PENGATURAN SISTEM PERTUKARAN INFORMASI OTOMATIS TERKAIT RAHASIA DATA DAN

INFORMASI BIDANG PERBANKAN DI INDONESIA

Pande Putu Adhi Gunawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Gede Marhaendra Wija Atmaja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan karya ilmiah ini bermaksud untuk mengakaji dan menganalisis pengaturan mengenai Automatic Exchange Of Information di tatanan hukum nasional serta mengetahui akibat hukum pasca penandatanganan Automatic Exchange Of Information terhadap kerahasiaan bank di Indonesia. Karya ilmiah ini memakai metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Bedasarkan hasil penelitian pemberlakuan Automatic Exchange Of Information diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menjadi undang undangdalam pasal 1 mengenai kewenangan pembukaan kerahasiaan akses keuangan terutama di bidang perbankan dan perpajakan. Tujuan Automatic Exchange Of Information ialah untuk membuka otomatis data nasabah guna mencegah penghindaran pajak. Akibat hukum pembukaan rahasia bank ialah hukum terbaru mengabaikan hukum yang lama dimana Undang-Undang Akses Informasi Keuangan diundangkan pada tahun 2017 sehingga mengabaikan Undang-Undang perbankan yang diundangkan pada tahun 1998.

Kata Kunci: Sistem Pertukaran Informasi Otomatis, Rahasia Bank, Informasi Nasabah.

ABSTRACT

The purpose of writing this scientific paper is to study and analyze the regulation regarding the Automatic Exchange of Information in the national legal system and to find out the legal consequences after the Automatic Exchange of Information on bank secrecy in Indonesia. This scientific work uses a normative legal research method with an invitation application approach and a concept approach. The results of the study show that the application of automatic information exchange is regulated in Law Number 9 of 2017 concerning Access to Financial Information for Tax Purposes which becomes law in article 1 regarding the disclosure of confidentiality of financial access, especially in banking and taxation. The purpose of Automatic Information Exchange is to automatically disclose customer data to prevent tax evasion. The legal consequence of opening bank secrecy is the latest law on the old law where the Law on Access to Financial Information was enacted in 2017 so that the law was enacted in 1998.

Key Words: Automatic Information Exchange System, Bank Confidentiality, Customer Information.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Automatic Exchange of Information (AEOI) merupakan suatu kesepakatan perputaran data keuangan berkaitan dengan perpajakan yang dikerjakan secara kontinyu, impuslsif dan global, AEOI dipelopori oleh Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD). AEOI merupakan suatu standar yang diterapkan secara global yang suatu saat dapat berguna dalam pengurangan peluang pelanggar pajak untuk mengelabuhi pembayaran pajak. Dengan adanya sistem ini maka setiap negara bisa mendapatkan informasi bekaitan dengan kekayaan warganya di negara lain.1 Jika di kemudian hari ternyata terdapat harta yang tidak dilaporkan, maka harta tersebut akan dibebankan denda yang jauh lebih besar, disertai pengusutan asal-usul sumbernya. Kebijakan ini dianggap sebagai salah satu penyelesaian bagi pemerintah Indonesia pasca pemberian amnesti pajak bagi para warga negaranya yang menyimpan harta bendanya di luar negeri.2

