PERLINDUNGAN HUKUM DEBITUR DALAM

KEGIATAN PERBANKAN BERKAITAN DENGAN WANPRESTASI YANG TIMBUL AKIBAT PANDEMI

Komang Tri Krisnayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ayu Putu Laksmi Danyathi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui bentuk Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam kegiatan Perbankan Berkaitan dengan Wanprestasi yang Timbul Akibat Pandemi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi Debitur pada saat Pandemi. Penelitian yang digunakan dalam jurnal ini menggunakan penelitian hukum normatif. Ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa dalam suatu keadaan memaksa (overmacht) pihak yang lalai dalam menjalankan kewajibannya dapat dilepaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya suatu perjanjian. Pandemi Covid-19 merupakan sebuah bencana non alam yang dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa (force majeure) sehingga dimungkinkan terjadi addendum perjanjian untuk menjalankan kewajiban di waktu lain jika disepakati oleh para pihak. Metode penyelesaian kredit bermasalah dapat melalui perundingan kembali antara kreditur dengan debitur. Penyelamatan kredit dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu rescheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (persyaratan kembali), atau restrukturisasi (penataan kembali).

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Wanprestasi, dan Pandemi.

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out the form of legal protection for debtors in banking activities related to defaults arising from the pandemic based on the Civil Code (KUHPer) and government policies through the Financial Services Authority Regulation (OJK) for debtors during a pandemic. The research used in this journal uses normative legal research. The provisions of Articles 1244 and 1245 of the Civil Code explain that in a state of compulsion (overmacht) a party who is negligent in carrying out its obligations can be released from responsibility to compensate for losses that arise as a result of not implementing an agreement. The Covid-19 pandemic is a non-natural disaster that can be categorized as a force majeure, so it is possible to add an addendum to an agreement to carry out obligations at another time if agreed by the parties. The method of resolving non-performing loans can be through renegotiation between creditors and debtors. Credit rescue can be carried out in three forms, namely rescheduling, reconditioning, or restructuring.

Key Words: Legal Protection, Default, and Pandemic.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Tahun 2020 menjadi tahun yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Keadaan ekonomi mayoritas seluruh negara di dunia mengalami penurunan dan

menyebabkan dampak yang beraneka ragam pada banyak bidang sendi kehidupan. Penyebab dari keadaan ini diakibatkan oleh pandemi virus corona atau Covid-19 yang pada awal mulanya ditemukan pertama kali di kota Wuhan, salah satu kota di negara Cina yang kemudian meluas dan menyebar hingga hampir seluruh dunia. Proses pemulihan keadaan untuk menjadi normal kembali pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar dikarenakan diperlukan waktu untuk menciptakan dan meneliti obat penawar dan/atau vaksin bagi virus ini, sehingga menyebabkan banyak negara yang mengeluarkan kebijakan bagi rakyatnya untuk tetap dirumah saja yang kemudian lebih dikenal dengan istilah #stay at home dan juga melakukan lockdown pada kegiatan sendi-sendi kehidupan masyarakat.Di Indonesia sendiri juga menerapkan pembatasan terhadap kegiatan rakyatnya, hal ini terlihat dengan diterapkannya Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) yang dilakukan dibeberapa daerah terutama pada daerah-daerah yang menjadi zona merah maupun hitam penyebaran virus corona atau Covid-19.

