Pertanggungjawaban Pidana terkait Pelayanan Dokter Berbasis Online di Era Pandemi

I Gede Sutha Laksana Wibawa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: suthalaksana28@gmail.com

I Wayan Suardana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: suardana.wayan57@yahoo.com

ABSTRAK

Jurnal ini memiliki tujuan untuk memberi pemahaman tentang kedudukan hukum pelayanan dokter berbasis online pada era pandemi di Indonesia serta untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi. Metode yang dipergunakan pada artikel terkait pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi ini mempergunakan penelitian hukum dengan jenis yuridis normatif, dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan untuk menganalisis isu hukum pada artikel ini. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum pelayanan dokter berbasis online pada era pandemi di Indonesia telah diakui dan diatur dalam hukum positif Indonesia yakni Permenkes No. 20/2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan pada umumnya dilakukan pengaturannya dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Namun hingga saat ini pertanggungjawaban atau pun sanksi pidana yang diberikan belum diatur secara tegas jika dalam pelayanan medis berbasis online ini mengalami kesalahan. Sanksi yang ada masih di gabung dalam sanksi pidana pada UU No. 36/2009 tentang Kesehatan secara umum. Dalam UU ITE pun tidak secara tegas memberikan pengaturan terkait telemedicine ini. Pengaturan sanksi pidana terkait kesalahan dalam telemedicine ini dibutuhkan dalam upaya memberikan kepastian hukum apabila di masa yang akan datang terjadi suatu permasalahan. Apalagi dengan merebaknya Covid-19 akan lebih banyak klinik, praktik dokter pribadi, maupun rumah sakit, menangani pasien secara online.

Kata Kunci: Pandemi, Pelayanan Dokter Berbasis Online, Pertanggungjawaban Pidana.

ABSTRACT

This journal aims to provide an understanding of the legal position of online-based doctor services in the pandemic era in Indonesia and to find out criminal liability related to online-based doctor services in the pandemic era. The method used in the article related to criminal liability related to online-based doctor services in this pandemic era uses legal research with a normative juridical type, using a statutory approach to analyze the legal issues in this article. The results of this study found that specifically related to the legal position of online-based doctor services during the pandemic era in Indonesia, it had been recognized and regulated in Indonesian positive law, namely Permenkes No. 20/2019 concerning the Implementation of Telemedicine Services Between Health Service Facilities and in general in Law no. 36/2009 on Health. However, until now the responsibility or criminal sanctions given have not been explicitly regulated if there is an error in this online-based medical service. The existing sanctions are still included in the criminal sanctions in Law no. 36/2009 on Health in general. The ITE Law does not explicitly provide regulations related to telemedicine. The regulation of criminal sanctions related to errors in telemedicine is needed in an effort to provide legal certainty if a problem occurs in the future. Moreover, with the spread of Covid-19, there will be more clinics, private doctor practices, and hospitals, dealing with patients online.

Key words: Pandemic, Online Based Doctor Services, Criminal Liability.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Indonesia mempunyai harapan serta tujuan bangsa yakni memberikan perlindungan seluruh bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia serta melakukan pemajuan terhadap kesejahteraan umum, mencerdaskan hidup bangsa dan berpartisipasi dalam melakukan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial. Agar tercapainya hal itu dibutuhkan usaha berupa pembangunan yang berkelanjutan, juga pada pembangunan pada bidang kesehatan.

Hak untuk pemberian layanan kesehatan dinyatakan pada Pasal 5 serta 6 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No 36/2009) yang pada intinya menyatakan jika tiap orang memiliki hak yang sama dalam mendapat akses atas sumber daya pada hal kesehatan serta tiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pemberian layanan kesehatan yang aman, memiliki mutu serta terjangkau; dan tiap orang memiliki hak secara mandiri serta memiliki tanggung jawab melakukan penentuan sendiri pemberian layanan kesehatan yang dibutuhkan untuk dirinya. Sehingga hak pada kesehatan menjadi sesuatu yang sangatlah dasar serta bersifat urgent bagi seluruh individu.1

Kesehatan yakni unsur utama pembangunan suatu bangsa, serta dilakukan penjaminan oleh negara, dengan metode melakukan pembangunan serta melakukan penyediaan fasilitas pemberian layanan kesehatan yang baik serta terjangkau untuk seluruh individu di Indonesia. Layanan kesehatan terbaru berbentuk layanan kesehatan secara online pada konsepnya memberi layanan kesehatan yang bisa di gapai dengan tidak diperlukan suatu tatap muka, sehingga pasien dengan jarak jauhpun bisa mempergunakan layanan itu. Dari segi proses digunakannya, pada layanan kesehatan secara online mempergunakan aplikasi yang terdapat pada smartphone serta dalam melakukan aksesnya diperlukan jaringan internet. Untuk itu bisa disebutkan jika layanan kesehatan online lebih mudah dilakukan pengaksesan dari segi proses digunakannyapun juga lebih praktis.