Negara bisa dikatakan pemegang kedaulatan tertinggi atas seluruh rakyat yang menidami suatu daerah tertentu.3 Sebutan negara pun juga memiliki makna “kas negara atau fiscus” sehingga hal ini berguna sebagia laporan harta yang dikelola oleh penguasa sebagai kepentingan luas, seperti dalam pemasukan negara dan lain-lain. Pemahaman mengenai istilah negara ini disampaikan dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Belanda atau dalam Bahasa Belanda inleiding tot de studie van het Nederlandsche Recht oleh L.J Van Apeldoorn.4 Negara juga merupakan agency (alat) dari masyarakat yang memiliki wewenang untuk menata interaksi antara manusia dengan masyarakat dan mendisiplinkan fenomena otoritas di lingkungan masyarakat.5 Terbentuknya suatu negara tentunya memiliki suatu tujuan yang harus dicapai oleh negara tersebut. Demi mewujudkan kesejahteraan umum, maka Indonesia berupaya memenuhi tujuan itu yang dilaksanakan melalui pembangunan nasional dimana dalam pembangunan nasional ini bukan hanya pemerintah saja yang aktif namun diperlukan juga partisipasi dari masyarakat. Masyarakat merupakan penggerak pembangunan, dan pemerintah bertanggung jawab guna membimbing, menuntun serta membentuk suasana yang menyokong pembangunan nasional. Dengan masyarakat yang partisipatif maka pemerintah dapat memutuskan kebijakan-kebijakan yang bisa membuat masyarakat turut serta dalam pembangunan nasional, kebijakan yang dimaksud tersebut adalah dengan menerapkan penarikan pajak.

Pajak merupakan suatu iuran rakyat yang masuk dalam kas negara berlandaskan undang-undang bersifat mengikat dan tanpa memperoleh jasa timbal balik langsung yang bisa ditampilkan dan diperuntukkan guna membayar pengeluaran umum. Pajak termasuk salah satu sumber pemasukan negara yang dipergunakan sebagai sumber dana pembangunan bagi semua masyarakat, pajak juga memiliki potensi dan prospek yang bagus dikarenakan jumlahnya yang cenderung stabil serta menjadi wujud perab aktif warga dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

Sektor pajak merupakan aspek yang sangat krusial bagi sebuah negara. Dalam sejarah perjalanan republik ini, sumber pemasukan negara yang berasal dari pajak sedianya menjadi poin mendasar dalam menyokong kegiatan perekonomian, mengerahkan roda pemerintahan dan pengadaan berbagai fasilitas publik bagi masyarakat.6 Sektor pajak memiliki peran sentral dimana kedepannya harus lebih ditingkatkan pengawasannya karena semakin kompleksnya upaya penggelapan dan pengemplangan pajak. AEOI menjadi jawaban untuk mencegah adanya penggelapan maupun pengemplangan pembayaran pajak.7

Penandatanganan Multilateral Competent Authorities Agreement (MCAA) tahun 2015 merupakan pedoman implementasi AEOI Indonesia bersama negara lain atau yurisdiksi mitra.8 Implementasi AEOI dimaksudkan agar dapat memunculkan berbagai keuntungan bagi Indonesia, diantaranya otoritas pajak bisa mendapatkan data keuangan wajib pajak negara Indonesia yang masih menyimpan kekayaan di negara lain atau yurisdiksi mitra. Pada tanggal 14 April 2016, OECD menerbitkan 94 yurisdiksi dengan 55 dari jumlahnya telah setuju untuk bertukar data secara langsung pada tahun 2017, begitupun yurisdiksi yang telah lama dikenal sebagai tax haven layaknya British Virgin Island, Bermuda, Luxembourgh, serta Cayman Island. Negara lain seperti Jepang, Singapura, dan juga Indonesia melaksanakan AEOI pada tahun 2018. Pemerintah akan menyepakati FATCA dan akan mulai melakukan pertukaran data secara berkala bersama Pemerintah Amerika terhitung dari bulan September 2016 dan menyiapkan implementasi AEOI bersama 94 yurisdiksi lain yang kemudian dimulai pada September 2018.