Wabah pandemi virus corona atau Covid-19 ini juga menimbulkan dampak yang sangat terasa bagi rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan salah satu Negara yang penghasilan atau devisa negaranya bergantung pada kunjungan pariwisata dari para wisatawan, terutamanya wisatawan asing (WNA). Terpuruknya kondisi pariwisata dan ekonomi masyarakat akibat pandemi ini juga memberikan dampak pada bidang perbankan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menyebutkan bahwa Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank, pada Pasal 1 angka 2 UU Perbankan menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Terpuruknya kondisi Perbankan karena banyaknya masyarakat yang memiliki pinjaman dan/atau kredit (sebagai debitur/nasabah) baik pada lembaga perbankan ataupun lembaga pembiayaan non bank yang tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran angsuran karena tidak adanya wisatawan yang berkunjung ke Indonesia sehingga menyebabkan masyarakat tidak memiliki penghasilan. Sementara itu di sisi yang lain lembaga perbankan ataupun lembaga pembiayaan non bank juga berupaya agar roda bisnisnya dapat tetap berputar dikarenakan kewajiban lembaga perbankan ataupun lembaga pembiayaan non bank untuk membayar upah bagi tenaga kerjanya serta untuk biaya operasional perusahaan. Dampak dari hal tersebut menyebabkan maraknya terjadi pelelangan jaminan yang digunakan oleh masyarakat yang bertindak sebagai debitur/nasabah pada lembaga perbankan ataupun lembaga pembiayaan non bank baik berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak.

Salah satu kekawatiran masyarakat Indonesia pada saat pemerintah menetapkan status darurat kesehatan adalah dibidang ekonomi, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengungkapkan bahwa terdapat tiga dampak besar Covid-19 terhadap perekonomian

Indonesia sehingga masuk dalam masa krisis. Suryo Utomo menyebutkan ada tiga dampak Covid-19 bagi ekonomi Indonesia yaitu:1

  • 1.    Membuat konsumsi rumah tang atau daya beli yang merupakan penopang 60 persen terhadap ekonomi jatuh cukup dalam. Hal ini dibuktikan dengan data dari BPS yang mencatatkan bahwa konsumsi rumah tangga turun dari 5,02 persen pada kuartal I 2019 ke 2,84 persen pada kuarta I tahun ini.

  • 2.    Pandemi menimbulkan adanya ketidakpastian yang berkepanjangan sehingga investasi ikut melemah dan berimplikasi pada terhentinya usaha.

  • 3.    Seluruh dunia mengalami pelemahan ekonomi sehingga menyebabkan harga komoditas turun dan ekspor Indonesia ke beberapa negara juga terhenti.

PandemiCovid-19 juga membawa pengaruh terhadap revenue atau penghasilan industri perbankan, hal tersebut sangat berdampak bagi setiap segmen debitur/nasabah.Adapun dampak yang kini dihadapi lembaga perbankan pada masa pandemi covid-19 ini diantaranya seperti risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Akibat dari dampak covid-19 itu pada sektor perbankan mengeluarkan kebijakan terkait penundaan pembayaran kredit bagi debitur/nasabah.2 Pada dasarnya, dalam melakukan transaksi bisnis pada aspek perbankan yang dalam hal ini melakukan kredit, tidak menutup kemungkinan pasti terdapat adanya debitur/nasabah yang tidak dapat memenuhi kewajibannya atau wanprestasi apalagi ditambah dengan adanya pandemi covid-19 saat ini. Untuk meminimalisir adanya kerugian antara pihak bank selaku kreditur dan nasabah selaku debitur Otoritas Jasa Keungan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11 /POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.

Seperti penelitian sebelumnya, Bondan Seno Aji, Made Warka dan Evi Kongres3 dalam penulisan yang berjudul “Penerapan Klausula Force Majeure dalam Perjanjian Kredit di Masa Pandemi Covid-19” dengan menggunakan metode penelitian normatif memberikan kesimpulan bahwa pokok-pokok pengaturan POJK Stimulus Dampak Covid-19 dan kebijakan pemerintah terkait relaksasi pembayaran angsuran kredit tidak hanya berlaku kepada debitur dengan kredit dibawah 10 miliar, melainkan jumlah kredit diatas 10 miliar berlaku juga selama terbukti terdampak pandemi covid-19. Kemudian, penelitian yang dibuat oleh Widi Nugrahaningsih dan Indah Wahyu Utami4yang berjudul “Perlindungan Bagi Debitur Penerima Fasilitas Kredit di Masa Pandemi Covid-19” dengan metode penelitian hukum empiris memberikan kesimpulan bahwa POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tersebut tidak terpengaruh oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga lembaga perbankan berhak melaksanakan/tidak melaksanakan kebijakan berupa stimulus untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi debitur yang terkena Spread Covid-19, termasuk mikro, debitur usaha kecil dan menengah.Pada intinya, kebijakan setiap bank untuk mengikuti atau

