Pengaturan Tenggang Waktu Pemberian Ganti Kerugian oleh Pelaku Usaha kepada Konsumen
on
Pengaturan Tenggang Waktu Pemberian Ganti Kerugian oleh Pelaku Usaha kepada Konsumen
Clinton Satria Hanas, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah hubungan hukum (hak dan kewajiban) yang terbentuk antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu, penelitian ini juga akan mengulas tentang pengaturan ganti kerugian kepada konsumen berdasarkan UUPK. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa caveat venditor merupakan hubungan yang terdapat antara konsumen dan pelaku usaha. Doktrin ini memberikan pemahaman bahwa pelaku usaha merupakan pihak yang paling mengetahui secara pasti mengenai kejelasan dan kebenaran informasi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Maka dari itu, pelaku usaha dituntut untuk waspada, hati-hati, beritikad baik, dan bertanggung jawab terhadap barang dan/atau jasa yang disediakan. Barang dan/atau jasa yang diperdagangkan dapat digunakan secara layak dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pasal 19 ayat (2) UUPK menentukan pelaku usaha mengganti kerugian yang dialami konsumen dengan cara “pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, Pasal 19 ayat (3) menentukan pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”. Tenggang waktu pemberian ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) kontradiktif dengan Pasal 27 huruf e yang mengatur bahwa terdapat interval waktu selama 4 (empat tahun) sejak pembelian barang untuk pelaku usaha bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen.
Kata Kunci: Ganti Kerugian, Pelaku Usaha, Konsumen.
ABSTRACT
This study aims to examine the legal relationship (rights and obligations) formed between consumers and business actors. In addition, this study will also review the arrangements for providing compensation by business actors to consumers based on the Consumer Protection Law. The type of research used is normative legal research or library research. The results show that the legal relationship between business actors and consumers is caveat vendors. This doctrine provides an understanding that business actors are the parties who know best about the clarity and truth of information on goods and/or services produced. Therefore, business actors are required to be vigilant, careful, have good intentions, and be responsible for the goods and/or services provided. Goods and/or services traded can be used properly and in accordance with predetermined criteria. Based on the provisions of Article 19 paragraph (2) of the Consumer Protection Law, compensation provided by business actors to consumers can be in “the form off refunds or replacement of goods and/or services of similar or equivalent value, or health care and/or compensation in accordance with the provisions of the applicable laws and regulations”. Then, Article 19 paragraph (3) stipulates that the indemnity is given no later than 7 (seven) days after the date of the transaction. The grace period for providing compensation as regulated in Article 19 paragraph (3) is contradictory to Article 27 letter e which stipulates that there is a prosecution period of 4 (four years) from the time the goods are purchased for the business actor to be responsible for the loss suffered by the consumer.
Key Words: Compensation, Business Actor, Consumer.
Pembangunan ekonomi nasional yang semakin pesat telah melahirkan diversifikasi barang dan/atau jasa yang bermanfaat dan dapat digunakan oleh masyarakat. Selain itu, kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan juga menjadi faktor pendukung yang memperluas pergerakan barang dan/atau jasa hingga lintas batas negara. Bahkan, penawaran suatu barang dan/atau jasa saat ini dapat dilakukan melalui dunia maya atau yang lebih dikenal dengan electronic commerce (e-commerce). Pembangunan ekonomi nasional di era globalisasi mesti mampu menopang pertumbuhan dunia usaha, agar dapat menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa yang mengandung teknologi untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan pada saat yang sama konsumen memperoleh kepastian perihal kuantitas maupun kualitas barang dan/atau jasa yang dijual.1
Mengetahui bahwa setiap orang adalah konsumen, maka melindungi konsumen sama artinya dengan memberi perlindungan terhadap segenap masyarakat. Menurut alinea keempat Pembukaan UUD 1945, perlindungan konsumen sangatlah penting. Apalagi jika disadari bahwa konsumen atau masyarakat merupakan pelaksana pembangunan dan sumber akumulasi modal pembangunan, maka perlindungan konsumen mutlak diperlukan demi kelangsungan pembangunan nasional. Namun pada kenyataannya, edukasi kepada konsumen masih relatif sedikit, dan konsumen kurang menyadari hak dan kewajiban yang dimiliki. Beranjak dari masalah tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen namun tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha.2 Pembentukan undang-undang tersebut merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan tercapainya kesejahteraan bagi segenap warga negara.3