Publikasi OECD per tanggal 14 April 2016 menjabarkan infromasi bahwasannya sejumlah 94 yurisdiksi telah bekomitmen untuk menyelenggarakan AEOI melalui penerapan Common Report Standard (CRS). CRS adalah kriteria dalam pertukaran informasi keuangan secara mekanis untuk keperluan perpajakan begitu juga pemahaman yang dibentuk oleh OECD bersama negara anggota G20. Mekanisme CRS ini nantinya mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) mengadukan data keuangan nasabah asing kepada competent authority Indonesia, yakni Direktorat Jenderal Pajak. Selanjutnya Direktorat Pajak akan menerima dan mengirimkan data keuangan nasabah asing tersebut ke otoritas pajak negara asalnya. Begitupun sebaliknya, otoritas pajak dari negara Wajib Pajak Asing tersebut nantinya juga akan mengirimkan data keuangan Wajib Pajak Indonesia ke Direktorat Jenderal Pajak sehingga pertukaran informasi ini tidak hanya bersifat otomatis, tetapi juga bersifat resiprokal.9

Dengan adanya AEOI, diharapkan mampu mengurangi adanya penghindaran dan penggelapan pajak karena negara yurisdiksi sudah melakukan pertukaran informasi secara otomatis tanpa adanya permintaan terlebih dahulu terhadap akun finansial warga negaranya yang berdomisili di luar negeri. Hal ini telah dinyatakan dalam OECD bahwa, “the new global standard on Automatic Exchange of Information (AEOI) reduces the possibility for tax evasion. It provides for the exchange of non-resident financial

account information with the tax in the account holders’ country of residence. Participating jurisdictions that implement AEOI send and receive pre-agreed information each year, without having send a specific request.

Keberadaan Bank sebagai salah satu badan keuangan sangat bergantung pada kepercayaan dari para nasabahnya.10 Salah satu kewajiban bank ialah agar tidak menyebarkan kerahasiaan nasabah kepada siapapun terkecuali jika terdapat ketentuan tambahan oleh ketentuan perundang-undangan.11 Keputusan negara Indonesia berkaitan dengan implementasi AEOI melahirkan suatu dilema mengingat pada konteks yang lain gagasan ini kontra dengan prinsip kerahasiaan bank. Dalam Undang-Undang Tahun 1998 Nomor 10 tentang Perubahan Undang-Undang Tahun 1992 Nomor 7 berkaitan dengan Perbankan memuat mengenai ketentuan terkait kerahasiaan bank yakni pada Pasal 40 ayat (1) berbunyi bahwasannya “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.”

Dengan adanya konflik antara dua peraturan dan prinsip yang berbeda, maka menjadi penting untuk dilakukan penelitian yang akan dijabarkan dalam bentuk karya tulis yang berjudul “PENGATURAN SISTEM PERTUKARAN INFORMASI OTOMATIS TERKAIT RAHASIA DATA DAN INFORMASI BIDANG PERBANKAN DI INDONESIA” Dari hasil penelusuran penulis bahwa belum ada jenis penelitian yang mengambil judul dan permasalahan yang sama, namun terdapat penelitian yang memiliki keterkaitan isu hukum yang sama yaitu tulisan yang dibuat oleh Budi Ispriyarso dengan judul Automatic Exchange Of Information dan Penghindaran Pajak. Penelitin ini memiliki keterkaitan dengan Automatic Exchange Of Information namun perbedaannya terdapat pada rumusan masalahnya, yang mana penelitian oleh Budi Ispriyarso mengangkat permasalahan tentang bagaimana pengelakan pajak terjadi oleh wajib pajak di Indonesia serta bagaimana peranan AEOI untuk menangkal dan mereduksi pengelakan pajak yang dilakukan wajib pajak.12

