Perlindungan Hukum terhadap Konsumen atas Penjualan Ayam Potong Berformalin berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

Kadek Ade Darma Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Riset ini dilakukan dengan tujuan menjelaskan bahaya menjual ayam potong berformalin serta perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penjualan ayam potong yang berformalin. Riset ini tercantum dalam riset hukum yang hukum normatif yakni metode penelitian hukum dalam mengkaji hukum yang dikonsepkan selaku norma ataupun kaidah untuk menemukan kebenaran berdasarkan bahan kepustakaan ataupun data sekunder belaka dengan menggunakan pembahasan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan terhadap isu-isu hukum yang ada sehingga dapat menguji serta mengetahui dasar dari norma hukum suatu peristiwa dalam melindungi konsumen dari pelaku usaha yang melanggar hukum. Bersumber pada hasil riset ini wujud perlindungan hukum terhadap konsumen atas penjualan ayam potong yang berformalin ialah konsumen dapat menggugat pelaku usaha serta menuntut ganti rugi melalui BPSK. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pula bisa terkena sanksi pidana ataupun administratif seperti yang tercantum pada Hukum Perlindungan Konsumen. Konsumen yang merasa mendapat kerugian diperbolehkan menuntut haknya pada pelaku usaha sehingga pemerintah bisa mengambil keputusan tepat pada pelaku usaha yang memakai formalin pada saat menjual ayam potong.

Kata Kunci : perlindungan konsumen, ayam potong, formalin.

ABSTRACT

This research was done to describe the dangers of selling formalin-chicken pieces and legal protection for consumers from selling formalin-chicken pieces. This research is contained in normative juridical legal research, namely legal research methods that used to examine laws that are conceptualized as norms or rules to find the truth based on library materials or secondary data by using discussions of statutory regulations that have relevance to legal issues. So that can examine and know the basis of the legal issues in protecting consumers from business actors who break the rules. The results showed that the constitution of legal protection for consumers from selling formalin-chicken pieces is that consumers can sue business actors and claim compensation to BPSK. Business actors who break the rules can also be subject to criminal or administrative sanctions as stated in the Consumer Protection Law. Consumers who feel aggrieved can claim their rights to business actors so the government can make the right decisions for business actors who use formalin when selling chicken pieces.

Keywords: consumer protection, chicken, formalin.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Indonesia selaku negara hukum yang kekuasaannya berpatokan dengan hukum menjunjung tinggi keadilan. Hal tersebut juga dicantumkan di UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwasanya Negara Indonesia merupakan negara hukum. Segala sesuatu di aspek kehidupan harus didasarkan kepada aspek-aspek hukum yang berlaku, salah satunya mengenai perlindungan hak konsumen. Hak konsumen tersebut dicantumkan pada Hukum Perlindungan Konsumen yang berperan memberi perlindungan pada konsumen dari perilaku oleh orang pelaku usaha, alhasil hukum itu dapat dikatakan sebagai upaya pemerintah untuk menjamin kepastian hukum yang ditujukan kepada konsumen sebagaimana yang tertera di dalam UUD 1945. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwasanya perlindungan konsumen adalah sesuatu hal yang mempunyai ikatan dengan perluasan dunia usaha dengan cara menglobal. Dengan adanya globalisasi ekonomi dimana terjalin perluasan pasar secara nasional, meningkatnya kesejahteraan masyarakat ataupun kejelasan atas kualitas, kuantitas serta keamanan barang dan/ataupun jasa yang tersebar di pasaran harus tetap terjamin.

