Analisa Pengaturan Pelaksanaan

Tindak Pidana Aborsi oleh Anak Korban Perkosaan dan Perlindungan Hukumnya

Putu Dea Anindita Putri Biantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Adapun tujuan dalam penulisan artikel ini yaitu untuk menganalisa pengaturan mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi yang dilaksanakan oleh anak di bawah umur di Indonesia, dan juga bentuk perlindungan khusus yang diberi kepada anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana tersebut, yang sekaligus juga merupakan seorang korban dari tindak pidana perkosaan. Dalam penulisan artikel ini memakai metode penelitian hukum normative, dengan melalukan pendekatan terhadap perundang-undangan dan juga kasus. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan artikel ini menggunakan teknik kepustakaan, kemudian teknik analisisnya dilakukan teknik analisis deskriptif kualitatif. Adapun temuan dari penulisan artikel ini adalah tidak terdapat aturan yang secara khusus mengatur mengenai tindakan aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Namun, Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan dapat menjadi dasar hukum dalam pelaksanaannya. Adapun tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur akibat dari ia merupakan seorang korban dari tindak pidana perkosaan, menurut Pasal 75 ayat (2) huruf b Undang-Undang Kesehatan diberikan sebuah pengecualian terhadap pelaksanaan aborsi dengan kriteria tertentu, salah satunya adalah bagi korban perkosaan, asalkan hal tersebut dapat dibuktikan terdapat terjadinya indikasi perkosaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 34 Kesehatan Reproduksi. Dalam kasus seperti ini pula, anak yang sebagai korban berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 133 Undang-Undang Kesehatan, Pasal 89-90 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Pasal 69A Undang-Undang Perlindungan Anak.

Kata Kunci: aborsi, hukum pidana, perkosaan, anak

ABSTRACT

The purpose of writing this article is to analyze the regulation regarding the implementation of the criminal act of abortion carried out by minors in Indonesia, as well as the special forms of protection given to minors who commit these crimes, who are also victims of the crime. rape crime. In writing this article, the normative legal research method is used, by taking an approach to legislation and cases. The technique of collecting legal materials in writing this article uses a library technique, then the analysis technique is a qualitative descriptive analysis technique. The finding of this article is that there are no rules that specifically regulate abortion by minors. However, Article 346 of the Criminal Code and Article 75 of the Health Law can be the legal basis for its implementation. As for the crime of abortion committed by a minor as a result of being a victim of a crime of rape, according to Article 75 paragraph (2) letter b of the Health Law, an exception is given to the implementation of abortion with certain criteria, one of which is for victims of rape, provided that it can be proven that there is an indication of rape as regulated in Article 34 of Reproductive Health. In cases like this too, children who are victims are entitled to legal protection as stipulated in Article 133 of the Health Law, Articles 89-90 of the SPPA Law, and Article 69A of the Child Protection Law.

Keywords: criminal law, abortion, rape, children

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Kehamilan adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu kebanyakan wanita, termasuk di Indonesia. Kehamilan dianggap sebagai suatu berkah oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kehamilan tersebut mereka dapat melanjutkan keturunan mereka. Namun, kehamilan tersebut belum tentu dianggap sebagai sebuah berkah, terutama bagi para wanita yang belum memiliki kesiapan terhadap kehamilan tersebut, seperti anak dibawah umur, korban pemerkosaan, ataupun wanita yang memiliki penyakit bawaan dalam dirinya. Remaja atau anak di bawah umur yang sudah mengalami kematangan secara seksual, sangat perlu pengarahan dari orang dewasa, dalam hal ini adalah dari guru dan juga orang tua, jika tidak mendapatkan arahan yang benar, anak di bawah umur bisa terjerumus dalam masalah besar. Masalah yang dimaksud disini seperti hubungan seks pra-nikah dan terjadinya Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD), yang pada akhirnya memaksa para anak tersebut memilih untuk melakukan aborsi.1

Permasalahan aborsi yang sering terjadi adalah akibat terjadinya kehamilan di luar pernikahan oleh anak di bawah umur. Bahkan jika kita lihat dalam data milik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tepatnya pada tahun 2020, disebutkan bahwa terdapat sekitar kurang lebih dua juta kasus aborsi illegal pada setiap tahunnya, dan jika diperhatikan 30% kasus tersebut pelakunya merupakan anak berusia dini.2