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran alasan di atas maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan AEOI dalam kaitannya dengan rahasia data dan informasi nasabah di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah akibat hukum pembukaan rahasia data dan informasi nasabah dengan diberlakukannya AEOI di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Maksud diadakannya penelitian ini diantaranya untuk mengakaji dan menganalisis pengaturan mengenai AEOI di tatanan hukum nasional serta mengetahui akibat hukum pasca penandatanganan AEOI terhadap kerahasiaan bank di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, sebab penelitian ini menjadikan konsep hukum sebagai objeknya. Pendekatan Perundang-Undangan (The Statutory Approach) dipergunakan dalam penulisan ini, yang dikerjakan dengan mendalami seluruh undang-undang dan ketetapan yang berhubungan dengan polemik hukum yang diproses dan juga memakai Pendekatan Konsep (Conceptual Approach). Konsep ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui konsep atau pengertian kerahasiaan bank dan AEOI. Bahan hukum yang digunakan untuk membahas permasalahan yang diajukan terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang Undang. Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini bersumber dari makalah, jurnal hukum, buku literatur, internet, skripsi serta sumber lainnya yang terkait dengan permasalahan. Dalam menganalisis sumber-sumber hukum yang telah didapat, melalui pengelolaan bahan hukum yakni setelah sumber hukum terkumpul kemudian dianalisis memakai teknik deskripsi yakni menjabarkan sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder (menarik asas-asas hukum) yang terkumpul kemudian melakukan penilaian (evaluasi).13

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan AEOI Dalam Kaitannya Dengan Rahasia Data dan Informasi Bidang Perbankan di Indonesia

Payung hukum dari pemberlakukan dan penerapan AEOI di Negara Indonesia yakni Undang-Undang Tahun 2017 Nomor 9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan”. Pemberlakuan Undang Undang ini termasuk salah satu pemenuhan syarat pokok agar menjadi negara yang turut serta dalam pertukaran informasi secara impulsif. Undang-Undang Tahun 2017 Nomor 9 di dalamnya pada bagian menimbang huruf b dijelaskan bahwasannya, “Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017.”

Didasarkan alasan terkait serta terdapatnya keperluan yang teramat penting untuk lekas membagikan akses yang lebar untuk kewenangan pajak dalam mendapatkan informasi keuangan sebagai keperluan perpajakan, maka Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Mei 2017 mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Tahun 2017 Nomor 1 tentang “Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan” yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang per tanggal 23 Agustus 2017 menjadi Undang-Undang Tahun 2017 Nomor 9.

Yang termasuk akses informasi keuangan guna keperluan perpajakan menurut perundangan ini, diantaranya akses dalam mendapatkan informasi keuangan untuk keperluan penerapan pedoman ketetapan perundang-undangan pada bagian perpajakan dan penerapan international agreements pada bagian perpajakan. Atas dasar undang-undang ini, yang memiliki wewenang memperoleh akses informasi keuangan ialah Direktur Jenderal Pajak (DJP) untuk keperluan perpajakan dari badan jasa

keuangan yang mengerjakan aktivitas di dunia perbankan, perasuransian, pasar modal, instansi keuangan lainnya, begitupun badan lain yang dikelompokkan dalam badan keuangan berdasarkan patokan pertukaran informasi keuangan yang berdasar international agreements pada bagian perpajakan.14

Badan keuangan, lembaga keuangan lainnya begitupun badan lain yang termasuk dalam undang-undang terkait, patut mengadukan pada Direktur Jenderal Pajak mengenai:

  • “1. Laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan

  • 2.    Laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dimaksud selama satu tahun kalender.”

Hal-hal yang wajib dilaporkan tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) Lampiran yang berbunyi sebagai berikut:

“Laporan berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat:

  • a.    Identitas pemegang rekening keuangan;

  • b.    Nomor rekening keuangan;

  • c.    Identitas lembaga jasa keuangan;

  • d.    Saldo atau nilai rekening keuangan; dan

  • e.    Penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.”

Berdasarkan Undang-undang ini, dinyatakan bahwa badan keuangan maupun entitas lainnya tidak dikenankan untuk meladeni prose buka rekening keuangan baru untuk nasabah anyar dan transaksi anyar berkaitan dengan rekening keuangan untuk nasabah tetap yang tidak setuju terhadap ketetapan identifikasi rekening keuangan yang dituju. Disamping mendapat laporan selayaknya yang dimaksud, Direktur Jenderal Pajak juga memiliki kewenangan untuk menagih informasi begitupun bukti ataupun kejelasan dari lembaga keuangan ataupun entitas lainnya. Informasi keuangan yang tertuang berwujud laporan serta data begitu juga bukti atau kejelasan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang terkait, dipergunakan untuk dasar data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.