Sampai saat ini, Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum menunjukkan perlindungan dan keberpihakan terhadap pengaduan konsumen. Para pelaku usaha justru memanfaatkan ketidakefektifan implementasi Undang-Undang Pelindungan Konsumen yang berlaku untuk dapat melakukan tindakan yang tidak sepantasnya seperti dengan menjual produksinya di bawah standar atau bahkan tidak layak untuk dikonsumsi sehingga dapat merugikan konsumen. Sebagai konsumen, ada baiknya juga harus tetap berhati-hati. Untuk dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen itu sendiri, diperlukan adanya pemahaman, wawasan, kepedulian, keahlian serta kemandirian konsumen dalam melindungi diri sendiri sekaligus meningkatkan tindakan pelaku usaha agar memiliki tanggung jawab. Kurangnya pengetahuan serta pemahaman konsumen terhadap konsekuensi penggunaan barang-barang yang di bawah standar atau bahkan tidak aman tersebut semakin memperburuk situasi ini. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen harus dipahami dan ditegakkan secara adil agar berjalan seperti apa yang terkandung di dalam undang-undang yang berlaku. Dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, pelaku usaha maupun konsumen wajib taat terhadap hukum yang berlaku serta pemerintah wajib menjamin kepastian hukum demi tercapainya keadilan.

Hal berbeda terjadi di Indonesia dan berbanding terbalik dengan keadaan tersebut, karena setiap kali terdapat tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha justru hampir tidak pernah dituntut secara hukum, padahal sudah jelas merugikan banyak orang. Dengan adanya batasan-batasan hukum yang berlaku, pemerintah menganggap sudah melakukan perlindungan terhadap konsumen dari kelakuan pelaku usaha nakal. Sudah banyak kasus yang terjadi salah satunya penggunaan formalin pada makanan dan tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Tidak terlihat adanya pengawasan dan pemberian hukuman yang jelas yang dicoba oleh pemerintah. Pemerintah bahkan mengabaikannya dalam artian tidak mengambil tindakan yang sepadan terhadap kelakuan pelaku usaha yang

merugikan masyarakat terlebih lagi konsumennya, seolah menutupi karena kurangnya bukti, seakan mengambil Tindakan tetapi tidak ada kelanjutannya. 1

Dengan diberlakukannnya hukum perlindungan konsumen, pelaku usaha akan lebih mengusahakan secara tak langsung supaya kualitas produksinya pantas untuk diperjualbelikan sehingga lebih waspada serta menjauhi sesuatu yang beresiko terutama yang menyangkup hukum. Apalagi konsumen dan pelaku usaha memiliki keterkaitan dengan kepentingan masing-masing. Pada dasarnya tingkah laku setiap orang dalam bermasyarakat berorientasi pada patokan tertentu. Parsons mengatakan bahwa tingkah laku seperti itu disebut dengan relational scheeme, yaitu tunduk terhadap suatu skema. Sebuah usaha agar dapat memberi peningkatan kualitas produksi nasional ialah dengan cara memberlakukan standarisasi secara nasional. Pelaku usaha diberikan tanggung jawab untuk dapat meningkatkan kualitas produksinya dengan mengacu kepada hukum perlindungan konsumen.2

Terdapat beberapa alasan masih ada pelaku usaha menggunakan bahan pengawet untuk mengawetkan makanan yang akan dijualnya. Salah satunya karena kebanyakan makanan memiliki ketahanan yang singkat dan mudah rusak, sehingga dapat mengurangi kualitas dari makanan itu sendiri. Dengan melakukan pengawetan masa penyimpanan makanan akan semakin lama, bahkan bisa berbulan-bulan.3 Pelaku usaha yang berorientasi pada keuntungan semata tentunya tidak akan kehabisan akalnya. Kebanyakan dari mereka akan mensiasati hal tesebut dengan menggunakan bahan pengawet agar tidak mengalami kerugian yang besar. Walaupun harus diakui tidak semua bahan pengawet dapat berbahaya. Ada pula cara alami yang dapat dilakukan untuk mengawetkan makanan seperti salah satunya menggunakan garam (NaCl). Tetapi saat ini kasus-kasus penambahan bahan berbahaya seperti formalin sudah marak dilakukan oleh pelaku usaha. Padahal pemerintah telah mengatur berbagai hal dan ketentuannya yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Masalah ini jelas akan menguntungkan pelaku usaha, namun membahayakan kesehatan konsumennya. Selain itu, penggunaan bahan pengawet berbahaya juga sangat meresahkan konsumen dalam hal pemilihan makanan. Oleh sebab itu, buat menjauhi keadaan yang tidak diidamkan pemerintah seharusnya dapat mengambil tindakan tegas.

