Pengaturan Persaingan Usaha dalam Perdagangan melalui Transaksi E-Commerce

Yuliana Christina Metan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Desak Putu Dewi Kasih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mampu menganalisa dan menguraikan aturan hukum terkait bagi pelaku usaha yang berkendala dalam hal persaingan usaha ditengah arus pasar digital yang meningkat penggunaannya atau yang dapat disebut sebagai e-commerce, serta untuk mengetahui aspek akibat hukum yang timbul dari adanya persaingan usaha yang tidak sehat dalam suatu transaksi e-commerce dalam perspektif hukum di Indonesia. Analisa permasalahan pada penelitian ini menggunakan penelitian hukum normative. Adapun hasil pembahasan menguraikan bahwa peraturan hukum dari persaingan usaha pada e-commerce diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yakni UU ITE, UU Perdagangan dan UU Persaingan Usaha serta tindak lanjut dari pengaturan tersebut tertuang dalam PP No 80 Tahun 2019 yang mengatur perdagangan digital. Akibat hukum dari timbulnya perilaku pelaku usaha yang tidak sehat dalam transaksi e-commerce yakni diatur dalam UU Persaingan Usaha yang terkualifikasi atas akibat hukum secara administratif dan pengenaan sanksi pidana. Lembaga yang berhak mengawasi dan menjatuhkan sanski atas adanya pelanggaran usaha tersebut adalah KPPU sebagai lembaga independen yang diberikan kewenangan atributif dalam UU Persaingan Usaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 untuk menjatuhkan sanksi dalam Pasal 47 sebagai sanksi administratif serta Pasal 48 sebagai pidana pokok yang dijatuhkan oleh pelaku usaha dalam hal ini dapat perorangan maupun korporasi yang ada diwilayah hukum Republik Indonesia dapat ditindaklanjuti berdasar pada UU Persaingan Usaha .

Kata Kunci: pengaturan hukum, pelaku usaha, transaksi e-commerce.

ABSTRACT

The detention is to describe the relevant legal rules for actors involved in constrained businesses in terms of increasing the use of digital markets or what can be called e-commerce, as well as to find out aspects of legal consequences arising from increasing business competition. . unhealthy in e-commerce transactions from a legal perspective in Indonesia. Analysis of the problems in this study uses normative legal research with an approach to empowering legislation, a case approach and a legal concept approach related to businness copetition. The results of the discussion explained that business competition law regulations in the e-commerce sector are regulated in several laws and regulations, namely the ITE Law, the Trade Law and the Business Competition Law and the follow-up to these regulations is contained in PP No. 80 2019 which regulates digital trade. The legal consequences for business actors conducting unfair business competition in e-commerce transactions are regulated in the Quality Business Competition Law for administrative legal consequences and the imposition of criminal sanctions. The government which has the right to supervise and impose sanctions on the existence of such business violations is KPPU as an independent institution that is given attributive authority in the Business Competition Law as referred to in Article 36 to impose sanctions in Article 47 such as administrative sanctions and articles. 48 as the principal punishment imposed by the business actor. in this case an individual or legal entity domiciled

or conducting business activities in the jurisdiction of the Unitary State of the Republic of Indonesia can be followed up on based on the Law on Business Competition.

Keywords: Legal Regulation, Business Actors, E-commerce Transactions.