Seperti yang kita lihat dalam masyarakat terdapat banyak kasus kehamilan oleh anak di bawah umur sebelum adanya pernikahan sah akibat korban pemerkosaan ataupun pergaulan bebas, yang biasanya berakhir dengan pelaksanaan tindakan aborsi oleh anak, karena selain fisik yang belum siap, sang anak pun biasanya mentalnya belum terdapat kesiapan untuk menjadi figure Ibu di usia yang dini, ditambah juga belum menikah akan menjadi gunjingan bagi masyarakat. Kehamilan yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana perkosaan akan memberikan dampak yang negatif bagi korban. Beberapa dampak tersebut seperti misalnya, pertama, munculnya stigma negatif terhadap korban perkosaan, sering kali masyarakat korban tersebut merupakan seorang perempuan yang sudah hina atau kotor. Kedua, dampak pisikologi seperti munculnya stress pada korban perkosaan paska terjadinya perkosaan tersebut.3 Selain itu, jika pada akhirnya berujung melakukan tindakan aborsi, pelaksanaan aborsi di Indonesia sendiri masih mengalami perdebatan antara dua kubu yang bertentangan. Kubu yang mendukung pelaksanaan aborsi yang legal dan aman, dan kubu yang melarang pelaksanaan aborsi dan menganggapnya melanggar nilai sosial di dalam masyarakat.4

Perlu diketahui, bahwa aborsi sendiri berarti tindakan seseorang menggugurkan kandungannya. Jika dikaji secara medis, aborsi memiliki makna berakhirnya kehamilan seseorang sebelum viability, yaitu masa janin belum dapat hidup dengan sendirinya di luar kandungan, yang jika menurut perkiraan maka usia kehamilannya adalah di bawah

20 minggu (menurut WHO). Berdasarkan definisi tersebut, dapat kita maknai bahwasanya tindakan aborsi dapat dilakukan kepada janin yang tidak mampu hidup di luar kandungan. Jika kita mengutip ke dalam Kamus Hukum yang dikarang oleh Marwan, kita dapat mengetahui istilah “Aborsi” tersebut berarti penghentian atau penggagalan kehamilan atau bisa juga dijelaskan sebagai suatu tindakan pengguguran anak di dalam kandungan dengan mempergunakan cara-cara atau tindakan yang melanggar ketentuan hukum yang resmi dan diberlakukan. Jika kita mengacu kepada aturan hukum yang berlaku di Indonesia, dapat kita ketahui pula bahwa tindakan aborsi tersebut masuk ke dalam jenis kejahatan, dan dikenal dengan sebutan abortus provocatus criminalis.5 Kemudian, perlu diketahui juga siapa yang dimaksud dengan anak dibawah umur. Jika mengacu dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 1 mengatakan, merupakan orang yang berusia kurang dari 18 (delapan belas) tahun, dalam hal ini pula anak yang masih dalam kandungan.

Pengaturan mengenai tindak pidana aborsi ini bisa kita temukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP). Tepatnya dapat kita temukan di dalam Pasal 346. Jika dicermati, di dalam KUHP tersebut mengatur bahwa seorang wanita yang menggugurkan kandungannya secara sengaja, maupub meminta bantuan orang lain dalam pelaksanaannya, akan diancam dengan penjatuhan pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun lamanya. Namun perlu diingat, dalam konteks tindakan aborsi oleh anak di bawah umur ini, pelaku dari tindakan aborsi tersebut merupakan korban dari suatu tindak pidana pemerkosaan, dan juga merupakan anak di bawah umur. Sebab itu, kita harus pula melihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut dengan UU SPPA), dalam pengaturan undang-undang tersebut bahwa seorang anak hanya boleh dijatuhkan pidana sesuai atau berdasarkan dengan ketentuan yang diatur UU SPPA.

Adapun fenomena persoalan mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi oleh anak di bawah umur dapat kita temukan pada Putusan Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN-Mbn. Jika kita melihat dalam putusan tersebut, terdakwa WA (insial) dinyatakan secara sah telah terbukti bersalah karena melalukan tidak pidana aborsi atau menggugurkan kandungannya. Oleh karena itu terdakwa dijatuhkan pidana pelatihan kerja yang dilakukan selama tiga bulan, dan juga pidana penjara yang dilakukan selama enam bulan lamanya. Putusan yang dijatuhkan tersebut dianggap telah sesuai dengan ketentuan pasal 77 A ayat (1) jo. Pasal 45A Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perubahan kedua Undang- Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Menurut Hakim penjatuhan hukuman tersebut sangat diperlukan, karena dengan penjatuhan sanksi tersebut diharapkan mampu membantu dalam mengubah sifat, dan juga dapat memberi efek jera kepada anak sebagai pelaku, agar di kemudian hari ia tidak akan mengulang perbuatannya. Dalam kasus seperti ini, sanksi yang dijatuhkan kepada terpidana tentu saja harus sesuai dengan hukum yang belaku.6