Pelaku usaha memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk berperan serta dalam penciptaan dan persaingan usaha yang kompetitif sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi.4 Atas dasar itu, UUPK memberi sejumlah pembatasan dan jaminan sehubungan dengan upaya meningkatkan derajat dan nama baik konsumen sehingga konsumen dapat menyadari, mengetahui, peduli, dan mandiri dalam melindungi diri serta melahirkan pelaku usaha yang professional dan mampu mengemban hak dan kewajibannya dengan baik. Implikasi selanjutnya, UUPK menentukan hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha. Tujuan diaturnya hak dan kewajiban tersebut ialah untuk memberikan perlindungan yang memadai
terhadap konsumen dengan mengacu pada asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen serta kepastian hukum.5
Kendatipun perlindungan terhadap konsumen telah diatur dan dijamin oleh undang-undang, tidak menutup kemungkinan terjadi perselisihan antara konsumen selaku pemakai barang maupun jasa dan pelaku usaha selaku pihak yang menjual barang maupun jasa. Perselisihan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam persoalan seperti barang dan/atau jasa yang dihasilkan tidak memenuhi standar kelayakan atau informasi mengenai barang dan/atau jasa yang ditawarkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga mendatangkan kerugian bagi konsumen. Maka dari itu, UUPK memberikan hak kepada konsumen berupa tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha dan di satu sisi memberikan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memenuhi tuntutan konsumen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPK, ganti rugi yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen “dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, Pasal 19 ayat (3) menentukan pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”. Tenggang waktu tersebut menimbulkan persoalan mengingat dalam praktiknya pelaku usaha memberikan jaminan untuk memberikan ganti rugi lebih dari 7 hari pasca transaksi. Lantas, apakah pelaku usaha yang bersangkutan dapat dianggap menyalahi ketentuan undang-undang atau tidak. Bandingkan dengan ketentuan “Pasal 27 huruf e yang mengatur bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa terdapat waktu selama 4 tahun terhitung sejak pembelian produk untuk pelaku usaha bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen. Ini bertentangan dengan bunyi Pasal 19 ayat (3) yang menyatakan bahwa ganti kerugian diberikan paling lambat 7 hari pasca transaksi. Rumusan pasal-pasal ini perlu diperjelas agar tidak menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Bertitik tolak dari uraian permasalahan tersebut, penulis ingin mengkaji lebih lanjut melalui penulisan jurnal yang berjudul PENGATURAN TENGGANG WAKTU PEMBERIAN GANTI RUGI OLEH PELAKU USAHA KEPADA KONSUMEN. Penelitian yang mengulas tentang penyerahan ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen telah banyak disinggung oleh peneliti terdahulu. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Fabian Fadhly yang berjudul “Ganti Rugi Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Produk Cacat” dan Aulia Muthiah yang berjudul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen tentang Keamanan Pangan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”. Hasil penelitian tersebut lebih menekankan pada aspek bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha akibat kecacatan produk dan tidak amannya suatu produk. Berbeda halnya dengan substansi penelitian penulis yang lebih terpusat pada tumpang tindih pengaturan jangka waktu pemberian ganti rugi bagi pelaku usaha.
-
1. Bagaimana hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha?
-
2. Bagaimana pengaturan jangka waktu pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen?
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah hubungan hukum (hak dan kewajiban) yang terbentuk antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu, penelitian ini juga akan mengulas tentang pengaturan penyerahan ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen berdasarkan UUPK.
Penelitian hukum normatif akan digunakan dalam penelitian ini. Objek yang menjadi sasaran dari penelitian hukum normatif ialah hukum tertulis seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan maupun hukum tidak tertulis. Melalui analisis norma hukum, maka akan diketahui asas-asas, teori-teori, dan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam norma hukum. Di samping itu, kajian terhadap norma hukum juga turut membantu dalam mengungkap ada atau tidaknya disharmoni, kekaburan, atau kekosongan norma. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan yaitu bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa jurnal dan buku.