  • I.    Pendahuluan

    1.1 . Latar Belakang Masalah

Pandemi yang menyerang seluruh wilayah di dunia menyebabkan perubahan yang signifikan terjadi pada seluruh lini kehidupan manusia. Adanya pembatasan dengan berjaga jarak menyebabkan pola aktivitas masyarakat juga berubah. Indonesia menyusun serangkaian regulasi sebagai payung hukum dari beberapa himbauan seperti himbauan untuk dirumah saja, bekerja dirumah, belajar dirumah maupun beribadah dirumah. Aktivitas yang dilakukan dengan ruang gerak yang terbatas itu menyebabkan terjadinya penyesuaian dalam beberapa aspek salah satunya adalah sistem perbelanjaan yang kian praktis. Pada dasarnya, perbelanjaan online telah ada jauh sebelum terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia. Namun dengan adanya segala pembatasan tersebut menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap eksistensi belanja online di Indonesia. Perbuatan pada dunia maya pada dasarnya sangat sulit untuk dibuktikan keberanannya dan disesuaikan dengan perbuatan di dunia nyata yang terikat oleh aturan hukum yang tidak memandang ruang borderless sebagaimana aktivitas belanja online yang sangat luas jangkauannya. Regulasi atas penggunaan sarana digital di Indonesia diatur dalam undang-undang transaksi elektronik.1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut UU ITE adalah pembaharuan dari undang-undang sebelumnya yang mengundang kontroversi. UU ITE merupakan representasi bentuk dinamisasi pemerintah untuk tetap menghadirkan kepastian hukum pada aspek digital yang memerlukan aturan khusus karena berbeda dengan tindakan konvensional.

Dengan melakukan kegiatan jual beli online, para pelaku usaha dan juga konsumen sangat diberi kemudahan dalam melakukan transaksi online. Hal ini karena semua kegiatan dengan mudah dapat dijalankan hanya dalam gengaman ponsel pintar yang telah dimiliki mayoritas masyarakat. Dalam melakukan kegiatan usaha tidak dipungkiri adanya suatu permasalahan, salah satu yang biasanya terjadi dalam kegiatan usaha yaitu persaingan usaha tidak sehat, yang biasanya terjadi dalam pasar e-commerce dimana ini merupakan kegiatan yang dilarang salah satunya ingin menduduki posisi dominan yang merupakan kegiatan pelaku usaha untuk menghalangi konsumen membeli barang atau menggunakan jasa dari pesaing lainnya, yang dapat dipertimbangkan melalui aspek harga serta kualitas dan/atau menghambat pelaku usaha lainnya untuk ikut turut serta dalam persaingan pasar e-commerce yang berpotensi menjadi persaingan tidak sehat.2

Fair competition merupakan suatu kegiatan usaha yang memberikan akibat positif dan baik bagi para pelaku usaha tanpa menimbulkan masalah melainkan dapat memotivasi para pelaku usaha agar meningkatkan produktivitas, inovasi, dan kualitas produk atau jasa yang diperjual-belikan. Selain itu persaingan usaha

sehat ini juga dapat berdampak positif bagi konsumen atau pengguna jasa karena adanya penurunan harga yang tidak mematikan pelaku usaha lain dan juga konsumen dapat memiliki beberapa referensi produk dari beberapa toko yang berbeda. Sebaliknya, jika persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang terkena dampak bukan hanya para pelaku usaha dan konsumen, melainkan dapat memberi dampak buruk terhadap perekonomian nasional Indonesia. 3

Dalam melakukan kegiatan usaha pada e-commerce berpeluang besar terhadap adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini disebabkan karena begitu banyak pihak yang terlibat pada perdagangan digital dan regulasi yang ada di Indonesia belum sepenuhnya menegaskan adanya kepastian hukum terhadap penyelenggaraan perdagangan e-commerce di Indonesia. Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas topik hukum dengan judul “PENGATURAN PERSAINGAN USAHA DALAM PERDAGANGAN MELALUI TRANSAKSI E-COMMERCE”, adapun unsur kebaharuan yang akan penulis uraikan adalah untuk mengetahui regulasi hukum terkait persaingan usaha yang berkorelasi dengan perdagangan melalui e-commerce serta untuk menguraikan akibat hukum yang timbul apabila pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan persaingan usaha dalam perdagangan melalui transaksi e-commerce?

  • 2.    Bagaimanakah akibat hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam transaksi e-commerce?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui pengaturan persaingan usaha dalam perdagangan melalui transaksi e-commerce.

  • 2.    Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam transaksi e-commerce.