Undang-undang ini juga mengatur mengenai ancaman sanksi bila terjadi pelanggaran sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 Lampiran yang menyatakan:

“(1) Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang:

  • a.    Tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);

  • b.    Tidak melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4); dan/atau

  • c.    tidak memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • (2)    Badan keuangan, dana atau badan keuangan yang lain, serta entitas lain selayaknya yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang:

  • a.    tak memberikan laporan selayaknya yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);

  • b.    tak menerapkan tata cara identifikasi rekening keuangan dengan tepat selayaknya yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4); dan/atau

  • c.    tidak menyerahkan data informasi begitu juga bukti atau keterangan selayaknya yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dipidana denda maksimal Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • (3)    Setiap orang yang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan atau mengurangkan informasi yang sebenarnya dari informasi yang wajib disampaikan dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, terdapat sanksi yang mengatur apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran informasi keuangan, namun di sini belum ada sanksi yang mengatur apabila pihak Direktorat Jenderal Pajak menyalahgunakan kewenangan atau informasi mengenai catatan keuangan yang telah diberikan oleh lembaga jasa keuangan atau entitas lainnya. Instansi perbankan sebagai salah satu instansu keuangan memiliki nilai prospek dalam aspek perekonomian pada negara, dalam melaksanakan kegiatan kemitraan antara bank dengan nasabahnya, kegiatan bank harus dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum perbankan untuk menciptakan sistem perbankan yang tepat dan sehat, prinsip tersebut diantaranya: prinsip demokrasi ekonomi, prinsip kehati-hatian, prinsip kepercayaan serta prinsip kerahasiaan.15

Dengan adanya peraturan mengenai rahasia bank yang terlalu ketat, berdampak pada dunia perbankan nasional dimana hal tersebut menjadikannya tempat pencucian uang dan tindakan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan pengemplangan pajak.16 Namun apabila dikaitkan dengan kondisi politik dalam negeri serta kondisi sosial, memang perlu adanya kelonggaran akan kewajiban menjaga rahasia oleh bank. Dimana sudah seyogyanya kepentingan bangsa dan negara serta warga masyarakar dinomorsatukan dibanding kepentingan pribadi nasabah itu sendiri, oleh karena itu keharusan bank untuk menjaga kepentingan nasabah individu dalam kaitan tidak diperbolehkan menjabarkan kondisi keuangan nasabah dapat dinomor duakan.

Terkait kerahasiaan bank, pengaturannya tertuang pada Undang-Undang Tahun 1998 Nomor 10 tentang Peralihan Atas Undang-Undang Tahun 1992 Nomor 7 tentang Perbankan yang dilegalkan pada tanggal 10 November 1998. Pengertian mengenai rahasia bank tercantum pada Pasal 1 angka 28 yang mengatakan bahwasannya, “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. Kemudian dalam Pasal

  • 40    menyatakan pada intinya bahwasannya bank mempunyai keharusan untuk merahasiakan fakta terkait klien serta simpanannya, terkecuali terkait hal yang diatur dalam Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 43 serta Pasal 44A. Jadi atas dasar ketetapan tersebut, bank mutlak harus merahasiakan informasi apapun yang berhubungan dengan klien dan simpanannya akan tetapi terdapat pengecualian terhadap kewajiban tersebut yakni meliputi:

Pasal 41 berbunyi: “Untuk kepentingan perpajakan berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan”

Pasal 41A berbunyi: “Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara”

Pasal 42 berbunyi: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana”

Pasal 43 berbunyi: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya”

Pasal 44 berbunyi: “Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank”

Pasal 44A ayat 1 berbunyi: “Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis “

Pasal 44A ayat 2) berbunyi: “Atas permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah meninggal dunia.”

