E-ISSN: Nomor 2303-0585

Mengkaji Perlindungan Hukum Pekerja Alih Daya Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja

Raja Tua Hamonangan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Nyoman Bagiastra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan dan memahami pengaturan pekerja alih daya di Indonesia pasca berlakunya Undang–Undang Cipta Kerja dan untuk memahami dan menganalisa kemampuan pengaturan pada UU Cipta Kerja dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja alih daya dari tindakan eksploitasi. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan sistem konsep hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa Pengaturan pekerja alih daya di Indonesia pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 bahwa ketentuan alih daya diatur pada BAB III Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 tidak berbeda jauh dengan ketentuan Pasal 66 UU Cipta Kerja. Bahwa perubahan yang dilakukan terhadap Undang–Undang Ketenagakerjana perihal aturan alih daya dalam UU Cipta Kerja dan PP No 35 Tahun 2021 tidak menunjukkan penguatan terhadap perlindungan hak pekerja sebagaimana tuntutan pekerja selama ini, justru sebaliknya. Bahwa pengaturan pada UU Cipta Kerja menunjukkan semakin mudahnya pengusaha menggunakan pekerja alih daya pada semua sistem yang kehendakinya dan semakin menunjukkan peran pemerintah mulai tergerus. Pemerintah saat ini seakan menyerahkan semua urusan tersebut kepada para pihak, sehingga peran pemerintah dalam mengatur/mengontrol pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh terkhusus pada sistem outsourcing menjadi lemah.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pekerja Alih Daya, Eksploitasi, UU Cipta Kerja.

ABSTRACT

This article aims to demonstrate and understand the regulation of outsourced workers in Indonesia after the enactment of the Job Creation Law and to understand and analyze the regulatory capacity of the Job Creation Law in providing legal protection for outsourced workers from exploitation. The writing of this article uses a normative legal research method with a statutory approach and legal concept analysis. The results of the study show that the regulation of outsourced workers in Indonesia after the enactment of the Job Creation Law and Government Regulation Number 35 of 2021 that the provisions for outsourcing are regulated in Chapter III Articles 18 to 20 are not much different from the provisions of Article 66 of the Job Creation Law. That the changes made to the Manpower Law regarding the outsourcing rules in the Job Creation Law and Government Regulation Number 35 of 2021 do not show the strengthening of the protection of workers' rights as demanded by workers so far, quite the opposite. Whereas the regulation in the Job Creation Law shows that it is easier for employers to use outsourced workers in all sectors that they want and it shows that the role of the government is starting to erode. The current government seems to hand over all these matters to the parties, so that the government's role in regulating/controlling the implementation of working relations between employers and workers/laborers, especially in the outsourcing system, is weak.

Key Words: Legal Protection, Outsourcing Employees, Exploitation, Job Creation Law.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Hubungan antara pengusaha dan pekerja kerap kali menjadi sebuah polemik berkelanjutan, seperti halnya pada perusahaan outsourcing yang lebih membebankan pada pekerjanya dalam hal tanggung jawab kerja walaupun dalam sistim kerjanya perusahaan sebagai penanggung jawab atas pekerjanya. Menurut Bambang S. widagdo Kusumo outsourcing alih daya adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan lain yang berbadan hukum sebagai penerima pekerjaan melalui perjanjian tertulis tentang pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh.1 Membahas mengenai hak pekerja alih daya yang juga memiliki persamaan dengan hak pekerja dalam bentuk hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu merupakan hal yang tidak akan pernah selesai.2 Hak yang harus diperoleh oleh pekerja alih daya sudah seharusnya sesuai dengan aturan yang berlaku termasuk namun tidak terbatas pada Undang - Undang Ketenagakerjaan. Meskipun telah diamanatkan demikian, realitanya sampai saat ini masih banyak perusahaan-perusahan alih daya di Indonesia mengabaikan aturan tersebut, sehingga masif terjadi pelanggaran hak pekerja alih daya. Pelanggaran terhadap hak pekerja alih daya tidak lepas dari masih lemahnya pengaturan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak mereka. Bahwa penting bagi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak pekerja alih daya terlebih lagi sampai saat ini tidak dapat dimungkiri kedudukan pekerja dengan pengusaha masih berbentuk hubungan sub-ordinasi, sehingga pekerja menjadi pihak yang lemah dalam hubungan industrial.3