  • II.    Metode Penelitian

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif atau yang dapat disebut sebagai penelitian doktrinal memberikan ruang pendekatan untuk menganalisis hukum positif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kepustakaan. Untuk menelaah permasahan hukum yang diuraikan pada penulisan ini maka penulis menggunakan beberapa pendekatan yang relevan seperti pendekatan kasus, pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Persaingan Usaha Dalam Perdagangan Melalui Transaksi ECommerce

Pengaturan aspek keperdataan tidak dapat terlepas dari dasar fundamental hukum perdata yakni KUHPerdata. Meskipun tidak diatur secara lanjut secara rinci

berkaitan dengan e-commerce jika menelaah pada dasar dari prinsip suatu perdagangan adalah adanya transaksi jual-beli, maka merujuk pada KUHPerdata diatur dalam Buku III yakni mengatur berkaitan dengan perikatan, sehingga eksistensi dari adanya suatu perjanjian elektronik dalam perspektif KUHPerdata telah diatur landasanya. Namun berkaitan dengan perluasan perdagangan digital, diatur pertama kali dalam UU ITE. Dunia digital mengubah mobilitas masyarakat untuk beralih menggunakan sarana digital, sehingga timbul beberapa pembaharuan di dunia digital yang kian bermanfaat bagi masyarakat. Respon terhadap hal tersebut yakni timbul permasalahan hukum dari pemafaatan digital yang tidak diawasi secara ketat sebagai bentuk perbuatan hukum yang nyata di Indonesia.

Maka pada tahun 2008 dibentuknya UU ITE menyiratkan negara dalam representasinya terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Electronic Commerce (Perniagaan Elektronik) merupakan sebuah bisnis yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk menjalankan kerjanya.4 Pada perkembangannya, penggunaan atau pemanfaatan e-commerce memiliki jaringan yang luas hingga ke seluruh dunia, sehingga setiap orang yang menggunakannnya dapat mengakses setiap saat dan tanpa adanya kontak fisik langsung antara pelaku usaha dan konsumen. Transaksi elektronik telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU ITE.5

Berdasarkan ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan diatur bahwa “setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar”. Dengan penggunaan e-commerce ini, pelaku usaha dalam melakukan usahanya diberi kemudahan dan keuntungan, diantaranya: dapat memperluas pangsa pasar; terkendalinya biaya; lebih efisien dan simple; dan menjamin. Tidak hanya pelaku usaha yang diuntungkan dalam penggunaan ecommerce tersebut, konsumen juga sangat dimudahkan dan diuntungkan sebab dengan adanya e-commerce ini konsumen dapat melakukan belanja atau mencari jasa dengan mudah, karena dengan berkembangnya teknologi dan dengan adanya e-commerce maka akan selalu ada dan memberikan peluang untuk kemudahan terhadap konsumen dengan prinsip easy to use dan juga low cost yang menjadi incaran konsumen.6 Selain itu kunci untuk menjadi marketplace terbesar adalah dengan meningkatkan dari sisi pelayanan dan jaminan transaksi penjualan yang aman dan terpercaya.

Dengan adanya teknologi yang diciptakan oleh manusia yang berkembang semakin pesat maka harus sejalan pula dengan regulasi yang dinamis untuk menjangkaui perkembangannya. Suatu perbuatan yang dapat dikatakan merupakan suatu tindakan atau praktek yang membuat hambatan terhadap perdagangan harus dilakukan pemeriksaan yang benar-benar teliti. Perhatian utama harus ditunjukan pada unsur niat, tujuan, dan akibat dari suatu tindakan yang dicurigai dapat menghambat perdagangan itu sendiri. Namun, tidak semua perbuatan yang menghambat perdagangan merupakan tindakan yang melanggar hukum, sebagai

contoh apabila ada seorang pelaku usaha menawarkan barang atau jasa kepada konsumen atau pembeli secara terbuka, dan setelah ia memilih satu pembeli tersebut yang dapat memenuhi persyaratan yang ada, maka penjual dan pembeli akan menandatangani kontrak jual-beli yang dengan sendirinya menghalangi pembeli lainnya untuk melakukan perdagangan dengannya atas barang atau jasa yang sama. Perbuatan tersebut tidaklah perbuatan yang menghambat perdagangan. Persaingan usaha yang sehat harus menjadi patokan utama bagi para pelaku usaha.

