Hukuman Pelaku Pelecehan Verbal (Catcalling) Ditinjau dari Hukum Pidana di Indonesia

Dio Feri Pabaruno, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan artikel jurnal ini bertujuan untuk memberi pemahaman dan juga analisis hukum terkait aturan hukum mengenai catcalling dan menjelaskan akibat hukum bagi pelaku tindakan catcalling di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yakni menggunakan studi kepustakaan dengan melakukan analisis suatu permasalahan hukum melalui berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pengaturan tindakan pelecehan verbal (catcalling) dapat dikatagorikan sebagai tindakan pidana di Indonesia dikarenakan catcalling ini bertentangan dengan hukum kesusilaan. Peraturan tindakan catcalling di Indonesia secara khusus belum diatur, namun aturan yang berkaitan dengan perbuatan catcalling terdapat pada Pasal 281 ayat (2) yang mengatur tentang perbuatan cabul dan Pasal 315 KUHP yang mengatur tentang penghinaan, pengaturan lain juga ditemukan dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi selain itu, peraturan lain juga ditemukan dalam Pasal 27 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mengenai akibat hukum bagi pelaku tindakan catcalling dalam hukum positif Indonesia, penjatuhan sanksi bagi pelaku (catcaller) diatur pada ketentuan Pasal 281 Pasal 315 KUHP. Perundang-undangan yang mengatur perbuaatan pelecehan verbal (catcalling) UU Pornografi Pasal 34 danPasal 35. Terdapat juga pada Pasal 47 yang mengatur mengenai sanksi pidana catcalling dalam UU ITE. Hukuman-hukuman pidana inilah yang dapat menjadi dasar dijatuhi kepada pelaku perbuatan catcalling di Indonesia.

Kata Kunci: pelecehan seksual verbal, catcalling, hukum kesusilaan, pelaku.

ABSTRACT

The purpose of writing this journal article is to provide an understanding and legal analysis regarding the legal rules regarding catcalling and to explain the legal consequences for perpetrators of catcalling in Indonesia. The method used in this research is a normative juridical research method, namely using a literature study by analyzing a legal problem through various literatures and laws and regulations. The results of the study indicate that the regulation of acts of verbal harassment (catcalling) can be categorized as a criminal act in Indonesia because catcalling is against the law of decency. The regulations for catcalling in Indonesia have not specifically been regulated, but the rules relating to catcalling are contained in Article 281 paragraph (2) which regulates obscene acts and Article 315 of the Criminal Code which regulates insults, other arrangements are also found in Article 8 and Article 9 of the Law. No. 44 of 2008 concerning Pornography in addition, other regulations are also found in Article 27 paragraph 1 of Law no. 19 of 2016 concerning Amendments to Law No. 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. Regarding the legal consequences for the perpetrators of catcalling in Indonesian positive law, the imposition of sanctions for the perpetrators (catcallers) is regulated in the provisions of Article 281 Article 315 of the Criminal Code. The legislation that regulates acts of verbal harassment (catcalling) is Article 34 and Article 35 of the Pornography Law. There is also Article 47 which regulates the criminal sanction of catcalling in the ITE Law. These criminal penalties can be the basis for being sentenced to perpetrators of catcalling in Indonesia.

Key Words: verbal sexual harassment, catcalling, decency law, perpetrator.

  • I.    Pendahuluan

    I.1.    Latar Belakang Masalah

Tindak pidana yang terjadi semakin berkembang dan beragam seiring perkembangan zaman. Terutama perbuatan pelecehan seksual, pelecehan seksual mempunyai ruang lingkup yang luas, beragam bentuk mulai dari lisan maupun tulisan, fisik dan non fisik, baik itu dimulai dengan sebuah perkataan/verbal yang diungkapkan secara tidak sopan atau senonoh hingga godaan yang menjerumus kearah seksual, memperlihatkan gambar tidak senonoh, serta pemaksaan yang membuat korban merasa terpaksa dan menyulitkan korban untuk menolak memberikan pelayanan seksual hingga pemerkosaan karena adanya ancaman yang diberikan oleh pelaku.1 Salah satu perbuatan pelecehan yang seringkali terjadi akan tetapi tidak adanya penindakan tegas yang dilakukan oleh apparat ataupun peraturan yang mengatur adalah perbuatan pelecahan verbal yang sering disebut dengan catcalling. Pelecehan Verbal (catcalling) merupakan suatu pelecehan seksual seperti bersiul dengan “panggilan manja” serta mengomentari tubuh wanita yang tidak dikenal dengan diiringi rangsangan seksual secara visual.2