Mengkaji lebih dalam terkait bagaimana penyelesaian kasus tindak pidana aborsi oleh dibawah umur akibat korban pemerkosaan diperlukan adanya pengkajian dari beberapa penelitian yang sebelumnya telah dilakukan. Salah satu penelitian yang dijadikan referensi adalah penelitian oleh Tri Yanti, Nahdhah, dan Muhammad Syahrial Fitri yang menyatakan bahwa apabila seorang anak yang terbukti melakukan tindak pidana aborsi melengkapi empat unsur kesalahan di antaranya adalah melaksanakan tindak pidana, adanya kemampuan dalam menanggungjawabi tindakan yang dilakukannya, maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.7 Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Anggun Kharisma Dewi dan Sagung Putri M. E. Purwani, menjelaskan bahwa di dalam kasus aborsi oleh anak di bawah umur akibat korban perkosaan, terdapat kekosongan hukum dalam pengaturannya, dimana tidak terdapat suatu aturan khusus yang dapat dijadikan acuan dalam membela maupun melindungi anak sebagai korban perkosaan saat mereka hendak melakukan tindakan aborsi.8

Berdasarkan pemaparan di ataslah maka penulis mengangkat judul “Analisa Pengaturan Pelaksanaan Tindak Pidana Aborsi Oleh Anak Korban Perkosaan Dan Perlindungan Hukumnya”. Berbeda dari penelitian sebelumnya yang lebih banyak membahas mengenai bagaimana pertanggungjawaban pidana oleh anak yang melaksanakan tindakan aborsi, juga perlindungan hukum yang diberi bagi anak korban pemerkosaan yang melakukan tindak pidana aborsi, di dalam penelitian ini lebih memfokuskan mengenai bagaimana penyelesaian kasus tindak pidana aborsi oleh anak di bawah umur yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan. Di dalam penelitian ini meneliti lebih lanjut bagaimana pengaturan pelaksanaan tindak pidana aborsi oleh anak di bawah umur secara general dan khusus pada anak korban perkosaan, apakah anak dapat dituntut pertanggungjawabannya dalam tindak pidana aborsi yang dilakukan, dan juga membahas bagaimana bentuk perlindungan hukum di dalam menyelesaikan kasus tindak pidana aborsi oleh anak akibat tindak pidana korban pemerkosaan tersebut. Penelitian ini perlu untuk dikaji lebih dalam untuk meninjau lebih lanjut bagaimana pengaturan mengenai tindak pidana aborsi apabila dilakukan oleh seorang anak khususnya bagi anak di bawah umur yang menjadi korban dari suatu tindak pidana pemerkosaan, mengingat bahwa tidak ada aturan khusus yang mengaturnya, serta belum terdapat penelitian yang meneliti terkait permasalahan tersebut.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur?

  • 2.    Bagaimana bentuk perlindungan khusus yang diberikan kepada anak di bawah umur yang melakukan aborsi akibat dari tindak pidana perkosaan?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan umum dalam artikel ini yaitu menganalisa lebih lanjut mengenai pengaturan pelaksanaan tindak pidana aborsi oleh anak korban perkosaan dan perlindungan hukum yang harusnya didapat. Kemudian, tujuan khusus dari penulisan ini untuk mengetahui dan menganalisis pelaksaan tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur serta perlindungan khusus yang diberikan kepada anak di bawah umur yang merupakan pelaku tindak pidana aborsi, sekaligus juga merupakan seorang korban dari tindak pidana perkosaan.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, adapun metode yang dipakai merupakan metode penelitian hukum normatif, metode ini dilaksanakan dengan cara membahas serta menganalisa lebih lanjut ke dalam norma, asas, dan juga doktrin hukum.9 Kemudian, terhadap pendekatan yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan terhadap perundang-undangan atau bisa disebut juga statute approach, dilakukan dengan cara pendekatan terhadap legislasi dan regulasi yang ada, berkaitan dengan topik yang diangkat.10 Selain itu di dalam penulisan ini juga melalui pendekatan kasus atau case approach, yaitu melalui analisa lebih lanjut terhadap kasus tindak pidana aborsi oleh anak di bawah umur yang terjadi di Indonesia. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan merupakan bahan hukum primer, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan erat kaitannya dengan tindak pidana aborsi dan anak. Kemudian juga terdapat sumber hukum sekunder yang terdiri dari jurnal, artikel, dan buku terkait topik atau permasalahan di dalam artikel ini. Dalam mengumpulkan bahan hukum penelitian ini menerapkan teknik kepustakaan yang dilakuksanakan dengan membaca, menelaah, kemudian mencatat permasalahan yang ada, kemudian teknik analisisnya dilakukan teknik analisis deskriptif kualitatif, yang dilakukan dengan menganalisa dan mengkaji lebih lanjut ke dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan tersebut. Penyajian data yang digunakan dalam penulisan ini adalah penyajian data kualitatif dalam bentuk teks narasi yang bertujuan untuk memberi informasi dengan bentuk yang mudah untuk dipahami. Penelitian ini beranjak dari adanya kekosongan norma dalam aturan hukum yang berlaku terhadap ketentuan pelaksanaan tindak pidana aborsi oleh anak korban perkosaan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Mengenai Pelaksanaan Tindak Pidana Aborsi Oleh Anak di Bawah Umur