tidak kebijakan pemerintah melalui POJK 11/POJK.03/2020Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini diangkat judul “Perlindungan Hukum Debitur Dalam Kegiatan Perbankan Berkaitan Dengan Wanprestasi Yang Timbul Akibat Pandemi”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditemukan permasalahan sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana bentuk Perlindungan Hukum BagiDebiturdalamkegiatan Perbankan Berkaitan dengan Wanprestasi yang Timbul Akibat Pandemi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) ?

  • 2.    Bagaimana Kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi Debitur pada saat Pandemi ?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan tulisan ini yakni untuk mengetahui bentuk Perlindungan Hukum BagiDebiturdalam kegiatan Perbankan Berkaitan dengan Wanprestasi yang Timbul Akibat Pandemi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)danKebijakan Pemerintah melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi Debitur pada saat Pandemi.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan didalam penulisan makalah ini adalah metode Normatif dengan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) artinya pendekatan yang dilakukan dengan menelah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut sesuai hukum yang ditangani.5Bahan hukum diperoleh melalui bahan hukum yang telah diteliti dan selanjutnya akan dikumpulkan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini untuk dilakukan pembahasan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Kegiatan Perbankan Berkaitan dengan Wanprestasi yang Timbul Akibat Pandemi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Sejakwabah pandemi viruscorona atau Covid-19mulai menjangkit danmenular dengan sangat cepat hampir diseluruh wilayahIndonesia, pemerintah mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) dibeberapadaerahyangmenjadipusatpenyebaran virus tersebut. Fenomena inijuga menghantam para pelaku usaha yang berimbas tidak dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan normal. Industri perbankan menjadi salah satu sektor yang merasakan langsung dampak dari merosotnya keadaan ekonomi masyarakat di Indonesia, karena banyaknya Debitur atau Nasabah yang tidak dapat memenuhi prestasinya berupa pembayaran angsuran kredit atau hutang.

Dalam disiplin hukum perjanjian, dikenal salah satu asas yang begitu penting. Adapun asas yang dimaksud adalah asas kekuatan mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda). Asas ini bermakna bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus

melaksanakan perjanjian tersebut. Dalam asas ini, kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Mereka yang membuatnya berarti bahwa undang-undang mengakui dan memposisikan kedua belah pihak sejajar dengan legislator.6

Fenomena mewabahnya Covid-19 menyebabkan banyak debitur atau nasabah dalam perjanjian kredit tidak dapat memenuhi kewajibannya. Berdasarkan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam perspektif hukum Perdata pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya dikualifikasikan telah ingkar janji dan/atau lalai atau lebih dikenal dengan istilah Wanprestasi. Implikasi hukumnya jelas diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang pada intinya mengatur kewajiban untuk mengganti kerugian yang timbul akibat wanprestasi salah satu pihak dalam suatu perjanjian.7 Namun apabila mengacu pada Pasal 1244 dan 1245KUHPerdata, kedua pasal ini menjelaskan bahwa dalam suatu keadaan memaksa pihak yang lalai dalam menjalankan kewajibannya dapat dilepaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya suatu perjanjian. Kedua pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat memenuhi prestasinya disebabkan karena suatu hal yang tak terduga atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja atau karena keadaan memaksa (overmacht), maka pihak tersebut dilepaskan dari kewajiban memberikan ganti rugi karena adanya keadaan memaksa (force majeure).8 Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata juga telah menetapkan force majeure sebagai alasan hukum yang membebaskan debitur dari kewajiban melaksanakan pemenuhan (nakoming) dan ganti rugi (schadevergoeding) sekalipun debitur telah terbukti wanprestasi.

