KEDUDUKAN HUKUM LARANGAN PENGELUARAN

SATWA DILINDUNGI DARI HABITAT ASLINYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KSDA

I Wayan Wiguna Pujawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisian jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan larangan pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang KSDA. Menggunakan penelitian hukum normatif diakibatkan adanya suatu kekaburan norma. Kemudian menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Yaitu dengan cara membaca, menelaah, dan mengklarifikasikan bahan hukum seperti ketentuan peraturan perundang-undangan, mengutip pembahasan literatur-literatur dan karya ilmiah para sarjana yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat kekaburan norma pada Pasal 21 ayat 2 huruf c UU KSDA, dimana pada ketentuan pasal tersebut tidak menjelaskan mengenai pelarangan pengeluaran satwa langka yang dilindungi dalam rangka apa, dalam keadaan bagaimana, maupun dalam jumlah berapa satwa langka dilindungi yang akan dikeluarkan, serta tidak ada diwajibkannya dokumen dalam pengeluaran satwa tersebut. Pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terhadap satwa langka dilindungi diatur yaitu dalam Pasal 40 ayat 2 UU No. 5/1990 Tentang KSDA. Tidak adanya ketentuan sanksi pidana minimum khusus yang disebutkan dalam UU KSDA menyebabkan pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi mendapat hukuman yang ringan.

Kata Kunci: Larangan Pengeluaran, Satwa Dilindungi, UU KSDA.

ABSTRACT

This scientific journal writing aims to determine the regulation on the prohibition of releasing protected animals from their natural habitat and to analyze the criminal responsibility of criminals against protected animals based on the KSDA Law. This type of research used in writing scientific journals is normative legal research caused by a blur of norms. Then use a statutory approach and a conceptual approach. In writing this scientific paper the writer will use primary legal materials, secondary legal materials. Namely by reading, analyzing, and clarifying legal materials such as the provisions of laws and regulations, citing a discussion of literature and scholarly works of scholars related to the issues raised. The results show that there is a vague norm in Article 21 paragraph 2 letter c of the KSDA Law, where the provisions of the article do not explain the prohibition of releasing protected endangered species in what framework, under what circumstances, or in how many protected endangered species will be released. and there is no mandatory document for releasing the animal. The criminal responsibility for criminals against protected endangered species is regulated in Article 40 paragraph 2 of Law of the Republic of Indonesia Number 5 of 1990 concerning KSDA. The absence of a special minimum criminal sanction stipulated in the KSDA Law causes the perpetrator of crimes against protected animals to receive a light sentence.

Keywords: Export Prohibition, Protected Animals, KSDA Law.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Satwa dilindungi merupakan suatu warisan dan simbol betapa besarnya kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, satwa dilindungi merupakan satwa yang memiliki daya tarik tinggi bagi para kolektor satwa dikarenakan jumlah dari satwa dilindungi tersebut yang sudah semakin sedikit. Indonesia memiliki beraneka ragam satwa dilindungi yang hidup di setiap pulaunya. Satwa dilindungi adalah satwa yang populasinya hampir punah dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah contohnya saja seperti komodo, burung jalak bali, dan masih banyak lagi. Tentu saja dalam hal ini setiap orang maupun badan hukum tertentu tidak boleh melakukan tindakan yang tergolong kejahatan terhadap satwa dilindungi, seperti memburu satwa tersebut, mengeluarkannya dari habitat aslinya guna diperdagangkan di pasar gelap yang merupakan tempat bagi para kolektor satwa membeli koleksi-koleksi satwa langka yang diinginkannya.1

Meskipun Indonesia memiliki banyak satwa dilindungi, hal ini berbanding lurus dengan jumlah kejahatan terhadap satwa dilindungi yang terjadi di Indonesia. Luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan satwa dilindungi tersebut tersebar di setiap wilayah mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia membuat peredaran dan jumlah populasi satwa dilindungi tersebut sangat sulit terpantau dalam habitat aslinya. Kejahatan terhadap satwa dilindungi pada umumnya diawali dari perburuan liar pada habitat aslinya yang kemudian hasil tangkapan tersebut diselundupkan ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri. Setelah pada tahap penyelundupan inilah kemudian satwa dilindungi tersebut ada yang diperdagangkan secara illegal, dan ada juga yang diambil bagian tubuhnya untuk dijadikan barang tertentu. Seperti pada kasus yang terjadi pada tanggal 29 April 2016, dua tersangka diamankan atas kasus perburuan dan perdagangan satwa dilindungi dengan barang bukti, berbagai macam kulit dan tulang belulang harimau serta seekor burung enggang klihingan.2

