Pertanggungjawaban Pidana bagi Anak sebagai Pelaku Perantara Jual-Beli Narkotika
on
Pertanggungjawaban Pidana bagi Anak sebagai Pelaku Perantara Jual-Beli Narkotika
Gde Ary Sutarya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan memahami mengenai pengaturan hukum dan pertanggungjawaban pidana bagi anak sebagai pelaku perantara jual-beli narkotika. Metode yang digunakan penulis yaitu menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan teknik analisis deskriptif-komparatif dengan memaparkan tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum kemudian melakukan perbandingan terhadap satu pendapat dengan pendapat lainnya untuk menghasilkan kebenaran sementara atas argumentasi penulis. Kemudian teknik pengumpulan bahan hukum terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum seperti sumber hukum primer dan sekunder. Pengaturan mengenai anak sebagai perantara jual-beli Narkotika tidak dijelaskan secara eksplisit baik itu di dalam undang-undang narkotika ataupun UU SPPA akan tetapi dalam UU SPPA pada bab V mengatur mengenai pidana dan tindakan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Terkait dengan pertanggung jawaban pidana anak sebagai perantara jual-beli Narkotika terhadap anak tersebut dijerat dengan Pasal 114, atau 119, atau 124 undang-undang narkotika jo dengan undang-undang no.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.
Kata Kunci : Anak, Narkotika, Pertanggungjawaban, Perantara jual-beli.
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine and understand the legal arrangements and criminal responsibility for children as intermediary actors in the sale and purchase of narcotics. The method used by the author is using normative research methods using descriptive-comparative analysis techniques by describing a legal event or legal condition and then comparing one opinion with another to produce a temporary truth of the author's argument. Then the technique of collecting legal materials is divided into two, namely legal sources such as primary and secondary legal sources. The regulation regarding children as intermediaries for buying and selling Narcotics is not explicitly explained either in the Narcotics Law or the SPPA Law, but in the SPPA Law in chapter V it regulates crimes and actions against children in conflict with the law. In relation to the criminal responsibility of children as intermediaries for buying and selling narcotics, the child is charged with Article 114, or 119, or 124 of the narcotics law in conjunction with law no. 11 of 2012 concerning the juvenile criminal justice system.
Keywords : Children, Narcotic, Responsibility, courier.
Negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, tidak luput dari adanya suatu tindak kriminal. Beberapa jenis tindak pidana yang terdapat di negara Indonesia, salah satunya yang marak terjadi adalah pengedaran gelap Narkotika. Tindak pidana Narkotika dikategorikan sebagai kejahatan extraordinary crime, dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut mencangkup banyak aspek dimulai dari kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik suatu negara pun akan terdampak dari tindak pidana Narkotika ini.1 Penyebaran Narkotika pada saat ini tidak melihat usia baik tua ataupun muda, usia anak-anak menjadi sasaran utama dikarenakan pada masa itu anak sedang tahap pencarian jati diri dan masih dikatakan labil. Anak yang turut serta dalam penyalahgunaan narkotika tidak muncul dengan sendirinya terdapat beberapa faktor pendukung diantaranya semakin merajalelanya sindikat-sindikat Narkotika di kalangan remaja dan juga semakin berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat mengakibatkan kegiatan dari perdagangan jual-beli narkotika tersebut menjadi lebih mudah. Keuntungan yang sangat menggiurkan terhadap jual-beli barang haram ini bagi para pengedar maupun bandarnya menjadikan hal ini sebagai suatu ladang mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.2
Dalam peredarannya untuk menipu pihak berwajib bandar Narkotika, memanfaatkan jasa anak di bawah umur sebagai pengedar Narkotika. Ini merupakan masalah serius yang tidak boleh dipandang sebelah mata, yang mengakibatkan anak terjerumus semakin dalam terhadap penyalagunaan Narkotika tersebut. Keterlibatan anak dalam pengedaran Narkotika mengakibatkan anak tersebut dalam posisi yang berkonflik dengan hukum dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Keadaan tersebut membuat potensi anak sebagai penerus bangsa menjadi menurun, ini menjadi salah satu tugas yang di emban pemerintah demi melindungi generasi muda Indonesia. 3 Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) pada dasarnya harus mendapatkan bimbingan dan pembinaan dengan pendekatan kekeluargaan bukan dikenakan hukuman penjara. Hukuman anak juga harus dibedakan dengan hukuman orang dewasa, ini dikarenakan usia anak atau remaja merupakan fase dimana anak membentuk watak, sifat, kepribadian, maupun jatidiri mereka.4 Terkait dengan anak yang sudah terlibat dengan hukum anak tersebut sudah dianggap narapidana dan berdampak dengan psikis dan sosial anak tersebut terggangu.