Konsultasi dokter dengan sarana online sewajibnya tunduk pada UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Para pihak yang menyediakan jasa konsultasi dengan sistem elektronik haruslah menaati UU ITE. Pihak yang menyediakan jasa itu wajib melakukan rancangan sistem yang baik, serta aman dan bisa menjaga rahasia dari data itu. Pemberian layanan kesehatan secara online ini sepatutnya dilakukan pengaturan lebih lanjut pada aturan khusus. Layanan kesehatan berbentuk konsultasi dari konservatif ke online haruslah dilakukan perlindungan oleh hukum, baik perlindungan untuk dokter, pihak yang menyelenggarakan sistem serta paling penting untuk pasien ataupun konsumen yang mempergunakan sarana online.

Pada prosesnya, hubungan antara dokter serta pasien pada layanan kesehatan online dilaksanakan dengan perantara internet maka seperti halnya hubungan dokter dengan pasien saat pemberian layanan kesehatan konvensional, hubungan dokter serta pasien dengan mempergunakan layanan kesehatan online ini pula wajib melakukan pemenuhan syarat yang dilakukan pengaturan pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU No. 29/2004). Pasal 39 melakukan pengaturan jika praktik kedokteran dilakukan berdasar pada kata sepakat berdasar hubungan rasa percaya antara dokter ataupun dokter gigi dengan pasien pada upaya proses terpeliharanya kesehatan, dicegahnya penyakit, proses ditingkatkannya kesehatan, proses diobatinya penyakit serta proses dipulihkannya kesehatan. Sepakat seperti yang dimaksud yakni upaya maksimal

pengabdian profesi kedokteran yang wajib dilaksanakan dokter serta dokter gigi pada proses disembuhkannya serta proses dipulihkannya kesehatan pasien memiliki kesesuaian dengan standar pemberian layanan, standar profesi, standar prosedur operasional dan keperluan kesehatan pasien.

Pesatnya perkembangan teknologi hingga mampu menjamah ke ranah kesehatan maka tentu saja harus berbanding lurus dengan aturan yang di berlakukan. Utamanya pada kondisi pandemi covid-19 sebagaimana yang terjadi sekarang. Pandemi ini sudah memberikan perubahan hampir pada semua tata kehidupan pada masyarakat, tidak terkecuali pula dalam hal pemberian layanan kesehatan, baik itu pada layanan kesehatan pada institusi maupun mandiri. Pemberian layanan kesehatan yakni seluruh aktivitas yang adalah tindakan dalam melakukan dicegahnya penyakit (preventif), promosi/proses ditingkatkannya kesehatan (promotif), pemulihan (rehabilitatif), serta pengobatan penyakit (kuratif).

Akibat positif dari pemberian layanan kesehatan online yakni orang bisa memberikan pertanyaan kapanpun serta dimanapun pada dokter dengan ponsel atau Smartphone berkaitan dengan permasalahan kesehatannya. Akan tetapi kelemahan utama dari pelayanan medis secara online ini adalah dokter tidak dapat melakukan pemeriksaan pasien secara langsung. Keterbatasan itu sangat berpengaruh pada kualitas diagnose. Tidak terdapatnya pemeriksaan fisik langsung yang dilaksanakan dokter ke pasien membuat para tenaga medis belum mampu memberikan kepastian diagnosis juga pembanding lainnya. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam mendiagnosis yang dilaksanakan dokter.2

Kesalahan dalam memberikan diagnosis dapat dinyatakan dugaan malpraktek. Hal ini dikarenakan, dari kesalahan diagnosis dapat menyebabkan akibat salah terapi. Kesalahan itu dapat menyebabkan akibat yang serius. Banyak pasien meninggal dalam penanganan dokter, namun sayangnya di Indonesia belum terdapat hukum yang melakukan pengaturan terkait standar profesi kedokteran pada saat melaksanakan kesalahan profesi. Untuk, tidak mudah memberikan pembeda antara malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan serta kegagalan. Ditambah lagi pengertian malpraktek juga belumlah seragam.3