Pandemi Covid-19 merupakan sebuah bencana non alam yang dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa (force majeure). Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang menjelaskan bahwa:

“Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

Dapat kita lihat bahwa dalam UU Penanggulangan Bencana, epidemi dan wabah penyakit dapat dikualifikasikan sebagai bencana non alam yang disebabkan rangkaian peristiwa non alam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization yang telah menyatakan bahwa Covid-19 adalah sebuah pandemi.9

Berdasarkan sifatnya, force majeure terbagi menjadi 2 macam, yakni force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan debitur sama sekali tidak dapat melaksanakan prestasinya kepada kreditur, yang dikarenakan gempa bumi, banjir, dan adanya lahar.10Force majeure relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk memenuhi prestasinya. Namun, pemenuhan prestasi tersebut harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang diluar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpabahaya kerugian yang begitu besar.11Force majeure yang bersifat relatif hanya menunda atau menangguhkan kewajiban kontraktual debitur untuk sementara waktu bukan membatalkan kontrak bisnis.

Keadaan memaksa (force majeure) pandemi Covid-19 menyebabkan dimungkinkannya terjadi perubahan/ addendum perjanjian untuk menjalankan kewajiban di waktu lain jika disepakati oleh para pihak. Namun, perlu ditekankan juga bahwa dalam keadaan memaksa yang perlu dikedepankan adalah kebijaksanaan dari para pihak dalam menyikapi kondisi tersebut. Masing-masing pihak harus menyadari secara bijaksana bahwa ada hal-hal lain yang dapat dikedepankan seperti menanggung kerugian secara bersama atas kerugian yang dialami oleh salah satu pihak. Kemudian apabila keadaan memaksa tersebut membuat salah satu pihak terhambat menjalankan kewajibannya agar pihak lainnya dapat memberikan kebijaksanaan berupa kompensasi untuk menjalankan kewajibannya pada waktu lain yang disepakati bersama.

Meskipun secara faktual terdampak pandemi Covid-19, pihak yang mengklaim force majeure harus dengan iktikad baik berusaha melakukan hal-hal yang dianggap patut dan wajar untuk tetap melaksanakan kewajiban atau paling tidak melakukan upaya utuk memitigasi risiko tidak terpenuhinya kewajiban berdasarkan perjanjian. Kemudian terkait tata cara pemberitahuan, umumnya ditentukan bahwa pihak yang mengalami/terdampak force majeure harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak lain dalam kurun waktu tertentu sejak dampak tersebut dirasakan. Klaim force majeure diajukan dengan maksud untuk merubah perjanjian dan bukan mengakhiri perjanjian. Penting untuk dipahami bahwa klaim adanya force majeure tidak serta merta menggugurkan kewajiban pihak tersebut. Ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata hanyaberkaitan dengan pembebasan atas kewajiban untuk mengganti rugi.

  • 3.2    Kebijakan Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi Debitur pada saat Pandemi

Dalam menanggapiCovid-19, Presiden Republik Indonesiatelah membuat dan mengeluarkan Keputusan PresidenNomor12Tahun2020tentangPenetapanBencana Non-Alam PenyebaranCorona VirusDiseasesebagai Bencana Nasional sebagai dasar hokum forcemajeure. Hal initerlihatpadapoinKesatuKeputusanPresidenNomor12Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran CoronaVirusDisease2019(Covid-19)sebagai Bencana Nasional. Namun forcemajeurememang tidak bisa secara otomatisdijadikan alasan pembatalan perjanjian kredittetapi memang bisa dijadikan

pintu masuk untuk bernegosiasi dalam membatalkan atau mengubah isidari perjanjian kredit.12

Pemerintah telah melakukan bentuk perlindungan hukum melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11 /POJK.03/2020Tentang Stimulus Perekonomian Nasional SebagaiKebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (POJK 11/2020). Kebijakan ini muncul untuk menyikapi banyaknya keluhan kesulitan akses pemberian keringan kredit atau pembiayaan kepada ojek online, sopir taksi, pengusaha UMKM dan pekerja tidak tetap serta pekerja korban PHK melalui relaksasi kredit.13Pokok-pokok pengaturan POJK Stimulus Dampak Covid-19 antara lain:14

  • a)    POJK ini berlaku bagi BUK, BUS, UUS, BPR, dan BPRS;

  • b)    Bank dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhanuntukdebitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19 termasuk debitur UMKM,dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian;

  • c)    Debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19 termasuk debitur UMKM adalahdebitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada Bank karena debitur atau usaha debitur terdampak dari penyebaran Covid-19 baik secara langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.