Setiap masyarakat Indonesia dihadapan hukum memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang sama, jika salah satu masyarakat Indonesia melanggar ketentuan peraturan yang berlaku di negara Indonesia akan dihukum sesuai dengan perbuatannya. Terdapat pengecualian jika seorang anak yang berhadapan dengan hukum akan di perlakukan khusus yang semata-mata untuk kesejateraan dari anak tersebut, ini dikarenakan anak merupakan
sebuah asset bagi suatu negara yang memiliki peran strategis di masa depan.5 Dengan disahkannya Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), memiliki misi untuk memberi perlindungan beserta keadilan kepada anak yang berkonflik hukum (ABH) serta diharapkan mampu menjadikan sistem peradilan yang memberikan perlindungan anak sebagaimana dijelaskan pada pasal 81 ayat (2) menyatakan “pidana penjara kepada anak paling lama ½ dari hukuman orang dewasa, (3) Lembaga pembinaan khusus anak diberikan batas umur anak 18 tahun, (5) Pidana penjara kepada anak merupakan jalan terakhir.”6 Tidak hanya UU SPPA, instrumen hukum lainnya yang juga memberikan perlindungan bagi anak yaitu Undang-Undang tentang perlindungan anak (UUPA). Dengan adanya UU tersebut diharapkan mampu memberikan perlindungan secara komperhensif serta dapat memberi konsep dari perlindungan secara menyuluruh kepada si anak dari semua bentuk tindak pidana yang ada.
Contoh kasus yang terjadi di Kota Denpasar, Empat anak dibawah umur tertangkap tangan oleh petugas kepolisian polresta denpasar sebagai kurir narkotika jenis sabu dengan inisial nama AB (16 tahun), DB (13 tahun), GN (14 tahun), dan SJ (16 tahun). Empat anak di bawah umur tersebut diperintahkan oleh seorang bernama Dogler dengan menyuruh menempelkan dan membungkus Narkotika yang di pecah satu persatu kemudian di tempelkan ke tiang-tiang, dan pot kemudian para penggunanya akan dating untuk mengambil. Barang bukti yang diamankan dari keempat anak tersebut sebanyak 10 plastik klip berisi sabu berat 2,17 gram dan 78 butir ekstasi. Kronologi penangkapan bermula dari aduan masyarakat setempat jika di jalan tukad unda (Densel) terjadi transaksi Narkotika, selanjutnya tanggal 06/01 pukul setengah dua belas malam petugas melakukan penangkapan serta penggeledahan di kediaman tersangka akan tetapi tidak menemukan hasil, selanjutnya di kamar indekos tersangka lah petugas menemukan barang bukti tersebut. pada saat di TKP tersangka mengakui bahwa Narkotika tersebut merupakan milik Dogler yang rencananya akan disebar sesuai arahan. Tersangka anak ini berperan sebagai kurir yang sebelumnya telah menyebarkan sebanyak dua kali dengan diberikan imbalan sebesar 100 ribu rupiah dan juga diberikan bonus sabu untuk mereka konsumsi dalam sekali mereka melakukan aksi. Atas perbuatanya, seluruh tersangka terancam terkena pasal 112 ayat (2) UU Narkotika.