Pertanggungjawaban pidana yakni bagian dari hukum pidana di samping tindak pidana, pidana serta pemidanaan. Pertanggungjawaban pidana adalah hal yang urgent pada hukum pidana, hal ini dikarenakan belum terdapat arti pidana yang dilakukan pengancaman pada orang yang melaksanakan tindak pidana jika orang yang melaksanakannya tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. 4 Apabila seseorang dilakukan dugaan melaksanakan suatu tindak pidana namun tidak dilakukan proses berdasar hukum acara pidana dalam melakukan penentuan bisa atau tidak bisanya dimintai pertanggungjawaban pidananya, untuk itu akan bisa merendahkan marwah hukum pidana pada masyarakat.5 Hal tersebut akan dapat mengakibatkan terdapatnya pandangan masyarakat jika tidak diperlukan ketakutan melaksanakan tindak pidana dikarenakan tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada hal ini bagi dokter ataupun tenaga kesehatan lain jika melaksanakan malpraktik untuk memberi layanan kesehatan dibutuhkan perlakuan/proses pada peradilan pidana.

Terdapatnya dugaan dokter melaksanakan malpraktik pada waktu memberi layanan kesehatan pada pasiennya serta dugaan malpraktik itu sudah menyebabkan terdapatnya dugaan sudah terjadi suatu tindak pidana, untuk itu wajib dilakukan suatu proses dengan peradilan pidana mulai dari penyidikan hingga persidangan pengadilan. Pengadilan yang melakukan penentuan jika malpraktik yang dilaksanakan dokter itu yakni kesalahan pada tindak pidana. 6 Jika adalah kesalahan pada suatu tindak pidana, untuk itu bisa dipergunakan dalam melakukan penentuan pertanggungjawaban pidana dari dokter yang terbukti melakukan kesalahan atau melakukan suatu tindak pidana. Pengadilan yang melakukan penentuan jika terdakwa melakukan kesalahan atas tindak pidana yang dilaksanakannya sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya.

Adanya kemungkinan dokter dianggap gagal melaksanakan upaya penyembuhan pada pasiennya sebagaimana disebut pada penjelasan umum UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dapat mengakibatkan menurunnya rasa percaya masyarakat pada dokter. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diperjelas terkait pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dilaksanakan baik pada dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya. Hal ini dikarenakan diagnosis yang dilakukan tidak secara langsung dan memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam melakukan diagnosis. Untuk itu penting dilakukan penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi.

Penelitian ini adalah karya ilmiah asli yang memiliki harapan untuk bisa memberikan kontribusi serta memberikan peran pada peningkatan ataupun proses berkembangnya ilmu pengetahuan. Beberapa studi terdahulu yang telah mengkaji alat bukti elektronik diantaranya pertama, ditemukan pada Jurnal Akrab Juara oleh Muhammad Asad Awaluddin, Made Warka, dan Budiarsih berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien yang Memperoleh Pelayanan Kesehatan Berbasis Online7, jurnal ini membahas mengenai pertanggungjawaban dokter yang telah memberikan Pelayanan Kesehatan secara online apabila pasien menerima kerugian, pertanggungjawaban yang di maksud lebih mengarah pada pertanggungjawaban secara materiil (keperdataan). Kedua, ditemukan pada Jurnal Ilmiah Hukum : MERDEKA oleh Adi Tio Helga Ramanda berjudul “Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Konsultasi Via Online Apabila Pasien Mengalami Kerugian”8, jurnal ini tidak jauh berbeda dengan jurnal sebelumnya yang membahas mengenai tanggung jawab hukum dokter dalam memberikan pelayanan medis berbasis online, tanggung jawab yang dimaksud mengarah pada unsur keperdataan. Ketiga yaitu Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia oleh Rani Tiyas Budiyanti dan Penggalih Mahardika Herlambang berjudul “Perlindungan Hukum Pasien Dalam Layanan Konsultasi Kesehatan Online9, jurnal ini membahas mengenai perlindungan pasien dalam layanan konsultasi kesehatan online secara umum, sehingga tidak secara spesifik menjelaskan terkait pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan hukum pelayanan dokter berbasis online pada era pandemi?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Artikel ini mempunyai tujuan untuk memberi pemahaman, mengkaji dan menganalisa tentang kedudukan hukum pelayanan dokter berbasis online pada era pandemi di Indonesia dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel ini yakni penelitian yuridis normatif yakni terdapatnya kekosongan norma terkait sanksi pidana mengenai pelayanan medis berbasis online apabila suatu saat terjadi kesalahan medis dalam penanganan pasien, baik itu dari diagnosa ataupun peresepan obat. Penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian yang dilaksanakan untuk melakukan penelitian pada bahan sekunder. 10 Artikel ini adalah pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi. Suatu penelitian hukum yuridis normatif dapat pula dikatakan sebagai suatu prosedur penelitian yang menggunakan logika ilmu hukum dari sudut pandang normatif untuk menemukan kebenaran, hal tersebut kemudian mampu menjelaskan pertanggungjawaban pidana terkait pelayanan dokter berbasis online di era pandemi.11 Penelitian ini mempergunakan statute approach (pendekatan peraturan perundang-undangan) dalam mengkaji permasalahan pada artikel ini. Penelitian isu hukum ini mempergunakan bahan hukum yang memiliki sumber dari bahan hukum primer, sekunder, serta juga tersier. Penelitian ini mempunyai sifat deskriptif analisis yakni memberikan konsep tentang masalah yang dibahas artikel ini dan melaksanakan analisis pada peraturan hukum yang memiliki keterkaitan untuk memberi jawaban atas masalah yang telah dilakukan perumusan. Pengumpulan bahan-bahan hukum pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa metode. Adapun beberapa metode tersebut antara lain melakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang berkorelasi pada kajian dalam penelitian ini, mempelajari serta mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang terkait dengan permasalahan penelitian ini yang dikaji secara sistematis serta terarah.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Kedudukan Hukum Pelayanan Dokter Berbasis Online Pada Era Pandemi