Jika kita meneliti dalam sejarah pengaturan mengenai tindak pidana aborsi di Indonesia, dapat kita ketahui sikap pemerintah di dalam menyikapi permasalahan aborsi ini, pada awalnya mereka termasuk ke dalam golongan Negara yang menolak pelaksanaan tindakan aborsi. Pelaksanaan tindakan aborsi tersebut dimasukkan ke dalam golongan sebuah kejahatan pidana. Namun, seiring berkembangnya zaman dan hukum yang berlaku, dapat kita lihat bahwa perkembangan aturan hukum di Indonesia

saat ini, aborsi diperbolehkan dengan alasan demi menyelamatkan ibu.11 Dalam hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, sebenarnya belum terdapat sebuah pengaturan khusus yang membahas mengenai tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Namun, untuk bisa tahu tentang dasar hukum yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur, kita dapat mengacu pada KUHP dan juga UU Kesehatan.

  • 1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dalam KUHP, pengaturan mengenai tindak pidana aborsi tersebut dapat kita temukan di dalam Pasal 346. Pada pasal tersebut mengatur mengenai seorang wanita yang menggugurkan kandungannya secara sengaja, ataupun meminta bantuan orang lain dalam pelaksanaannya, akan diancam penjatuhan pdana penjara maksimal (empat) tahun lamanya. Dari rumusan pengaturan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa seorang wanita yang dalam keadaan sadar berniat untuk mematikan kandungannya akan dijatuhkan pidana. Jika kita meneliti lebih lanjut, istilah wanita tersebut jika mengacu pada KBBI daring, kata wanita didefinisikan sebagai perempuan dewasa.12 Sementara itu dapat kita ketahui bahwa anak di bawah umur tentu saja belum termasuk dalam kategori dewasa. Namun jika kita lihat ke dalam KUHP itu sendiri, tidak terdapat suatu penjelasan khusus siapa saja yang masuk ke dalam pengertian wanita tersebut, baik yang telah menikah ataupun masih lajang dan anak-anak. Pada intinya, jika pelaku dari delik yang dimaksud memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan dan tidak adanya pertimbangan untuk pemaaf, maka pelaku tersebut dapat dijatuhkan pidana dengan sebagaimanamestinya.13

  • 2.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam UU Kesehatan tidak terdapat pula pengaturan khusus mengenai pelarangan tindak pidana aborsi oleh anak di bawah umur. Dapat kita temukan bahwa UU Kesehatan melarang pelaksanaan tindak pidana aborsi, namun memperbolehkan tindakan tersebut dalam kondisi atau keadaan tertentu. Pengaturan mengenai hal tersebut, dapat kita lihat dalam uraian pasal berikut:

Pasal 75

Pada pasal 75 ayat (1) melarang pelaksanaan aborsi kepada semua orang. Kemudian, pada pasal 75 ayat (2) juga diberikan beberapa pengecualian terhadap larangan tersebut, dimana pengecualian tersebut diberikan berdasarkan adanya gejala atau tanda-tanda yang menunjukan kondisi darurat medis dan kehamilan akibat perkosaan. Untuk kondisi darurat medis, haruslah telah terdeteksi saat usia kehamilan masih dini, indikasi kedaruratan tersebut haruslah berpotensi mengancam nyawa Ibu ataupun janin. Selain itu jika terdapat penyakit genetic yang berat serta cacat, ataupun yang tidak mampu untuk diperbaiki, yang bisa membuat bayi sulit untuk bertahan hidup di luar kandungan. Namun, tentu saja pengecualian tersebut tidak dapat diberikan secara semena-mena, berdasarkan pasal 75 ayat (3) mengatur bahwa tindakan pengecualian

pada pasal 75 ayat (2) tersebut haruslah melalui konseling terhadap para konseler yang kompeten dan berwenang.