Perburuan satwa liar ternyata tak hanya terjadi di daerah luar Jawa saja. Kasus perburuan satwa dilindungi serupa terjadi di Jawa Timur tepatnya pada daerah Lumajang yang korbannya adalah seekor lutung Jawa. Kasus bermula dari sebuah foto yang diunggah oleh akun facebook bernama Addi Gokil yang memperlihatkan gambar beberapa pemuda sedang memikul lutung Jawa dengan sebatang kayu dan kemudian mengulitinya di tepi sungai. Perburuan hewan langka di daerah Lumajang ini kemudian ditangani oleh organisasi yang bernama Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) yang bekerjasama dengan BKSDA Jawa Timur untuk mengusut para pelaku. Kemudian pada kejahatan kasus penyelundupan satwa dilindungi, kasus penyelundupan 11 ekor burung cendrawasih dan 1 ekor monyet emas yang digagalkan oleh Polres Tanjung Jabung Timur Jambi, penyelundupan tersebut dilakukan melalui jalur laut. Seperti yang telah dipaparkan bahwa Indonesia memiliki lautan yang sangat luas dan hal tersebut yang sering kali dimanfaatkan oleh para pelaku penyelundupan satwa untuk mengeluarkan satwa dilindungi dari habitat

aslinya menuju wilayah lain untuk diperdagangkan secara gelap kepada para kolektor.3

Yang terakhir pada kasus perdagangan satwa dilindungi, tahun 2018 Ditreskrimsus Polda Metro Jaya mengamankan 9 orang tersangka yang merupakan sindikat perdagangan satwa dilindungi.4

Kurangnya pengawasan dari Pemerintah dan masih adanya beberapa kelemahan pada UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang selanjutnya disebut dengan UU KSDA. Diantaraya terdapat pada Pasal 21 ayat (2) huruf c UU KSDA yang mengatur mengenai pengeluaran satwa dilindungi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai larangan pengeluaran satwa dilindungi dari suatu habitat aslinya ke habitat lain di dalam maupun di luar Indonesia. Disinilah terjadi kekaburan norma pada Pasal 21 ayat 2 huruf c UU KSDA, tidak dijelaskannya pelarangan mengeluarkan satwa dilindungi tersebut dalam keadaan satwa hidup ataupun mati, satwa dilindungi tersebut wajib memiliki dokumen atau tidak, dalam rangka kegiatan apa, maupun berapa jumlah satwa dilindungi yang dikeluarkan dan bertujuan untuk apa, yang menyebabkan timbulnya celah bagi pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi yang sering menjadikan hal tersebut sebagai modus kurir sewaan yang mengatasnamakan Lembaga Konservasi untuk menyelundupkan satwa dilindungi keluar dari habitat aslinya. Tidak jelas dan tidak tegasnya isi Pasal 21 ayat (2) huruf c UU KSDA tersebut juga membuat aparat penegak hukum yang menangkap pelaku penyelundupan satwa dilindungi hanya bisa mengambil satwa tersebut dan menyerahkannya kepada balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) tanpa bisa memberikan efek jera kepada pelaku.5

Dalam UU KSDA sanksi pidananya hanya menjerat orang perorangan, tidak mengancamkan pidana minimum khusus sehingga membuat pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi bisa saja mendapatkan hukuman yang ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku, sanksi pidana pada UU KSDA masih menggunakan single track system dimana tidak adanya upaya pemulihan terhadap tindakan kejahatan yang sudah dilakukan oleh pelaku. Ditambah lagi kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya kelestarian dari satwa langka tersebut yang memiliki ciri khas khusus pada setiap daerahnya dan tidak ditemukan pada daerah lain atau biasa disebut dengan endemik menyebabkan masyarakat yang di daerahnya terdapat satwa dilindungi kemudian ikut memburu, menyelundupkan, serta memperdagangkan satwa tersebut secara illegal.6

Sanksi pidana pada UU KSDA yang hanya dijatuhkan kepada orang perorangan membuat tidak bisa dijeratnya lembaga konservasi seperti kebun binatang apabila melakukan kejahatan terhadap satwa dilindungi. Seperti pada kasus yang terjadi di Jawab Barat, pihak kepolisian mengatakan satwa dilindungi yang

dikeringkan oleh tersangka berinisial AS didapat dari kebun binatang di Kota Bandung yang semuanya tidak memiliki dokumen ataupun berita acara kematian satwa, padahal berkas berita acara kematian satwa dilindungi sangat penting untuk memantau rekam jejak dan silsilah dari suatu spesies satwa dilindungi. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa hanya orang-perorangan yang terjerat tanpa adanya sanksi seperti penutupan sementara kebun binatang tersebut.7

