Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban Pemerkosaan dari Sorotan Media Massa
on
Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban Pemerkosaan dari Sorotan Media Massa
Ni Desak Gede Sekar Widhiasih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Sagung Putri M. E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penulisan artikel jurnal ini bertujuan untuk memahami implementasi daripada pengaturan tentang perlindungan hukum bagi anak di Indonesia dan kebijakan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dari sorotan pemberitaan media massa. Adapun penggunaan daripada metode penulisan dalam penulisan ini adalah jenis metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan tentang perlindungan hukum bagi anak di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai Perlindungan khusus yang diberikan bagi anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan itu benar-benar berhubungan dengan pemberian perlindungan jadi diri atau identitas si anak dari sorotan media massa. Upaya yang bisa diusahakan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak korban dari tindak pidana pemerkosaan adalah dengan memberikan rehabilitasi, pemberian perlindungan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan dan keamanan, dan pemberian aksesibilitas untuk mengetahui perkembangan perkara bagi anak.
Kata Kunci: Anak, Media Massa, Perlindungan Korban, Tindak Pidana Pemerkosaan.
ABSTRACT
The writing of this journal article aims to understand the implementation rather than regulation of legal protection for children in Indonesia and government policies in providing protection for children as victims of the crime of rape from the spotlight of mass media coverage. The use of the writing method in this paper is a type of normative legal research method with a statutory approach. The results of the study show that the regulation of legal protection for children in Indonesia can be seen in Law Number 23 of 2003 concerning Child Protection which regulates the special protection given to children who are victims of rape. identity of the child from the spotlight of the mass media. Efforts that can be made by the government to provide legal protection to child victims of the crime of rape are by providing rehabilitation, providing protection to avoid labeling, providing safety and security guarantees, and providing accessibility to find out the development of cases for children.
Key Words: Children, Mass Media, Rape, Victim Protection.
Sesuai dengan lajunya pertumbuhan jaman, tindak kejahatan juga semakin meningkat dan beragam, sehingga dalam keadaan tersebut penting akan adanya perlindungan hukum pidana bagi para korban tindak kejahatan. “Kejahatan merupakan perkara sosial yang mana senantiasa terjadi pada setiap kehidupan manusia, yang dimana dikutip berdasarkan pendapat Arief Gosita, bahwa kejahatan akan berkembang secara kualitas & kuantitas seiring dengan berjalannya perkembangan zaman”.1
Masalah Kekerasan seksual kerap kali terjadi di Indonesia, khususnya terjadi kepada anak-anak. Maka dari itu perlu ditingkatkannya perhatian khusus terhadap anak agar lebih intens dan sungguh-sungguh lagi. Dilihat dari adanya sebuah kecenderungan bahwa korban anak seringkali diabaikan oleh badan dan lembaga hukum berada di dalam suatu sistem peradilan pidana (spp), namun seharusnya mereka semestinya memberi perhatian dan juga perlindungan khusus yang cukup berdasarkan pada dasar hukum yang berlaku bagi para korban. Terutama perlindungan hukum kepada anak-anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan dari sorotan media massa. Hendaknya mereka juga diberikan perlindungan dari media massa. Pada kenyataannya kerap kali ditemui media massa yang menyajikan pemberitaan mengenai anak sebagai korban dari tindak pidana pemerkosaan, salah satunya yaitu dengan cara menyebutkan jelas nama anak tersebut, tempat tinggalnya atau bahkan menampilkan foto anak dengan jelas tanpa blur. Pemberitaan dari media massa tersebutlah yang menimbulkan dampak buruk terhadap mental anak dari korban pemerkosaan. Permasalahannya sekarang adalah mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pemerkosaan dari pemberitaan atau sorotan media massa, dan juga mengenai upaya dari pemerintah dalam mencegah anak sebagai korban kejahatan pemerkosaan menjadi sorotan pemberitaan media massa.