  • 3.    Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

Pada PP yang biasa disebut sebagai PP Kespro ini, kita dapat menemukan pengaturan mengenai Pasal 31. Jika pada peraturan lainnya lebih memfokuskan kepada pelarangan tindakan aborsi, pada PP Kespro ini mengatur mengenai kapan aborsi tersebut boleh dilaksanakan. Berdasarkan pada Pasal 31, mengatur mengenai perizinan pelaksanaan tindakan aborsi jika terdapat gejala atau tanda-tanda kondisi darurat medis atau kehamilan yang disebabkan tindak pidana perkosaan. Namun, aborsi akibat tindak pidana perkosaan hanya boleh dilaksanakan maksimal dalam usia hamil empat puluh hari, hal ini dilihat dari hari pertama haid terakhir.

Berdasarkan pemaparan mengenai pengaturan di atas, dapat diketahui bahwa dalam UU Kesehatan, batasan umur yang termasuk dalam anak berusia 18 (delapan belas) tahun. Lebih lanjut bisa kita temukan di dalam Pasal 131 ayat (2) yang berbunyi: “Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun”. Berbeda dengan aturan yang terdapat di dalam KUHP yang membatasi istilah dengan ‘wanita’, pengaturan di dalam UU Kesehatan menggunakan istilah setiap orang, penggunaan istilah “setiap orang” dalam beberapa pengaturan di luar KUHP ini, salah satunya adalah UU Kesehatan, secara jelas diartikan menjadi “orang perseorangan” atau “korporasi”.14 Berdasarkan konteks “setiap orang” yang digunakan di dalam UU Kesehatan, sudah jelas bahwa seorang anak di bawah umur tidak dapat melakukan aborsi kecuali terdapat kondisi tertentu yang sesuai dengan bunyi Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b UU Kesehatan. Sehingga tentu saja, jika ada anak di bawah umur yang terbukti bersalah melaksanakan tindak pidana aborsi tersebut, dapat dijatuhkan pidana penjara maksimal sepuluh tahun lamanya, dan juga dikenakan denda sebesar satu miliar rupiah.15

Kemudian, dari pemaparan beberapa peraturan di dalam KUHP, UU Kesehatan, dan PP Kespro di atas, dapat kita simpulkan tidak adanya aturan yang dengan spesifik mengatur mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak. Dapat kita lihat perbedaan antara KUHP dan UU Kesehatan serta PP Kespro terdapat beberapa ketidakselarasan. Dalam Pasal 346 KUHP tidak mengatur mengenai pengecualian dalam pelaksanaan tindak pidana aborsi dan juga menggunakan istilah ‘wanita’ dalam rumusannya. Sementara, di dalam Pasal 75 UU Kesehatan terdapat beberapa pengecualian khusus dalam pelaksanaan tindak pidana aborsi, serta menggunakan istilah ‘setiap orang’ di dalam rumusannya. Dalam hal ini, kita perlu mengingat keberlakuan asas lex specialis derogate legi generalis, menurut asas ini pengaturan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan pengaturan yang bersifat umum. Berkaitan dengan kedua pengaturan di atas, diketahui bahwa UU Kesehatan dapat mengesampingkan dari aturan di dalam KUHP. Seperti diketahui bahwa dalam UU Kesehatan menggunakan istilah ‘setiap orang’ tidak seperti KUHP yang menggunakan istilah ‘wanita’ yang mengacu kepada perempuan dewasa, sehingga menyebabkan seorang anak di bawah umur yang melaksanakan tindak pidana aborsi bisa dijatuhi

pidana apabila melengkapi unsur-unsur yang ada. Namun, jika anak tersebut memenuhi syarat pengecualian yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, yaitu tanda-tanda kondisi darurat medis dan akibat korban perkosaan, maka aborsi tersebut diperbolehkan sesuai dengan pengaturan dalam PP Kespro.