Pentingnya pekerja dilindungi memiliki maksud untuk memberikan jaminan terpenuhinya hak fundamental pekerja salah satunya namun tidak terbatas pada hak mendapatkan kesempatan yang sama dan perlakuan yang sama tanpa adanya tindakan diskriminasi agar terwujud pekerja yang sejahtera.4 Kaitannya dengan pekerja alih daya adalah hal yang penting dan esensial bagi setia pekerja alih daya memperoleh jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-haknya dengan memperkuat regulasi yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan terutama berkaitan dengan penyelenggaraan sistem alih daya. Hal ini semata-mata untuk memperkuat aturan-aturan yang selama ini ada belum menjamin terwujudnya kesetaraan dan keadilan dalam pemenuhan hak pekerja di Indonesia.5 Bentuk perlindungan hukum bagi pekerja alih daya agar terpenuhi haknya sebagaimana diamanatkan konstitusi. Kenyatannya sampai saat ini masih terjadi permasalahan mengenai jaminan perlindungan hak pekerja alih daya.

Pada tataran konseptual, bentuk hubungan kerja merupakan elemen yang esensial hal ini dikarenakan lahirnya hubungan kerja berkaitan erat dengan perikatan

yang menimbulkan kewajiban pun juga hak bagi para pihak.6 Pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan memberikan pengertian para pihak yaitu pekerja dan pengusaha. Sedangkan pada sistem alih daya, pekerja akan memiliki perikatan dengan perusahaan penyedia jasa alih daya bukan dengan perusahaan yang menggunakan jasa tenaga alih daya. Dikarenakan tidak adanya hubungan kerja tersebut, maka hak dan kewajiban antara pengguna jasa alih daya dengan pekerja alih daya pun tidak ada. Inilah kondisi yang ada pasca diundangkannya UU Ketenagakerjaan yang melegalkan sistem alih daya di Indonesia.7

Dalam perkembangannya, untuk menjamin kepastian hukum bagi pekerja, Kementerian Ketenagakerjaan selanjutnya menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUIX/2011 diterbitkan Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 yang terakhir diubah dengan Permenakertrans No. 11 Tahun 2019 sebagai bentuk implementasi perlindungan pekerja yang dilandaskan prinsip “Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE)” secara tegas tertuang dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Permenakertrans No. 11 Tahun 2019.8 Berdasarkan ketentuan teserbut di atas, menurut Syarifa Mahila bahwa “hubungan kerja antara Perusahaan Outsourcing dengan pekerja dapat dilakukan melalui PKWT atau PKWTT, bilamana hubungan kerja diperjanjikan dengan PKWT, pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja atau TUPE, apabila terjadi pergantian perusahaan pemberi kerja atau perusahaan alih daya.”9

Meskipun demikian, realitanya pemberlakuan ketentuan TUPE tersebut tidak berjalan dengan maksimal sampai saat ini dikarenakan hingga kini kedudukan pekerja dalam suatu pengusaha secara ekonomi dan sosial masih lebih rendah daripada pengusaha. Oleh karena itu, penguasa beranggapan dapat melakukan pengambaian pemenuhan hak pekerja alih daya. Hal mana telah mengamanatkan sebelumnya bahwa perlindungan hak pekerja/buruh tanpa membedakan status dalam hubungan kerjanya. Ini merupakan amanat untuk menolak diskriminasi terhadap pekerja sebagaimana yang telah ditegaskan dalam banyak peraturan termasuk pula dalam berbagai konvesi internasional terkait ketenagakerjaan.

ILO merupakan organisasi internasional yang membidangi perihal ketenagakerjaan yaitu untuk menjamin penyelenggaraan sistem ketenagakerjaan di seluruh dunia tetap mengedepankan perlindungan hak-hak pekerja/buruh serta membantu negara anggotanya dalam mengatasi permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi. Deklarasi ILO Mengenai Prinsip dan Hak Dasar di Tempat Kerja yang mengatur bahwa “semua yang belum meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, memiliki kewajiban yang timbul dari fakta keanggotaan dalam organisasi untuk menghormati,

mempromosikan, dan mewujudkan dengan itikad baik, prinsip-prinsip tentang hak dasar yang merupakan subjek dari konvensi yaitu, kebebasan berserikat dan pengakuan yang efektif terhadap hak untuk berunding bersama, penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib, penghapusan secara efektif pekerja anak, dan penghapusan diskriminasi.”10