Tingkat tindak pemerkosaan terhadap anak di Indonesia yang masih sangat tinggi, juga media massa yang makin hari semakin dihiasi oleh banyaknya tindak pemerkosaan yang terjadi di berbagai penjuru Indonesia. Tidak hanya perempuan, bahkan anak yang masih berada di bawah umur pun ikut menjadi korban. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau (KUHP) sendiri mendefinisikan perkosaan sebagai “suatu perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”. Dapat kita lihat dari kata “memaksa” dan “dengan kekerasan atau kata ancaman” sudah dapat digambarkan betapa menyeramkannya tindak pemerkosaan tersebut. Dilakukannya suatu paksaan untuk berhubungan kelamin kepada seorang perempuan yang tidak memberikan izin atau menghendaki hubungan tersebut akan memberikan kesakitan yang luar biasa pada perempuan itu. Apalagi disertai dengan penganiayaan ataupun kekerasan fisik lainnya. Tidak hanya sebatas mengalami kesakitan hebat terhadap fisik saja, namun juga akan berdampak pada psikis korban.2
Tindak pidana pemerkosaan sendiri yang kerap terjadi di dalam kehidupan kita biasanya yang mana mengakibatkan timbulnya rasa was-was dan takut dalam diri perempuan juga merasa diri tidak aman. Didukungnya juga dengan keadaan korban
yang kerap kali menjadi tidak berdaya atau lemah di dalam proses peradilan pidana, dalam artian lain bahwa para penegak hukum sama sekali tidak memihak pada derita korban. Korban merupakan sebuah pemikiran dasar mengenai kenyataan seperti halnya obyek dari suatu peristiwa. Hukum sendiri memberikan sebuah pernyataan bahwa “semua tindak kejahatan itu mempunyai korban. Keberadaan korban sendiri adalah menandakan bahwa adanya suatu ketertiban sosial yang terganggu, oleh karena itu dari segi pandang hukum sendiri, korban sering kali secara jelas diperinci”.3Anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan sangatlah membutuhkan penjagaan/perlindungan dari hukum, pelayanan dan juga pendamping mental, fisik, maupun sosial untuk mengatasi trauma dan juga penderitaan yang berkepanjangan. Masih maraknya kasus tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia sendiri sudah dianggap sebagai salah satu alasan utama bahwa masih sangat buruknya tingkat perlindungan anak di Indonesia. Seperti yang kita tahu bahwa keberadaan anak yang belum bisa untuk menghidupi dirinya sendiri tentunya sangat memerlukan bantuan dari orang lain sebagai ruang dan sarana pelindung baginya. Didasarkan dari sebuah penelitian yang dilakukan, tindak pemerkosaan sendiri paling sering dilakukan oleh keluarga dekat si anak yaitu seperti paman, ayah, ataupun kakek. Bahkan tidak jarang juga tindak pemerkosaan terhadap anak tersebut dilakukan oleh pejabat aparat negara. Pemberitaan di media elektronik maupun media cetak sendiri masih sering kali mempertontonkan peristiwa tindak pemerkosaan yang dialami oleh anak-anak. Wartawan juga kerap menunjukkan secara jelas identitas jati diri, wajah, dan bahkan tempat tinggal si anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan tersebut. Hal ini bukannya malah menyelesaikan masalah, justru melainkan berpotensi untuk memperburuk trauma dari korban itu sendiri. Maka dari itu Indonesia sendiri telah mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Nomor Tahun 2002 sebagai bentuk dari kepedulian khusus dari pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. 4
Sebelumnya telah dilakukan penelitian karya ilmiah serupa dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Pemerkosaan Dalam Pemberitaan Media Massa” oleh Davit Setyawan yang diterbitkan dalam Website Resmi KPAI dengan pembahasan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak-anak yang yang menjadi korban daripada tindak pemerkosaan. Namun melalui gagasan ini, penulis memberikan sudut pandang yang berbeda yaitu dari segi pertanggung jawaban seperti apa yang diberikan oleh pemerintah kepada anak-anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan dan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi anak-anak dari sorotan media massa. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengajukan penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PEMERKOSAAN DARI SOROTAN MEDIA MASSA".
Rumusan masalah yang akan penulis angkat dari uraian latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan?
-
2. Bagaimanakah upaya pemerintah menangani trauma terhadap anak yang menjadi korban pemerkosaan dan menjadi sorotan media massa?
Agar dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca Bagaimanakah perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan. Kemudian bertujuan juga agar dapat memberitahukan kepada pembaca dan juga bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji bagaimanakah upaya pemerintah dalam menangani upaya trauma pada anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan dari sorotan media massa.