Dengan demikian, mengacu kepada latar belakang di atas, judul penelitian dalam jurnal berupa karya ilmiah ini ialah “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Ayam Potong Berformalin Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999”.

  • 1.2   Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dirancang berdasarkan latar belakang penelitian ini yakni:

  • 1.    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen atas penjualan ayam potong berformalin?

  • 2.    Bagaimanakah upaya hukum yang ditempuh konsumen atas penjualan ayam potong berformalin berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Bersumber kepada rumusan permasalahan, tujuan penyusunan penelitian ini antara lain agar mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen atas penjualan ayam potong berformalin serta upaya hukum yang ditempuh konsumen atas penjualan ayam potong berformalin berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif digunakan pada penelitian ini, yakni metode yang dipakai untuk mengkaji hukum yang dikonsepkan selaku norma ataupun kaidah di kehidupan bermasyarakat serta dapat dijadikan patokan terhadap sikap setiap orang. Penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum yang menelaah bahan pustaka ataupun data sekunder belaka. Pendekatan pada penelitian ini ialah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan terkait menggunakan pembahasan dari peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan terhadap isu-isu hukum. Adapun sumber bahan hukum sekunder digunakan pada penelitian, dimana sumber informasi yang didapat dengan cara tidak langsung melalui media perantara seperti bahan kepustakaan ataupun literature yang berkaitan dengan subjek penelitian. Sehingga tujuan dari penelitian ini dapat menguji serta mengetahui dasar dari norma hukum suatu peristiwa dalam melindungi konsumen dari pelaku usaha yang melanggar hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Bahaya Penjualan Ayam Potong Berformalin

Indonesia yang dikenal sebagai negara hukum, harus memberikan perlindungan untuk setiap warga negaranya. Peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan atas hak–hak konsumen ialah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen.4 Di dalamnya tercantum berbagai hak konsumen yakni pada Pasal 4 ayat (1) seperti hak atas kenyamanan, keselamatan, serta keamanan menggunakan barang dan/ataupun jasa.5 Berikutnya pula melanggar Pasal 4 ayat (3) Hukum Perlindungan Konsumen, bahwasanya konsumen memiliki hak terkait informasi yang jelas, nyata serta jujur terkait kondisi serta jaminan barang dan/ataupun jasa.6 Kedua hak itu berhubungan dengan keamanan produk bagi konsumen. Adanya kasus penjualan ayam potong berformalin ini jelas melanggar hak konsumen serta berterntangan dengan isi dalam kedua pasal tersebut.

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memaparkan bahwasanya perlindungan hukum untuk meningkatkan dan memberikan arahan untuk pembangunan kesehatan bagi masyarakat. Perundang-undangan tersebut juga mengeluarkan regulasi mengenai asas dan tujuan yang menjadi dasar untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, keinginan, dan keahlian untuk setiap orang agar hidup sehat, sehingga terwujudnya tingkatan kesehatan warga yang maksimal.

Tidak hanya itu, UU terkait mencantumkan bahwasanya kesehatan merupakan kondisi sehat secara fisik, psikologis atau mental, spiritual, ataupun sosial yang memberi kemungkinan tiap orang agar hidup produktif secara sosial serta ekonomi.7 Sehingga tiap orang berhak atas kesehatan tanpa memandang status sosialnya. Selain perlindungan hukum yang dapat diperoleh dari pihak konsumen, kesadaran dan juga tanggung jawab yang timbul dari dalam diri pihak pelaku usaha selaku penjual ayam potong tersebut juga sangat diperlukan. Karena pelaku usaha tersebut wajib bertanggungjawab penuh atas kualitas produk yang mereka jajarkan itu sendiri untuk menyediakan produk yang layak dijajarkan kepada masyarakat.8