Meskipun telah diatur sedemikan rupa, Indonesia sebagai salah satu anggota ILO nyatanya sampai saat ini belum menerapkan secara konsekuen. Bahwa seluruh hak dasar pekerja yang tegas diatur dalam konvensi ILO di atas ataupun konvensi inti lainnya merupakan keharusan untuk dijamin pemenuhannya oleh negara dengan diwajibkan penuangannya ke dalam hukum positif negara anggota masing-masing.11 Untuk melaksanakan amanat tersebut dan menjamin terselenggaranya sistem ketenagakerjaan terkhusus penyelenggaraan sistem alih daya yang memenuhi standar internasional, serta mengoptimalkan perlindungan hak pekerjanya pemerintah mengubah ketentuan mengenai sistem alih daya dalam UU Ketenagakerjaan dengan mengesahkan UU Cipta Kerja.

Ketentuan mengenai sistem alih daya di dalam UU Cipta Kerja mengubah ketentuan perihal sistem alih daya UU Ketenagakerjaan. Perubahan tersebut dituangkan pada Pasal 81 angka 18 sampai dengan angka 20. Bahwa atas ketentuan Pasal 81 angka 18 yang menghapus Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, Pasal 81 angka 19 menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan dan angka Pasal 81 angka 20 mengubah ketentuan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Aturan tersebut kemudian memiliki aturan turunan yaitu PP 35 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksanannya. Dalam PP 35 Tahun 2021 diatur mengenai sistem alih daya pada Pasal BAB III Pasal 18 sampai dengan Pasal 20.

Dilakukannya perubahan terhadap ketentuan mengenai sistem alih daya dalam UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja kluster Ketenagakerjana tidak menjadikan aspek perlindungan hak pekerja alih daya menjadi diperkuat dan dipertegas, justru sebaliknya. Banyak kemudian muncul permasalahan pada kluster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yang banyak mendapatkan sorotan dan kritik atas beberapa substansi yang kontroversial oleh masyarakat umum. Adapun permasalahan krusial yaitu dihapusnya ketentuan batasa jenis pekerjaan yang mungkin dilakukan dengan sistem alih daya. Ketentuan seperti itu semakin merugikan pekerja alih daya karena mempertajam ketimpangan antara pekerja dengan pengusaha.

Permasalahan-permasalahan tersebut cukup menjadi rasio legis adanya penolakan UU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan terkhusus pada aspek pengaturan sistem alih daya dari para pekerja alih daya sampai saat ini. Mengingat ketentuan itu menjadi kontraproduktif dengan aspek perlindungan hak pekerja alih daya merupakan substansi esensial dalam UU Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan yang selama ini telah banyak menghadapi permasalahan. Berdasarkan hal tersebut menarik untuk dibedah secara mendalam mengenai pengaturan tentang pekerja alih daya pasca berlakunya UU Cipta Kerja serta penting pula untuk dikaji kemudian apakah pengaturan pada UU

Cipta Kerja mampu meningkatkan pemenuhan dan perlindungan hak pekerja alih daya dari tindakan eksploitasi pengusaha yang selama ini masih terjadi.

Penelitian terdahulu pernah dilakukan oleh Nuradi tahun 2019 dengan judul artikel : “Perlindungan Hukum Pekerja Alih Daya Dalam Pelaksanaan Hubungan Industrial Guna Mendukung Terwujudnya Iklim Investasi Yang Kondusif Bagi Tercapainya Kesejahteraan Pekerja.” Inti pokok pembahasan pada penelitian ini, mengupayakan secara optimal perlindungan hukum kepada pekerja alih daya dalam pelaksanaan hubungan industrial turut serta mewujudkan iklim investasi yang kondusif guna mendukung tercapainya kesejahteraan pekerja. Diikuti penelitian yang dilakukan oleh Endry Loman dan Andari Yurikosari tahun 2020 dengan judul artikel: "Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Pada Perusahaan Outsourcing Dengan Status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Yang Dipekerjakan Pada Pekerjaan Inti Perusahaan dengan fokus kajian yaitu bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja pada perusahaan outsourcing dengan status perjanjian kerja waktu tertentu yang diperkerjakan pada pekerjaan inti perusahaan dan bagaimana akibat hukum bagi pekerja pada perusaaan outsourcing dengan status perjanjian kerja waktu tertentu yang diperkerjakan pada pekerjaan inti perusahaan.”