Penulisan jurnal yang menggunakan metode hukum normatif ini dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum mulai dari bahan primer seperti peraturan atau norma-norma perundang-undangan yang masih berlaku sampai saat ini. Problematika pada penelitian ini yaitu masih kurangnya aturan yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi anak korban pemerkosaan dari sorotan media massa dan kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap anak anak ini. Mengenai pembahasan rumusan masalah dalam penulisan jurnal ini juga digunakan bahan hukum sekunder serta tersier. Jurnal ini juga membahas mengenai pelaksanaan dari peraturan-peraturan dalam sistem perlindungan anak sebagai korban pemerkosaan di Indonesia yang lebih spesifik membahas mengenai peraturan-peraturan yang ada kaitannya dengan perlindungan hukum diberikan kepada korban dalam suatu tindak pidana pemerkosaan yang tentunya mencakup mengenai hak-hak para korban, sehingga dalam konsep perlindungan hukum bagi para korban tindak kejahatan tersebut dapat dikaji secara justifikasi serta mengetahui bagaimana implementasinya dalam masyarakat. Cara yang digunakan dalam mengulas serta melakukan analisis dalam jurnal ini digunakanlah teknik deskriptif, komparatif, argumentatif dan evaluatif yang dikombinasikan agar mendapat simpulan yang bersifat runtut dan aktual.
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib mendapatkan perawatan yang sangat khusus dan juga mendapat perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa, anak juga wajib mendapat perlindungan dari tindakan diskriminasi oleh siapapun. Hal ini dapat dilihat dari mental dan fisik anak yang masih belum matang dan siap. Maka dari itu anak perlu mendapatkan suatu perlindungan atas dirinya mereka sendiri yang mana telah termuat dan diatur di dalam suatu aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Masing-masing anak juga harus mendapatkan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk tumbuh dan juga berkembang dengan
optimal baik secara mental maupun fisik anak. Oleh karena itu perlu diberikannya suatu upaya khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak untuk mencapai kesejahteraannya dengan cara memberikan sebuah jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, dan juga tanpa adanya tindakan diskriminatif dari siapapun. Menurut Chamidah sendiri, bahwa “kualitas anak dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang anak, dan dalam proses tumbuh kembang anak juga dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan (lingkungan biologis, fisik, psikologis dan sosial) dan faktor genetik atau keturunan dari orang tua”.5 Anak-anak juga dapat dikatakan sebagai salah satu kelompok yang rentan menjadi sasaran daripada tindakan kekerasan, baik psikis, maupun fisik bahkan sampai kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan konvensi hak anak (Convention on the Right of the Child), yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 bahwa “setiap negara perlu komitmen yang tinggi dalam upaya perlindungan anak dan di dalam konvensi anak tersebut juga mengatur mengenai hak anak ada 4 kategori hak-hak anak, yaitu hak untuk tumbuh kembang (development rights), hak untuk bertahan hidup (survival rights), hak untuk ikut berpartisipasi (participation rights) dan hak untuk mendapatkan sebuah perlindungan (protection rights)”.6 Keempat hak-hak harus dimiliki setiap anak tersebut juga telah termuat dan diatur di dalam yaitu “Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan daripada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang perlindungan terhadap anak”. Serta di dalam undang-undang ini juga diatur bahwa “yang dimaksud sebagai anak adalah setiap orang yang belum mencapai usia 18 tahun dan hak asasi anak telah diakui dan dilindungi sejak masih di dalam kandungan”.
Tindak kekerasan yang dialami oleh anak-anak di Indonesia masih sangat tinggi angkanya. Salah satu penyebab daripada terjadinya tindak kekerasan terhadap anak adalah bagaimana cara pandang atau pola pikir masyarakat terhadap anak yang keliru. Hal ini digambarkan seakan-akan kekerasan yang dilakukan terhadap anak itu lazim karena anak-anak selalu dianggap sebagai kepunyaan ataupun milik dari orang tuanya yang di ajari dan diasuh dengan sebaik-baiknya meski hal tersebut dilakukan dengan cara yang salah. Semakin maraknya peristiwa tindak kekerasan terhadap anak yang ada di Indonesia sendiri sudah dianggap sebagai salah satu tanda bahwa rendah dan buruknya kualitas perlindungan terhadap anak di Indonesia sendiri. Dikutip dari pendapat Edi Suharto yang menyatakan Pengelompokkan kekerasan terhadap anak atau child abuse itu ada empat, yaitu:
-
1. Tindak Kekerasan fisik yang dilakukan pada Anak, yaitu “penganiayaan, penyiksaan, dan pemukulan terhadap anak, dengan ataupun tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang mengakibatkan luka fisik atau hingga kematian pada anak. Bentuk luka dari kekerasan fisik yang dilakukan dapat berupa lecet atau memar akibat dari kekerasan benda tumpul, cubitan bahkan sampai bekas gigitan”
-
2. Tindak Kekerasan psikis yang dilakukan pada Anak, meliputi “penyampaian katakata yang kasar dan juga kotor penghardikan, mempertontonkan buku, gambar maupun film pornografi pada anak”.