  • 3.2 Perlindungan Khusus Aborsi Oleh Anak Di Bawah Umur Akibat Korban Perkosaan

Mengenai penyelesaian terhadap perkara pidana yang pelakunya adalah anak di bawah umur, spesifiknya kepada tindak pidana aborsi tentu saja terdapat perbedaan dalam penyelesaian perkara yang pelakunya merupakan orang yang telah berusia legal. Dalam penyelesaian hal tersebut, anak berhak untuk mendapat perlindungan hukum, yang meliputi seluruh ketentuan hukum yang ada di negara ini. Dalam pemberian perlindungan hukum terhadap anak, tentu saja merupakan sebuah hal yang perlu atau wajib diberikan, karena selain anak juga termasuk ke dalam masyarakat, mereka juga memiliki keterbatasan, secara fisik ataupun mental yang mana cukup signifikan jika dibandingkan dengan orang dewasa.16 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam UU Kesehatan mengatur suatu pengecualian mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi yang boleh dilakukan apabila kehamilan tersebut merupakan suatu kehamilan yang disebabkan oleh perkosaan dapat menimbulkan suatu trauma psikis bagi korban perkosaannya. Pengaturan lebih lanjut mengenai pengecualian akibat korban dari suatu tindak pidana pemerkosaan ini dapat kita temukan dalam PP Kespro. Dalam melaksanakan aborsi tersebut, sebelumnya haruslah terlebih dahulu dibuktikan adanya indikasi perkosaan, seperti yang diatur dalam Pasal 34 Kespro. Dapat kita lihat bahwa telah dijelaskan kehamilan yang disebabkan oleh tindakan pemerkosaan merupakan suatu kehamilan yang timbul karena sebuah hubungans seksual tanpa kesepakatan dua belah pihak di mana tidak adanya persetujuan dari sang perempuan, dan untuk membuktikannya dapat dilihat dengan; melihat pada usia kehamilan korban apakah sesuai jika dilihat dari kejadian perkosaan yang dialami, yang harus mampu dibuktikan melalui surat keterangan oleh pihak yang berwenang.

Jika mengacu pada aturan tersebut, maka sudah jelas bahwa dalam pelaksanaan tindakan aborsi oleh anak di bawah umur tersebut tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana apabila telah berhasil dibuktikan terdapat indikasi perkosaan. Dalam penyelesaian tindak pidana aborsi akibat korban tindak pidana perkosaan tersebut, posisi anak adalah sebagai korban yang harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (1) UU SPPA yang mengatur mengenai anak korban memiliki hak untuk mendapatkan rehabisilitasi, baik itu secara medis maupun sosial, mereka juga berhak untuk diberikan jaminan akan keselamatannya, dan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan perkara yang dialami.

Walaupun dalam peraturan perundang-undangan sudah mengatur bahwa dalam penyelesaian perkara aborsi oleh anak di bawah umur akibat korban perkosaan itu diperbolehkan; asalkan telah memenuhi bukti adanya indikasi perkosaan, namun pada kenyataannya jika kita melihat pada salah satu contoh kasus yang terjadi, seperti telah dipaparkan sebelumnya yaitu pada Putusan Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN-Mbn, dalam kasus ini dapat kita lihat bahwa anak di bawah umur dijatuhkan pidana

akibat pelaksanaan tindak pidana aborsi. Penjatuhan putusan terhadap anak tersebut sebenarnya sangat disayangkan, karena jika diteliti lebih lanjut di dalam putusan tersebut, terdakwa WA merupakan seorang korban perkosaan. Jika mengacu pada pengaturan di dalam UU Kesehatan dan PP Kespro, sudah sepatutnya anak sebagai suatu korban pemerkosaan yang melaksanakan tindakan aborsi diberikan perlindungan untuk menjamin keselamatan mereka, serta memberikan dukungan secara psikologis, bukannya malah dijatuhkan pidana penjara. Dalam kasus yang terjadi pada terdakwa WA ini harusnya hakim mampu meliht apa yang menjadi pemicu atau latar belakang bagi anak tersebut untuk melakukan tindak pidana aborsi, karena ia merupakan korban perkosaan yang hamil. Dalam kasus ini, sudah seharusnya hakim yang bertanggungjawab mampu menggali lebih lanjut efek yang dialami oleh korban pasca tindakan perkosaan yang dialami. Akibat dari hal yang dialaminya tersebut dan reviktimisasi akan:

  • a.    perasaan tidak terdapatnya kendali atas tubuh oleh para korban;

  • b.    perasaan malu akibat tindak perkosaan yang dialaminya, serta mendapatkan stigma negatif dari sektarnya;

  • c.    menjatuhkan kesalahan kepada diri sendiri akibat apa yang telah dialami korban;