  • d)    Kebijakan stimulus dimaksud terdiri dari:

  • 1)    Penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkanketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain dengan plafon sampai dengan Rp.10 miliar; dan

  • 2)    Peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi selama masa berlakunya POJK. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa melihat batasan plafon kredit/pembiayaan atau jenis debitur.

  • e)    Cara restrukturisasi kredit/pembiayaan dilakukan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan cara:

  • 1)    penurunan suku bunga;

  • 2)    perpanjangan jangka waktu;

  • 3)    pengurangan tunggakan pokok;

  • 4)    pengurangan tunggakan bunga;

  • 5)    penambahan fasilitas kredit/pembiayaan; dan/atau

  • 6)    konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara.

Pasca diterbitkannya POJK 11/2020, para debitur merasa mendapatkan angin segar karena mendapatkan relaksasi kredit. Sebagaimana dipahami relaksasi kredit bermakna pemberian kelonggaran terkait pembayaran kredit/utang. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 2 POJK dimana pihak bank maupun lembaga pembiayaan dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19, termasuk debitur UMKM yang dihadapkan dengan persoalan tunggakan kredit (kredit bermasalah).15

Ada dua metode penyelesaian kredit/pembiayaan bermasalah, Pertama, penyelamatan kredit bermasalah yaitu melalui perundingan kembali antara bank/finance (kreditur) dengan debitur atau nasabah. Kedua, penyelesaian kredit bermasalah adalah penyelesaian melalui lembaga hukum, seperti panitia piutang negara PUPN dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Lembaga Peradilan dan arbitrase. Penyelamatan kredit dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu rescheduling (penjadwalan kembali) dengan cara melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali atau jangka kredit, termasuk perubahan jumlah angsuran. Berikutnya reconditioning (persyaratan kembali) yaitu melakukanperubahan sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian tanpa memberikan tambahan kredit dan tanpa melakukan konversi penyertaan. Terakhir adalah restrukturisasi (penataan kembali) dengan melakukan perubahan syarat-syarat kredit berupa pemberian tambahan kredit atau bisa juga dengan melakukan konversi. Dalam POJK11/2020 penyelamatkan kredit dimasa pandemi Covid-19 menggunakan mekanisme restrukturisasi. Debitur tentu dapat memanfaatkan fasilitas relaksasi dan restukturisasi dari pemerintah untuk kemudian diformulasikan oleh debiturnya melalui proposal restrukturisasi yang diajukan kepada para krediturnya berdasarkan POJK No. 11 tahun2020. Namun apabila bentuk pola restrukturisasi yang ditawarkan oleh kreditur dianggap tidak memadai oleh debitur, maka debitur dapat berinisiatif untuk melakukan pola restrukturisasi berdasarkan perjanjian atau untuk relasi yang lebih kompleks maka UUK dan PKPU dapat digunakan agar restrukturisasi menjadi lebih seimbang dan menyeluruh.16

  • IV.    Kesimpulan

Ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata menjelaskan bahwa dalam suatu keadaan memaksa pihak yang lalai dalam menjalankan kewajibannya dapat dilepaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang timbul akibat tidak dilaksanakannya suatu perjanjian. Kedua pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat memenuhi prestasinya disebabkan karena suatu hal yang tak terduga atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja atau karena keadaan memaksa (overmacht), maka pihak tersebut dilepaskan dari kewajiban memberikan ganti rugi karena adanya keadaan memaksa (force majeure). Pandemi Covid-19 merupakan sebuah bencana non alam yang dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa (force majeure). Keadaan