Berkaitan dengan orisinalitas terhadap penulisan ilimiah ini, berikut peneliti uraikan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki tema permasalahan hukum sejenis diantaranya Riky Ilhamsyah Diningrat dengan judul “Perlindungan Satwa Dilindungi Demi Menjaga Kelestarian Populasi Satwa Tersebut”, membahas mengenai kendala apa saja yang dihadapi BKSDA Kalimantan Barat dalam menanggulangi tindak pidana satwa liar burung paruh enggang dilindungi dan bagaimanakah upaya menanggulangi tindak pidana satwa liar burung paruh enggang dilindungi. Berikutnya penelitian dari Nabilah Syahni dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyelundupan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya”, membahas mengenai bagaimana upaya perlindungan satwa dilindungi di masa mendatang dan bagaimana penegakan hukum pidana terhadap kasus penyelundupan satwa yang dilindungi berdasarkan Pasal 21 ayat 2 UU No 5 Tahun 1990. Berdasarkan beberapa penelitian yang diuraikan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan terkait sudut pengangkatan masalah dari penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah ada.8

Tidak diaturnya dengan jelas dan tegas dalam hal pelarangan pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya yang sering menjadi celah penyelundupan satwa dilindungi yang menyebabkan kegiatan pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya secara illegal agar bisa diperdagangkan kepada para kolektor satwa menjadi semakin meningkat. Berdasarkan hal tersebut, menurut pandangan penulis sangat relevan bila mengangkat permasalahan mengenai satwa dilindungi melalui suatu karya tulis ilmiah dengan judul “Kedudukan Hukum Larangan Pengeluaran Satwa Dilindungi Dari Habitat Aslinya Berdasarkan Undang-Undang KSDA”

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat ditemukan dua permasalahan yang akan dibahas, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan hukum larangan pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya berdasarkan Undang-Undang KSDA?

  • 2.    Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang KSDA?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisian jurnal ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan larangan pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang KSDA.

  • II.    Metode Penelitian

Pada penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan penelitian hukum normatif.9 Kemudian menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis akan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Yaitu dengan cara membaca, menelaah, dan mengklarifikasikan bahan hukum seperti ketentuan peraturan perundang-undangan, mengutip pembahasan literatur-literatur dan karya ilmiah para sarjana yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. Yang selanjutnya akan dianalisa secara evaluatif menggunakan asas-asas hukum yang sesuai dengan permasalahan. Kemudian disajikan secara evaluasi argumentatif, yang artinya dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian penjelasan penulis guna menjawab permasalahan yang diangkat.10

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kedudukan Hukum Larangan Pengeluaran Satwa Dilindungi Dari Habitat Aslinya Berdasarkan Undang-Undang KSDA

Kejahatan terhadap satwa langka dilindungi pada umumnya diawali dari perburuan liar yang kemudian hasil tangkapan tersebut diselundupkan ke berbagai daerah bahkan sampai keluar negeri, kemudian setelah pada tahap penyelundupan inilah satwa langka dilindungi tersebut ada yang diperdagangkan secara ilegal, dan ada juga yang diambil bagian tubuhnya untuk dijadikan barang tertentu. Yang menjadi permasalahan adalah pada tindakan penyelundupan terhadap satwa langka dilindungi, penyelundupan satwa langka dilindungi merupakan tahapan yang sangat penting dikarenakan pada tahap penyelundupan inilah hasil dari perburuan maupun perdagangan satwa-satwa langka dilindungi tersebut disalurkan.11

