Eksistensi Aliran-Aliran Kepercayaan dalam Sistem Bernegara di Indonesia
on
E-ISSN: Nomor 2303-0585.
Eksistensi Aliran-Aliran Kepercayaan dalam Sistem Bernegara di Indonesia
I Gede Abdhi Satrya Mahardika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gede Yusa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dilakukannya penelitian ini ialah untuk mengkaji permasalahan apakah dengan menganut suatu aliran kepercayaan merupakan hal bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, dan bagaimana kebijakan pemerintah terhadap aliran kepercayaan yang mengakibatkan terjadinya permasalahan hak bagi para penganutnya. Penelitian ini berupa penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus untuk mengkaji permasalahannya. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer yang berupa berbagai macam peraturan perundang-undangan dan juga yurisprudensi, serta bahan hukum sekunder yang terdiri dari beberapa buku serta jurnal ilmiah yang relevan dengan masalah dalam penelitian. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik studi dokumen, dan selanjutnya dianalis menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dengan menganut suatu aliran kepercayaan bukanlah hal yang bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila, dan kebijakan pemerintah yang cenderung mengarahkan aliran-aliran kepercayaan untuk berinterelasi dengan agama-agama yang diberikan pengakuan secara resmi oleh pemerintah, mengakibatkan terjadinya permasalahan hak yang dialami oleh para penganut aliran kepercayaan. Permasalahan hak yang dialami oleh para penganut aliran kepercayaan, pada dasarnya disebabkan oleh tidak terselesaikannya konsepsi dasar negara yang tidak berupa agama, akan tetapi juga tidak merupakan negara sekuler yang memisahkan hubungan antara agama dengan negara.
Kata Kunci: Aliran Kepercayaan, Sila Pertama, Pancasila, Permasalahan Hak
ABSTRACT
The research aim is to examine the problems of whether adhering to an onflow of belief is contrary with The First Principle of Pancasila, and how the government’s policy towards the onflow of belief that causes rights problems for its adherents. This research is a normative legal research that uses a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach to examine the problems. The legal materials that used are primary legal material in the form of various kinds of legislation and jurisprudence, and secondary legal materials consisting of several books and scientific journals that are relevant with the problem in this research. The data in this study were collected through the document study techniques, and then analyzed by using qualitative analysis techniques. The results of the reseach are showing that adhering to an onflow of belief is not contrary to The First Principle of Pancasila, and the government’s policy that tend to direct these onflow of belief to interrelate with religions that are officially recognized by the government, resulting in rights problems that experienced by the adherents of the onflow of belief. Regarding to the problems of the right that experienced by the adherents of an onflow of belief, basically caused by the unfinished basic concept of the state which is not in the form of religion, but also not a secular state that separates the relationship between religion and the state.
Key Words: Onflow of Belief, The First Principle, Pancasila, Problems of The Right
Keyakinan terhadap adanya Tuhan sebagai suatu entitias tertinggi yang dipercaya telah menciptakan seluruh alam semesta beserta dengan isinya ini, sesungguhnya merupakan hal yang bersifat pribadi bagi setiap umat manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan dari entitas tertinggi tersebut, memiliki keterbatasan dalam hal mengenali Sang Penciptanya itu, melalui organ-organ indrawi yang dimilikinya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh Kemahakuasaan dari Tuhan itu sendiri, sehingga diri-Nya tidak dapat dilihat, didengar, dan/atau diraba oleh makhluk-makhluk ciptaannya. Keadaan yang demikian mengakibatkan adanya perbedaan pandangan terhadap relasi antara Tuhan sebagai Sang Pencipta, dengan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Pemikian manusia tentang hakikat keberadaan Tuhan, tentunya akan berbeda apabila dibandingkan satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh pemahaman terhadap Tuhan merupakan pemahaman yang bersifat abstrak. Bersifat abstrak dalam konteks ini mengandung pengertian bahwa pembuktian tentang perihal mana yang benar diantara sekian banyak perspektif yang ada tersebut, tidaklah dapat dilakukan. Dalam sejarah perkembangan perdaban manusia, pandangan tiap-tiap individu terhadap Tuhan secara garis besarnya terbagi ke dalam dua kubu. Kubu pertama yaitu kubu yang mengakui dan percaya akan keberadaan Tuhan sebagai pencipta dari dunia ini, dan kubu yang kedua yaitu kubu yang sama sekali tidak mempercayai eksistensi dari Tuhan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan atheis.