Melihat dari contoh kasus diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas terkait dengan permasalahan anak sebagai pelaku perantara jual-beli Narkotika, maka dari itu artikel ini ditulis dengan judul “Pertanggung Jawaban Pidana Bagi Anak Sebagai Pelaku Perantara Jual-Beli Narkotika”. Perbedaan penulisan jurnal ilmiah ini dengan penelitian yang berjudul “Pertanggung jawaban Pidana Anak Yang Menggunakan Narkotika”, yang ditulis oleh Ni kd Saras Iswari Gunnanda,7 dimana jurnal ilmiah ini mengambil rumusan masalah yang lebih spesifik membahas mengenai pertanggungjawaban anak sebagai pelaku perantara jual-beli Narkotika.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, maka penulis mengangkat rumusan permasalahannya sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah Pengaturan Hukum terhadap anak sebagai pelaku perantara jual-beli Narkotika ?
-
2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban pidana bagi anak sebagai pelaku perantara jual-beli Narkotika ?
Tujuan dari penulisan ini bertujuan guna mengkaji dan memahami mengenai pengaturan hukum dan pertanggungjawaban pidana bagi anak sebagai pelaku perantara jual-beli narkotika.
Pembahasan jurnal ini ditulis dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan studi pustaka yaitu peraturan tertulis dan bahan hukum lainnya oleh penulis. Problematika pada penelitian ini yaitu kurang terdapatnya regulasi secara khusus untuk menangani anak sebagai pelaku perantara jual-beli narkotika. Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik deskriptif-komparatif dengan memaparkan tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum kemudian melakukan perbandingan tehadap satu pendapat dengan pendapat lainnya untuk menghasilkan kebenaran sementara atas argumentasi penulis. Kemudian teknik pengumpulan bahan hukum terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum seperti sumber hukum primer dan sekunder. Hukum primer terdiri atas aturan tertulis yang telah ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan. Sedangkan hukum sekunder terdiri atas jurnal ilmiah yang terpercaya dan beberapa artikel dari media daring.8
-
III. Hasil dan Pembahasan
3.1. Pengaturan Hukum terhadap anak sebagai pelaku perantara jual-beli Narkotika
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan mendefinisikan anak, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberi pengertian anak pada Pasal 45 menyebutkan anak adalah orang yang belum dewasa atau belum berumur enam belas tahun. Kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) juga memberi pengertian anak terdapat pada Pasal 330 menyatakan bahwa dewasa adaa mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun atau tidak lebih dahulu kawin. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak selanjutnya disebut (UU PA) dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak selanjutnya disebut (UU SPPA) sama-sama memberikan definisi anak pada pasal 1 angka 1 (UU PA) menjelaskan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sementara UU SPPA pada pasal 1 angka 3 mendefinisikan anak bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.9
Kemungkinan anak yang melakukan suatu tindak pidana sangatlah besar, ini dikarenakan kedewasaan yang dimiliki anak belum stabil dan anak memerlukan perlakuan yang berbeda, karena masa mereka untuk bertumbuh kembang baik segi fisik maupun psikisnya. Bandar Narkotika memanfaatkan situasi keadaan anak tersebut untuk dipergunakan jasanya sebagai perantara jual-beli barang haram tersebut. Maka dari itu diperlukannya pengarahan edukasi kepada anak agar tidak mudah terjerumus ke dalam kegiatan penyalahgunaan Narkotika.10 Pada dasarnya Indonesia telah memiliki pengaturan sendiri mengenai penanggulangan terkait dengan Narkotika, dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 selanjutnya disebut (UU Narkotika) akan tetapi kaitanya bagi anak yang menjadi pelaku perantara jual-beli Narkotika belum tegaskan secara eksplisit dalam UU tersebut.