Panggilan manja yang biasanya dilakukan dengan perbuatan seperti “hai cantik”, “hai ganteng”, “sayang”, “seksi”, “sendirian aja nih? Mau ditemenin?” yang dilakukan ditempat umum atau ruang publik. Semua ini tergolong dalam catcalling yang dilakukan sebagai pelecehan dijalan, berkomentar yang berkaitan dengan seksual kepada orang yang lewat di jalanan, di bus, di terminal dan ditempat keramaian lainnya. Tidak hanya memberikan komentar bahkan mengikuti mereka dan mencoba untuk membuat percakapan hingga berkedip, menguntit, atau lebih buruk. Perbuatan ini dilakukan para pelaku pelecehan untuk memperoleh kekuatan dan control pikiran serta emosional dari korban. Ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual ringan yang dilakukan secara verbal, seperti kata-kata/gurauan porno.3 Tindakan ini adalah salah satu bagian dari pelecehan seksual secara verbal yang pelakunya disebut sebagai “catcaller” biasanya orang yang melakukan perbuatan ini memiliki tujuan atau mengharapkan untuk mendapatkan respon dan perhatian dari korbannya.

Perbuatan catcalling di Indonesia semakin marak terjadi dimasyarakat namun pengaturan hukumnya masih belum jelas. Perbuatan ini tampak sepele namun bisa membuat korban menderita tekanan atau kekerasan secara psikologis atau mental, trauma dan ketakutan. Kekerasan psikologis adalah suatu perilaku yang menyebabkan timbulnya keresahan, tidak percaya diri, takut untuk melakukan tindakan, sehingga merasa tidak berdaya dan penderitaan psikis yang berat.4 Catcalling memiliki kecenderungan memicu trauma psikologis dan emosi kepada korban karena korban yang digoda, dihina didepan publik. Selain itu korban juga bisa menjadi merasa tidak

percaya terhadap diri sendiri dan merasa bernilai dimata oranglain sehingga membuatnya memikirkan itu secara berlebihan (overthinking).5 Ketakutan yang dirasakan korban bisa berupa takut akan keramaian, bahkan takut berada ditempat umum. Maka dari itu Tindakan catcalling dapat mengurangi hak asasi orang lain berupa hak kenyamana dalam beraktifitas, hak merasakan kedamaian dalam hidup, oleh karenanya catcalling penting untuk dihilangkan.

Kehidupan sosial masyarakat harus menganggap perbuatan catcalling sebagai pelecehan yang sangat buruk dan tidak boleh dikatakan sebagai hal yang wajar. Kurang mampunya penegak hukum didalam penyelesaian perkara catcalling serta korban yang belum memiliki keberanian melaporkan kejadian yang sudah menimpanya membuat perbuatan ini semakin dianggap remeh di masyarakat dan hal ini haruslah segara berubah. Meski hal ini sulit untuk dihilangkan dan dirubah begitu saja namun dengan sinkronisasi dan keterlibatan yang tepat antar elemen masyarakat dengan apparat penegak hukum perbuatan catcalling dapat dihilangkan.

Sulit dijeratnya pelaku perbuatan catcalling ke ranah hukum hingga saat ini karena jika tidak adanya perlakuan kekerasan fisik oleh pelaku, maka dari itu diperlukan sebuah penekanan mengenai penghentian perbuatan ini sehingga dapat menyadarkan pelaku, serta menyampaikan aturan hukum yang berkaitan dengan catcalling kepada masyarakat luas, dan yang penting kasus ini dapat dibawa keranah hukum oleh yang menjadi korbannya guna mendapatkan keadilan untuk hak asasi seluruh korban.6 Karena selama ini korban dari perbuatan catcalling biasanya memilih diam dan tidak memproses hukum dalam menyikapi perbuatan ini dikarenakan aparat penegak hukum yang kurang responsif dan juga belum terdapat aturan tersendiri tentang catcalling. Oleh sebab itu, tindakan catcalling menjadi suatu gejala social dimasyarakat akan tetapi belum ada aturan khusus yang digunakan untuk memprosesnya. Perbuatan catcalling termasuk dalam kategori pelanggaran kesusilaan yang berdampak besar bagi korban. Pembuatan aturan yang berkaitan dengan catcalling tidak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban namun hal ini berhubungan dengan kewajiban bagi negara, maka dari itu untuk memberikan perasaan aman dan pemahaman bagi seluruh warga negara tentang perbuatan catcalling.7 Setiap orang yang menjadi pelaku catcalling (pelecehan seksual verbal) atau disebut sebagai catcaller mesti diberikan hukuman atas perbuatannya yang telah melanggar hak asasi seseorang dan juga perbuatannya bukanlah kemauan dan kehendak korban. Catcaller saat ini masih terus bermunculan dan berkembang disebabkan karena masih belum terdapatnya perundang-undangan yang mengatur secara spesifik mengatur mengenai perbuatan catcalling. Maka dari itu catcaller tidak merasa jera dan tetap melakukan itu yang membuat para korban jugatidak melaporkannya dikarenakan belum ada payung hukum yang pasti mengatur mengenai catcalling.