Diperlukannya UUPK dikarenakan kelemahan posisi konsumen daripada posisi pelaku usaha itu sendiri.9 Pada dasarnya konsumen bisa menggugat ganti rugi pada pelaku usaha bila konsumen merasa dibebani sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 45, Hukum Perlindungan Konsumen. Ganti rugi bisa berbentuk ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, ataupun ganti rugi atas kerugian konsumen sebab mendapatkan barang dan/ataupun jasa dari pelaku usaha, sesuai Pasal 19 ayat (1) Hukum Perlindungan Konsumen. Tidak hanya itu, bisa pula berupa penggantian atau pengembalian uang tunai, barang dan/ataupun jasa yang sepadan, serta berupa perawatan kesehatan ataupun santunan sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan bersama sesuai undang-undang yang diberlakukan. Gugatan juga berhak diajukan konsumen terhadap pelaku usaha pada BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) apabila adanya penolakan dari pelaku usaha atas tuntutan yang diajukan oleh konsumen ataupun tidak dapat memberikan ganti rugi yang setimpal, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 23 Hukum Perlindungan Konsumen.10

Pelaku usaha bisa terkena sanksi administratif. Seperti pada Pasal 60 dimana disebutkan bahwa BPSK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif berbentuk ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00. Tidak hanya itu, sanksi pidana juga bisa dituntutkan pada pelaku usaha sesuai Pasal 61 dimana disebutkan bahwa pelaku usaha ataupun bahkan pengurusnya. Pasal 62 ayat (1) pula mengatakan kalau pelaku usaha bisa dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan ataupun ganti rugi paling banyak Rp 2.000.000.000,00. Adapun pada UU Nomor 18 Tahun 2012 mengenai Pangan tercantum apabila pelaku usaha secara sengaja memproduksi makanan yang mengabaikan standar keamanan pangan ataupun melakukan tindakan curang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 140, pelaku usaha bisa dijerat sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ataupun ganti rugi paling banyak Rp 4.000.000.000,00.11 Larangan untuk memperjual belikan bahan makanan berformalin dilakukan guna mengupayakan kelayakan atas barang dan/ataupun jasa yang ditawarkan di masyarakat, seperti kualitasnya, asal usulnya, sesuai dengan informasi pelaku usaha mulai dari merek/label, etikat, iklan, dan lain-

lain.12 Pelaku usaha yang menyebabkan cedera, cacat ataupun sakit berat, apalagi sampai menimbulkan kematian akan dikenakan hukuman pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 ayat (3).

UUPK telah mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha, akan tetapi peraturan yang tercantum di dalam pasal-pasal tersebut tetap saja tidak membuat pelaku usaha merasa jera dengan alasan keuntungan sebab penggunaan formalin dinilai menguntungkan apabila menjual makanan yang mudah busuk, sehingga pelaku usaha tidak merugi karena harus membuang makanan yang tidak pantas untuk dijual.13 Berbagai tindakan pula dapat diberikan untuk pelaku usaha, seperti memberi pembinaan, peringatan, bahkan hingga pencabutan serta penutupan usaha. Sementara itu, tidak semua kasus diproses sampai ke pengadilan dan biasanya putusan hakim hanya melayangkan gugatan yang relatif ringan. Lain halnya apabila masalah yang dialami oleh konsumen tersebut terjadi akibat kelalaian dari dirinya sendiri, maka pelaku usaha berhak membela diri ataupun mengembalikan reputasi nama baiknya apabila kerugian konsumen tersebut tak berasal dari produk yang diperdagangkannya.14

  • 3.2   Upaya Hukum Yang Ditempuh Konsumen Atas Penjualan Ayam Potong

    Berformalin Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

Pemakaian bahan pengawet berbahaya tersebut juga merupakan salah satu masalah yang sulit dipecahkan. Bahan makanan seperti daging yang menggunakan bahan pengawet berbahaya tentunya menjadi permasalahan serius yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Dengan demikian diperlukan beberapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Untuk penyelesaian sengketa konsumen terdapat beberapa cara seperti di luar pengadilan (non litigasi) serta pengadilan (litigasi). Penyelesaian non litigasi biasanya dilakukan terlebih dahulu agar mendapat kesepakatan bersama yang dimana memuat tentang bentuk ganti rugi, jumlah besarannya, ataupun tindakan-tindakan berupa jaminan perlindungan konsumen dalam bentuk pernyataan tertulis agar tidak terjadi kembali kerugian yang dialami konsumen sesuai dengan yang tercantum di Pasal 47 UU Perlindungan Konsumen. Penyelesaian non litigasi dapat dipilih melalui beberapa cara yakni arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang juga merupakan tugas dan kewenangan BPSK yang dapat merujuk pada UU No.30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.15 Upaya hukum yang dipilih konsumen atas penjualan ayam potong berformalin dapat pula merujuk UU No.30 Tahun 1999.