memaksa (force majeure) pandemi Covid-19 menyebabkan dimungkinkannya terjadi perubahan/ addendum perjanjian untuk menjalankan kewajiban di waktu lain jika disepakati oleh para pihak. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menyikapi penyebaran Covid-19 (Corona Virus Desease) diantaranya menerapkan Social Distancing dan Physical Distancing serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020. Begitu pula Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2020. Metode penyelesaian kredit/pembiayaan bermasalah dapat melalui perundingan kembali antara bank (kreditur) dengan debitur atau nasabah maupun melalui lembaga hukum, seperti panitia piutang negara PUPN dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Lembaga Peradilan dan arbitrase. Penyelamatan kredit dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu rescheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (persyaratan kembali), atau restrukturisasi (penataan kembali) dengan melakukan perubahan syarat-syarat kredit berupa pemberian tambahan kredit atau bisa juga dengan melakukan konversi. Dalam POJK 11/2020 penyelamatkan kredit dimasa pandemi Covid-19 menggunakan mekanisme restrukturisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta, SinarGrafika, 2019).

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2014).

Marzuki, Peter Mahmud. PenelitianHukum (Jakarta, PrenadaMediaGroup, 2010).

Jurnal

Aina, Rossanti Qorry. "Penyelesaian Sengketa Pembatalan Perjanjian Kontrak Kerja Sebelum Dan Sesudah Pandemi Covid 19." Jurnal Kertha Semaya9, no. 2 (2021): 195-205.

Aji, Bondan Seno, Made Warka, and Evi Kongres. "Penerapan Klausula Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit Di Masa Pandemi Covid 19." Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (2021): 1-18.

Amajihono, Kosmas Dohu. "Penundaan Pembayaran Angsuran Kredit Dampak COVID-2019 di Indonesia." Jurnal Education and development 8, no. 3 (2020): 144144.

Aminah, Aminah. "Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian." Diponegoro Private Law Review 7, no. 1 (2020): 10-16.

Dewangker, Arie Exchell Prayogo. "Penggunaan Klausula Force Majeure Dalam Kondisi Pandemik." Jurnal Education and development 8, no. 3 (2020): 309-309.

Fitri, Wardatul. "Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, no. 1 (2020): 76-93.

Frisyudha, Aryabang Bang, I. Nyoman Putu Budiartha, and Ni Komang Arini Styawati. "Renegosiasi sebagai Upaya Penyelesaian Wanprestasi dalam Kontrak

Bisnis Selama Masa Pandemi Covid-19." Jurnal Konstruksi Hukum 2, no. 2 (2021): 344-349.

Nugrahaningsih, Widi, and Indah Wahyu Utami. "Perlindungan Bagi Debitur Penerima Fasilitas Kredit Dimasa Pandemi Covid 19." Jurnal Indonesia Sosial Sains 2, no. 3 (2021): 484-493.

Satradinata, Dhevi Nayasari, and Bambang Eko Muljono. "Analisis Hukum Relaksasi Kreadit Saat Pandemi Corona Dengan Kelonggaran Kredit Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK. 03/2020." Jurnal Sains Sosio Humaniora 4, no. 2 (2020): 613-620.

Sukerta, I. Made Rai, I. Nyoman Putu Budiartha, and Desak Gde Dwi Arini. "Restrukturisasi Kredit terhadap Debitur Akibat Wanprestasi Karena Dampak Pandemi Covid-19." Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 2 (2021): 326-331.

Tjoanda, Merry, Yosia Hetharie, Marselo Valentino Geovani Pariela, and Ronald Fadly Sopamena. "Covid-19 sebagai Bentuk Overmacht dan Akibat Hukumnya Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kredit." SASI 27, no. 1 (2021): 93-101.

Yusmita, Yusmita, Riski Pebru Ariyanti, Enricho Duo Putra Njoto, and Rizal Yudistira. "Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Dan Kreditur Dalam Melakukan Perjanjian Baku." DiH: Jurnal Ilmu Hukum15, no. 1 (2019): 59-67.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang PenanggulanganBencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4273)

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang PenetapanBencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 91 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6487)

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11 /POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 11 Tahun 2021, hlm.894-903

903