Ada beberapa artikel yang sudah mengangkat tema mengenai Catcalling, yaitu jurnal yang ditulis oleh Putri Ramadhani, tesis magister ilmu hukum fakultas hukum

Universitas Sriwijaya (2021), dengan judul Perspektif Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan Secara Verbal (Catcalling) di Indonesia. Akan tetapi, pada penulisan artikel jurnal ini pembahasannya akan memiliki perbedaan dengan artikel yang disebutkan diatas. Pembahasan artikel jurnal ini lebih memfokuskan membahas mengenai pengaturan hukum pidana terkait tindakan catcalling di Indonesia dan akibat hukum bagi pelaku tindakan catcalling dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini penting untuk dilakukan atas dasar perbuatan ini sering terjadi ditengah kehidupan masyarakat serta peraturan hukum mengenai perbuatan catcalling belum secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan maka dari, itu penulisan ini penting untuk dilakukan agar dapat menjadi referensi bagi penegak hukum dan masyarakat luas. Berkaitan dengan hal-hal yang sudah disebutkan, dalam kesempatan kali ini maka difokuskan untuk menulis karya tulis dengan judul “HUKUMAN PELAKU PELECEHAN VERBAL (CATCALLING) DITINJAU DARI HUKUM PIDANA DI INDONESIA.”

  • I.2.    Rumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu :

  • 1.    Bagaimankah pengaturan hukum pidana terkait tindakan catcalling di Indonesia ?

  • 2.    Apakah akibat hukum bagi pelaku tindakan catcalling dalam hukum pidana Indonesia ?

  • I.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari Penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memberi pemahaman dan juga Analisa hukum terkait aturan hukum mengenai catcalling dan menjelaskan akibat hukum bagi pelaku tindakan catcalling di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yang bertujuan untuk memberikan pandangan atau argumen terhadap kekosongan norma yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan mengenai perbuatan catcalling serta menganalisis akibat hukum bagi pelaku tindakan catcalling dalam hukum pidana. Penelitian menggunakan sumber data primer yaitu, perundang-undangan dan bahan sekunder diantaranya seperti buku, literatur dan jurnal yang berkaitan dengan perbuatan catcalling. Penulisan ini menggunakan Teknik deskripsi analisis yang menjawab permasalahan melalui analisis bahan hukum serta perundang-undangan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Hukum Pidana Terkait Tindakan Catcalling Di Indonesia

Kejahatan dalam bidang kesusilaan adalah kejahatan yang berhubungan masalah sesual, kejahatan dalam kesusilaan tidak muncul secara dadakan namum muncul melalui proses yang dianggap biasa namum bermuara pada kejahatan.8 Pengaturan tindakan catcalling dapat dikatagorikan sebagai tindakan pidana di Indonesia dikarenakan catcalling ini bertentangan dengan hukum kesusilaan. Catcalling atau pelecehan verbal memiliki arti pelecehan yang dilakukan dengan bebunyian yang

tidak sopan seperti bersiul, memanggil, dan berkomentar tidaksopan terhadap lawan jenis yang bersifat seksual.9 Maka dari itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan tersebut yang menurut norma dan budaya yang berlaku disuatu tempat bisa dikategorikan pelecehan seksual.10 Perbuatan pidana merupakan suatau tindakan yang bertentangan dan dengan norma hukum serta memiliki ancaman sanksi jika seseorang melanggarnya, Catcalling atau pelecehan verbal dianggap sebagai suatu tindakan pidana di Indonesia dikarenakan memenuhi unsue-unsur dari suatu tindakan pindana, unsur-unsur ini dapat diartikan dengan adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang berlawanan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan, serta oarang yang dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya. Catcalling memenuhi unsur-unsur dari tindakan pidana contohnya memenuhi unsur perbuatan manusia yang dilakukan dengan mengomentari atau melontarkan kalimat kalimat yang bersifat seksual sehingga orang yang dikomentarinya merasa tidak nyaman.