  • a.    Arbitrase, yaitu proses menyelesaikan sengketa yang ditempuh pihak yang bersengketa dengan menyerahkan sepenuhnya kepada BPSK. Arbitor dapat dipilih dari anggota BPSK dari unsur konsumen serta pelaku usaha selaku anggota majelisnya.

  • b.    Konsiliasi, yakni proses menyelesaikan sengketa menggunakan BPSK selaku perantara dalam mempertemukan pihak yang berkaitan, dapat didampingi majelis yang bertindak pasif selaku konsiliator karena penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang bersengketa.

  • c.    Mediasi, yakni proses menyelesaikan sengketa yang mengikutsertakan pihak ketiga yang bersifat netral yakni pihak ketiga tak memiliki kewenangan dalam memutuskan, namun dapat membantu memberikan solusi hingga mencapai penyelesaian antara pihak yang bersengketa. Mediator juga dapat ditunjuk oleh BPSK yang sesuai dengan ketentuan.

Untuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan biasanya dilakukan apabila pihak yang bersengketa belum menentukan upaya penyelesaian non litigasi ataupun penyelesaian non litigasi belum menemukan titik terang, yang mengacu pada Pasal 45 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini prosesnya tentu menghabiskan waktu cukup lama serta biaya yang banyak, berbeda dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bisa diselesaikan dengan musyawarah atas kesepakatan bersama sehingga prosesnya akan lebih cepat dan biayanya sedikit. Belum lagi yang biasanya terjadi malah pihak pengadilan kurang responsif menangani masalah dan terkadang putusannya pun belum tentu dapat menyelesaikan masalah tetapi justru malah menimbulkan masalah baru. Melihat beberapa kelemahan tersebut, para pemilik sengketa sebaiknya lebih memikirkan kembali tindakan apa yang seharusnya dipilih untuk menyelesaikan masalahnya walaupun tidak selalu kelemahan-kelemahan tersebut dapat terjadi. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan juga terkadang dapat dijadikan ancaman apabila salah satu pihak khususnya pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas perbuatannya ataupun tidak tercapainya kesepakatan bersama.

Tidak jarang keputusan penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan melalui pengadilan justru membutuhkan waktu yang lama dan memakan biaya. Apabila pihak yang bersengketa mengalami kegagalan dikarenakan adanya keberatan dari salah satu dan/atau masing-masing pihak, masih belum menerima keputusan dari pengadilan, maka kedua belah pihak dapat mengajukan kembali upaya hukum luar biasa ke MA (Mahkamah Agung) melalui Badan Peradilan Umum disertai dengan memori kasasi. Putusan yang diberikan oleh MA merupakan keputusan akhir, mengikat dan tetap sehingga tak terdapat upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh, sehingga apapun keputusannya pihak-pihak yang bersengketa diharuskan menerimanya.16

  • IV.    Kesimpulan

Perlindungan hukum untuk konsumen terkait penjualan ayam potong berformalin dapat ditempuh dengan cara perlindungan hukum preventif serta represif. Perlindungan hukum preventif dapat merujuk pada UU Kesehatan khususnya pasal 1 angka 1 bahwasanya kesehatan ialah keadaan sehat secara fisik, mental, spiritual ataupun sosial yang memberi kemungkinan tiap orang agar hidup produktif secara sosial serta ekonomis sehingga tiap orang berhak atas kesehatannya, UU Pangan khususnya Pasal 140 bahwasanya tiap orang yang memproduksi serta