Terkhusus di negara Indonesia, kepercayaan terhadap Tuhan merupakan hal fundamental yang sifatnya wajib bagi seluruh warga negaranya. Hal ini disebabkan oleh Sila Pertama dari dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, mengamanatkan adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Rasa percaya tersebut, selanjutnya dapat diwujudkan melalui berbagai macam cara. Salah satunya yang paling umum digunakan yaitu dengan menganut suatu agama, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepda Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena hakikat pemahaman terhadap Tuhan bersifat abstrak seperti yang telah dikemukakan di atas, mengakibatkan munculnya berbagai macam agama yang memiliki cara dan ritualnya tersendiri dalam mengekspresikan rasa sujud dan baktinya kepada Tuhan, yang dipercaya memiliki kekuatan supra empiris.1
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) di dalam Undang-Undang Dasar 1945, memuat pernyataan bahwa negara Indonesia memberikan jaminan kebebasan bagi seluruh warga negaranya, untuk dapat menganut serta beribadah yang sesuai dengan agamanya atau kepercayaannya masing-masing. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwasannya hanya ada satu Tuhan yang bersifat Maha Esa, meskipun tiap-tiap agama yang diberikan pengakuan oleh pemerintah Indonesia memiliki sebutannya tersendiri terhadap Tuhan, dan cara ibadahnya pun berbeda-beda. Hal yang demikian sekaligus menunjukkan keadaan masyarakat Indonesia yang pluralisme, yaitu yang berbeda-beda suku bangsa, adat-istiadat, dan agamanya, namun tetap berada dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang percaya akan adanya Tuhan yang Maha Esa.
Perihal yang kemudian patut dipahami adalah dengan menganut salah satu dari agama-agama tersebut, bukanlah satu-satunya cara untuk mengekspresikan rasa kepercayaan diri terhadap keberadaan Tuhan. Masih ada cara-cara lain yang dapat
dilakukan, salah satunya yaitu dengan menganut suatu aliran kepercayaan. Bahasan tentang eksistensi aliran kepercayaan di Indonesia, tentunya tidak dapat dipisahkan dengan bahasan tentang budaya asli bangsa Indonesia itu sendiri. Sebab, apabila ditinjau dari sudut pandang historisnya, maka keenam agama yang diberikan pengakuan secara resmi oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini yaitu agama Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Konghucu, seluruhnya merupakan agama yang berasal dari luar wilayah Nusantara. Jauh sebelum agama-agama tersebut datang, aliran kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat asli Indonesia telah hidup selama ribuan tahun lamanya.2
Masih bertahannya aliran-aliran kepercayaan lokal masyarakat asli Indonesia di tengah dominasi dari ajaran-ajaran agama yang berasal dari luar wilayah Nusantara tersebut hingga saat ini, disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satu faktor tersebut yaitu munculnya rasa penolakan dari dalam diri masyarakat itu sendiri terhadap datangnya suatu ajaran baru tentang konsepsi Ketuhanan, yang memiliki banyak perbedaan dengan apa yang telah mereka anut selama ini. Keadaan yang demikian mengakibatkan munculnya berbagai upaya dalam rangka mempertahankan nilai-nilai dan kepercayaan lokal yang dianggap sebagai peninggalan dari nenek moyang sejak zaman dahulu, menjadi suatu kesatuan nilai yang kosmopolitan, atau dilakukan dengan mensintesiskan seluruh ajaran-ajaran ketuhanan yang ada pada saat itu, menjadi suatu ajaran baru.3