Berdasarkan paparan penelitian tersebut terdapat adanya persamaan dari fokus kajian yaitu mengenai perlindungan pekerja alih daya, namun terdapat perbedaan fokus kajian. Penelitian ini mengkaji 2 (dua) pokok permasalahan yaitu menunjukkan pengaturan tentang pekerja alih daya di Indonesia pasca berlakunya UU Cipta Kerja, dan menganalisa kemampuan pengaturan pada UU Cipta Kerja dalam meningkatkan jaminan pemenuhan hak bagi pekerja alih daya di Indonesia agar terhindar dari tindakan eksploitasi.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan pekerja alih daya di Indonesia pasca berlakunya Undang - Undang Cipta Kerja?

  • 2.    Apakah pengaturan pada Undang - Undang Cipta Kerja meningkatkan perlindungan hukum bagi pekerja alih daya dari tindakan eksploitasi?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

  • 1.    Untuk menunjukkan dan memahami pengaturan pekerja alih daya di Indonesia pasca berlakunya UU Cipta Kerja.

  • 2.    Untuk memahami dan menganalisa kemampuan pengaturan pada UU Cipta Kerja dalam meningkatkan perlindungan hukum bagi pekerja alih daya dari tindakan eksploitasi.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan maksud untuk menggali aturan yuridis termasuk namun tidak terbatas pada prinsip, doktrin dan isu hukum yang menjadi topik kajian.12 Penelitian ini didukung dengan pendekatan analisis konsep hukum dan perundang-undangan. Artikel ini menitikberatkan pada argumentasi hukum yang dibangun dalam kajian

peraturan hukum yang ada yakni UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan. Sedangkan pendekatan analisis konsep hukum digunakan untuk mengkaji ketentuan UU Cipta Kerja dalam perspektif teori. Teknik studi dokumen yang diaplikasikan dalam penelitian ini sebagai teknik penelusuran bahan hukum dengan analisis kualitatif sebagai analisis kajian.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Pekerja Alih Daya di Indonesia Pasca Berlakunya Undang - Undang Cipta Kerja

Implikasi dari globalisasi membawa dampak pada sektor ketenagakerjaan yaitu memicu dorongan pengusaha untuk mencari fleksibilitas dalam menjalankan usahanya menjadikan sistem alih daya menjadi salah satu pilihannya. Sistem alih daya berdasarkan pada hukum yang sah, hal ini yang menjadikan sistem alih daya menjadi salah satu daya tarik pengusaha dalam menjalankan bisnisnya. Dapatlah dibenarkan pernyataan pemerintah dengan menjadikan sistem alih daya sebagai salah satu terobosan untuk memunuhi kebutuhan pasar akan tenaga kerja yang efesien. Pemerintah menyatakan sistem ini memiliki peluang besar untuk meluaskan dan meratakan kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan karena sistem penerimaan pekerja alih daya jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan sistem penerimaan pekerja PKWT ataupun PKWTT.13 Harapan kedepannya dengan sistem alih day aini mampu mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia karena telah banyak terserap sebagai pekerja alih daya. Alasan tersebut menjadi rasio legis pemerintah mengadopsi sistem alih daya dalam UU Ketenagakerjaan di Indonesia. Ketentuan di UU Ketenagakerjaan yang mengatur sistem alih daya yaitu termasuk pada Pasal 64-66. Muatan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan misalnya, berbunyi “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Lebih lanjut, Pasal 65 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan penyerahan pekerjaan tersebut wajib dibuat dengan perjanjian pemborongan tertulis. Pada ayat (2) dijelaskan syarat keberlakuan ayat (1) yaitu “dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.” Adapun bentuk perusahaan yang dapat melaksanakan ketentuan Pasal 65 ayat (1) harus memiliki bentuk badan hukum.