Definisi dokter pada UU No. 29/2004 intinya yakni dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis yang telah memperoleh pendidikan kedokteran ataupun kedokteran gigi dalam dan luar negeri yang diberikan pengakuan oleh pemerintah Republik Indonesia. Adapun yang menjadi wewenang dokter tertulis dalam pasal 35 UU No 29/2004 adalah : 1. Melakukan wawancara dengan pasien; 2. Mengecek kondisi fisik dan psikologis pasien; 3. Memverifikasi pemeriksaan penunjang; 4. Meneguhkan diagnosa terhadap pasien; 5. Memastikan penatalaksanaan dan pengobatan pasien; 6. Jika perlu dilakukan penyuntikan untuk pasien; 7. Memperlakukan tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi; 8. Menerbitkan surat keterangan dokter yang melakukan praktik; 9. Mengemasi obat dengan kuantitas dan bentuk yang diijinkan; dan 10. Meramu dan mendistribusikan obat untuk pasien yang tidak memiliki apotek di daerah terpencil.

Berkembangnya teknologi informasi di dunia, juga di Indonesia pada dekade terakhir berlangsung dengan sangatlah cepat. Berkembangnya teknologi informasi ini secara langsung serta cepat memberikan pengaruh terhadap semua sektor kehidupan serta kegiatan keseharian masyarakat Indonesia. 12 Dalam hal kesehatan tidak lepas dari berkembangnya teknologi informasi. UU No. 36/2009 pada Pasal 167 menyatakan jika proses dikelolanya kesehatan yang diadakan oleh Pemerintah dengan pengelolaan administrasi kesehatan, sumber daya kesehatan, informasi kesehatan, pembiayaan kesehatan, upaya kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu sera saling memberikan dukungan agar memberikan jaminan terhadap terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Ketentuan itu menyatakan jika proses dimanfaatkannya teknologi yakni salah satu bentuk upaya kesehatan.

Sehingga terciptalah suatu sistem berupa pelayanan dokter berbasis online yang dikenal dengan istilah telemedicine. Telemedicine memiliki pengertian sebagai proses diberikannya layanan kesehatan dengan teknologi konferensi audiovisual antara dokter ataupun praktisi kesehatan dengan pasien secara jarak jauh dalam melakukan pengiriman data medik pasien mempergunakan komunikasi audiovisual mempergunakan infrastruktur telekomunikasi yang telah ada contohnya mempergunakan internet, satelit serta hal lainnya.13

Peraturan Telemedicine dibuat dan dilandasi berdasar UU No. 29 tahun 2004 tentang Kode Etik Kedokteran (UU No. 29/2004), tertulis pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/409/2016. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Permenkes No. 20/2019), tugas rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan Telemedicine meliputi tugas-tugas sebagai berikut :

  • 1.    Menyediakan layanan telekonsultasi medis dan rujukan profesional atau subprofesional sesuai dengan kebutuhan layanan telemedicine berbasis konferensi video.

  • 2.    Memberikan layanan profesional radiologi untuk ahli radiologi dalam layanan radiologi jarak jauh.

  • 3.    Melalui keputusan penanggung jawab atau penanggung jawab rumah sakit, membentuk tim fungsional yang terdiri dari dokter dan operator untuk melaksanakan layanan telemedicine.