memperdagangkan Pangan yang secara sengaja tak sesuai dengan standar seperti pada pasal 86 ayat ( 2 ) dipidana penjara maksimal 2 ( dua ) tahun ataupun denda maksimal Rp 4.000.000.000,00 ( empat miliar rupiah ), dan UU Perlindungan Konsumen Pasal 4 ayat (1) bahwasanya konsumen mempunyai hak atas kenyamanan,keselamatan,serta keamanan menggunakan barang dan/atau jasa. Lalu terkait upaya hukum represif dapat melalui jalur litigasi serta non litigasi yang dapat merujuk pada UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bersumber pada kasus yang sudah dipaparkan, hingga bisa disimpulkan untuk penyelesaian sengketa konsumen terdapat beberapa cara seperti di luar pengadilan serta melalui pengadilan. Penyelesaian non litigasi biasanya dilakukan terlebih dahulu agar mendapat kesepakatan bersama yang dimana memuat tentang bentuk ganti rugi, jumlah besarannya, ataupun tindakan-tindakan berupa jaminan perlindungan konsumen dalam bentuk pernyataan tertulis agar tidak mengalami kerugian lainnya. Selanjutnya untuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan biasanya dilakukan apabila pihak yang bersengketa belum menentukan upaya penyelesaian di luar pengadilan ataupun penyelesaian terkait belum menemukan titik terang. Dengan demikian untuk mengoptimalkan keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan khususnya dalam UU Perlindungan Konsumen, masyarakat baik dari sisi konsumen maupun pelaku usaha harus memiliki kesadaran masing-masing. Selain itu pemerintah maupun lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan juga harus bersama-sama mengupayakan keadilan dalam penyelesaian sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Miru, Ahmad. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen (Jakarta, Rajawali Pers, 2011).

Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, Rajawali Pres, 2014).

Sadar, Taufik Habloel. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Jakarta, Akademia, 2012).

JURNAL DAN MAKALAH

Febrianti, Nur Ismi, Suradi, dan Rinitami Njatrijani. ”Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terhadap Produk Makanan Mie Yang Mengandung Formalin Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.” Diponegoro Law Journal 5, No. 3 (2016): 14.

Kamajaya, Nyoman. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Penjualan Produk Makanan yang Tidak Menggunakan Bahasa Indonesia.” Jurnal Kertha Semaya 4, No 3 (2016): 7.

Mansyur, Ali. “Peran Hukum Dalam Menjawab Perkembangan Ekonomi.” Makalah Disampaikan Pada Kuliah Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang (2012): 1.

Mansyur, Ali dan Irsan Rahman. “Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Upaya Peningkatan Suatu Produksi Nasional.” Jurnal Ilmu Hukum 20, No. 3 (2018): 9.

Nainggolan, Anton. “Studi Eksploratif Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Penggunaan Bahan Kimia Formalin Pada Makanan Di Jakarta.” Majalah Ilmiah Widya 29, No. 320 (2012): 9.

Sihite, Bernald. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Produk Mie Basah Yang Mengandung Formalin.” Jurnal Hukum Adigama 3, No. 1 (2020): 1074.

Susila, Gst. Ngurah Arya Dharma. “Peranan Lembaga Perlindungan Konsumen Terhadap Penjualan Obat-Obatan Melalui Internet.” Jurnal Kertha Semaya 4, No 3 (2016): 3.

Theda, Richard. Revel Wijaya. “Perlindungan Hukum Tentang Konsumen Akibat Kelalaian Pelaku Usaha Jasa Laundry di Denpasar Utara.” Jurnal Kertha Semaya 7, No 7 (2019): 7.

Tolo, Suriani BT. “Perlindungan Hukum Terhadap Makanan Yang Mengandung Zat Terlarang.” Pleno De Jure 8, No. 1 (2019): 49.

Wicaksono, Dicky Cahyo Agung. ”Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang Mengganti Digital Expired Pada Makanan Kadaluarsa.” Thesis Universitas Muhammadiyah Surabaya (2019).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360.

Jurnal Kertha Negara Vol.10, No.02, Tahun 2022, hlm.195-203

203