Berkaitan dengan berbagai permasalahan mengenai keberadaan aliran-aliran kepercayaan di Indonesia, telah dilakukan sejumlah penelitian terdahulu yang selanjutnya menjadi state of the art dan bahan referensi bagi penulisan penelitian di dalam jurnal ini. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara lain: Jurnal dengan judul “Persoalan Hukum Pengakuan Hak-Hak Penganut Aliran Kepercayaan di Bidang Administrasi Kependudukan”, yang diterbitkan pada bulan Desember 2020 di dalam Jurnal Rechts Vinding Volume 9, Nomor 3, karya Muwaffiq Jufri. Pada jurnal ini fokus kajian penelitian lebih ditekankan pada persoalan-persoalan hukum di bidang administrasi kependudukan, yang dialami oleh warga negara Indonesia yang menganut suatu aliran kepercayaan tertentu. Jurnal dengan judul “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”, yang diterbitkan pada bulan Juni 2015 di dalam Jurnal Kuriositas Volume 8, Nomor 1, karya Arbi Mulya Sirait, Fita Nafisa, Rifdah Astri Oktia D., dan Rumpoko Setyo Jatmiko. Pembahasan pada jurnal ini secara garis besarnya menitikberatkan pada kajian tentang status dari aliran kepercayaan lokal yang tidak mendapatkan pengakuan sebagai agama, serta kedudukan dari kepercayaan-kepercayaan lokal yang merupakan warisan budaya bangsa. Jurnal dengan judul “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran Kebatinan)”, yang diterbitkan pada bulan Juni 2011 di dalam Jurnal Analisis Volume 11, Nomor 1, karya Kiki Muhamad Hakiki. Adapun permasalahan yang diangkat pada jurnal ini, yaitu berkaitan dengan hal-hal mendasar tentang aliran-aliran kepercayaan yang meliputi aspek teoritis aliran kepercayaan/kebatinan, sejarah kemunculan aliran kepercayaan, dan motivasi seseorang untuk menganut suatu aliran kepercayaan.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka pada penelitian ini isu hukum yang diangkat yaitu berkaitan dengan hubungan antara aliran-aliran kepercayaan
dengan Sila Pertama dari Pancasila, dan kemudian masalah mengenai kebijakan pemerintah Indonesia terhadap aliran-aliran kepercayaan yang ada. Hal yang demikian bertujuan agar penelitian yang penulis lakukan ini, dapat menjadi sumbangan baru untuk kemajuan ilmu pengetahuan, utamanya pada dispilin ilmu hukum yang berkaitan dengan aliran-aliran kepercayaan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Mengikuti latar belakang yang telah dikemukakan, maka diperoleh dua permasalahan mengenai aliran-aliran kepercayaan di Indonesia, yang akan dituangkan ke dalam rumusan-rumusan masalah berikut:
-
1. Apakah dengan menganut suatu aliran kepercayaan merupakan hal yang bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila?
-
2. Bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia terhadap aliran kepercayaan yang mengakibatkan terjadinya permasalahan hak bagi para penganutnya?
Beranjak dari permasalahan mengenai aliran-aliran kepercayaan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, sebagaimana yang telah dituangkan dalam kedua rumusan permasalahan tersebut diatas, maka dapat diperoleh tujuan dari dibuatnya artikel jurnal ini yaitu untuk:
-
1. Mengetahui apakah dengan menganut suatu aliran kepercayaan merupakan hal bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila.
-
2. Mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia terhadap aliran kepercayaan yang mengakibatkan terjadinya permasalahan hak bagi para penganutnya.