Namun, demi meraih untung yang besar dan juga untuk mencari konsumen para oknum pelaku usaha yang nakal akan melakukan segala cara. Salah satunya dengan cara menduduki posisi dominan dalam pangsa pasar khususnya e-commerce, hal ini dilakukan dengan cara bersaing dalam masalah terhadap kuantitas dan kualitas dari barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan oleh pelaku usaha.7 Pengaturan atas e-commmerce jika ditelaah berdasarkan pada perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selanjutnya disebut UU Persaingan Usaha maka terlebih dahulu harus dipastikan bahwa e-commerce bersamaan kedudukannya sebagai pelaku usaha.

Berdasarkan pada telaah penulis, e-commerce sebagai suatu bentuk perdagangan digital yang melibatkan suatu badan hukum seperti pada e-commerce Tokopedia, Bukalapak, Lazada dan masih banyak contoh lainnya yang merupakan bagian dari big e-commerce di Indonesia, sehingga ketentuan dari pelaku usaha tersebut dapat diterapkan pada e-commerce sebagai pelaku usaha sehingga bersamaan kedudukannya harus tunduk pada UU Persaingan Usaha. Untuk dapat melihat indikasi terjadinya pelanyalahgunaan terhadap posisi dominan maka adapun indikator yang dapat dipergunakan adalah dengan melihat pada keadaan pelaku usaha dengan kedudukan pelaku usaha lainnya yang memiliki tendensi untuk tidak mempunyai pesaing yang setara dengan pelaku usaha dominan, selain itu juga dilihat dari kedudukan pelaku usaha dominan yang menduduki peringkat tertinggi jika dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya dengan meninjau beberapa aspek terlebih dahulu yakni kemampuan pembiayaan produksi dan askesbilitas tinggi, frekensi pemasokan barang yang besar-besaran dan menguasai ketersediaan. Adanya indikator tersebut akan menyebabkan pelaku usaha dominan mampu untuk bersaing secara mudah bahkan menyingkirkan persaingan usaha di kalangan pelaku usaha lainnya, hal ini akan berdampak pada pemunduran aspek ekonomi karena adanya penguasaan pasar yang berlebihan.8

Namun pada dasarnya, posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha tidaklah dapat dengan sepenuhnya dianggap terlarang karena respon masyarakat terhadap barang/jasa tidak dapat ditetapkan secara kaku oleh suatu regulasi, namun yang hanya dapat diawasi adalah dampak dari adanya dominasi pasar dan kerugian yang berpotensi ditimbulkan dari adanya dominasi tersebut. Berbeda halnya jika pelaku menyalahgunakan posisi dominan tersebut maka dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat dan juga konsumen. Posisi dominan dalam suatu persaingan usaha tidak dapat dihindari kehadirannya, hal ini disebabkan dalam suatu perkumpulan usaha selalu terdapat satu atau beberapa kelompok usaha dengan dominasi tertinggi yang dianggap menguasai pasar, namun untuk dapat terkualifikasi sebagai penyalahgunaan

atas posisi dominan tersebut harus melihat rujukannya dalam Pasal 25 UU Persaingan Usaha yang diuraikan dalam Pasal 25 ayat (1) undang-undang tersebut yakni:

“(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk : a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan”.

Jika posisi dominan tersebut disalahgunakan, maka akan mengakibatkan sentralisasi usaha yang berdampak pada hilangnya persaingan usaha karena konsumen diberikan ruang gerak terbatas untuk memilih produk karena sifat dominan yang ditawarkan oleh salah satu pelaku usaha. Hal ini jika terus menerus terjadi maka dalam jangka panjang akan berdampak pada semakin eratnya unfair competition karena karena dapat melemahkan pengusaha mikro lainnya yang tidak mampu bersaing dengan pelaku usaha dominan. 9

Selain pada pengaturan hukum yang diuraikan diatas, adapun tindak lanjutnya yakni dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagai salah satu instrument hukum perdagangan digital yang mengatur bahwa setiap perdagangan yang dilakukan diwilayah hukum RI maka tunduk pada keseluruan instrument hukum ius constitutum yang berlaku di Indonesia.