-
3. Tindak Kekerasan seksual yang dilakukan pada Anak, yaitu “dapat berupa perlakuan kontak seksual antara anak dengan orang yang sudah lebih dewasa (melalui kata, sentuhan, gambar visual) maupun perlakuan kontak seksual secara
langsung antara anak dengan orang yang sudah dewasa misalnya yaitu (incest, pemerkosaan, ataupun eksploitasi terhadap anak)”.
-
4. Tindak Kekerasan secara sosial yang dilakukan pada Anak, “dimana dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran terhadap anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang dianggap tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembangnya, misalnya saja anak dikucilkan dan diasingkan dari bagian keluarga, juga tidak diberi pendidikan maupun perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif dan perlakuan semena-mena terhadap anak yang dilakukan oleh bagian keluarganya ataupun dari masyarakat sekitarnya”.7
Tindak pidana pemerkosaan sendiri dapat dimasukkan ke dalam bentuk klasifikasi kejahatan dengan kekerasan, yang mana pada umumnya tindak pidana pemerkosaan ini di ikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan pada korban. Menurut Mulyana W. Kusuma yang mengutip pendapat dari Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa “penyebab daripada terjadinya kejahatan dengan kekerasan adalah:
-
a. Adanya suatu orientasi pada benda yang menimbulkan sebuah keinginan untuk mendapat materi dengan jalan yang mudah dicapai.
-
b. Tidak adanya penyaluran kehendak serta adanya semacam tekanan mental pada seseorang.
-
c. Keberanian untuk mengambil suatu resiko.
-
d. Kurangnya rasa atau perasaan bersalah dan juga adanya keteladanan yang kurang baik”.8
Seperti yang kita lihat dari definisi kekerasan anak diatas, salah satunya yang masih menjadi ketakutan atau kekhawatiran besar di Indonesia yaitu kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak dalam bentuk pemerkosaan. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai “suatu persetubuhan diluar perkawinan yang immoral yang dilakukan secara paksa dengan menggunakan kekuatan fisik maupun jasmani yang bisa menyebabkan suatu ketidak berdayaan bagi korban tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut”. Dikutip dari pendapat Huraerah, yaitu “perkosaan dapat dikategorikan sebagai salah satu tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Perkosaan seringkali terjadi dimana pelaku terlebih dulu memberikan ancaman kekerasan pada si anak dengan memperlihatkan kekuatannya sendiri. Apabila anak bisa diperiksa dengan cepat setelah terjadinya pemerkosaan tersebut, maka mungkin bukti-bukti fisik pada tubuh anak dapat ditemukan seperti luka memar pada beberapa bagian tubuh anak, darah, ataupun air mata yang mana merupakan sebuah penemuan dari suatu tindak penganiayaan. Jika ditemukannya sebuah peristiwa pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan memberikan dampak atau resiko yang sangat besar, karena penganiayaan terhadap anak sering memberikan dampak pada emosi yang menjadi tidak stabil terhadap anak itu sendiri”.9
Didasarkan dari pencatatan yang pernah dilakukan, tindak pidana pemerkosaan yang paling banyak ditemukan adalah pemerkosaan yang dilakukan oleh keluarga
dekat korban sendiri seperti ayah, paman, atau kakak, tidak luput juga orang-orang terdekatnya yaitu tetangga, teman sekolah dan kekasih yang cukup sering berinteraksi dengan si korban. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau (KUHP) sendiri mendefinisikan perkosaan sebagai, “Suatu perbuatan yang memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan disertai kekerasan ataupun ancaman kekerasan”.