Mengenai muatan perlindungan pekerja alih daya diatur Pasal 65 ayat (4) bahwa “Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Untuk menjamin kepastian hukum hubungan kerja sistem alih daya telah diatur pada Pasal 65 ayat (5) dan (6) bahwa bentuk hubungan kerja wajib dalam bentuk perjanjian kerja tertulis. Bilamana persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka demi hukum hubungan kerja antara pekerja alih daya dengan pengusaha penerima jasa alih daya status berubah dan beralih ke pekerja atau

perusahaan pemberi kerja.14 Ketentuan lebih lanjut pada Pasal 66 ayat (1) menyebutkan bahwa sistem alih daya tidak dapat dilakukan pada jenis pekerjaan yang pokok dan/atau berhubungan langsung dengan pokok kegiatan perusahaan. Artinya, sistem alih daya menurut ketentuan tersebut hanya diperuntukan bagi kegiatan penunjang usaha saja. Ketentuan yang penting untuk diketahui juga yaitu Pasal 66 ayat (2) yang berbunyi: “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  • a.    adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

  • b.    perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

  • c.    perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

  • d.    perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, berlaku ketentuan Pasal 66 ayat (4) yang mengatur bahwa maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pengaturan sistem alih daya di atas telah disusun berdasarkan banyak pertimbangan untuk menjadi dasar berlakunya sistem alih daya.15 Pun demikian, ketentuan tersebut tetap mendapatkan penolakan dari kalangan terutama serikat pekerja yang tidak menyetujui diterapkannya sistem alih daya. Hal ini dikarenakan sistem tersebut merupakan bentuk eksploitasi modern terhadap pekerja yang dilegalkan dan pada praktiknya sangat merugikan pekerja/buruh. Akhirnya, dilakukannya berbagai demonstrasi oleh pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja maupun tidak untuk menolak penerapan sistem alih daya di Indonesia.

Tidak hanya demonstrasi, pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja juga pernah melakukan upaya hukum berupa pengujian materiil UU Ketenagakerjaan terkait sistem alih daya beberapa kali ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terkait penerapan sistem alih daya tidaklah kemudian menjadi jaminan perbaikan dan penguatan perlindungan hukum terhadap pekerja alih daya.16 Dikarenakan masih banyak pengusaha penyedia jasa ataupun pengusaha

pengguna jasa alih daya tidak mematuhi aturan yanh berlaku, untuk itu perlulah dilakukan perubahan aturan mengenai sistem alih daya yang lebih memadai dan mampu menguatkan perlindungan terhadap pekerja alih daya dengan merevisi UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanannya.

Perubahan di UU Cipta Kerja sebagai langkah strategis pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan kemudahan berusaha di Indonesia salah satunya dengan mempermudah penerapan sistem alih daya. Menurut Rumainur terdapat 2 pandangan tentang dampak sistem alih daya, bagi yang mendukung sistem alih daya menyatakan “alih daya sebagai strategi bisnis yang positif karena alih daya dapat menciptakan kesempatan usaha dan pengembangan yang pada akhirnya bisa menguntungkan majikan dana pekerja juga untuk memperbaiki perkembangan keterampilan buruh seperti kerjasama tim yang akan meningkatkan kinerjanya.”17 Pandangan yang menolaknya yaitu alih daya merupakan bentuk eksploitasi pekerja oleh pengusaha dengan memanfaatkan sistem yang ada untuk mempekerjakan orang dengan biaya yang rendah, namun memperoleh keuntungan yang maksimal berdalih dengan tujuan efisiensi produksi dan biaya opersional, serta menjadikan keamanan hubungan industrial menjadi tidak terjamin kepastiannya.18

Perubahan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan perihal sistem alih daya diatur pada Pasal 81 angka 18-20 UU Cipta Kerja. Pertama perubahan yang dilakukan dengan menghapus Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan dan kemudian menyederhanakan bunyi Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan kemudian mengamanatkan dibentuknya peraturan pelaksana. Untuk menjalankan perintah tersebut, kemudian diundangkan pada PP Nomor 35 Tahun 2021. Untuk selengkapnya, perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan di dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja menjadi:

Ayat (1) “Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”

Ayat (2) “Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.”

Ayat (3) “Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perulsahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.”

Ayat (4) “Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.”

Ayat (5) “Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.”

Lebih lanjut, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Ketentuan alih daya diatur pada BAB III Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 tidak berbeda jauh dengan ketentuan Pasal 66 UU Cipta Kerja. Hanya

saja dalam peraturan pemerintah tersebut diatur kemudian pengertian perusahaan alih daya sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 14 yaitu “Perusahaan Alih Daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan Perusahaan pemberi pekerjaan.”

Ketentuan lainnya yang belum jelas telah disebutkan pada Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yaitu “Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.” Artinya, perubahan yang dilakukan terhadap UU Ketenagakerjana perihal aturan alih daya dalam UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021 tidak menunjukkan penguatan terhadap perlindungan hak pekerja sebagaimana tuntutan pekerja selama ini, justru yang terjadi adalah sebaliknya.