  • 3.2    Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang Melakukan Persaingan Usaha Tidak

    Sehat Dalam E-Commerce

Pemaknaan atas akibat hukum merujuk pada pendapat A. Ridwan Halim menyatakan:

“akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum”.

Dalam melakukan kegiatan bisnis yang semakin hari semakin kompetitif, upaya memperoleh keuntungan yang besar merupakan hal yang wajar jika perilaku yang dilakukan tidak menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Maka dari itu, para pelaku usaha dalam melakukan setiap kegiatan usahanya harus sejalan dan berpatokan dengan Undang-undang yang telah ada yaitu: UU Persaingan Usaha. Bagaimanapun juga hakekat hukum sebagai law as a tool of social control memberikan ruang kewajiban atas eksistensi hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan berkeadilan didalam segala aspek kehidupan, baik dalam sosial, politik, budaya dan yang tidak kalah penting adalah fungsi dan peranannya dalam pembangunan ekonomi.10 Dengan berpedoman pada pengaturan hukum yang telah

ada, maka untuk terjadinya masalah yang memunculkan suatu ssentralisasi ekonomi bagi pelaku usaha yang ada dan dominan akan semakin kecil kemungkinananya. Dalam prakteknya dimasyarakat, persaingan usaha tidak ada yang sempurna. Hal itu karena pengusaha tidak jarang selalu mengupayakan terciptanya kekuatan pasar yang akan menguntungkan usahanya dengan cara-cara tertentu yang tidak diindahkan oleh peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 2 UU Persaingan Usaha menegaskan dengan uraian sebagai berikut:

“pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.

Lain hal dalam konsideran menimbang huruf (b) dikatakan bahwa: “Demokrasi dalam kegiatan ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/ atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar”11 Terdapat dua asas yang dianut dari ketentuan Pasal 2 tersebut, yakni asas yang menitikberatkan pada tercapainya aspek yang bertalian erat dengan usaha yang memihal rakyat seperti pada perencanaan serta keputusan usaha. Lain hal pada asas keseimbangan yang bertendensi untuk menciptakan keseimbangan antara kedua aspek yakni individu sebagai pelaku usaha serta kepentingan umum yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.12

Dibentuknya UU Persaingan Usaha karena dampak negatif yang timbul akibat yakni persaingan antara pihak-pihak pelaku usaha dengan tidak sehat di masyarakat. Kepastian hukum yang dijamin melalui suatu pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku bagi setiap orang dengan tujuan sebagaimana konsideran UU Persaingan usaha untuk menghindari adanya praktek usaha tidak sehat yang berdampak pada kerugian ekonomi jangka panjang. Adapun beberapa tujuannya yakni pada pelaksanaan terhadap perwujudan rakyat yang sejahtera maka harus berlandaskan pada Pancasila serta UUD 1945 yang merupakan aspek fundamental dari bangsa Indonesia; merujuk pada adanya negara demokrasi yang dijunjung tinggi di Indonesia memberikan konsekuensi yuridis terhadap adanya kewajiban pemenuhan atas demokrasi pada bidang ekonomi pula seperti adanya kesepakatan yang sama bagi masyarakat yang terlibat pada suatu hubungan hukum produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa; setiap orang yang memiliki usaha yang berada dalam territorial RI sebagaimana wilayah hukum yang tunduk pada hukum di Indonesia maka sepaututnya dihindari untuk membentuk sentralisasi kapitalis terhadap ekonomi.13

Selain harus berpedoman pada UU Persaingan Usaha, untuk lebih memperketat pengawasan kegiatan para pelaku usaha maka dibentuklah suatu Lembaga yang bertugas untuk mengawasi praktik persaingan usaha tidak sehat yaitu Komisi

Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).14 Hal ini disebabkan karena tindak lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari mobilitas bisnis yang semakin meningkat dengan makin agresifnya strategi bisnis yang dipergunakan oleh pelaku usaha ditengah persaingan.15 KPPU tiada lain adalah suatu lembaga independent non intervensi yang khusus pembentukannya untuk mengawasi praktik persaingan usaha di Indoensia sehingga KPPU pula dengan kedudukannya tersebut bertanggungjawab langsung kepada Pemerintah RI.16 Selain itu, KPPU juga melindungi pelaku ekonomi dan menjaga agar kegiatan usahanya tetap pada jalur persaingan usaha yang sehat. Elyta Ras Ginting menyatakan bahwa :