Beberapa akibat atau dampak yang timbul diantaranya korban tindak kekerasan seksual merasa malu dan takut tentang hal yang terjadi pada dirinya diketahui oleh khalayak luas, bahkan korban merasa takut karena pelaku pernah mengancam dirinya akan dibunuh ataupun disiksa apabila si korban mengadukan peristiwa tersebut kepada pihak polisi. Sedangkan Finkelhor dan Browne berpendapat bahwa, “dampak trauma yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual terkhususnya pemerkosaan yang dialami oleh anak-anak, antara lain:
-
1. Betrayal, “Kepercayaan dianggap sebagai dasar utama bagi korban tindak
kekerasan seksual. Sebagai seorang anak, mereka mempunyai kepercayaan terhadap orang tuanya dan kepercayaan itu haruslah dimengerti dan dipahami”.
-
2. Traumatic sexualization, Russel (Tower, 2002) mengemukakan pendapatnya “bahwa perempuan yang pernah mengalami kasus kekerasan seksual cenderung menolak untuk berhubungan seksual, dan biasanya menjadi korban kekerasan seksual di dalam rumah tangganya. Finkelhor juga mencatat data bahwa korban yang pernah mengalami kekerasan seksual lebih memilih pasangan sesama jenis dikarenakan menganggap bahwa semua laki-laki itu tidak dapat dipercaya”.
-
3. Powerlessness, “Rasa takut menembus kehidupan korban yang disertai dengan kecemasan dan juga rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan korban merasa lemah dan merasa dirinya tidak lagi mampu atau kurang efektif di dalam pekerjaanya. Beberapa korban juga merasakan sakit yang luar bisa pada tubuhnya. Namun pada beberapa korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan di dalam dirinya”.
-
4. Stigmatization, “Korban kekerasan seksual biasanya merasa bersalah, malu, memiliki penggambaran diri yang sangat buruk. Anak sebagai korban kekerasan seksual seringkali merasa berbeda dengan orang lain, dan merasakan marah pada tubuh mereka sendiri akibat penyiksaan yang dialaminya tersebut. Korban lainnya bahkan menggunakan obat-obatan dan juga minuman beralkohol untuk memberikan hukuman pada tubuhnya, menumpulkan inderanya, ataupun berusaha menghindari ingatan buruk tentang kejadian tersebut”. (dikutip dari Kinzl, Biebl dan Gelinas dalam Tower, Tahun 2002).
Apabila dilihat dari luar ataupun fisik anak mungkin memang tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan terhadap anak yang menjadi korban pemerkosaan, namun secara mental dan psikis anak dapat mengakibatkan rasa trauma pada kejadian tersebut, rasa ketagihan, atau bahkan rasa ingin melampiaskan dendamnya. Apabila trauma tersebut tidak segera ditanggapi dengan sungguh-sungguh, maka kekerasan seksual atau pemerkosaan pada anak bisa berdampak sangat buruk bagi kehidupan sosialnya di dalam masyarakat. Cara yang paling tepat untuk menangani atau menyembuhkan trauma terhadap mental anak akibat pemerkosaan haruslah mendapat perhatian yang cukup dari semua orang yang berkaitan dengan anak tersebut, yaitu keluarga dari anak tersebut maupun masyarakat di sekitarnya juga dari negara. Indonesia sendiri sudah membuat Undang-Undang mengenai Perlindungan terhadap Anak sebagai bentuk kepedulian yang besar dari pihak pemerintah dalam upaya memberi perlindungan pada hak-hak anak, yaitu Undang-undang Tahun 2002 Nomor 23. Perlindungan anak
menurut undang-undang sendiri adalah “untuk menjamin terpenuhinya segala hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dengan baik dan juga dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, demi terwujudnya anak Indonesia yang berakhlak mulia, berkualitas, dan kehidupannya sejahtera”.