  • 3.2    Pengaturan Pada Undang - Undang Cipta Kerja Meningkatkan Perlindungan

    Hukum Bagi Pekerja Alih Daya Dari Tindakan Eksploitasi

Pekerja pada umumnya telah memiliki hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi yaitu dalam Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Perlindungan bagi pekerja memiliki tujuan agar terjaminnya hak pekerja termasuk namun tidak terbatas pada hak memperoleh perlakuan dan kesempatan kerja yang sama tanpa pembedaan atas dasar apapun demi terwujudnya kesejahteraan pekerja dan juga keluarganya dengan tetap mempertimbangkan kepentingan pengusaha.19 Meskipun secara teori ditegaskan bahwa pekerja dan pengusaha mempunyai kedudukan yang sejajar,20 akan tetapi pada praktiknya kedudukan antara pekerja tetap dibawah pengusaha.

Permasalannya, sampai dengan diundangkannya UU Cipta Kerja belum juga menjamin terjadinya kesetaraan kedudukan antara pekerja alih daya dengan pengusahaan alih daya maupun perusahaan pengguna jasa alih daya. Justru perubahan yang terjadi bukan pada penguatan melainkan semakin melemahkan perlindungan hukum pekerja alih daya. Pertama, bahwa UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021 mengubah dan menghilangkan konsep serta sistem alih daya Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, sehingga skema yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi yaitu dengan sistem TUPE. Hal ini justru menjadi kabur pasca berlakunya UU Cipta Kerja.

Kedua, bahwa hilangnya bentuk hubungan kerja (perjanjian) antara perusahaan lain (perusahaan pengguna jasa pekerja alih daya) dengan pekerja alih daya yang sebelumnya atur pada Pasal 65 ayat (6) UU Ketenegakerjaan bahwa “Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya” dan ayat (7) yaitu “Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.”

Ketiga, hilangnya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan sistem alih daya sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan yaitu pada Pasal 65 ayat (2) bahwa “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang

perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.” lebih lanjut diatur pada Pasal 66 ayat (1) bahwa “Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.” Apabila tidak dibatasi, tentu saja praktik hubungan kerja alih daya akan semakin banyak diterapkan pengusaha padahal sistem alih daya atau sistem hubungan kerja triangular lebih condong tidak menguntungkan bagi pekerja.21

Keempat, hilangnya jaminan pekerja alih daya demi hukum menjadi pekerja tetap pasca dihapusnya ketentuan Pasal 65 ayat (8) bahwa “dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.” Serta ayat (9) menegaskan bahwa “dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).” Kemudian ditegaskan pula pada Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Bahwa frasa “demi hukum” tidak dapat serta merta mengubah status dari pekerja/buruh yang awalnya merupakan pekerja perusahaan pemborong menjadi pekerja perusahaan pemberi pekerjaan.22

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perubahan sistem alih daya di UU Ketenagakerjaan dan di UU Cipta Kerja, menunjukkan semakin mudahnya pengusaha menggunakan pekerja alih daya pada semua sektor yang kehendakinya dan semakin menunjukkan peran pemerintah sebagai salah satu unsur penting dalam hubungan kerja yang berlaku dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia, mulai tergerus. Seolah-olah pemerintah saat ini menyerahkan semua urusan tersebut kepada para pihak, sehingga peran pemerintah dalam mengatur/mengontrol pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja terkhusus pada sistem alih daya menjadi lemah., sehingga potensi eksploitasi pekerja alih daya semakin besar terjadi.

  • 4.    Kesimpulan

Pengaturan pekerja alih daya di Indonesia pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021 bahwa ketentuan alih daya yang diatur pada BAB III Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 tidak berbeda jauh dengan ketentuan Pasal 66 UU Cipta Kerja. Bahwa perubahan yang dilakukan terhadap UU Ketenagakerjan perihal aturan alih daya dalam UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021 tidak menunjukkan penguatan terhadap perlindungan hak pekerja sebagaimana tuntutan pekerja selama ini, justru sebaliknya. Bahwa pengaturan pada UU Cipta Kerja menunjukkan semakin mudahnya pengusaha menggunakan pekerja alih daya pada semua sektor yang kehendakinya dan semakin menunjukkan peran pemerintah mulai tergerus. Pemerintah saat ini seakan menyerahkan semua urusan tersebut kepada para pihak, sehingga peran pemerintah dalam mengatur atau mengawasi pelaksanaan sistem alih daya menjadi lemah sehingga potensi eksploitasi pekerja alih daya semakin besar terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Idris, Fahmi. Dinamika Hubungan Industrial (Bandung, Deepublish, 2018).