Metode penelitian pada jurnal ini ialah metode penelitian hukum normatif, yang menitik beratkan kajian pada logika keilmuan, guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dengan mengacu kepada aturan-aturan hukum, doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para ahli, serta prinsip-prinsip dalam ilmu hukum.4 Pada jenis penelitian hukum normatif, hukum difigurkan sebagai kaidah yang dianggap pantas menjadi pedoman bagi manusia untuk berprilaku di dalam masyarakat.5 Konsep hukum yang telah ada sebelumnya itulah, selanjutnya akan dikembangkan oleh penulis dengan berpedoman kepada ajaran atau doktrin yang dianut oleh penulis itu sendiri.6 Adapun metode pendekatan yang dipergunakan ialah metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis bahan hukum yakni bahan hukum primer dan sekunder, yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi dokumen. Adapun analisis kajian yang dipergunakan, yaitu analisis kajian secara kualitatif. Data yang diperoleh akan dikaji secara sistematis sehingga akan menghasilkan pembahasan yang komprehensif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Menganut Suatu Aliran Kepercayaan Bukanlah Hal yang Bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila
-
Keberadaan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada Pancasila sebagai dasar dari negara Indonesia, dilatar belakangi oleh adanya kepercayaan bahwa kemerdekaan yang telah diraih dan dipertahankan selama ini, semuanya dapat terjadi atas izin dan campur tangan dari Tuhan sebagai Sang Maha Kuasa. Secara esensial, keberadaan sila tersebut juga mengandung makna bahwa bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan. Nilai Ketuhanan dianggap sebagai moralitas fundamental yang bersifat religius, sebagai dasar pijakan dalam kehidupan bernegara. Adapun menurut Ir. Soekarno nilai-nilai Ketuhanan Yang termuat di dalam Sila Pertama Pancasila tersebut, hendaknya dimaknai sebagai nilai yang mengandung unsur adab dan budaya.7 Artinya adalah nilai-nilai Ketuhanan senantiasa berdampingan dengan etika-etika sosial dan sifat toleransi yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Berangkat dari pemahaman tersebut, maka dapat diketahui bahwasannya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah prinsip akidah milik umat beragama saja, akan tetapi merupakan landasan hidup bersama di tengah pluralitas agama dan aliran kepercayaan yang ada.8
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kaitannya dengan agama dan aliran-aliran kepercayaan, tidak bermakna bahwa negara Indonesia merupakan negara yang mengedepankan prinsip beragama. Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada prinsip Ketuhanan, yaitu negara yang meletakkan agama dan aliran kepercayaan sebagai satu kesatuan spiritual, yang menjiwai keberlangsungan dari negara Indonesia itu sendiri.9 Pemahaman yang demikian didasari oleh adanya fakta bahwa tidak termuatnya kata “agama” di dalam konteks leksikal norma dari Sila Pertama Pancasila.10 Oleh karena Sila Pertama Pancasila hanya mengamanatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, maka di dalam konsepsi bernegaranya, Indonesia merupakan negara sekuler yang tidak sekularistik.11 Hal ini mengandung pengertian bahwa landasan bernegara Indonesia adalah landasan yang mengandung wawasan kebangsaan, yakni yang tidak hanya berupa nilai-nilai Ketuhanan dalam konsepsi agama, melainkan pula nilai-nilai Ketuhanan dalam konsepsi aliran kepercayaan.
Mengacu pada pernyataan yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno di dalam pidatonya saat perumusan Pancasila tanggal 1 Juni 1945, dikatakan bahwa segenap rakyat Indonesia seyogyanya berketuhanan. Indonesia adalah negara yang seluruh masyarakatnya dapat melaksanakan ibadah kepada Tuhan secara leluasa, berdasarkan kepercayaannya masing-masing.12 Berketuhanan yang dimaksud dalam konteks
tersebut artinya yaitu memiliki rasa kepercayaan diri, terhadap eksistensi dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut sekali lagi menegaskan bahwa berketuhanan tidak semata-mata soal menganut ajaran agama saja. Berketuhanan dapat pula diwujudkan dengan menganut suatu aliran kepercayaan, sebab di dalam konsepsinya aliran kepercayaan juga mengamini keberadaan Tuhan, sebagai awal mula dari segala yang ada. Selain itu, isi pidato dari Ir. Soekarno juga telah menunjukkan bagaimana sikap the founding fathers bangsa Indonesia pada saat perumusan Pancasila, yang telah menyadari betul bahwa keadaan masyarakat Indonesia itu plural, yang memiliki nilai-nilai masyarakatnya tersendiri.