“Model pengaturan hukum persaingan yang tidak secara tegas menyatakan konsep pendekatan per se illegal atau rule of reason, telah membebankan sebuah tanggung jawab yang tidak mudah bagi lembaga otoritas persaingan usaha untuk mampu secara tepat mulai dari menentukan acuan sebagai ukuran yang harus digunakan dalam menilai sebuah perbuatan anti persaingan, hingga pada akhirnya membuat sebuah kesimpulan apakah sebuah perbuatan yang bersifat anti persaingan ditetapkan dengan pendekatan per se illegal ataukah rule of reason. Oleh karena itu, untuk dapat menentukan apakah suatu perbuatan atau suatu perjanjian yang dilarang telah melanggar ketentuan persaingan usaha, maka undang-undang menggunakan pendekatan per se illegal dan rule of reason sebagai alat bukti”.17

Agar tidak terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan untuk melindungi hak-hak konsumen, maka ada beberapa upaya pembatasan dan larangan diantaranya yaitu:

  • a.    Larangan yang bersifat Perse Ilegal

Larangan Perse Illegal merupakan tindakan atau perilaku ilegal atau dilarang, dan tidak perlu dibuktikan dampak dari perilaku tersebut. Misalnya, ecommerce dilarang menandatangani perjanjian atau perjanjian dengan toko online lain untuk secara bersama-sama menetapkan harga jual. Dalam UU Persaingan Usaha barang-barang dengan sifat ilegal sendiri dapat diidentifikasi dari norma yang tidak mensyaratkan kondisi yang "dapat mengarah pada perilaku monopoli dan/atau persaingan komersial tidak sehat" sebagai penentu ilegalitas.

  • b.    Larangan yang bersifat Rule of Reason

Larangan ini bertendensi untuk melihat lebih jauh terhadap perbuatan yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dampak negatif yang ditimbulkan atau yang berpotensi untuk timbul dan dapat merugikan pelaku usaha lainnya. Terbuktinya perbuatan tersebut dilakukan

oleh pelaku usaha maka atas perbuatan tersebut pelaku usaha dapat ditindak secara hukum. 18

Penegakkan hukum atas persaingan usaha tidak sehat menempatkan polisi, jaksa dan pengadilan sebagai aparat yang dapat menindak tegas pelaku. Meskipun KPPU memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk memantau perkara yang terjadi dalam persaingan usaha tidak sehat, namun KPPU bukanlah pengadilan yang secara khusus bertanggung jawab atas persaingan niaga. Oleh karena itu, KPPU tidak berhak menjatuhkan sanksi pidana dan perdata secara bersamaan

. E-commerce sebagai bagian dari pelaku usaha bersamaan kedudukannya unyuk dapat ditindak oleh KPPU, maka akibat hukum dari adanya tindakan ecommerce yang melakukan persaingan usaha tidak sehat yakni dilakukannya upaya sanksi administratif sebagaimana tertuang dalam Pasal 47 UU Persaingan Usaha, sanksi tersebut dapat berbentuk seperti pembatalan perjanjian yang telah terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan, penghentian integrase vertikal, penghentian kegiatan operasi jual beli e-commerce, perintah untuk membatalkan penggabungan atau peleburan usaha yang terindikasi dan terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat, penetapan denda dan ganti rugi sebagaimana yang telah diterangkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu sanksi yang dikenakan jika pelaku usaha terbukti melakukan kegiatan yang dilarang yaitu pidana pokok yang termuat dalam pasal 48 UU Persaingan Usaha : “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan”.