Pencegahan penyelundupan satwa dilindungi sangat bergantung pada pelarangan pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya yang diatur dalam UU KSDA. Dalam UU KSDA sama sekali tidak menyebutkan kegiatan penyelundupan, yang paling mendekati adalah ketentuan Pasal 21 huruf c UU KSDA yang menyebutkan bahwa: “setiap orang dilarang untuk mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.” Disinilah terjadi kekaburan norma pada Pasal 21 ayat 2 huruf c UU KSDA, tidak jelas apa maksud dari ketentuan Pasal tersebut yang melarang untuk mengeluarkan satwa dilindungi dari Indonesia ke tempat lain di dalam maupun di luar Indonesia. Tidak dijelaskannya pelarangan mengeluarkan satwa tersebut dalam keadaan satwa hidup ataupun mati, dalam rangka kegiatan apa, maupun berapa jumlah satwa yang dikeluarkan dan bertujuan untuk apa. Dikarenakan bisa saja kegiatan mengeluarkan satwa tersebut merupakan bagian dari kegiatan pertukaran

satwa dilindungi yang dilakukan antar Lembaga Konservasi sesuai dengan ketentuan Pasal 32 PP Nomor 8 Tahun 1999. Disinilah sering terjadi modus kurir sewaan yang mengatasnamakan Lembaga Konservasi untuk menyelundupkan satwa dilindungi.12

Berdasarkan pengertian penyelundupan, penyelundupan adalah pemasukan atau pengeluaran barang secara gelap tanpa dokumen resmi agar bisa diperdagangkan secara illegal dan kebanyakan sesuatu yang diselundupkan itu adalah sesuatu yang dilarang beredar seperti narkoba, satwa dilindungi. Terdapat dua jenis tindak pidana penyelundupan di lndonesia, yaitu: tindak pidana penyelundupan dalam rangka kegiatan impor, dalam hal ini berarti kegiatan pemasukan barang illegal yang berasal dari luar wilayah Indonesia untuk diperdagangkan secara gelap ke seluruh wilayah Indonesia dan tindak pidana penyelundupan dalam rangka kegiatan ekspor, dalam hal ini berarti kegiatan pengeluaran barang dari dalam wilayah Indonesia menuju wilayah di luar Indonesia, tindak pidana penyelundupan secara ekspor inilah banyak termuat satwa dilindungi dari Indonesia yang sangat diminati oleh para kolektor satwa langka di berbagai belahan dunia yang tentu saja harganya akan sangat melonjak tinggi dikarenakan para kolektor tersebut saling berlomba untuk membayar kepada para pemburu dan penyelundup satwa dilindungi dari Indonesia agar bisa mendapatkan satwa langka yang mereka inginkan. Dalam kegiatan impor dan ekspor tersebut harus menimbulkan kerugian negara untuk dapat dikategorikan sebagai penyelundupan, tentu saja dalam hal ini kerugian negara tersebut terletak pada jumlah populasi satwa dilindungi yang semakin sedikit dan terancam punah akibat perburuan dan pengeluaran satwa dilindungi tersebut keluar dari habitat aslinya dengan cara menyelundupkan satwa dilindungi tersebut.13

Pada kasus penyelundupan satwa langka dilindungi, kerugian negara berada pada berkurangnya populasi satwa langka dilindungi tersebut dari wilayah aslinya. Jadi dapat artikan tindak pidana penyelundupan mempunyai tiga unsur penting yaitu pemasukan barang, pengeluaran barang dan harus menimbulkan kerugian negara. Jika melihat dari pengertian serta unsur-unsur penting dari penyelundupan tersebut, dalam hal mengeluarkan satwa langka dilindungi yang diatur pada Pasal 21 ayat 2 huruf c UU KSDA secara sepintas sudah dapat dikategorikan sebagai penyelundupan satwa langka dilindungi.14

  • 3.2    Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Kejahatan Terhadap Satwa Dilindungi Berdasarkan Undang-Undang KSDA

Dalam UU KSDA, pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terhadap satwa langka dilindungi diatur dalam Pasal 40 ayat 2 yang menyebutkan bahwa: “Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 33 ayat 3 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00”.15

Subyek hukum dalam pertanggungjawaban pidana pada UU KSDA adalah orang perorangan, walaupun dalam ketentuan pidananya pada Pasal 40 ayat 2 menyebutkan barang siapa yang berarti mencakup orang dan badan hukum. Hal tersebut dikarenakan dalam ketentuan Pasal 21 ayat 2 hanya menyebutkan “setiap orang” tanpa adanya tambahan subyek hukum lainnya seperti badan hukum.16 Ini mengakibatkan hanya orang perorangan saja yang dapat dijerat oleh UU KSDA, padahal pada saat ini sudah semakin banyak badan hukum yang terlibat dalam kasus kejahatan terhadap satwa langka dilindungi seperti contohnya saja pihak kebun binatang, banyak kebun binatang yang memalsukan berkas kematian satwa dilindungi yang ada di dalam kebun binatang tersebut agar bagian-bagian tubuh dari satwa dilindungi tersebut seperti tulang dan kulit yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi dapat dijual kepada para kolektor satwa yang berani membayar mahal untuk mendapatkan tulang dan kulit dari satwa dilindungi tersebut.17

Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana pada Pasal 40 ayat 2 UU KSDA adalah perbuatan melawan hukum yaitu melanggar ketentuan pada Pasal 21 ayat 2 UU KSDA, adanya kesalahan berupa kesengajaan, hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pidananya pada Pasal 40 ayat 2 yang menyebutkan “barangsiapa dengan sengaja”.18

Dalam ketentuan pidana pada UU KSDA memiliki alasan pembenar dalam perbuatan pelaku, hal tersebut tertuang dalam Pasal 22 yaitu untuk keperluan penelitian, pertukaran resmi suatu spesies satwa dilindungi atas izin Pemerintah, dan jika satwa dilindungi tersebut membahayakan kehidupan manusia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan memiliki alasan pembenar dalam perbuatan pelaku dikarenakan syarat dari alasan pembenar diantaranya:

  • 1.    Perbuatan dilakukan dalam keadaan darurat

  • 2.    Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan

Dengan adanya alasan pembenar tersebut, maka akan menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan pelaku sehingga apa yang dilakukan oleh pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar, seperti contohnya ketika sedang berada dalam suatu alam liar dan seseorang diserang oleh satwa dilindungi maka orang tersebut berhak melindungi dirinya dari keadaan darurat yang dapat membahayakan nyawanya tersebut salah satunya adalah dengan membunuh satwa dilindungi tersebut. Kemudian pada saat suatu lembaga penelitian yang memiliki izin resmi dari Pemerintah ingin meneliti suatu spesies dari satwa dilindungi maka lembaga penelitian tersebut berhak menangkap dan mengeluarkan satwa dilindungi tersebut dari habitat aslinya dan kemudian menelitinya di fasilitas lembaga penelitian bahkan

sampai mengawetkan bagian-bagian tubuh dari satwa tersebut demi kepentingan penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian tersebut. 19

Sanksi yang diberikan terhadap pelaku kejahatan satwa langka dilindungi berupa penjara dan denda yang hanya menyebutkan pidana minimum khusus. Hal tersebut mengakibatkan pelaku pengeluaran satwa dilindungi dari habitat aslinya untuk diperdagangkan sering mendapatkan sanksi yang rendah walaupun telah menyelundupkan satwa dilindungi dalam jumlah besar yang menyebabkan terancamnya jumlah dari populasi satwa dilindungi tersebut.20

Berdasarkan ketentuan pidana dalam UU KSDA tersebut, hanya menjatuhkan satu jenis sanksi berupa pidana (penjara dan denda) tanpa adanya penjatuhan kewajiban tindakan yang harus dilakukan untuk memulihkan keadaan seperti semula dalam hal ini tentu saja kelestarian dari satwa dilindungi tersebut yang sebelumnya sudah terganggu akibat tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh para pelaku hanya demi keuntungan pribadi semata. Tanpa adanya suatu pertanggungjawaban dari pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi berupa pemulihan baik dalam hal ini melakukan pekerjaan untuk membantu lembaga konservasi satwa dilindungi dalam mengembangkan populasi satwa dilindungi yang terus berkurang akibat adanya perburuan, penyelundupan maupun perdagangan sacara illegal yang dilakukan oleh pelaku demi mendapatkan keuntungan yang tinggi dari satwa dilindungi tersebut.

  • IV.    Kesimpulan

Kedudukan hukum terkait larangan pengeluaran satwa langka dilindungi dalam UU KSDA masih memiliki kedudukan yang lemah. Dikarenakan terdapat kekaburan norma pada Pasal 21 ayat (2) huruf c UU KSDA, dimana pada ketentuan pasal tersebut tidak menjelaskan mengenai pelarangan pengeluaran satwa langka yang dilindungi dalam rangka apa, dalam keadaan bagaimana, maupun dalam jumlah berapa satwa langka dilindungi yang akan dikeluarkan, serta tidak ada diwajibkannya dokumen dalam pengeluaran satwa tersebut membuat kedudukan hukumnya masih sangat lemah. Pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terhadap satwa langka dilindungi diatur yaitu dalam Pasal 40 ayat (2) UU KSDA dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Sanksi pidana dalam UUKSDA memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah tidak adanya ketentuan sanksi pidana minimum khusus yang disebutkan dalam UU KSDA menyebabkan pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi mendapat hukuman yang ringan. Pada UU KSDA menggunakan single track system dikarenakan hanya menjatuhkan satu jenis sanksi berupa pidana tanpa adanya penjatuhan kewajiban tindakan yang harus dilakukan oleh pelaku guna mewujudkan restorative justice.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainudin. Medote Penelitian Hukum. (Jakarta, Sinar Grafika, 2016).

