rumah Susun Terhadap Developer Rumah Susun Yang Dinyatakan Pailit Oleh Pengadilan Niaga." Jurnal Hukum Adigama 3, No. 2 (2021).

Kusumawati, Dewik. "Pengaturan Sanksi Hukum Terhadap Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Bagi Orang Asing di Indonesia." Jurnal Hukum Prasada 6, No. 1 (2019).

Meutia, Febri, and M. Ilham Hermawan. "Dampak Ketentuan Omnibus Law (Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja) Terhadap Ketentuan Rumah Susun (The Impact Of The Omnibus Law On The Flats)." JLR-Jurnal Legal Reasoning 3, No. 1 (2020).

Nurlaila, Nurlaila, Ilyas Ismail, and Mahdi Syahbandir. "Kepemilikan Tanah Hak Milik Yang Dikuasai Bersama Warga Negara Indonesia (WNI) Dan Warga Negara Asing (WNA) Yang Diperoleh Berdasarkan Warisan di Provinsi Aceh." Syiah Kuala Law Journal 2, No. 2 (2018).

Samsaimun, Samsaimun. "Status Hak Atas Tanah Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Yang Beralih Kewarganegaraan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria." Jatiswara 34, No. 1 (2019).

Shafiyuddin, Muhammad, and Aminah Aminah. "Perolehan Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (Studi Di Star Apartemen)." Notarius 14, No. 1 (2021).

Suharto, R. "Peralihan dan Penjaminan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Setelah Berlakunya UU No. 20 Tahun 2011 Tentang Satuan Rumah Susun." Diponegoro Private Law Review 4, No. 3 (2019).

Triningsih, Anna, and Zaka Firma Aditya. "Pembaharuan Penguasaan Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Konstitusi." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 8, No. 3 (2019).

Wardhani, Dwi Kusumo. "Disharmoni Antara Ruu Cipta Kerja Bab Pertanahan Dengan Prinsip-Prinsip UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)." Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 6, No. 2 (2020).

Yodiniya, Sausan, Yani Pujiwati, and Betty Rubiati. "Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Untuk Pertokoan Dengan Status Hak Guna Bangunan Di Atas Hak Pengelolaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun." ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 3, No. 2 (2020):

Zamil, Yusuf Saepul. "Perlindungan Hukum Pembeli Apartemen Atau Rumah Susun Di Atas Tanah Hak Pengelolaan." Arena Hukum 10, No. 3 (2018).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5252

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Tahun 2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6630

Jurnal Kertha Negara Vol.10 No.02 Tahun 2022, hlm.143-153

153