  • IV.    Kesimpulan

Pengaturan persaingan usaha dalam perdagangan melalui transaksi ecommerce terlebih dahulu harus dipandang dalam kedua perspektif yakni pada pengaturan terhadap transaksi elektronik telah termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UU ITE. Perdagangan elektronik juga didukung dengan UU Perdagangan, sedangkan dalam aspek e-commerce sebagai bagian dari pelaku usaha sebagaimana tertuang dalam definisi pelaku usaha pada UU Persaingan Usaha maka turut tunduk pada pengaturan dalam undang-undang tersebut. Akibat hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam transaksi ecommerce yakni diatur dalam UU Persaingan Usaha yang terkualifikasi atas akibat hukum secara administratif dan pengenaan sanksi pidana. Lembaga yang berhak mengawasi dan menjatuhkan sanski atas adanya pelanggaran usaha tersebut adalah KPPU sebagai lembaga independen yang diberikan kewenangan atributif dalam UU Persaingan Usaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 36 untuk menjatuhkan sanksi dalam Pasal 47 sebagai sanksi administratif serta Pasal 48 sebagai pidana pokok yang dijatuhkan oleh pelaku usaha.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Azizah, “Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Pendekatan Normatif Dan Empiris”. (Malang, Inteligensia Media, 2020).

Nugroho, Susanti Adi, “Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, (Jakarta, Prenada Media, 2014).

Satriawan, Dewa Gede, “Hukum Transaksi E-Commerce Di Indonesia”, (Surabaya, Jakad Publishing, 2019).

JURNAL

Alfarizi, M. F. “Penyalahgunaan Posisi Dominan Dalam Perspektif Kejahatan Korporasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 1 No 1 (2014).

Anjani, “Urgensi Rekonstruksi Hukum E-Commerce Di Indonesia”. LAW REFORM, 14 No 1 (2018): 89-103.

Effendi, B. “Pengawasan Dan Penegakan Hukm Terhadap Bisnis Digital (E-Commerce) Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Syiah Kuala Law Journal, 4 No 1 (2020): 21-32.

Fadhilah, M. “Penegakan Hukum Persaingan Usaha Tidak Sehat Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Kerangka Ekstrateritorial”. Jurnal Wawasan Yuridika, 3 No 1 (2019): 55-72.

Jauhari, J. “Upaya Pengembangan Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) Dengan Memanfaatkan E-Commerce”. Jurnal Sistem Informasi, 2 No 11 (2010): 1-12

Makarim, E. “Kerangka Kebijakan Dan Reformasi Hukum Untuk Kelancaran Perdagangan Secara Elektronik (E-Commerce) Di Indonesia”. Jurnal Hukum & Pembangunan, 44 No 3 (2014): 314-337.

Mantili, “Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia Dalam Rangka Menciptakan Kepastian Hukum”. Padjadjaran Journal Of Law, 3 No 1 (2016): 116-132.

Matompo, O. S. “Revolusi Industri 4.0 Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”. Maleo Law Journal, 4 No 2 (2020): 126-136.

Mulyadi. “Efektivitas Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5 No 1 (2017): 81-95.

Prasetyowati, H., Prananingtyas, P., & Saptono, H. “Analisa Yuridis Larangan

Perjanjian Integrasi Vertikal Sebagai Upaya Pencegahan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Diponegoro Law Journal, 6 No 2 (2017): 1-12.

Rasada,  "Peranan Dan Kewenangan Kppu Dalam Persaingan Usaha

Minimarket." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.

Santoso, R. “Review of Digital Marketing & Business Sustainability Of E-Commerce During Pandemic Covid19 In Indonesia”. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 5 No 2 (2020): 36-48.

Sari, I. Made. "Persamaan Perlakuan Para Pihak Dalam Beracara Di Kppu Dalam Perspektif Hukum Acara Peradilan Indonesia." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, No. 2 (2016): 380-391.

Tarigan, A. A. “Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Dan Hukum Islam”. JURNAL MERCATORIA, 9 No1 (2020): 54-63.

Tharifi, A. “Analisis Peraturan Tentang Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perubahan Jenis Produksi Perusahaan Dalam Masa Pandemi Covid19 Di Indonesia”. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan), 4 No 4 (2020).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512).

Jurnal Kertha Negara Vol.10, No.02, Tahun 2022, hlm. 184-194

194