Tindakan catcalling dikatagorikan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia dikarenakan mengganggu serta membuat rasa tidak nyaman terhadap orang yang di komentari. Catcalling di Indonesia belum mempunyai dasar hukum yang pasti dan penegakan hukum dapan penyelesaiannya dalam perkara catcalling belum memiliki putusan yang tegas dikarenakan belum adanya peraturan secara khusus yang mengatur tindakan catcalling ini, sehingga menyebabkan korban dari catcalling belum memiliki perlindungan hukum secara makasimal di Indonesia. Tindakan catcalling di Indonesia cukup banyak ditemukan kasusnya tetapi korban merasa enggan untuk melapor dikarenakan rurangnya respon dari penegak hukum dan masyarakat dalam menagani masalah ini dan belum adanya peraturan yang jelas dalam perkara seperti catcalling ini.11

Peraturan tindakan catcalling di Indonesia secara khusus belum diatur tetapi korban tindakan pelecehan seksual secara verbal sejatinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 5 yang menyebutkan bahwa “korban berhak untuk mendapatkan perlindungan, kebebasan memilih perlindungan, bebas dari tekanan dalam memberikan keterangan, terlindungi dari pertanyaan yang bersifat menjerat, memdapatkan informasi perkembangan kasus dan putusan pengadilan, memperoleh identitas baru, mendapatkan ganti rugi biaya transportasi, mendapatkan nasehat hukum, serta biaya bantuan sementara.” Adanya peraturan ini tidak secara langsung mengatur mengenai tindakan catcalling di Indonesia sehingga banyak celah dalam peraturan tersebut yang dapat dipermainkan dalam persidangan. Tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai catcalling di Indonesia dapat dikatakan bahwa terdapat kekosongan norma mengenai catcalling di indoensia sehingga menyebabkan para penegak hukum tidak dapat secara maksimal dalam menegakan tindakan catcalling ini. Ada beberapa peraturan yang biasanya digunakan oleh aparat penegak hukum dalam penyelesaian tindakan catcalling yaitu pasal-pasal

yang terdapat dalam KUHP contohnya seperti Pasal 281 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “apabila ada seseorang yang dengan sengaja di depan orang lain diluar kesediaan orang tersebut melakukan suatu perbuatan asusila dapat dipidana penjara ataupum pidana denda.” Tidak hanya Pasal 281 ayat (2) KUHP, Pasal 315 KUHP juga dapat digunakan untuk tindak catcalling yang menyebutkan bahwa “setiap penghinaan yang sengaja dilakukan terhadap seseorang dengan tulisan maupun lisan didepan orang tersebut maupun melalui surat dapat dikatagorikan sebagai penghinaan ringan yang mampu dipidana dengan penjara maupun pidana denda.” Pada dasarnya Pasal 315 KUHP merupakan suatu perbuatan penghinaan berupa tulisan maupun lisan, hal ini tidak tepat diterapkan dalam penyelesaiaan perkara tindak catcalling dikarenakan catcalling bukan merupakan suatu penghinaan tetapi suatu pujian yang bersifat seksual, penghinaan dapat diartikan sebagai penistaan atau celaan, penistaan dapat berupa kritikan dan merendahkan.12