  • 4.    Menyediakan infrastruktur berbentuk koneksi internet yang mumpuni, listrik, ruang kerja dan berbagai infrastruktur yang diinginkan dalam rangka mendukung kelancaran layanan telemedicine berbasis video conference atau teleradiology.

Selain itu peraturan telemedicine juga diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia yang menentukan melalui Pasal 9 bahwa terdapat beberapa larangan yang mesti ditaati dokter serta dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dengan konsep telemedicine yakni : “a. telekonsultasi antara tenaga medis dengan pasien secara langsung tanpa melalui

Fasyankes; b. memberikan penjelasan yang tidak jujur, tidak etis, dan tidak memadai (inadequate information) kepada pasien atau keluarganya; c. melakukan diagnosis dan tatalaksana di luar kompetensinya; d. meminta pemeriksaan penunjang yang tidak relevan; e. melakukan tindakan tercela, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien dalam penyelenggaraan praktik kedokteran; f. melakukan tindakan invasif melalui telekonsultasi; g. menarik biaya diluar tarif yang sudah ditetapkan oleh Fasyankes; dan/atau h. memberikan surat keterangan sehat.”

Salah satu contoh media telemedicine adalah Halodoc yang memberikan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi dan informasi, artinya klinik online tersebut melakukan transaksi secara online dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan media elektronik lainnya. Proses pembayaran serta pembelian obatnya pun dilakukan melalui jasa pengiriman tanpa harus bertatap muka antara dokter dan pasien Di satu sisi layanan ini memudahkan proses pemberian pelayanan dan upaya kesehatan yang dilakukan oleh dokter maupun pasien dengan tidak adanya batasan jarak, tetapi di sisi lain klinik online tersebut di dalamnya terdapat praktik kedokteran. proses mendiagnosis secara online oleh dokter dilakukan dengan tidak bertatap muka dengan pasien sehingga besar kemungkinan terjadi kesalahan diagnosis terhadap pasien.

Diagnosis itu sendiri adalah identifikasi sifat-sifat penyakit atau kondisi atau membedakan satu penyakit atau kondisi dari yang lain. Karena besarnya presentasi kesalahan pendiagnosaan oleh dokter kepada pasien dalam klinik online hal tersebut merupakan salah satu tantangan yang harus di hadapi untuk kemajuan di bidang kesehatan. Jika kesalahan diagnosis oleh dokter terjadi maka sudah seharusnya dokter dapat dimintai pertanggungjawabannya karena pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab terhadap setiap tindakan atau perbuatan yang mereka lakukan.14

  • 3.2    Pertanggungjawaban Pidana Terkait Pelayanan Dokter Berbasis Online Di Era Pandemi

Pelayanan dokter berbasis online (telemedicine) ini memudahkan pasien bisa melaksanakan tanya jawab tentang kesehatan pada dokter dengan media berbentuk aplikasi dengan tidak adanya tatap muka. 15 Sampai saat ini telah banyak aplikasi kesehatan di Indonesia yang memberikan penawaran fasilitas konsultasi kesehatan online ini. Selain konsultasi, juga beberapa aplikasi memberi kemudahan proses dibelinya obat dengan diberikannya resep. Sering kali aplikasi ini dikenal sebagai klinik online.

Tujuan pelayanan dokter berbasis online ini yakni mengupayakan tergapainya pemberian layanan kesehatan dengan merata di semua populasi negara, melakukan peningkatan kualitas pemberian layanan utamanya pada daerah terpencil serta pengiritan biaya dibanding dengan metode konvensional. Telemedicine pula dituju sebagai upaya melakukan pengurangan terhadap rujukan ke dokter ataupun pemberian layanan kesehatan di wilayah-wilayah besar, sarana pendidikan kedokteran serta pula dalam masalah-masalah darurat. Manfaat telemedicine dapat mencapai wilayah-wilayah bencana, penerbangan jarak jauh, serta untuk wisatawan asing yang ada di wilayah wisata.16

Akan tetapi, konsultasi dokter secara online mempunyai banyak kekurangan jika dibanding dengan praktek konsultasi dokter konservatif. Hal tersebut bisa menyebabkan permasalahan bagi pasien ataupun dokter. Kepastian hukum serta pedoman tata cara

pelaksanaan serta pertanggungjawaban secara pidana terkait konsultasi dokter online dibutuhkan untuk memberikan jaminan perlindungan pada hak pasien.