Seperti yang kita tahu bahwa secara nasional perlindungan terhadap anak juga sudah mendapatkan dasar tumpuan hukum yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai salah satu landasan utama konstitusional juga terdapat pada pasal 21 sampai dengan pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 59 Undang-Undang tentang Perlindungan terhadap Anak, menyebutkan bahwa “perlindungan khusus wajib diberikan kepada setiap anak yang berhadapan dengan hukum”. Di dalam ayat 1 dan 2 pasal 64 juga disebutkan bahwa “anak-anak yang berhadapan dengan hukum sesungguhnya adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban dari tindak kejahatan”. Masa kanak-kanak merupakan suatu masa dimana setiap anak tengah dalam proses tumbuh & kembang. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapat perlindungan dari semua kemungkinan tindak kekerasan pada anak, terutama dari tindak kekerasan seksual terhadap anak. Upaya perlindungan pada anak sendiri seharusnya diberikan dengan utuh & lengkap juga tidak berpihak hanya pada suatu golongan tertentu atau kelompok anak manapun. Setiap anak juga berhak untuk mendapatkan sebuah perlindungan tertentu. Upaya daripada perlindungan terhadap anak memiliki makna yaitu tercapainya keadilan ditengah suatu kehidupan bermasyarakat. Hal ini juga didukung dengan pendapat dari Age yang telah dikutip oleh Gosita (1996), yang mana ia sudah mengemukakannya dengan benar yaitu bahwa “melindungi anak yang pada hakikatnya juga melindungi masyarakat, keluarga, bangsa dan negara di masa depan”.10 Upaya daripada perlindungan terhadap anak ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai Perlindungan khusus yang diberikan bagi anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan itu benar-benar berhubungan dengan pemberian perlindungan jadi diri atau identitas si anak dari sorotan media massa.
-
3.2 Upaya Pemerintah Menangani Trauma Terhadap Anak yang Menjadi Korban Pemerkosaan dan Menjadi Sorotan Media Massa.
Perlindungan hukum bagi anak mempunyai arti yaitu “sebagai suatu cara memberikan suatu perlindungan hukum bagi kebebasan bagi anak dan hak asasi bagi anak yang berkaitan dengan kesejahteraan yang diterima oleh anak-anak. Kesejahteraan bagi anak sendiri juga dapat diukur melalui ada atau tidaknya suatu pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh anak”. Pada kenyataannya di Indonesia sendiri, masih banyaknya terjadi kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak, yang dimana hal isi sudah pasti mengganggu kesejahteraan anak. Hal ini juga diperkuat juga dengan adanya pemberitaan dari media massa yang mana pengambilan berita yang dilakukan oleh para wartawan yang kerap kali memperlihatkan identitas ataupun jati diri anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan. Pemberitaan tersebut tentunya akan
memberikan dampak yang berat atau kurang baik terhadap mental dan fisik anak. Maka dari itu perlu dibentuknya suatu perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dalam sebuah pemberitaan yang disorot oleh media massa dan bagaimanakah upaya pencegahannya. Perlindungan oleh hukum yang diberikan kepada anak sebagai korban kejahatan pemerkosaan dari pemberitaan media massa sendiri sudah diatur di dalam undang-undang tentang Perlindungan Anak yaitu “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 64”, kemudian “Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 48 tentang Penyiaran”, “Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012 Pasal 14 dan 29”, “Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 5 tentang Pers”, dan “Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006 Pasal 4 dan 5”. Perlindungan khusus yang diberikan bagi anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan itu benar-benar berhubungan dengan pemberian perlindungan jadi diri atau identitas si anak dari sorotan media massa. Hal ini sudah dimuat di dalam Pasal 64 ayat (3) butir b tentang Undang-Undang Perlindungan Anak, yang berbunyi yaitu “upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”. Labelisasi sendiri memiliki artian yaitu “suatu tindakan atau pandangan tersendiri yang dimiliki masyarakat yang dimana akan menimbulkan suatu penilaian dari buruk dari masyarakat itu sendiri terhadap anak yang menjadi korban pemerkosaan”.11
Upaya dalam melakukan suatu pencegahan terhadap anak yang menjadi korban kejahatan perkosaan dari sorotan pemberitaan media massa adalah dengan cara memberi sebuah pembelajaran atau pemahaman kepada para wartawan atau jurnalis untuk memahami produk hukum, pengaturan tentang anak, dan hak-hak dasar yang dimiliki oleh anak. Selain itu dari pihak jurnalis sendiri juga harus di ikut sertakan dalam pelatihan khusus yaitu bagaimana cara mewawancarai anak daripada korban tindak pidana pemerkosaan. Upaya dalam perlindungan hukum dan pencegahan stigmatisasi buruk terhadap anak korban kejahatan sendiri perlu adanya kerjasama yang baik antara pihak-pihak lembaga negara seperti Dewan Pers, KPAI, Kepolisian, dan KPI. Di dalam pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga dikatakan bahwa “agar para wartawan di Indonesia untuk tidak menyebutkan ataupun menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan juga tidak menyebutkan identitas jati diri anak yang menjadi pelaku kejahatan”.12 Kemudian di dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga diatur yaitu “setiap anak yang menjadi korban ataupun pelaku kekerasan seksual atau anak yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan identitasnya”.