Tindakan Catcalling yang mayoritas dialami oleh perempuan bukan disebabkan penampilan korban tetapi lebih kepada obyek seksual tubuh perempuan yang dipandang sebagai obyek seksual.13 Peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan dalam perkara catcalling di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Perlindungan saksi dan korban yang pada Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa “korban adalah orang yang mengalami penderitaan secara fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi akibat dari suatu tindak pidana”. Bunyi pasal tersebut menegaskan jika korban catcalling merupakan seseorang yang menanggung kerugian secara yang dirasakan secara mental, dan psikis dikarenakan perbuatan catcalling yang menciptakan rasa malu serta rasa takut untuk korbannya. Tindakan catcalling dapat dikatakan sebagai Tindakan yang melanggar hak asasi manusia dikarenakan memiliki kaitan dengan kesusilaan korban dri Tindakan catcalling itu sendiri. dengan adanay pelanggaran HAM maka pengaturan terhadap Tindakan catcalling ini dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi di Indonesia. Hal ini diatur dalam UUD 1945 yang secara jelas telah menyebutkan bahwa “menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM warga negaranya, serta harus dihormati dan dijamin pelaksanaannya oleh negara maupun kelompok individu”. Hal ini bisa dijadikan acuan dalam membuat Peraturan Perundang-undangan guna mengatur secara khusus mengenai Tindakan catcalling di Indonesia.

Penyelesaian perkara terkait perbuatan atau tindakan catcalling dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi karena pada Pasal 1 angka 1 ketentuan umum yang menyatakan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya, melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau ekspoitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” Pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi secara garis besar

menyatakan bahwa “larangan seseorang untuk menjadikan orang lain sebagai objek atau model muatan yang mengandung unsur pornografi meskipun atas persetujuannya.” Objek yang disebutkan dalam unsur pasal tersebut biasanya perempuan dengan pujian-pujian yang mengarah seksualitas dan juga ucapan-ucaman yang mengganggu korban. Kemudian pada Pasal 9 secara garis besarnya mengemukakan bahwa “setiap orang dilarang menjadikan orang lain untuk menjadi objek atau model yang bermuatan pornografi.” Berbeda dengan pasal 8, unsur pasal pada pasal 9 ini terdapat unsur tanpa persetujuan dari yang menjadi objek dalam hal tersebut, jadi perbuatan yang dilakukan pelaku bukanlah berdasarkan persetujuan dari korban. Namun ketetentuan pada Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut belum dapat menjamin kepastian hukum terkait tindakan Catcalling.

Seiring berkembangnya teknologi informasi menyebabkan pelecehan seksual bisa dilakukan secara online di media sosial. Peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan mengenai tindakan catcalling apabila dilakukan di media sosial yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik karena pada pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa “informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada Tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data intercharge (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang miliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal ini dapat diberlakukan untuk menjadi dasar hukum penjatuhan sanksi pelaku tindakan catcalling karena pelaku telah merugikan orang lain atas perbuatannya yang menyalahgunakan teknologi informasi.

Tindakan catcalling belum diatur secara tersendiri di Indonesia, dengan tidak adanya peraturan yang jelas dan pasti maka setiap keputusan-keputusan dalam sebuah persidangan mengenai tindakan catcalling ini memiliki putusan yang berbeda, tidak adanya payung hukum yang jelas dapat memberikan dampak tidak baik bagi kehidupan masyarakat terutama bagi orang-orang yang menjadi korban tindakan catcalling ini. Pelaku tindakan catcalling harus mempertanggungjawabkan perbuatannya agar mendapatkan efek jera dari perbuatan yang dilakukannya, maka dari itu diperlukannya peraturan khusus mengenai tindakan catcalling ini yang dapat dikatagorikan dalam tindak pidana dalam bidang keasusilaan dikarenakan berhubungan dengan masalah seksualitas.

  • 3.2    Akibat Hukum Bagi Pelaku Tindakan Catcalling Dalam Hukum Positif Indonesia

Perbuatan Catcalling adalah suatu perbuatan pidana pelecehan seksual. Perbuatan pidana adalah proses perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran peraturan hukum dan akan diberikan sanksi

apabila orang tersebut melakukannya, sanksi ditunjukan kepada orang yang menimbulkan perbuatan dan larangan ditunjukan kepada perbuatannya.14 Maka dari itu catcalling dapat disebut sebagai perbuatan pidana sebab telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.15 Penjatuhan sanksi pidana bergantung pada nilai-nilai yang hidup dan berlaku dimasyarakat.16 Pemberian sanksi pidana kepada pelaku (catcaller) bukanlah satu-satunya upaya yang harus ditempuh namun penjatuhan pidana ini merupakan upaya akhir yang ditempuh (ultimum remidium) oleh karena itu upaya awal harus ada sebagai sanksi atas perbuatan catcalling. Upaya awal yang diluar dari kebijakan penal yang tumbuh dimasyarakat berupa sanksi sosial untuk memberikan efek jera bagi pelaku catcalling. Sanksi sosial diberikan karena catcalling merupakan suatu pelecehan, yaitu perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka dari itu diperlukan suatu sanksi sosial yang bisa menjadi hukuman awal bagi pelaku.