Tanggung jawab yakni suatu keharusan melakukan penanggungan seluruh sesuatunya, sehingga memiliki kewajiban melakukan penanggungan, memikul jawab, menanggung segala halnya ataupun memberi jawaban serta menanggung konsekuensinya. Sementara itu tanggung jawab hukum yakni kesadaran manusia akan tindakan ataupun tindakan yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab pula memiliki arti melakukan perbuatan sebagai wujud kesadaran akan kewajiban.17

Implikasi hukum administrasi pada hubungan hukum penyedia layanan kesehatan terhadap pasien yakni penyangkut kebijakan- kebijakan (policy) ataupun aturan-aturan yang adalah syarat administrasi pelayanan kesehatan yang wajib dilakukan pemenuhan dalam rangka proses diselenggarakannya pemberian layanan kesehatan yang memiliki mutu yang baik. Kebijakan itu memberikan pengaturan tata cara proses diselenggarakannya pemberian layanan kesehatan yang layak serta pantas yang memiliki kesesuaian dengan standar pemberian layanan klinik, standar operasional serta standar profesi.

Tanggung jawab hukum pada pasien. Dokter sebagai tenaga profesional yang memiliki tanggung jawab pada tiap perlakuan medis yang dilaksanakan pada pasien, yang berlandaskan dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran, serta standar profesi dalam melakukan penyembuhan ataupun memberikan pertolongan pada pasien adalah18: 1. Tanggung Jawab Etik

Kebijakan yang memberikan pengaturan terkait tanggung jawab etis oleh seorang dokter yakni Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI) dan lafal sumpah dokter. Kode etik yakni acuan perilaku, KEKI diterbitkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 /Men.Kes/ SK/X/1983. KEKI disusun dengan melakukan pertimbangan dengan International code of medical ethics dengan berlandaskan idiil Pancasila serta idiil struktural UUD 1945. KEKI ini melakukan pengaturan hubungan antar manusia yang termasuk juga kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter pada sejawatnya serta kewajiban dokter pada diri sendiri.

  • 2.    Tanggung Jawab Profesi

Dalam prakteknya seorang dokter sepatutnya mempunyai kompetensi rata-rata dokter yang memiliki kualifikasi yang sama pada situasi serta kondisi yang sebanding. Berdasar SK Menkes tentang Upaya Kesehatan Perorangan strata pertama yakni berbagai bentuk pemberian layanan profesional seperti praktek bidan, praktek perawat, praktek dokter / dokter gigi juga pemberian layanan pengobatan tradisional serta alternatif dan pemberian layanan kebugaran fisik serta kosmetika yang masuk juga pada pemberian layanan kesehatan profesional pada seluruh spektrum usia serta seluruh jenis penyakit sedini mungkin serta dilakukan secara paripurna, holistik, berkelanjutan dan berkoordinasi dengan profesi kesehatan lain.

  • 3.    Derajat Resiko Perawatan

Derajat risiko perawatan diupayakan untuk seminim-minimnya, sehingga efek samping dari pengobatan diupayakan seminim mungkin.

  • a.    Peralatan perawat

Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan mempergunakan alat perawat, jika dari hasil pemeriksaan luar kurang didapatkan hasil yang akurat sehingga dibutuhkan pemeriksaan mempergunakan bantuan alat.

  • b.    Peralatan perawat

Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan mempergunakan alat perawat, jika dari hasil pemeriksaan luar kurang didapatkan hasil yang akurat sehingga dibutuhkan pemeriksaan mempergunakan bantuan alat.

Pertanggungjawaban yang di gunakan oleh pelaku pelayanan kesehatan baik rumah sakit maupun klinik bisa merupakan pertanggung jawaban terpusat, yang mana pemimpin rumah sakit atau klinik yang menetapkan siapa yang melakukan kesalahan dan kelalaian pada tenaga kesehatannya. Vicarius liability, walaupun pada hakikatnya seorang tenaga kesehatan dengan sifat profesionalismenya bertanggung jawab atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaiannya, namun pasien masih bisa mengajukan gugatan pada pihak rumah sakit. Tiap orang memiliki hak melakukan penuntutan ganti kerugian pada seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menyebabkan kerugian dikarenakan kesalahan ataupun kelalaian pada pemberian layanan kesehatan yang diterima.

Sesuai dengan UU No 36/2009 Tentang Kesehatan Pasal 84 menyatakan “setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun”. Hal tersebut karena rumah sakit tidak bisa melakukan pengelakan dengan alasan menggunakan tenaga kesehatan kontrak lepas. Malpraktek medis yang di pidana membutuhkan pembuktian terdapatnya unsur culpa lata/kelalaian berat serta terdapatnya hasil yang fatal atau serius, baru malpraktek medis di pidana. Hal ini memiliki kesesuaian dengan keputusan Hoge Raad Belanda tanggal 13 Februari 1913 yang menyebutkan jika pada Pasal 307 WvS. Belanda sama dengan Pasal 359 KUHP Indonesia diperlukan pembuktian culpa lata untuk medikus dan bukan culpa levis karena klinik dibuat oleh seorang atau beberapa orang dokter untuk itu tanggung jawab klinik tersebut dijatuhkan pada dokter pendiri klinik itu.