Berdasarkan disiplin ilmu ekonomi, konsumen digolongkan menjadi 3 (tiga bagian) yang meliputi konsumen komersial (commercial consumer), konsumen antara (intermediate consumer), dan konsumen akhir (ultimate consumer/end user). Konsumen komersial adalah setiap orang yang menghasilkan barang atau jasa lain yang dari barang atau jasa yang didapatkan sebelumnya guna meraih keuntungan. Konsumen antara orang yang ingin mendapatkan untung dengan cara menjual kembali barang dan/atau jasa didapatkan. Konsumen akhir setiap orang yang semata-mata menggunakan barang dan/atau jasa untuk kepentingan dirinya atau untuk pihak lain. Konsumen yang dilindungi oleh UUPK adalah konsumen akhir. Pasal 4 UUPK telah menentukan hak konsumen antara lain sebagai berikut:
-
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”;
-
b. “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
-
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
-
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
-
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
-
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
-
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
-
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
-
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Uraian hak-hak tersebut di atas pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan akan rasa nyaman, aman, dan keselamatan kepada konsumen. Jaminan tersebut merupakan faktor krusial dalam mencapai perlindungan konsumen yang ideal dan optimal. Bagaimanapun juga, setiap barang dan/atau jasa yang tidak mampu memberikan jaminan seperti yang telah disinggung di atas tidak pantas untuk disediakan. Di samping itu juga untuk memastikan bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh konsumen didasarkan atas penyampaian informasi yang benar, jelas, dan jujur. Apabila pada pelaksanaannya ditemukan penyimpangan yang tentunya dapat merugikan konsumen, maka konsumen memiliki hak agar pendapatnya didengar, mendapatkan bantuan, binaan, dan perlakuan yang adil dan layak, hingga kompensasi atau ganti rugi. Realisasi hak ini tentunya harus ditempuh melalui mekanisme yang telah ditentukan yang meliputi penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigation) penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigation). Hak atas penyelesaian hukum sebenarnya termasuk hak atas ganti rugi, tetapi bukan berarti kedua hak tersebut sepenuhnya identik. Konsumen yang mendapatkan ganti rugi tidak selalu disebabkan karena ia telah mengajukan upaya hukum dan setiap jalur hukum pastilah terdapat permintaan ganti rugi di dalamnya.
Keseluruhan hak-hak konsumen sebagaimana telah diterangkan di atas akan terpenuhi apabila konsumen telah menunaikan sejumlah kewajiban yang juga telah diatur dalam UUPK. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh konsumen termuat dalam Pasal 5 UUPK sebagai berikut:
-
a. “membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
-
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
-
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
-
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut”.
Pembentuk undang-undang telah memberikan pengertian tentang pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UUPK adalah “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Hak-hak pelaku usaha antara lain sebagai berikut:
-
a. “hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
-
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
-
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Hak pelaku usaha sebagaimana tersebut pada huruf a di atas memperlihatkan bahwa pelaku usaha tidak berhak menuntut lebih jika ternyata barang dan/atau jasa yang diperdagangkan tidak memenuhi standar kelayakan berdasarkan barang dan/atau jasa yang sama pada umumnya. Hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf b, c, d, sebenarnya merupakan hak yang erat kaitannya dengan penyelesaian sengketa. Pemberian hak tersebut untuk memberikan jaminan bahwa perlindungan terhadap konsumen jangan sampai mengakibatkan terabaikannya kepentingan pelaku usaha.6 Selain hak, pelaku usaha juga memiliki kewajiban antara lain:
-
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
-
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
-
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”;
-
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
-
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
-
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.