Ainul, Muhammad. Penjatuhan Pidana Dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. (Jakarta, Divisi Kencana, 2016).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta, Prenada Media Group, 2017).

Jurnal

Aristides, Yoshua. “Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia Dari Perspektif Convention On International Trade In Endangered Species Of Flora And Fauna (Cites)”. Diponegoro Law Jurnal 5. No. 4 (2016).

Adji, Samekto. “Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia Dari Ancaman Kepunahan”. Diponegoro Law Jurnal 6. No. 8 (2015).

Alfalasifa, Nabila. “Konservasi Satwa Liar secara Ex-Situ di Taman SatwaLembah Hijau Bandar Lampung”. Jurnal Sylva Lestari 7. No. 1 (2019).

Ilham, Muhammad. “Perbuatan Melawan Hukum Terkait Pembunuhan Satwa Dilindungi”. Journal of Biology and Biology Education 11. No 3. (2014).

lastori, Rifad. “Perdagangan Satwa Dilindungi Bagi Kolektor Satwa”. Jurnal Sylva Lestari 2. No. 9 (2016).

Mangi, Hilman. “Asosiasi Burung Julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix) dengan Pohon Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Cagar Alam Pangi Binangga Desa Pangi Kabupaten Parigi Moutong”. Warta Rimba 1. No. 1 (2015).

Nugraha, Rizal. “Sanksi Pidana Bagi Pelaku Perdagangan Satwa Dilindungi”. Warta Rimba 6. No. 4 (2017).

Ngabekti, Siregar. “Subyek Hukum Kejahatan Terhadap Satwa Dilindungi”. Journal of Biology and Biology Education 5. No 14. (2018).

Purnomo, Agus. “Perlindungan Satwa Langka Di Indonesia Dari Perspektif Convention On International Trade In Endangered Species Of Flora And Fauna (Cites)”. Diponegoro Law Jurnal 7. No. 2 (2017).

Rahmat, Fajar. “Pertanggungjawaban Pelaku Kejahatan Satwa Dilindungi”. Warta Rimba 4. No. 3 (2015).

Sari, Bainah. “Konservasi Satwa Dilindungi Sebagai Bentuk Konservasi Alam”. Jurnal Sylva Lestari 5. No. 8 (2019).

Sumantri, Pratiwi. “Modus Penyelundupan Satwa Dilindungi”. Jurnal Sylva Lestari 3. No. 4 (2018).

Pora, Yusuf. “Ancaman Sanksi Bagi Pelaku Perdagangan Satwa Dilindungi”. Journal of Biology and Biology Education 8. No 2. (2016).

Internet

Melvinas Priana, 2016, “Pemburu Liar Sangat Mengancam Kerusakan Habitat Alami Hewan Langka di Jambi”, Tribun News, URL: https://www.tribunnews.com/regional/160119/2016/01/19/1_kasus-pemburuan-harimau-sumatra-liar-ancam-habitat-alami-hewan-langka-di-jambi.

Rahmat Ilyasan, 2019, “Polda Gagalkan Upaya Pelaku Penyelundupan Anakan Komodo Untuk Dijual ke Luar Negeri”, SINDOnews, URL: https://daerah.sindonews.com/read/1312169/174363431/polda-jatim-berhasil-menggagalkan-upaya-penyelundupan-komodo-ke-luar-negeri-1553670355.

Ronald, 2018, “Bongkar Sindikat Penjualan Hewan Langka Dlindungi, Polda Metro Berhasil Amankan 9 Orang Tersangka”, Merdeka.com, URL: https://www.merdeka.com/peristiwa/bongkar-penjualan-hewa-langka-polda-metro-amankan-9-orang-tersangka.html.

Teuku Muhammad Guci Syaifudin, 2016, “Banyak Satwa Langka Mati Di Kebun Binatang Dijual Secara Ilegal Kepada Pengusaha, Beginilah Reaksi BKSDA Dari Daerah       Jawa       Barat”,       Tribun       News,       URL:

https://www.tribunnews.com/regional/161101/2016/11/01/pengusaha-dapatkan-satwa-mati-dari-kebun-binatang-bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419).

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.869-878

878