Kepercayaan seseorang terhadap Tuhan pada dasarnya tidak dapat dipersamakan dengan kepercayaan orang lain terhadap Tuhan. Hal ini disebabkan oleh yang berkaitan dengan rasa kepercayaan, sudah barang tentu tidak semua orang memiliki rasa kepercayaan yang sama terhadap suatu hal. Terlebih lagi kepada hal yang sifatnya fundamentalis, seperti kepercayaan terhadap Tuhan. Aliran kepercayaan pada hakikatnya muncul sebagai perwujudan dari harapan para penganutnya, untuk memperoleh kebahagiaan dan ketentraman secara lahir maupun batin. Tiap-tiap aliran kepercayaan memiliki ajaran dan tata cara peribadatannya sendiri kepada Tuhan, dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan tersebut.13 Aliran-aliran kepercayaan yang ada di Indonesia sejak zaman dahulu, jumlahnya belum dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi diperkirakan terdapat sekitar empat ratus aliran kepercayaan lokal, yang masih eksis sampai saat ini. Adapun aliran-aliran kepercayaan tersebut diantaranya yaitu, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Kepercayaan Sumarah, Paguyuban Sapto Darmo, Kepercayaan Baha’i, dan Kepercayaan Sunda Wiwitan.14
Menurut John Allen Grim, meskipun dalam hal-hal tertentu ditemukan fakta bahwa kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut mendapatkan pengaruh dari agama-agama besar dunia, namun pada umumnya kepercayaan-kepercayaan lokal atau yang disebut pula dengan indigenous religions ini, tidaklah bersumber dari ajaran agama manapun.15 Pada esensinya, ajaran agama dan aliran kepercayaan adalah suatu kepaduan persepsi di dalam memahami prinsip-prinsip ketuhanan. Baik ajaran agama maupun aliran kepercayaan, keduanya sama-sama bertujuan untuk menemukan makna yang hakiki dari kehidupan.16 Adapun perbedaan antara agama dengan aliran kepercayaan ini dapat dikatakan hanya terletak pada pengakuan terhadapnya saja. Hingga saat jurnal ini ditulis, pemerintah Indonesia belum juga mengakui aliran-aliran kepercayaan lokal yang ada sebagai agama, kendati telah ada upaya yang dilakukan oleh para penganutnya agar aliran kepercayaannya tersebut menyandang status agama.
-
3.2 Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Aliran Kepercayaan yang
Mengakibatkan Terjadinya Permasalahan Hak bagi Para Penganutnya
Status dan kedudukan hukum para penganut aliran kepercayaan sebenarnya telah termuat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
diantaranya yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Ketentuan pada Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwasannya seluruh warga negara Indonesia, memiliki kebebasan untuk meyakini suatu kepercayaan yang sesuai dengan kehendak nuraninya. Selanjutnya, pada Pasal 29 ayat (2) memuat pernyataan bahwasannya negara Indonesia memberikan jaminan kebebasan bagi seluruh warga negaranya, untuk memilih dan melaksanakan ibadahnya masing-masing, yang sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Sebagai peraturan turunan dari UUD 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 (UU HAM) juga mengatur perihal yang sama. Pengaturan tersebut termuat dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), yang pada intinya memberikan kebebasan dan juga jaminan kepada seluruh warga negara Indonesia, untuk dapat meyakini dan mengamalkan ibadahnya yang sesuai dengan agama atau kepercayaannya masing-masing. Dengan diaturnya hal yang demikian pada UU HAM, menunjukkan bahwa kebebasan untuk menganut suatu aliran kepercayaan pada dasarnya adalah perihal yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Hal ini kemudian di dukung dengan ditemukannya fakta bahwa pengaturan yang serupa juga termuat di dalam UU Nomor 12 Tahun 2005, yang substansinya mengenai pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR. Pada undang-undang ini dikemukakan bahwa tiap-tiap individu memiliki hak untuk menentukan agama atau kepercayaan apa yang akan dianutnya, dan tidak seorangpun dapat mengintervensi kebebasan tersebut. Pembatasan dalam beragama atau berkepercayaan hanya dapat dilakukan menurut hukum, yang dilandasi oleh alasan kepentingan, keamanan, serta kertertiban negara.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah dipaparkan diatas, maka sebenarnya nampak bahwa antara agama dan aliran kepercayaan memiliki status dan kedudukan hukum yang setara. Kendati demikian, alih-alih memberikan pengakuan yang sama sebagaimana layaknya agama terhadap aliran-aliran kepercayaan yang ada, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia cenderung mengarahkan agar aliran-aliran kepercayaan tersebut berinterelasi dengan agama-agama yang diberikan pengakuan resmi oleh negara.17 Akibatnya, muncul anggapan di kalangan masyarakat umum bahwa aliran kepercayaan merupakan sempalan atau bentuk penyimpangan dari ajaran agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan hak, yang dialami oleh masyarakat penganut aliran kepercayaan. Sebagai contoh, pada tahun 2020 yang lalu, di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, terdapat tindakan penyegelan bakal makam seorang tokoh masyarakat adat yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Tindakan tersebut dilakukan oleh pemerintah kabupaten setempat yang diduga sebagai reaksi dari adanya penolakan sejumlah organisasi masyarakat terhadap bakal makam tersebut.18