Indonesia memiliki pengaturan mengenai perihal hukuman serta sanksi pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) diantaranya, “diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak selanjutnya disebut (UU SPPA) terdapat dalam BAB V tentang pidana dan tindakan mulai dari pasal 69 sampai dengan pasal 83”. 11 Mekanisme di dalam menangani tindak pidana perkara anak harus berlandaskan pada penegertian asas ulitimum remidium, yang memiliki arti bahwa bentuk upaya terkahir di dalam menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum adalah penjatuhan sanksi pidana. Pada pasal 5 UU SPPA, memberikan penjelasan mengenai peradilan pidana mewajibkan untuk menggunakan pendekatan secara Restorative Justice. Dengan memberikan penawaran penyelesaian kasus kejahatan anak yakni mengutamakan anak yang berkonflik hukum dengan mengajak pihak yang turut serta dalam perkara tersebut, secara bersama mencari jalan terbaik bagi masa depan anak di masa yang mendatang, dan demi terwujudnya diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang dalam pembahasan penelitian ini spesifik menjurus kepada anak sebagai pelaku perantara jual-beli narkotika. “Pasal 7 UU SPPA pada point 2 menjelaskan syarat dapat dilakukannya diversi kepada anak yaitu diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (recidive)”. Kaitanya dengan anak sebagai pelaku perantara jual beli narkotika jika kita melihat maksimal hukuman pidana dalam UU narkotika maka anak tersebut bisa saja diupayakan diversi kepadanya dengan syarat anak tersebut bukan residivis.12
Landasan dasar untuk menjatuhkan sanksi terhadap anak yang bermasalah dengan hukum sebagaimana terdapat di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Kaitanya dengan anak sebagai perantara transaksi narkotika, tidak diatur secara eksplisit di dalam menentukan ketentuan sanksi pidana terhadap anak tersebut, akan tetapi pada dasarnya anak yang terjerat kasus narkotika ini akan tetap dijerat sesuai
dengan ketentuan yang terdapat di dalam UU Narkotika, dengan tidak mengesampingkan ketentuan yang terdapat dalam sistem peradilan pidana anak. UU Narkotika tidak memberikan batasan umur seseorang dapat dijatuhkan hukuman, hanya saja dalam peradilan pidananya anak akan mendapatkan perlakuan khusus seperti proses penahanannya tidak digabungkan dengan orang dewasa dan proses penanganan perkaranya dipercepat.
Dengan demikian menurut pandangan penulis, anak sebagai pelaku perantara jual-beli narkotika, tidak dapat sepenuhnya disalahkan bahwa anak tersebut menjadi pelaku, penulis melihat bahwa disatu sisi anak tersebut juga dapat dikatakan sebagai korban ini dikerenakan anak yang ikut terlibat di dalam jual-beli narkotika tidak luput dari peran orang dewasa yang menyuruhnya dengan memafaatkan kepolosan anak tersebut agar mendapatkan keuntungan yang lebih bagi para bandar tersebut. Maka dari itu sangat pantas jika diberlakukannya pendekatan dengan keadilan restorative justice guna tercapainya tujuan diversi bagi anak tersebut. Penegakan yang dilakukan pejabat hukum terhadapan anak yang melakukan tindak pidana memerlukan penanganan yang hati-hati dan wajib berpacu pada rasa tanggungjawab kepada pelaku, korban, hingga masyarakat. Dengan tetap berpacu dengan restoractive justice sehingga anak tidak mendapatkan sanksi pidana, dengan memberikan solusi sanksi alternatif tanpa penjara.
Asas legalitas merupakan dasar dari timbulnya suatu perbuatan tindak pidana, sementara asas kesalahan merupakan dasar dapat dipidananya seorang pelaku. Hal ini diartikan bahwa seseorang yang melakukan suatu tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia melakukan suatu kesalahan yang melanggar ketentuan yang teah diatur dalam perundang-undangan, serta seseorang yang mempunyai kesalahan yang dilakukan merupakan suatu hal yang berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana.
Tujuan dari adanya pertanggungjawaban pidana ditunjukan kepada seseorang agar bisa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang ia lakukan atau dengan kata lain apakah seseorang tersebut dapat dipidana atau bebas. Dasar dari pertanggungjawaban pidana yang mengandung asas kesalahan didasari oleh ekuilibrium monodualistik yang memiliki arti bahwa asas ini pada nilai keadilan yang harus disejajarkan dengan asas legalitas yang berpacu pada nilai kepastian. Pemberian sanksi pidana bagi anak wajib memperhatikan perkembangan serta kepentingan yang terbaik bagi anak demi masa depan mereka, jika salah dalam melakukan penanganan terhadap anak akan mengakibatkan kerusakan mental terhadapnya.