Dalam hal berkaitan perpajakan, penanganan tagihan bank yang telah dipasrahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, dan keperluan peradilan dalam perkara pidana, lebih dulu wajib mengantongi perintah ataupun izin tertulis guna memaparkan kerahasiaan bank dari Pimpinan Bank Indonesia, akan tetapi yang lainnya tidak membutuhkan perintah ataupun izin tersurat untuk memaparkan rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia. Masalah dalam menghimpun penerimaan pajak adalah kurangnya akses terhadap informasi wajib pajak yang dimiliki perbankan. Akses informasi nasabah perbankan memang sangat dibutuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dikarenakan Ditjen Pajak harus selalu bisa mencapai target penerimaan pajak yang nilainya meningkat secara kontinyu dari tahun ke tahun. Salah satu kendalanya yakni ketentuan mengenai rahasia bank dan rahasia jabatan.17 Ketentuan tersebut tentu menyulitkan Ditjen Pajak untuk mengusut dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.18 Salah satu cara untuk mengusutnya adalah dengan memeriksa rekening tabungan para wajib pajak yang ada di perbankan nasional.

Maka dari itu, rahasia bank itu tidak bisa dilakukan dalam rangka menggali atau mencari informasi potensi pembayar pajak, dalam hal ini Bank Indonesia hanya bisa mengeluarkan izin pembukaan rahasia bank berdasarkan kasus per kasus, tidak secara menyeluruh.19 Dengan demikian, hanya nasabah yang dicurigai melakukan penyimpangan terkait pajak sajalah yang akan dibuka data perbankannya, terkait

nasabah lainyang tidak bermasalah haruslah tetap dijaga kerahasiaannya terkait apapun. Sistem pembukaan data nasabah yang ditengarai tersebut pun tidak dikerjakan secara instan oleh Bank Indonesia melainkan atas surat permintaan yang berasal dari Menteri Keuangan oleh karenanya Bank Indonesia dapat melayangkan surat perintah kepada bank terkait dimana klien menyimpan asetnya untuk selanjutnya bank terkait memaparkan informasi kecurigaan berkaitan simpanan klien tersebut. Selanjutnya, aparat pajak akan berhubungan secara langsung dengan bank yang bersangkutan. Adanya AEOI diharapkan mampu untuk mencegah penghindaran pajak, pengelakan pajak. Sehingga nantinya Ditjen Pajak dapat membuka rahasia bank itu sendiri tanpa perlu izin dari pihak Bank Indonesia ataupun lewat surat permintaan yang berasal dari Menteri Keuangan.

  • 3. 2 Akibat Hukum Terhadap Nasabah Dalam Pembukaan Rahasia Data dan Informasi Bidang Perbankan dengan Diberlakukannya AEOI di Indonesia

Perlindungan hukum merupakan hak paten yang seharusnya diperoleh bagi setiap warga negara dan termasuk kewajiban yang wajib dilakukan oleh pemerintah karena Indonesia merupakan negara hukum. Pemerintah sudah mengatur terkait perlindungan hukum bagi nasabah bank tentang kerahasian bank dalam Undang-Undang Perbankan. Bank wajib untuk menjaga kerahasiaan bank dengan pengecualian kerahasiaan bank dapat dipaparkan untuk kepentingan pajak yang diatur dalam Pasal 41, kepentingan peradilan pidana yang diatur dalam Pasal 42, kepentingan penyelesaian piutang yang diatur dalam Pasal 41A, kepentingan pemeriksaan peradilan perdata yang diatur dalam Pasal 43, kepentingan pihak lain yang ditentukan oleh nasabah yang diatur dalam Pasal 44A serta kepentingan pertukaran informasi antar bank yang terkandung dalam Pasal 44. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat 2 (dua) klasifikasi pembukaan atau pengecualian rahasia bank, yakni:

  • 1.    Pengecualian yang memerlukan izin dari lembaga otoritas tertinggi untuk membukanya, yaitu: kepentingan penyelesaian piutang bank, kepentingan pidana dan kepentingan perpajakan. Kepentingan perpajakan dan kepentingan peradilan pidana adalah pengecualian atas paksaan hukum untuk menyeimbangkan dengan kepentingan umum, sedangkan penyelesaian piutang bank yang terkait bersama keperluan bank itu sendiri (in the interest of the bank) dalam memastikan keberlangsungan usaha.