Terdapat dua hubungan hukum yang berkembang terkait dengan hubungan antara konsumen dan pelaku usaha, yaitu caveat emptor dan caveat venditor. Caveat emptor dikenal sebagai let the buyer beware atau konsumen wajib memberi perlindungan kepada diri sendiri yang menjadi dasar timbulnya perselisihan di bidang transaksi. Prinsip ini mengasumsikan bahwa terdapat keseimbangan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha sehingga tidak ada urgensi untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Artinya, doktrin ini memaknai bahwa konsumen adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk berpikir dan menanggung risiko terhadap setiap transaksi guna melindungi kepentingannya. Tanggung jawab tidak dapat dilimpahkan kepada pelaku usaha jika diketahui sekalipun kerugian konsumen disebabkan karena kesalahan dari pelaku usaha, baik berupa kesengajaan maupun kelalaian.7
Padahal, kenyataan memperlihatkan bahwa konsumen tidak mendapatkan perlindungan yang layak, dan seringkali hanya menjadi sasaran para pelaku usaha yang mencari untung. Dengan mempertimbangkan lemahnya posisi tawar konsumen, peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen, dengan tujuan mencapai peningkatan derajat dan nama baik konsumen
dengan sedapat mungkin mencegah konsumen mengonsumsi barang maupun jasa yang tidak berkualitas. Di sisi lain, pemberdayaan konsumen akan meningkatkan rasa kejujuran dan tanggung jawab pelaku usaha, serta berupaya dalam peningkatan mutu barang maupun jasa, serta memberi jaminan bahwa konsumen akan aman dan nyaman dalam memakainya. Saat ini, pelaku usaha berkewajiban untuk berhati-hati (caveat venditor) dalam rangka pemenuhan keperluan konsumen.
Seiring dengan perkembangan zaman, ajaran caveat emptor mulai ditinggalkan dan beralih pada doktrin caveat venditor. Doktrin ini memberikan pemahaman bahwa informasi yang benar tentang barang maupun jasa sepenuhnya diketahui oleh pelaku usaha. Maka dari itu, pelaku usaha dituntut untuk waspada, hati-hati, beritikad baik, dan bertanggung jawab terhadap barang dan/atau jasa yang disediakan. Barang dan/atau jasa yang diperdagangkan dapat digunakan secara layak dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.8
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat membawa pengaruh terhadap perilaku pelaku usaha dalam memproduksi barang atau menyediakan jasa. Kondisi ini kemudian menyebabkan lahirnya teori-teori baru dalam kaitannya dengan studi perlindungan konsumen. Salah satu di antaranya ialah bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen. Dua prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasi adalah tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional.9
Tanggung jawab produk didefinisikan sebagai pertanggungjawaban yang berhubungan erat dengan produk yang dihasilkan pelaku usaha produk. Produk yang dimaksud meliputi barang bergerak dan tidak bergerak10. Tanggung jawab produk dapat digugat dengan alasan terlanggarnya jaminan, adanya kealpaan, atau pertanggungjawaban mutlak.11 Pelanggaran jaminan artinya pelaku usaha (produsen) tidak mampu menjamin bahwa produk yang dihasilkan bukan merupakan produk cacat. Di Indonesia, suatu produk dinilai cacat apabila pelaku usaha dengan sengaja atau lalai dalam memproduksi barang sehingga barang tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya atau karena sebab-sebab lain yang berhubungan dengan peredaran produk, atau pelaku usaha tidak menyediakan keterangan maupun sarana yang memadai dalam menjamin keselamatan nyawa dan harta benda konsumen. Produk yang cacat atau tidak dapat mencapai tujuan pembuatannya terbagi menjadi beberapa kategori. Pertama, cacat produk yang kemudian menampakkan kondisi produk yang secara umum tidak memenuhi standar sehingga tidak sesuai dengan harapan konsumen. Oleh sebab itu, penggunaan terhadap produk cacat dapat mendatangkan kerugian bagi konsumen baik secara materiil maupun immateriil. Kedua, cacat desain sehingga penggunaan terhadap produk menjadi tidak optimal.