  • d.    munculnya perasaan sedih dan trauma, bahkan hingga kehilangan kepercayaan diri yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pada depresi dan ketakuan pada anak; dan

  • e.    memungkinkan munculnya kekerasan lanjutan pada korban anak.17

Sebagai korban perkosaan, berdasarkan dari bunyi Pasal 49 KUHP dapat kita ketahui bahwa seseorang yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa tidak dapat dijatuhkan pidana.18 Penjatuhan pidana dengan durasi 6 (enam) bulan lamanya oleh hakim tersebut juga melanggar ketentuan di dalam Pasal 3 huruf g UU SPPA yang menyebutkan bahwa anak memiliki hak untuk tidak dijatuhkan pidana penjara ataupun ditangkap serta ditahan, pengecualian jika tindakan tersebut dijadikan sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian perkara pada anak, dan hanya dapat dikenakan dengan durasi yang paling singkat. Dapat kita ketahui pula bahwa dalam Pasal 346 KUHP mengancam pidana penjara maksimal adalah empat tahun lamanya. Pengaturan lebih lanjut tentang hal tersebut dapat kita temukan di dalam Pasal 81 UU SPPA, pasal tersebut mengatur bahwa anak dapat dikenakan pidana penjara di LPKA dengan alasan apabila terdapat suatu kondisi medesak dan tindakan yang dilakukan oleh anak dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan sekitarnya. Tindakan aborsi yang dlakukan oleh anak di bawah umur akibat korban tindak pidana perkosaan tersebut tentu saja tidak membahayakan ataupun merugikan masyarakat. Mengingat tindakan aborsi tersebut justru masuk ke dalam bentuk pembelaan diri dari anak sebagai korban.

Kemudian, kita juga dapat menemukan beberapa pengaturan yang menjadi dasar dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak, yaitu:

  •    Pasal 133 UU Kesehatan

Dalam pasal ini mengatur bahwa setiap anak, termasuk bayi memiliki hak untuk dilindungi dan dihindarkan dari tintdakan diskriminasi ataupun kekerasan yang dapat merusak kesehatannya. Untuk hal tersebut, pemerintah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk mendukung dan menjamin perlindungan terhadap anak dan bayi tersebut, serta menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

  •    Pasal 89 UU SPPA

Dalam pasal ini mengatur bahwa anak sebagai korban atau Anak Korban memiliki hak atas segala bentuk perlindungan, serta hak tersebut diatur undang-undang lain yang saat ini diberlakukan di Indonesia.

  •    Pasal 90 UU SPPA

Dalam pasal ini mengatur bahwa, anak memiliki hak lain selain yang diatur dalam UU yang ada, yaitu hak untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial, diberikan sebuah jaminan kesehatan, dan juga dimudahkan dalam memperoleh infromasi terkait perkara yang dialaminya.

  •    Pasal 69A UU Perlindungan Anak

Dalam pasal ini mengatur bahwa perlindungan khusus yang dapat diberikan bagi Anak Korban dari kejahatan seksual dapat dilaksakanan dengan cara seperti memberi pengajaran mengenai kesehatan reproduksi, agama, serta kesusilaan, memberikan rehabilitasi sosial, dan juga menyediakan pendampingan secara psikososial saat anak melakukan pemulihan, serta memberikan perlindungan juga pendampingan saat anak melalui setiap tingkat pemeriksaan.

  • IV. Kesimpulan

Dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, tidak adanya pengaturan yang bersifat khusus mengatur tentang tindakan aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Namun, dalam menjatuhkan pidana bagi anak di bawah umur yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana aborsi, dapat didasarkan dengan Pasal 346 KUHP dan Pasal 75 UU Kesehatan. Aturan dalam KUHP melarang aborsi dalam keadaan apapun, namun dalam UU Kesehatan mengatur adanya pengecualian bagi para korban perkosaan. Mengingat keberlakuan dari asas lex specialis derogate legi generalis di Indonesia, maka aturan yang digunakan adalah UU Kesehatan, yang mengatur jika anak tersebut memenuhi syarat pengecualian yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, yaitu terdapat tanda-tanda kondisi darurat medis dan akibat korban perkosaan, maka aborsi tersebut diperbolehkan. Berkaitan dengan pelaksanaan tindak pidana aborsi oleh anak akibat dari ia merupakan seorang korban dari tindak pidana perkosaan, dalam penyelesaian kasus tersebut hakim dapat mendasarkan pada Pasal 75 ayat (2) huruf b UU Kesehatan, diberikan sebuah pengecualian terhadap pelaksanaan aborsi bagi korban perkosaan, asalkan dapat dibuktikan terdapat terjadinya indikasi perkosaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 34 Kespro. Dalam kasus seperti ini pula, anak yang sebagai korban berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 133 UU Kesehatan, Pasal 89-90 UU SPPA, dan Pasal 69A UU Perlindungan Anak. Adapun beberapa bentuk perlindungan yang diberikan seperti rehabilitasi social, jaminan terhadap keamanan anak, dan juga pendampingan secara psikologis kepada anak korban.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir, Muhammad. “Hukum dan Penelitian Hukum” (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014).