Berhubungan dengan upaya perlindungan terhadap korban tindak kejahatan, maka perlunya pembentukan suatu lembaga khusus untuk menangani hal tersebut. Tapi, ada beberapa hal yang perlu diberitahukan kepada pihak korban terlebih dahulu. Misalnya beberapa informasi- informasi tentang hak-hak apa saja yang layak didapatkan oleh pihak korban dan beserta keluarganya sendiri, dan bilamana dimasa mendatang mereka mendapatkan kerugian ataupun kesengsaraan yang cukup berat yang mana diakibatkan daripada tindakan kejahatan yang terjadi pada diri korban. “Upaya yang bisa diusahakan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan
hukum kepada anak korban dari tindakan pemerkosaan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab adalah sebagai berikut:
-
a. Pemberian rehabilitasi bagi anak, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;
-
b. Pemberian perlindungan bagi anak korban pemerkosaan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi dari masyarakat;
-
c. Pemberian jaminan keselamatan dan keamanan bagi saksi ahli dan saksi korban, baik secara fisik, mental, maupun sosial; dan
-
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai perkembangan perkara.”13
Di dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pemerkosaan sendiri memberikan sebuah pernyataan penting bahwa “seorang anak yang menjadi korban daripada tindak pidana berhak mendapatkan rehabilitasi dari pihak pemerintah baik secara fisik maupun secara mental, spiritual maupun sosial, selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama baiknya, dan keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi wajib dijaga dan merupakan tanggung jawab dari pemerintah”. Anak yang menjadi korban tindak pemerkosaan tersebut juga berhak untuk diberitahukan apabila pelaku kekerasan terhadap dirinya dibebaskan dari penjara dan Perkembangan perkara yang dihadapi oleh anak sebagai korban tindak pidana perkosaan wajib diketahui olehnya. Seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 59 sendiri tentang “Perlindungan Anak perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara lainya, yaitu untuk memberikan perlindungan khusus kepada:
-
a. Anak yang berada dalam situasi darurat;
-
b. Anak yang sedang berhadapan dengan hukum;
-
c. Anak yang berasal dari kelompok minoritas dan terisolasi;
-
d. Anak yang tereksploitasi secara ekonomi ataupun secara seksual;
-
e. Anak yang diperdagangkan;
-
f. Anak yang menjadi korban obat-obatan atau penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
-
g. Anak yang menjadi korban penculikan, penjualan, dan perdagangan;
-
h. Anak yang menjadi korban kekerasan, baik secara mental maupun baik secara fisik;
-
i. Anak yang menyandang cacat; dan
-
j. Anak korban yang diperlakukan salah dan ditelantarkan”.
Negara dan pemerintahan dalam hal ini adalah pihak yang wajib memberikan pertanggung jawaban penuh atas permasalahan daripada rakyatnya sendiri, termasuk juga memberikan jaminan masa depan yang cerah kepada anak-anak Indonesia sebagai salah satu generasi yang meneruskan bangsa. Maka dari itu, pemerintah bertanggung jawab langsung untuk menjaga atau melindungi dan juga menjamin hak-hak dan juga kesejahteraan rakyat dari berbagai macam tindak kekerasan seksual yang kerapkali terjadi pada anak-anak dengan cara memberikan rehabilitasi, pemberian perlindungan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan dan keamanan, dan pemberian aksesibilitas untuk mengetahui perkembangan perkara bagi anak.
4.Kesimpulan
Anak adalah salah satu daripada generasi penerus bangsa ini, yang mana berhak mendapatkan suatu perlindungan hukum yang telah dimuat dalam suatu peraturan dasar yaitu peraturan perundang-undangan. Namun pada kenyataannya di negeri kita Indonesia sendiri, masih maraknya kasus pemerkosaan yang terjadi terhadap anak, yang di mana hal ini sangat mengganggu kesejahteraan bagi anak-anak Indonesia. Hal ini juga diperkuat dengan pemberitaan dari media massa yang pengambilan beritanya oleh wartawan dan jurnalis memperlihatkan identitas anak ataupun jati diri anak yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan. Pemberitaan tersebut akan memberikan dampak yang sangat berat atau kurang baik terhadap anak. “Upaya perlindungan yang dapat dilakukan pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pemerkosaan adalah:
-
a. Upaya pemberian rehabilitasi terhadap anak, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;
-
b. Upaya perlindungan terhadap anak korban pemerkosaan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi dari masyarakat;
-
c. Upaya pemberian jaminan keselamatan dan keamanan bagi saksi ahli dan saksi korban, baik secara fisik, mental, maupun sosial; dan
-
d. Upaya pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi-informasi mengenai perkembangan perkara.”