Ketiga, cacat peringatan atau instruksi yaitu kondisi yang menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak secara lengkap memberikan petunjuk atau informasi mengenai penggunaan suatu produk.12 Adapun yang dimaksud dengan kelalaian (negligence) adalah jika pelaku usaha yang bersangkutan tidak berhati-hati (reasonable care) dalam pembuatan, penyimpanan, pengawasan, perbaikan, pemasangan label, atau pendistribusian suatu barang. Kemudian strict liablity yang dimaksud adalah prinsip tanggung jawab yang tidak mensyaratkan mens rea sebagai unsur yang harus dibuktikan, sebagaimana termaktub dalam undang-undang”.13
Berdasarkan keadaan-keadaan tertentu, pelaku usaha tidak dapat dituntut oleh konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK. Pertama, barang yang dibeli sudah sepatutnya tidak boleh beredar atau barang tersebut memang tidak ditujukan untuk diedar. Kedua, barang yang dibeli baru mengalami cacat di kemudian hari. Ketiga, cacat yang timbul sebagai konsekuensi dipatuhinya syarat dan ketentuan mengenai kualifikasi barang. Ketiga keadaan tersebut menandakan bahwa sepanjang pelaku usaha telah menunaikan kewajibannya dengan baik dan benar, maka terhadapnya tidak dapat dimintakan tanggung jawab. Keempat, pertanggungjawaban tidak dapat dibebankan kepada pelaku usaha jika konsumen terbukti lalai. Kelima, penuntutan ganti rugi konsumen telah melampaui jangka waktu yang diberikan oleh undang-undang atau melewati jangka waktu perjanjian.
Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha pada poin keempat dan kelima menitikberatkan pada pengetahuan konsumen sebagai pihak yang menggunakan barang dan/atau jasa. Pertanggungjawaban akan beralih dari pelaku usaha kepada konsumen apabila ternyata diketahui bahwa kerugian yang diderita oleh konsumen disebabkan karena kelalaian konsumen yang bersangkutan, seperti tidak cermat melihat petunjuk pemakaian barang dan sebagainya. Selanjutnya, pembebasan tanggung jawab konsumen pada poin kelima juga mengarah pada perilaku konsumen dalam kaitannya dengan hak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi. UUPK secara eksplisit menentukan bahwa konsumen mempunyai waktu selama 4 tahun sejak barang dibeli untuk mengajukan tuntutan kepada pelaku usaha atau sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati oleh pelaku usaha dengan konsumen. Jika konsumen tidak mengindahkan ketentuan ini dan di kemudian hari baru mengajukan klaim ganti rugi melewati jangka waktu yang telah diatur dalam undang-undang atau perjanjian, maka konsumen akan kehilangan haknya memperoleh ganti rugi sehingga pelaku usaha tidak dapat dimintai tanggung jawab.14
Tanggung jawab profesional (professional responsibility) adalah tanggung jawab hukum (legal responsibility) yang berkaitan dengan jasa profesional yang diberikan kepada pelanggan. Sesuai dengan tanggung jawab produk, tanggung jawab profesional ini timbul karena penyedia jasa profesional tidak memenuhi kesepakatan yang dicapai dengan pelanggan atau kelalaian penyedia jasa yang menyebabkan kerugian/perilaku ilegal. Indikator yang menjadi standar pengukuran untuk menyatakan pelanggaran tanggung jawab profesional harus memiliki parameter yang ditetapkan oleh asosiasi
profesi, dan parameter ini menentukan standar pelayanan yang harus diberikan oleh setiap profesional kepada pelanggan”. Standar profesional bersifat teknis, tetapi juga dapat berupa aturan moral yang terkandung dalam kode etik”.15
Pasal 19 ayat (2) UUPK menentukan pelaku usaha mengganti kerugian yang dialami konsumen dengan cara “pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, Pasal 19 ayat (3) menentukan pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi”. Ketentuan tersebut membawa dampak yang negatif terhadap konsumen maupun pelaku usaha. Konsumen berada dalam posisi rugi jika permohonan ganti rugi diajukan lewat dari 7 hari pasca transaksi. Sementara itu, pelaku usaha yang memberikan jaminan ganti rugi kepada konsumen di atas 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi secara otomatis telah melanggar ketentuan a quo. Permasalahan selanjutnya, tenggang waktu pemberian ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) kontradiktif dengan “Pasal 27 huruf e yang mengatur bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan”. Guna menghindari adanya permasalahan di kemudian hari, alangkah lebih baik apabila pelaku usaha memberi ganti kerugian paling lambat 7 hari pasca permohonan ganti rugi.
Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen adalah caveat venditor. Doktrin ini memberikan pemahaman bahwa informasi yang benar tentang barang maupun jasa sepenuhnya diketahui oleh pelaku usaha. Maka dari itu, pelaku usaha dituntut untuk waspada, hati-hati, beritikad baik, dan bertanggung jawab terhadap barang dan/atau jasa yang disediakan. Barang dan/atau jasa yang diperdagangkan dapat digunakan secara layak dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pasal 19 ayat (2) UUPK menentukan pelaku usaha mengganti kerugian yang dialami konsumen dengan cara “pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian, Pasal 19 ayat (3) menentukan ganti rugi sudah harus diberikan oleh pelaku usaha paling lambat 7 hari setelah dilaksakannya transaksi. Tenggang waktu pemberian ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) kontradiktif dengan “Pasal 27 huruf e yang mengatur bahwa terdapat jangka waktu penuntutan 4 (empat tahun) sejak barang dibeli untuk pelaku usaha bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen”. Guna menghindari adanya permasalahan di kemudian hari, alangkah lebih baik apabila pelaku usaha memberi ganti kerugian paling lambat 7 hari pasca permohonan ganti rugi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hamid, Haris. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Makassar, Sah Media, 2017), 133.
Kurniawan. “Hukum Perlindungan Konsumen Problematika Kedudukan dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”. (Malang, Universitas Brawijaya Press, 2011), 1.
Yuswanto, Slamet. Merek Nafas Waralaba. (Sleman, Deepublish, 2019), 72.
Jurnal
Astuti, Hesti Dwi. “Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk)”. Jurnal Hukum Mimbar Justitia 1, no. 2 (2017): 572-591.
Fadhly, Fabian. “Ganti Rugi Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Produk Cacat”. Arena Hukum 6, no. 2 (2016): 236-253.
Fithri, Beby Suryani, Riswan Munthe, and Anggreni Atmei Lubis. “Asas Ultimum Remedium/The Last Resort Principle Terhadap Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen”. DOKTRINA: JOURNAL OF LAW 4, no. 1 (2021): 6984.
Gaol. Kedudukan Pelaku Usaha dan Konsumen Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Terhadap Produk Mi Soun Mengandung Klorin). Jurnal Yustika: Media Hukum dan Keadilan 21, no. 2 (2018): 28-43.
Mamengko, Rudolf S. “Product Liability Dan Profesional Liability Di Indonesia". Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 9 (2016): 1-10.
Muthiah, Aulia. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen tentang Keamanan Pangan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi 7, no. 2 (2016): 1-23.
Ramli, Tasya Safiranita, Ega Ramadayanti, Maudy Andreana Lestari, and Rizki Fauzi. Inovasi Standardisasi Marketplace Dalam Merespon E-Commerce Sebagai Upaya Menuju Caveat Venditor (Standardization Marketplace Innovation In Responding To E-Commerce Effort Towards Caveat Venditor Condition). Jurnal Legislasi Indonesia 18, no. 2 (2021): 272-281.
Rusli, Tami. “Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen”. Pranata Hukum 7, no. 1 (2012).
Setiantoro. “Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen Dan Penyelesaian Sengketa ECommerce Di Era Masyarakat Ekonomi Asean”. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 7, no. 1 (2018): 1-17.
Sudiro, Ahmad. “Asuransi Tanggung Jawab Produk dan Perlindungan Terhadap Konsumen”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 21, no. 4 (2014): 677-697.
Widnyana. “Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) dalam Hukum Perlidungan Konsumen”. Jurnal Konstruksi Hukum 2, no. 2 (2021): 244249.
Yuanitasari, Deviana, and Hazar Kusmayanti. “Eksistensi Bpsk (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Dalam Pengawasan Pencantuman Klausula Baku Dalam Sistem Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 7, no. 3 (2019): 425-435.
Peraturan Perundang-undangan
“Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)”.
Jurnal Kertha Negara Vol.10 No.02 Tahun 2022, hlm. 204-214
214
Discussion and feedback