  • 2.    Pengecualian yang tidak memerlukan izin dari lembaga otoritas tertinggi untuk membukanya, yaitu: kepentingan pertukaran informasi antar bank, kepentingan pemeriksaan peradilan perdata dan kepentingan pihak lain yang ditunjuk nasabah.

Apabila dicermati dalam pasal-pasal pengecualian rahasia bank, persetujuan nasabah tidak diperlukan untuk membuka rahasia bank kecuali untuk Pasal 44A ayat (1) Undang-Undang Perbankan bahwasannya berdasar permintaan, persetujuan atau wewenang dari klien penyimpan pada bank terkait kepada pihak yang ditentukan oleh klien yang menyimpan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan, kewajiban menjaga rahasia bank merupakan kewajiban berdasarkan undang-undang bukan secara kontraktual, selain itu juga kewajiban melindungi rahasia bank tidak disebutkan secara

eksplisit dalam perjanjian penyimpanan dana, hanya secara tersirat berdasarkan kewajiban moral (moral obligation).20

Sebagai tindak lanjut dari program Tax Amnesty yang dilayangkan oleh pemerintah, selanjutnya pada tahun 2018 pemerintah Indonesia mulai memberlakukan sistem pertukaran informasi secara langsung (AEOI) bersama sejumlah negara lain dimana AEOI termasuk program pertukaran informasi keuangan yang berkaitan dengan perpajakan yang dikerjakan secara otomatis, berkala dan menyeluruh.21 Dalam perjanjian internasional yang mengatur mengenai AEOI, terdapat syarat mutlak yang harus dipenuhi negara-negara partisipan agar dapat melakukan pertukaran informasi secara impulsif dengan negara partisipan lainnya, yakni dengan membuat suatu produk hukum berupa undang-undag ataupun peraturan setara undang-undang yang mengatur mengenai pertukaran informasi secara otomatis (AEOI) tersebut.22

Disahkannya Undang-Undang Tahun 2017 Nomor 9 menuai banyak perdebatan, yakni khususnya dalam hal pembukaan rahasia bank. Dalam Lampiran Undang-Undang Akses Informasi Keuangan Pasal 8 angka 2 menentukan bahwa:

“Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.”

Sedangkan Pasal 40 Undang-Undang Perbankan menentukan bahwa, “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpananannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.” Kemudian dalam Pasal 41 bebrbunyi: “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpanan tertentu kepada pejabat pajak.

Apabila dilihat dari bunyi pasal tersebut, Undang-Undang tentang Perbankan mengatur mengenai rahasia bank terkandung dalam Pasal 40 dan Pasal 41, dimana Pasal 40 Undang-Undang tentang Perbankan merupakan ketentuan yang memuat kewajiban sebuah bank dalam melindungi Rahasia Nasabah. Sedangkan Pasal 41 Undang-Undang yang sama memasrahkan otoritas kepada Menteri Keuangan supaya mengabaikan keharusan dalam melindungi Rahasia Nasabah sebagai kepeluan perpajakan, bersama ketetapan bahwasannya pemeriksaan Rahasia Nasabah diselenggarakan dengan prosedur permintaan lewat Menteri Keuangan. Maka dari itu Pasal 41 Undang-Undang Perbankan sudah merupakan landasan yang layak menata tentang tata cara pengecualian kewajiban menjaga Rahasia Nasabah sebagai keperluan akses informasi