Fakta yang tidak dapat dipungkiri yakni kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, telah ada sejak zaman dahulu dan akan tetap mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Bermula dari perbedaan-perbedaan kecil, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks, hingga pada akhirnya menciptakan ciri khasnya tersendiri yang berbeda-beda satu sama lain. Hal yang demikian terjadi pula pada cara pandang masyarakat terhadap prinsip Ketuhanan.
Berakar dari adanya perbedaan cara pandang tersebut, timbul gejolak di tengah masyarakat yang saling memberikan klaim bahwa apa yang dipercayainya itu merupakan hal yang paling benar. Hal ini akan mengarah pada terciptanya kesalahpahaman diantara masyarakat, yang berujung pada terjadinya tindakan diskriminasi. Kelompok minoritas akan terganggu dalam menjalankan ibadah yang sesuai dengan kepercayaannya itu, akibat mendapatkan tekanan dari kelompok mayoritas yang merasa kepercayaannya paling benar.19 Dalam kaitannya dengan permasalahan mengenai aliran kepercayaan, maka kelompok masyarakat yang menganut suatu aliran kepercayaan, akan menduduki posisi kelompok minoritas. Oleh karena itulah kedudukan aliran-aliran kepercayaan dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia, dapat dikatakan terpinggirkan. Pandangan masyarakat terhadap aliran kepercayaan, terpecah menjadi 2 kubu. Kubu yang pertama berpandangan bahwa aliran kepercayaan tidak lain adalah agama asli nusantara yang semestinya mendapatkan pengakuan secara resmi dari pemerintah Indonesia. Kubu yang kedua beranggapan bahwa aliran kepercayaan hanyalah merupakan bentuk dari warisan budaya, yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.20
Menghadapi permasalahan yang demikian, sebenarnya telah ada sejumlah upaya yang dilakukan oleh para penganut aliran kepercayaan, untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan yang seharusnya diperoleh. Adapun salah satu upaya tersebut yaitu dengan mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya menghasilkan Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016. Di dalam amar putusan MK tersebut memuat pernyataan bahwa kata “agama” pada Pasal 61 ayat (1) serta Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, berlawanan dengan UUD 1945. Selama aliran-aliran kepercayaan tidak diikutsertakan sebagai bagian di dalam kata “agama” yang dimaksud, maka kedua pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat. Adapun yang menjadi pertimbangan dari Hakim Konstitusi diantaranya yaitu secara perspektif gramatikal bahasa, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) pada Undang-Undang Dasar 1945, selalu meletakkan agama pada posisi dan kedudukan yang setara dengan aliran kepercayaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengaturan yang terpisah antara agama dengan kepercayaan, pada Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 28E ayat (2). Selain itu, digunakannya kata hubung “dan” untuk menghubungkan kata “agamanya” dengan “kepercayaannya” pada Pasal 29 ayat (2), mengandung makna kumulatif yang mengitikadkan bahwa agama dan kepercayaan adalah perihal yang berbeda, akan tetapi memiliki kedudukan yang setara. 21
Pada awalnya, menurut Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, pengisian keterangan pada kolom agama di dalam dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) bagi para penganut aliran kepercayaan, adalah tidak diisi. Hal ini tentunya melanggar hak konstitusional dari warga negara Indonesia yang menganut aliran kepercayaan, yakni hak untuk
memperoleh perlakuan dan kedudukan yang setara di mata hukum.22 Namun, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ketimpangan yang dialami oleh para penganut aliran kepercayaan ini setidaknya dapat dikurangi. Sebab, para penganut aliran kepercayaan kini dapat mengisi keterangan agama dengan frasa “penghayat kepercayaan”, pada dokumen-dokumen kependudukan sebagaimana yang telah termaktub di dalam Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016.