Kepada pemerintah dan para penegak hukum juga diharapkan untuk bisa memberi sarana dan fasilitas bagi penyembuhan mental maupun fisik anak yang menjadi korban dari tindak pemerkosaan, sehingga anak yang menjadi korban tersebut tetap bisa untuk meneruskan kehidupannya dengan normal dimasa depan. Diharapkan juga kepada para masyarakat agar mau ikut membantu dan memberikan dukungan kepada para anak korban kekerasan seksual atau pemerkosaan untuk mendapat sebuah perlindungan hukum yang layak dan juga menghentikan pelabelan terhadap anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan, sehingga bangsa dapat Indonesia menjadi negara yang berhasil dan mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat yang didasari oleh rasa kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Gosita, Arif. "Masalah korban kejahatan." BUKU DOSEN-2009 (2014).
Huraerah, Abu. Kekerasan terhadap anak. Nuansa Cendekia, 2018
Mahardika, Dinar, and Erwin Aditya Pratama. "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perkosaan dalam Perspektif Psikologi Hukum." 2020.
Nugroho, Bekti. "Pers berkualitas, masyarakat cerdas." (2013).
Junal
Afifah, Wiwik. "Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi." DiH: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 18 (2013).
Al Adawiah, Rabiah. "Upaya pencegahan kekerasan terhadap anak." Jurnal Keamanan Nasional 1, no. 2 (2015)
Apriadi, Apriadi, and Tomy Dwi Cahyono. "Perlindungan Anak Korban Tindakan Kekerasan." Societas: Jurnal Ilmu Administrasi dan Sosial 8, no. 2 (2019)
HMBudiyanto, H. M. "Hak-hak anak dalam perspektif islam." Jurnal Studi Gender dan Anak 1, no. 1 (2014).
Mulyadi, Dudung. "Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Perkosaan Dalam Peradilan Anak." Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 6, no. 2 (2018)
Noviana, Ivo. "Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya." Sosio Informa 1, no. 1 (2015).
Putri, Dani Marsa Aria. "Blaming The Victim: Representasi Perempuan Korban Pemerkosaan di Media Massa (Analisis Semiotika dalam Pemberitaan di Koran Suara Merdeka Desember 2011–Februari 2012)." Interaksi 1, no. 1 (2012)
Saitya, Ida Bagus Subrahmaniam. "Faktor-faktor penyebab tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak." Vyavahara Duta 14, no. 1 (2019)
Simbolon, Laurensius Arliman. "Gagalnya Perlindungan Anak sebagai Salah Satu Bagian dari Hak Asasi Manusia oleh Orang Tua Ditinjau dari Mazhab Utilitarianisme." Jurnal Yuridis 3, no. 2 (2017)
Zalzabella, Desilasidea Cahya. "Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkosaan Incest." Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC) 1, no. 1 (2020)
Zuleha, Zuleha. "Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Pemerkosaan dalam Perspektif Viktimologi." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 10, no. 1 (2015)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konvensi hak anak (Convention on the Right of the Child), yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989.
Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012.
Internet
Davit Setyawan, KPAI, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan Dalam Pemberitaan Media Massa”. 24 Juni 2014, Jakarta. Link: https://www.google.com/amp/s/www.kpai.go.id/berita/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-anak-korban-kejahatan-perkosaan-dalam-pemberitaan-media-massa/amp, Diakses pada tanggal 3 Februari 2021.
Teguh, Ariel. “Identitas Anak Korban Kekerasan Seksual Harus Dijaga”. Magelang. Juli 2019. Link: https://dprd.jatengprov.go.id/2019/07/16/identitas-anak-korban-kekerasan-seksual-harus-dijaga/. Diakses pada 6 Maret 2021.
359
Jurnal Kertha Negara Vol. 10 No. 4 Tahun 2022 hlm. 347-359
Discussion and feedback