Tanggung jawab pidana pada pemberian layanan kesehatan tentu saja bisa dikorelasikan dengan asas tidak terdapatnya pidana tanpa adanya kesalahan sebagaimana termaktub pada Pasal 2 KUHP. Pasal itu pada hakikatnya memberikan penjelasan jika tiap orang yang berada di wilayah hukum Indonesia bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas kesalahan yang di buatnya. Meskipun hukum pidana mengenal terdapatnya penghapusan pidana pada pemberian layanan kesehatan yakni terdapatnya alasan pembenar serta pemaaf, akan tetapi tidak selalu alasan pemaaf serta pembenar itu bisa melakukan penghapusan tindakan dokter yang melakukan kesalahan medis. Meskipun ada alasan pemaaf serta pembenar, namun bagi seorang dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan telah melaksanakan penyimpangan maka dokter itu masih tetap dianggap melaksanakan perbuatan pidana serta tindakannya tidak masuk pada kategori alasan penghapus pidana.19 Berdasar uraian di atas yang melakukan penjelasan jika akibat adalah unsur malpraktek pada lingkup pidana.

Namun hingga saat ini pengaturan khusus terkait pertanggungjawaban atau pun sanksi pidana yang diberikan jika dalam pelayanan medis berbasis online ini mengalami kesalahan belum diatur secara tegas berkaitan dengan sanksi pidana yang diberikan. Sanksi yang ada masih di gabung dalam sanksi pidana pada UU Kesehatan secara umum. Dalam UU ITE pun tidak secara tegas memberikan pengaturan terkait telemedicine ini.

Pengaturan sanksi pidana terkait kesalahan dalam telemedicine ini dibutuhkan dalam upaya memberikan kepastian hukum apabila di masa yang akan datang terjadi suatu permasalahan. Apalagi dengan merebaknya Covid-19 akan lebih banyak klinik, praktik dokter pribadi, maupun rumah sakit, menangani pasien secara online.

Pasien mempunyai kewajiban kepada pelayanan rumah sakit maupun klinik, serta hak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memiliki mutu yang sesuai dengan standar profesi serta standar prosedur operasional, mendapatkan layanan yang efektif serta efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik serta materi, meminta konsultasi mengenai penyakit yang dideritanya pada dokter lain yang memiliki surat izin praktik baik di dalam maupun di luar klinik, serta melakukan gugatan dan/atau melakukan penuntutan rumah sakit jika rumah sakit di anggap memberi layanan yang tidak memiliki kesesuaian dengan standar baik secara perdata maupun pidana.20

Perlawanan ataupun pembebasan pada tanggung jawab itu hanya bisa terjadi jika pihak yang menyelenggarakan bisa melakukan pembuktian jika kesalahan itu terjadi bukan dikarenakan dirinya namun dikarenakan adanya keadaan memaksa (force majeure) ataupun justru terjadi dikarenakan kesalahan pihak yang menggunakan, dan/atau kelalaian pihak yang menggunakan sistem elektronik tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan pembuktian jika lebih dulu dilaksanakan pemeriksaan hukum (legal audit) pada proses terselenggaranya sistem elektronik itu.

Pembagian beban tanggung jawab jika terbukti dokter melaksanakan malpraktek yakni bisa dilihat dari dua hal, yang pertama berdasar pada seberapa besar letak kesalahan yang dilakukan oleh dokter. Pada definisi ini, jika kesalahan ada pada dokter ahli yang memberi nasehat maka dokter yang melakukan nasehat sebisa mungkin dikurangi beban dalam menanggung kesalahan itu. Yang kedua berdasar pada pihak mana yang mendapat kontribusi yang paling besar atas penerimaan pembayaran jasa. Dokter yang melakukan penerimaan pembayaran jasa yang lebih besar sebagai konsekuensinya juga wajib bersedia untuk melakukan penerimaan tanggung jawab yang lebih besar juga pada tanggung jawab hukum jika terjadi kesalahan malpraktek.