Kendati demikian, adanya Putusan MK tersebut tidak serta merta mampu untuk menyelesaikan semua permasalahan aliran kepercayaan yang ada dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Tidak mudah untuk mengubah cara pandang masyarakat yang terlanjur memberikan stigma buruk kepada aliran-aliran kepercayaan berserta dengan para penganutnya, sebagai pelaku penyimpangan dari agama-agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Pada dasarnya dapat disebutkan bahwa permasalahan aliran kepercayaan ini, akarnya yaitu tidak terselesaikannya konsepsi dasar negara yang tidak berupa agama, akan tetapi juga tidak merupakan negara sekuler yang memisahkan hubungan antara agama dengan negara.23 Hubungan yang terjadi antara agama dengan negara, merupakan hubungan timbal balik yang saling bergantungan. Pada satu sisi agama yang meliputi pula aliran kepercayaan, akan menjadi pedoman rohani bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sisi yang lain negara akan memberikan jaminan kemerdekaan bagi warga negaranya, untuk beragama ataupun berkepercayaan.24 Pendefinisian agama yang tidak menyertakan aliran kepercayaan sebagai bagian di dalamnya, menimbulkan akibat dilanggarnya hak sipil dan hak politik yang dimiliki oleh para penganut aliran kepercayaan tersebut.25
Mengikuti pembahasan materi sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, maka diperoleh kesimpulan bahwa dengan menganut suatu aliran kepercayaan bukanlah hal yang bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila. Argumen yang demikian didukung oleh fakta bahwa para penganut aliran kepercayaan pada dasarnya mempercayai keberadaan Tuhan sebagai Sang Pencipta dari dunia beserta dengan isinya ini. Selain itu pula, pemaknaan terhadap Sila Pertama Pancasila tidak dapat dilakukan secara sempit, yakni dengan menganggap bahwa satu-satunya jalan untuk menunjukkan rasa kepercayaan diri terhadap Keesaan Tuhan, hanyalah dengan memeluk suatu agama. Meskipun status dan kedudukan hukum para penganut aliran kepercayaan telah termuat di dalam UUD 1945 beserta dengan peraturan turunannya, namun kebijakan pemerintah yang pada awalnya cenderung mengarahkan aliran-aliran kepercayaan untuk berinterelasi dengan agama-agama yang diberikan pengakuan secara resmi oleh pemerintah, mengakibatkan terjadinya permasalahan hak. Aliran kepercayaan kerap kali disebut sebagai penyimpangan dari ajaran agama, yang mengakibatkan para pemeluknya mendapatkan perlakuan diskriminatif. Permasalahan hak yang dialami oleh para penganut aliran kepercayaan ini pada dasarnya disebabkan
oleh tidak terselesaikannya konsepsi dasar negara yang tidak berupa agama, akan tetapi juga tidak merupakan negara sekuler yang memisahkan hubungan antara agama dengan negara. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan yakni di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya saling menjunjung tinggi rasa toleransi. Tidak seorangpun dapat memaksa orang lain untuk mengikuti kepercayaan yang dianutnya, sebab kebebasan untuk beragama maupun berkepercayaan telah diatur sedemikian rupa di dalam peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bachtiar. “Metode Penelitian Hukum” (Banten: Unpam Press, 2018)
Latif, Yudi. “Mata Air Keteladanan; Pancasila dalam Keteladanan”(Bandung: Misan,2014)
Lubis, Dahlia. “Aliran Kepercayaan/Kebatinan” (Medan: Perdana Publishing, 2019) Marzuki, Peter Mahmud. “Penelitian Hukum (Edisi Revisi)” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013)
Jurnal