Sanksi sosial yang diberikan kepada catcaller ini merupakan bentuk reaksi masyarakat sebagai upaya untuk memberikan rasa jera bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Perkembangan teknologi dapat membantu penjatuhan sanksi sosial kepada pelaku pelecehan verbal ini seperti dengan cara pembangunan basis data dalam bentuk online dengan dipublikasikannya perbuatan pelaku dimedia sosial seperti Instagram, facebook dan sebagainya sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku tanpa upaya “ultimum remidium”, namun hal ini bergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Pada tindak pidana catcalling terdapat beberapa asas yang dapat menjadi dasar asas terjadinya suatu tindak pidana. Asas Genstraf Zonder Schuld yang berarti tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Seseorang yang melakukan sebuah kesalahan jika di perbuat secara sengaja dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Unsur dari perbuatan catcalling yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana karena adanya suatu penolakan dan ketidakinginan dari objek (korban) catcalling atas perbuatan seperti siulan, penggilan-panggilan menggoda yang bernuansa seksualitas dan jenis-jenis perbuatan catcalling lainnya.

Dalam perspektif hukum pidana, Peraturan yang berkaitan dengan penjatuhan pidana bagi pelaku catcalling antara lain, diatur dalam Pasal 281, Pasal 315 KUHP, Pasal 34, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan juga Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hukuman bagi pelaku catcalling yang terdapat pada ketentuan Pasal 281 KUHP menyebutkan bahwa “ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).” Jadi siapapun yang melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 281 Ayat (2) KUHP yang biasanya diberikan kepada pelaku catcalling.

Selanjutnya jika pelaku perbuatan catcalling yang dijatuhi hukuman pidana dengan Pasal 315 KUHP akan diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau dua minggu ataupun pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah). Hukuman pada Pasal 315 KUHP ini kurang tepat hal ini dikarenakan pasal tersebut lebih menekankan mengenai penghinaan ringan tidak sesuai dengan definisi catcalling yang merupakan sebuah pujian yang mengarah kearah seksualitas.

Penjatuhan hukuman bagi pelaku perbuatan catcalling dengan menerapkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 34 yang menentukan bahwa “setiap pelanggar ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 8 akan dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan juga dapat dikenakan pidana denda dengan jumlah paling maksimal Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” Kemudian sesuai dengan ketentuan Pasal 35 yang menyebutkan bahwa “pemberian hukuman bagi pelaku yang melakukan pelanggaran atas Pasal 9 akan dikenakan pidana penjara dengan kurun waktu paling singkat 1 tahun dan paling lama 12 tahun selain itu juga dapat dikenakan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan denda paling banyak sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

Selain itu, bagi pelaku perbuatan catcalling yang dilakukan di media sosial baik dengan memberikan komentar maupun menyebarluaskan foto ataupun video dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Hukuman-hukuman pidana inilah yang menjadi dasar dijatuhi kepada pelaku perbuatan catcalling.

Adanya sanksi yang diterapkan atas perbuatan pidana akam memberikan jaminan kepastian hukum dalam menegakan hukum. Dalam hal penjatuhan hukuman atas perbuatan catcalling mesti memperhatikan dan meperhitungkan berbagai akibat yang akan timbul sehingga over kapasitas tidak terjadi. Sanksi yang diberikan kepada pelaku pelecehan verbal mesti sesuai dengan akibat yang timbul atas perbuatan yang dilakukan. Sesuai dengan teori conditio sine qua non yang dikemukakan oleh Von Buri yang memiliki arti suatu hal merupakan sebab dari suatu akibat.17 Pemberian sanksi yang dijatuhkan ke pelaku akan memberikan efek jera kepadanya sehingga perbuatan ini tidak dilakukan lagi. Selain itu dengan adanya aturan khusus yang mengatur tentang catcalling maka setiap masyarakat akan mendapatkan jaminan kepastian hukum yang konkrit sehingga keamanan, kenyamanan dan ketertiban masyarakat akan tercipta