Dalam proses pembuktian di pengadilan sangat penting alat bukti berupa data medis pasien. Dengan demikian, maka pemberian layanan kesehatan mempergunakan telemedicine wajib memperhatikan aturan mengenai perlindungan data sehingga jika dibutuhkan dikemudian hari bisa dijadikan bukti. Disamping itu wajib dilakukan penyediaan tenaga ahli pada bidang Forensik IT. Forensik IT atau diketahui dengan istilah computer forensic yakni suatu disiplin ilmu turunan yang berisi tentang keamanan komputer serta melakukan pembahasan mengenai temuan bukti digital setelah suatu kegiatan terjadi.

IV. Kesimpulan

Secara khusus terkait kedudukan hukum pelayanan dokter berbasis online pada era pandemi di Indonesia telah diakui dan diatur dalam hukum positif Indonesia yakni Permenkes No. 20/2019 dan secara umumnya dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Namun hingga saat ini pertanggungjawaban atau pun sanksi pidana yang diberikan belum diatur secara tegas terkait pelayanan medis berbasis online apabila suatu saat terjadi kesalahan medis dalam penanganan pasien, baik itu dari diagnosa ataupun peresepan obat. Sanksi yang ada masih di digunakan dalam sanksi pidana pada UU No. 36/2009 tentang Kesehatan secara umum. Dalam UU ITE pun tidak secara tegas memberikan

pengaturan terkait telemedicine ini. Pengaturan sanksi pidana terkait kesalahan dalam telemedicine ini dibutuhkan dalam upaya memberikan kepastian hukum apabila di masa yang akan datang terjadi suatu permasalahan. Apalagi dengan merebaknya Covid-19 akan lebih banyak klinik, praktik dokter pribadi, maupun rumah sakit, menangani pasien secara online.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ibrahim, J, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayu Media, 2017)

Jurnal

Awaluddin, M. A., Warka, M., & Budiarsih, B. “Perlindungan Hukum Teradap Pasien Yang Memperoleh Pelayanan Kesehatan Berbasis Online”. Jurnal Akrab Juara 4, No. 5, (2019): 264-280.

Becker, C. D., Dandy, K., Gaujean, M., Fusaro, M., & Scurlock, C. “Legal perspectives on telemedicine part 1: legal and regulatory issues”. The Permanente Journal, (2019): 1- 23.

Budiyanti, R. T., & Herlambang, P. M. “Perlindungan Hukum Pasien Dalam Layanan Konsultasi Kesehatan Online”. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 1(01), (2021): 1-10.

Ganiem, L. M. “Efek Telemedicine Pada Masyarakat Kajian Hukum Media McLuhan: Tetrad)”. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi 9, No. 2, (2021): 87-97.

Hidayat, A. R., Sugiartha, I. N. G., & Widyantara, I. M. M. “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Dokter yang Melakukan Malpraktck dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan di Tengah Pandemi Covid 19”. Jurnal Konstruksi Hukum 2, No. 2, (2021): 309-314.

Isriawaty, F. S. “Tanggung Jawab Negara dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Masyarakat Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 2, (2015): 1-10.

Novianto, W. T. (2015). “Penafsiran Hukum Dalam Menentukan Unsur-Unsur Kelalaian Malpraktek Medik (Medical Malpractice”. Yustisia Jurnal Hukum, 4(2), (2015), 488-503.

Pratama, Y. D., & Farina, T. “Perlindungan hukum terhadap pasien BPJS Kesehatan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya”. Journal of Environment and Management 2, No. 2, (2021): 191-199.

Putra, A. P. “Penyelesaian Dan Pertanggungjawaban Pidana Dokter Terhadap Pasien Dalam Perkara Malpraktik Medik”. Magistra Law Review 1, No. 1, (2020): 59-75.

Ramanda, A. T. H. “Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Konsultasi Via Online Apabila Pasien Mengalami Kerugian”. Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum 7, No. 1, (2021): 1-8.

Rosa, Regitamara Delfirani Rosa, “PertanggungJawaban Pidana Terhadap Dokter Atas Kesalahan Diagnosis pada Klinik Kecantikan”. JOM Fakultas Hukum Universitas Riau 4, (2019): 1-15.

Saraya, S., & Handayani, Y. “Rekonstruksi Tanggung Jawab Ancaman Pidana Melalui Media Elektronik Di Indonesia”. Jurnal Ekonomi, Sosial & Humaniora 2, No. 11, (2021): 137146.

Septiana, M. “Proses Transformasi ke Ekonomi Digital Masyarakat Indonesia”. Jurnal Sosial Politik Integratif 1, No. 1, (2021): 26-38.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (LN No. : 116, TLN No. : 4431).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (LN No. : 144, TLN No. : 5063)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (LN No. : 251, TLN No. : 5952).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia.

Jurnal Kertha Negara Vol.10 No.02 Tahun 2022, hlm.163-174

174