Pemidananaan terhadap anak wajib diberikan perhatian khusus yang dimana tetap memperhatikan aspek fisik dan moral dari anak tersebut. Fisik dari anak dapat dilihat dari pikiran serta kecerdasaan anak tersebut. Sedangkan moral anak dapat dilihat dari kejiwaannya, seperti gangguan kejiwaan anak tersebut, kelainan dan jika anak tersebut mengalami gangguan kejiwaan dapat diberikan alasan pemaaf yang mana dapat menghilangkan kesalahan yang di buat pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatannya tetap melawan norma.13
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak selanjutnya disebut (UU SPPA) menjelasakan “anak yang berkonflik dengan hukum (ABH)”, anak yang berumur 12 tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 tahun, maka disini dapat dikatakan bahwa jika anak 12 tahun ke bawah tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas perbuatannya, anak yang berumur dijelaskan diatas belum cukup dewasa untuk mengerti
perbuatan yang dilakukannya. Lebih jelas dijelaskan pada pasal 20 menyebutkan “ Dalam hal tindak pidana yang dilakukan anak yang belum genap berusia 18 tahun dan akan diajukan ke persidangan pengadilan anak setalah anak yang bersangkutan melebihi batas umur 18 tahun, tetapi belum mencapai umur 21 tahun maka ia tetap dapat diajukan ke persidangan anak”. Sedangkan dalam pada pasal 59 UU SPPA menyebutkan “pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban serta bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak”. 14
Dalam Undang-Undang Narkotika pertanggung jawaban pelaku narkotika dilihat sesuai dengan golongan dari narkotika dan peranan pelaku tersebut, sebagaimana penjelasan yang tercantum dalam pasal 111 sampai 127 UU Narkotika. Kaitanya dengan pertanggung jawaban anak sebagai pelaku jual beli narkotika, pada pasal 114 ayat (1) dan (2) yang menyatakan “Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara jual-beli, menukar,`atau menyerahkan narkotika golongan I”. Pada pasal 119 ayat (1) dan (2) menyebutkan “Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara jual-beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan II”. Kemudian pada pasal 124 ayat (1) dan (2) menyebutkan “Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara jual-beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan III”. Akan tetapi dari ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika tidak menjelaskan mengenai anak sebagai pelaku perantara jual-beli narkotika hanya menyebutkan secara luas “setiap orang”. Oleh karenanya anak sebagai perantara transaksi Narkotika dikenakan sesuai dengan pasal 114 atau 119 atau 124 UU Narkotika Jo UU SPPA . Sanksi pidana penjara yang bisa dijatuhi kepada anak sebagaimana tertuang dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut (UU SPPA), yaitu penjatuhan pidana terhadap anak paling lama ½ dari hukuman untuk orang dewasa.
Upaya yang dapat dilakukan dalam penindakan terhadap seorang anak yang memiliki konflik dengan hukum wajib mengutamakan perlakuan yang terbaik kepada anak tersebut, sehingga penegak hukum di dalam memberikan putusan wajib melihat sesuai dengan kemampuan dari anak dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan memperhatikan masa depan dari anak agar mendapatkan kehidupan kembali dari anak sebagai perantara transaksi Narkotika karena pada kenyataannya di lapangan anak sebagai perantara transaksi Narkotika hanya sebagai korban bukan pelaku ini dikarenakan kurangnya pengetahuan akan bahanya barang haram tersebut.15 Hal yang perlu diutamakan dalam menangani tindak pidana anak harus dilandaskan pada asas ultimum remidium, yang mana sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk menyelesaikan perkara anak.