Abrori, “Di Simpang Jalan Aborsi: Sebuah Studi Kasus Terhadap Remaj Yang Mengalami Kehamilan Tak Diinginkan” (Semarang, Gigih Pustaka Mandiri, 2014).

Marzuki, Peter Mahmud. “Penelitian Hukum: Edisi Revisi” (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013).

Artikel

Candra, Septa. "Perumusan Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia." Jurnal Hukum Prioris 3, no. 3 (2016)

Saada, Marlisa Frisilia. "Tindakan Aborsi yang Dilakukan Seseorang yang Belum Menikah Menurut KUHP." Lex Crimen 6, no. 6 (2017)

Hanief, Fikry Nauval Umaya. “Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Aborsi Dalam Perspektif Hukum Pidana Anak Di Indonesia.” Jurnal Hukum Universitas Brawijaya (2015)

Hinduswari, Ni Luh Putu, A. A. Sagung Laksmi Dewi, dan Ni Made Sukariyati Karma. “Sanksi Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Aborsi.” Jurnal Interpretasi       Hukum       1,       No.       1       (2020)DOI:

https://doi.org/10.22225/juinhum.1.1.2209.191-195

Kharisma Dewi, Anggun. Sagung Putri M. E. Purwani. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi.” Kertha Wicara:    Journal    Ilmu    Hukum    9,    No.    4    (2020)DOI:

https://doi.org/10.33087/wjh.v4i1.76

Langie, Yuke Novia. "Tinjauan Yuridis Atas Aborsi Di Indonesia (Studi Kasus di Kota Manado)." Lex            et            Societatis 2,            no.2

(2014)DOI: https://doi.org/10.35796/les.v2i2.3991

Ma’sumah, Mufidatul. “Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Korban Perkosaan Inses

Yang Melakukan Aborsi Kajian Putusan Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN.MBN.” Jurnal Yudisial 12. No. 2  (2019):  255-268. DOI:

https://doi.org/10.29123/jy.v12i2.363

Sampebulu, HP. “Abortion: A Review on Indonesia Regulations.” Rechtsidee 7, Issue xx (2019): 10-21070. DOI: https://doi.org/10.21070/rechtsidee.2019.7.73

Sudirman, Lu, and Susilawati Susilawati. "Analisis Terhadap Tindakan Aborsi Menurut Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan." Journal of Judicial Review 16, no. 2 (2017)

Ulia, Diah Achriati. “Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 5/Pid.Sus-Anak/201/Pn.Mbn Terkait Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Aborsi Akibat Korban Tindak Pidana Perkosaan.” JOM Fakultas Hukum VI, No. 2 (2019) DOI: https://doi.org/10.35586/esensihukum.v2i1.26

Wijayati, Mufliha. “Aborsi Akibat Kehamilan Yang Tidak Diinginkan (KTD): Kontestasi Antara Pro-Live dan Pro-Choice.” ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman 15, No. 1 (2015)

Yuliawati, Susi. “Perempuan Atau Wanita? Perbandingan Berbasis Korpus Tentang Leksikon Berbias Gender.” Paradigma Jurnal Kajian Budaya 8, No. 1 (2018) DOI: https://doi.org/10.17510/paradigma.v8i1.227

Disertasi

Yanti, Tri, Nahdhah, dan Muhammad Syahrial Fitri. “Pertanggungjawaban Hukum Atas Tindak Pidana Aborsi Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur.” PhD diss., Universitas Islam Kalimantan MAB, 2020.

Internet

Rochimawati, Sumiyati. “Miris, Angka Aborsi Ilegal di Indonesia Tergolong Tinggi.”

Viva,    https://www.viva.co.id/gaya-hidup/parenting/1295675-miris-angka-

aborsi-ilegal-di-indonesia-tergolong-tinggi diakses pada 06 April 2021.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

67

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 1 Tahun 2022 hlm 56-67