Aminullah. “Pendidikan Pancasila dan Agama.” Jurnal Ilmiah Mandala Edukasi 4, No. 1 (2018): 276-280. DOI: http://dx.doi.org/10.36312/jime.v4i1.549
Arroisi, Jarman. “Aliran Kepercayaan & Kebatinan: Membaca Tradisi dan Budaya Sinkretis Masyarakat Jawa.” Jurnal Studi Agama Al-Hikmah 1, No. 1 (2015): 1-28. DOI: http://dx.doi.org/10.30651/ah.v1i1.946
Budiyono. “Hubungan Negara dan Agama dalam Negara Pancasila.” Jurnal Ilmu Hukum Fiat Justitia 8, No. 3 (2014): 410-423. DOI:
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v8no3.305
Dahlan, Muhammad dan Liemanto, Airin. “Perlindungan Hukum Atas Hak Konstitusional Para Penganut Agama-Agama Lokal di Indonesia.” Jurnal Arena Hukum 10, No. 1 (2017): 20-39. DOI:
https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2017.01001.2
Fathuddin. “Kebebasan Beragama dalam Bingkai Otoritas Negara (Religious Freedom in the Frame of State Authority).” Jurnal Legislasi Indonesia 12, No. 2 (2015): 1-25. DOI: https://doi.org/10.54629/jli.v12i2.398
Hakiki, Kiki Muhamad. “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran Kebatinan).” Jurnal Analisis 11, No. 1 (2011): 159-174. DOI:
https://doi.org/10.24042/ajsk.v11i1.617
Harsyahwardhana, Shandy. “Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 tentang Judicial Review UU Administrasi Kependudukan terhadap Penghayat Aliran Kepercayaan.” Jurnal Arena Hukum 13, No. 2 (2020): 369-387. DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2020.01302.10
Jufri, Muwaffiq. “Persoalan Hukum Pengakuan Hak-Hak Penganut Aliran Keprcayaan Di Bidang Administrasi Kependudukan.” Jurnal Rechts Vinding 9, No. 3 (2020): 461-479. DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i3.470
Jufri, Muwaffiq. “Potensi Penyetaraan Agama dengan Aliran Kepercayaan di Indonesia.” Jurnal Yudisial 13, No. 1 (2020): 21-36. DOI:
http://dx.doi.org/10.29123/jy.v13i1.360
Mahfud. “Tuhan Dalam Kepercayaan Manusia Modern (Mengungkap Relasi Primordial Antara Tuhan dan Manusia).” Jurnal Studi Keislaman Cendekia 1, No. 2 (2015): 97112. DOI: https://doi.org/10.37348/cendekia.v1i2.8
Marhaeni, Sri Sedar. “Hubungan Pancasila dan Agama Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2, No. 2 (2017): 112-118. URL:
https://ejournal.unibabwi.ac.id/index.php/jppkn/article/view/137/98
Pransefi, Megamendung Danang. “Aliran Kepercayaan dalam Administrasi Kependudukan.” Jurnal Media Iuris 4, No. 1 (2021):19-36. DOI:
http://dx.doi.org/10.20473/mi.v4i1.24687
Rumagit, Stev Koresy. “Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beragama di Indonesia.” Jurnal Lex Administratum 1, No. 2 (2013): 56-64. URL:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/3016
Saribu, Yerobeam. “Tinjauan Konstitusional Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 tentang Persamaan Kedudukan di Depan Hukum pada Proses Penangkapan Bagi Seseorang yang Diduga Melakukan Tindak Pidana.” Jurnal Lex Administratum 6, No. 1 (2018): 46-53. URL:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/20332
Sibarani, Sabungan. “Prospek Penegakan Hukum Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).” Jurnal Hak Asasi Manusia 7, No. 1 (2016): 1-9. DOI: http://dx.doi.org/10.30641/ham.2016.7.1-9
Sirait, Arbi Mulya, et.al. “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia.” Jurnal Kuriositas 8, No. 1 (2015): 25-37. DOI: https://doi.org/10.35905/kur.v8i1.144
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016
55
Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 1 Tahun 2022 hlm 45-55
Discussion and feedback