Pengaturan hukum bagi anak sebagai perantara jual beli narkotika yang terdapat pada Undang-Undang narkotika dijatuhkan sesuai dengan Pasal 114, atau, 119 atau 124 Undang-Undang narkotika Jo Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ini dikarenakan tidak terdapatnya pengaturan mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika di dalam UU narkotika. Sanksi pidana penjara yang bisa dijatuhi kepada anak sebagaimana tertuang dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut (UU SPPA), yaitu penjatuhan pidana terhadap anak paling lama ½ dari hukuman untuk orang dewasa. Pertanggung jawaban pidana anak dalam hal ini menjadi perantara jual-beli narkotika belum diatur secara eksplisit akan tetapi dalam UU SPPA terdapat syarat-syarat yang harus di penuhi apabila terdapat anak yang memiliki konflik dengan hukum, karena pada dasarnya UU SPPA menekankan keputusan terbaik bagi anak agar mencapai suatu keadilan restoratif. Dengan melihat unsur-unsur perbuatan pidana yang tercantum dalam UU narkotika, UU SPPA memberi jaminan hak-hak kepada anak dan kelangsung hidupnya yang berkonflik dengan narkotika dalam hal ini sebagai perantara jual-beli narkotika agar masa depan dari anak tersebut tidak terancam. Saran dari penulis, perlunya penegak hukum untuk mencermati dan memperhatikan penanganan yang terlibat dengan narkotika serta perlunya regulasi khusus yang menyangkut anak sebagai perantara jual-beli narkotika karena semakin berkembangnya kasus nakotika di Indonesia membuat para pelaku tidak habis akal untuk memanfaatkan jasa anak. Kedepannya diperlukannya tenaga profesional untuk menjadi garda terdepan bagi anak, tidak hanya peraturan saja yang diperlukan, namun peran serta masyarakat untuk ikut memperhatikan kepentingan anak demi mengamankan generasi penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Djamil, M. Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2015).
Nashriana. Perlindungan hukum pidana bagi anak di Indonesia. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011).
Soetedjo, Wagiato. Hukum Pidana Anak. (Bandung, Refika Aditama, 2013).
Jurnal
Dewi, Wijayanti Puspita. “Penjatuhan Pidana Penjara Atas Tindak Pidana Narkotika oleh Hakim di Bawah Ketentuan Minimum Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.” Jurnal Hukum Magnum Opus, no. 1 https://doi.org/10.30996/jhmo.v2i2.2181 (2019).
Fithri, Beby Suryani. "Asas Ultimum Remedium Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Rangka Perlindungan Anak." Jurnal Mercatoria 10, no. 1 (2017): 83.
Ghoni, Mahendra Ridwanul. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Melalui Implementasi Diversi di Indonesia” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol 2, no 3 (2020): 332.
Gunnanda, Ni Kd Saras Iswari. “Pertanggung Jawaban Anak Yang Menggunakan Narkotika” Kertha Desa: Vol 9, no. 6 (2021).
Hambali, Muhammad Afied. "Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Ditinjau dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009." In Proseding Seminar Unsa, vol. 1, no. 1 (2013): 2.
Padly, Fajar. "Pertanggung jawaban Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Padangsidimpuan." JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora 1, no. 1 (2019): 443-456.
Phalosa Jitaksu Wahendra, I Wayan Gede, dan I Wayan Parsa, “Pertanggung jawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Jenis Baru di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Universitas Udayana 8, no. 6 (2019).
Salam, Jalil Abdul. "Implementasi Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang hukum Jinayat Dalam Kasus Pidana Anak-anak (Studi Kasus di Kota Langsa)." Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu 0Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial 4, no. 2 (2019): 164-183.
Suwandewi, Ni Ketut Ayu, dan Made Nurmawati. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 7, no. 4 (2018): 9.
Tantra, I. W. G dan Widyantara, I. M. M dan Suryani, L. P. “Pertanggungjawaban Pidana Anak Sebagai Kurir dalam Tindak Pidana Narkotika.” Jurnal Analogi Hukum. 2(2) (2020): 215-220.
Wulandari, Andina Yuni, dan Nandang Sambas. "Pertanggung jawaban Pidana Anak Dibawah Umur yang menjadi Kurir Narkotika Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak." (2019): 311.
Yudha, Nyoman Krisna, dan Anak Agung Sri Utari. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika," Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2020): 5.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
Jurnal Kertha Negara Vol.10 No.02 Tahun 2022, hlm.154-162
162
Discussion and feedback