Lalu, Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Jakarta, Rajawali Pers, 2012).

Yasar, Iftida. Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus (Yogyakarta, Pohon Cahaya, 2013).

Artikel Jurnal

Bukhari, Imam. "Implikasi Prinsip Tranfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) Terhadap Hak-Hak Pekerja Berstatus PKWT." Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren 6, No.1 (2021): 75.

Dhaneswara, Ida Ayu Hangganararas, and I. Made Dedy Priyanto. "Perlindungan Hukum Pekerja Dari Perusahaan Penyedia Jasa Yang Bekerja Pada Perusahaan Pemilik Kerja." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No. 4 (2019): 1-17.

Diatmika, Kadek Surya, I. Made Sarjana, and I. Ketut Markeling. "Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Outsourcing Berdasarkan Perjanjian Kerja (Studi Kasus: PT. Bali Dana Sejahtera Denpasar)." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No. 5 (2018):1-17.

Kamini, Anak Agung Ayu Hamara, and I. Gusti Ngurah Wairocana. "Perlindungan Hukum Terhadap Pemberian Upah Kerja Lembur Bagi Pekerja Outsourcing Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 1, No. 8 (2018): 1-6.

Putra, Putu Yoga Kurnia, and Anak Agung Ketut Sukranatha. "Implementasi Pengaturan Hukum Terkait Pemberian Upah Minimum Bagi Tenaga Kerja Pada CV. Raka Bali." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, No. 3 (2020): 237-252.

Prawira, I. Wayan Angga, and I. Made Udiana. "Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Dan Sertifikasi Kompetensi Kota Denpasar Terhadap Pekerja Outsourcing di Kota Denpasar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No.10 (2018): 1-20.

Subekti, Rika Putri. "Urgensi Ratifikasi Konvensi International Labor Organization: Perspektif Perlindungan Pekerja Anak Pada Sektor Rumah Tangga." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, No. 1 (2018): 24-36.

Sudiarawan, Kadek Agus. "Pengaturan Prinsip Transfer Of Undertaking Protection Of Employment (Tupe) dalam Dunia Ketenagakerjaan Indonesia (Diantara Potensi dan Hambatan)." Jurnal Magister Hukum Udayana 4, No. 4 (2015): 796-804.

__________. "Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Outsourcing Dari Sisi Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja." Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 5, No.2 (2017): 844.

Suhartoyo, Suhartoyo. "Perlindungan Hukum Bagi Buruh Dalam Sistem Hukum Ketenagakerjaan Nasional." Administrative Law & Governance Journal 2, No.2 (2019): 326-336.

Suyanto, Heru, and Andriyanto Adhi Nugroho. "Perlindungan Hukum terhadap Hak-hak Pekerja Outsourcing Berdasarkan Asas Keadilan." Jurnal Yuridis 3, No.2 (2017): 64.

Suryawan, I. Kadek, and I. Made Dedy Priyanto. "Pelaksanaan Pekerja Outsourcing Di Kawasan Lindung Lembaga Konservasi Obyek Wisata Bali Bird Park Dan Reptile Park." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, No.5 (2017): 1-20.

Suyoko, Suyoko, and Mohammad Ghufron AZ. "Tinjauan yuridis terhadap sistem alih daya (outsourcing) pada pekerja di Indonesia." Jurnal Cakrawala Hukum 12, No. 1 (2021): 1206.

Wiratraman, Herlambang Perdana, and Widodo Dwi Putro. "Tantangan Metode Penelitian Interdisipliner Dalam Pendidikan Hukum Indonesia." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 31, No. 3 (2019): 402-418

Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6647.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 869.

Artikel Webiste

Umar Kasim, 2013, "Hak-hak Pekerja Outsourcing (Alih Daya)" URL: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt510be64fa4f3f/hak-hak-pekerja-outsourcing-alih-daya/, diakses pada tanggal 8 September 2021.

346

Jurnal Kertha Negara, Vol. 10 No. 4 Tahun 2022 hlm. 335-346