  • IV.    Kesimpulan

Pengaturan tindakan catcalling dapat dikatagorikan sebagai tindakan pidana karena bertentangan dengan hukum kesusilaan. Catcalling atau pelecehan verbal memiliki arti pelecehan yang dilakukan dengan bebunyian yang tidak sopan seperti bersiul, memanggil, dan berkomentar tidak sopan terhadap lawan jenis yang bernuansa seksual. Peraturan tindakan catcalling di Indonesia secara khusus belum diatur, namun aturan yang berkaitan dengan perbuatan catcalling terdapat pada Pasal 281 ayat (2) dan Pasal 315, pengaturan lain ditemukan dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dan juga Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Kemudian dalam penjatuhan sanksi bagi pelaku (catcaller) diatur pada ketentuan Pasal 281 Pasal 315 KUHP. Perundang-undangan yang mengatur perbuatan pelecehan verbal (catcalling) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal

34 yang menentukan hukuman setiap pelanggar ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 35 pemberian hukuman bagi pelaku yang melakukan pelanggaran atas Pasal 9. Selain itu juga terdapat Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Hukuman-hukuman pidana inilah yang dapat menjadi dasar dijatuhi kepada pelaku perbuatan catcalling di Indonesia. Pemberian sanksi yang dijatuhkan ke pelaku akan memberikan efek jera kepadanya sehingga perbuatan ini tidak dilakukan lagi. Selain itu dengan adanya aturan khusus yang mengatur tentang catcalling maka setiap masyarakat akan mendapatkan jaminan kepastian hukum yang konkrit sehingga keamanan, kenyamanan dan ketertiban masyarakat akan tercipta. Oleh karena itu kekosongan norma yang terjadi dalam permasalahan perbuatan pelecehan seksual secara verbal ini perlu segera diatasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Marpaung, Laden. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan (Jakarta, Sinar Grafika, 2017), 9. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, Rineka Cipta, 2010), 59.

Rubin, Masruchin. Buku Ajar Hukum Pidana (Malang, Bayumedika, 2014), 80-81.

Jurnal

Andi Najemi, Pahlefi. “IbM Kelompok Pkk Desa Pematang Pulai Dan Kel. Sangeti Tentang Hukum Gender Tentang Mengantisipasi Kdrt.” Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat 30, No. 1 (2014): 41-57.

Aleng, Christy AI. "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal." Lex Crimen 9, No. 2 (2020): 63-69.

Ayuningtyas, Eka, And Lalu Parman. "Konsep Pencabulan Verbal Dan Non Verbal Dalam Hukum Pidana." Jurnal Education And Development 7, No. 3 (2019): 242-242.

Dewi, Ida Ayu Adnyaswari. “Catcalling: Candaan, Pujian, Atau Pelecehan Seksual.” Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan 4. No. 2 (2019): 198-212.

Fatura, Fara Novanda. “Telaah Tindak Pidana Pelecehan Seksual Secara Verbal Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Recidive 8, No. 3 (2019): 238-244.

Halawa, Ramadhani Saputra. “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual Secara Verbal.” Jom Fakultas Hukum Universitas Riau Vii, No. 1 (2020): 01-12.

Kartika, Yuni, And Andi Najemi. "Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana." PAMPAS: Journal Of Criminal Law 1, No. 2 (2020): 1-21.

Lienarto, Lhendrik. “Penerapan Asas Conditio Sine Qua Non Dalam Tindak Pidana Di Indonesia.” Lex Crimen 5, No. 6 (2016): 32-39.

Putri, Anggreany Haryani, And Dwi Seno Wijanarko. “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Secara Verbal (Catcalling).” Krtha Bahayangkara 15, No. 1 (2021): 143-150.

Putri, Natazha Rifka Ramadhani, K. N. Hasan, And Henny Yuningsih. "Perspektif Hukum Pidana Terhadap Perilaku Pelecehan Secara Verbal (Catcalling) Di Indonesia." Phd Diss., Sriwijaya University, 2021.

Sumera, Marchelya. "Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan." Lex Et Societatis 1, No. 2 (2013): 39-49.

Turatiya. “Perbuatan Catcalling Dalam Perspektif Hukum Positif.” EKSPOSE: Jurnal Penelitian Hukum Dan Pendidikan 19. No. 01 (2020): 1019-1025.

Zainal, Asrianto. “Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual Ditinjau Dari Kebijakan Hukum Pidana.” Jurnal Al-‘Adl 7, No. 1 (2014): 138- 153.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 Perlindungan saksi dan korban.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Mengenai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

44

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 1 Tahun 2022 hlm 34-44