keuangan demi menjalankan ketetapan Perpajakan.23 Apabila Pasal 41 sudah memasrahkan prerogatif dan otoritas kepada Menteri Keuangan untuk memaparkan Rahasia Nasabah dalam hal kaperluan perpajakan, oleh karenanya sebagai tujuan apakah Pasal 8 angka 2 Lampiran Undang-Undang Akses Informasi Keuangan diberlakukan, melainkan supaya melenyapkan seluruh protokol dan langkah yang telah dijadikan satu untuk kepentingan Perpajakan, oleh Pasal 41 Undang-Undang Perbankan. Dengan berlakunya Undang-Undang Akses Informasi Keuangan sebagai landasan hukum atas AEOI maka pemaparan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan tidak lagi membutuhkan persetujuan dari pihak Bank Indonesia maupun atas permintaan Menteri Keuangan, sehingga akan menimbulkan kecemasan nantinya bagi nasabah bank yang keterangan mengenai simpananan dan data pribadinya akan dibuka secara otomatis dan berkala sebagai bentuk pemberlakuan AEOI.

Berdasarkan Pasal 8 Lampiran Undang-Undang Akses Informasi Keuangan, pembukaan informasi nasabah hanya dapat dilakukan dalam perihal terjadinya sesuatu yang mencurigai terkait penghindaran pajak karena penghindaran pajak adalah tindak pidana sehingga dengan tanpa adanya ketetapan Pasal 8 Lampiran itu juga rahasia apapun bisa diakses sebagai kepentingan penegakan hukum. Pengeculian konfidensial data dan fakta terkait dengan munculnya anggapan manipulasi pajak tidaklah kontra dengan prinsip dalam Pasal 8 Lampiran pemenuhan gugatan yang adil terhadap masyarakat karena ketentuan tersebut sebagai penggalan dari prosedur penaatan mengenai kewajiban internasional yang muncul dari international agreements yang mensyaratkan diterapkannya esensi perjanjian dengan tujuan baik berpedoman pada prinsip pacta sunt servanda. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka efek hukum pemaparan kerahasiaan bank ialah beberapa ketetapan yang berhubungan dengan kerahasiaan bank yang termasuk dalam Undang-Undang Akses Informasi Keuangan mengabaikan ketetapan yang termasuk dalam Undang-Undang Perbankan dengan berlandaskan asas lex posterior derogate legi priori, bermakna hukum terbaru mengabaikan hukum yang uzur dimana Undang-Undang Akses Informasi Keuangan diberlakukan pada tahun 2017 sehingga mengabaikan Undang-Undang perbankan yang diberlakukan pada tahun 1998.

IV. Kesimpulan

Di Indonesia, pengaturan AEOI pada hukum nasional ialah Undang-Undang Tahun 2017 Nomor 9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tahun 2017 Nomor 1 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan berwujud Undang-Undang. Tujuan penerapan AEOI ialah guna mengurangi tindakan pengelakan pajak, pengelakan pajak dengan metode pembukaan rahasia bank. Akibat hukum pembukaan rahasia bank ialah beberapa ketetapan yang berkaitan dengan kerahasiaan bank yang termasuk dalam Undang-Undang Akses Informasi Keuangan mengabaikan ketetapan yang termasuk dalam Undang-Undang Perbankan dengan berlandaskan asas lex posterior derogate legi priori, bermakna hukum terbaru mengabaikan hukum yang uzur dimana Undang-Undang Akses Informasi Keuangan diberlakukan pada tahun 2017 sehingga mengabaikan Undang-Undang perbankan yang diberlakukan pada tahun 1998. Saran yang dapat diberikan ialah melaksanakan sosialisasi terhadap lembaga jasa keuangan khususnya di bidang

perbankan dan juga sosialisasi kepada Wajib Pajak guna tercapainya pelaksanaan sistem pertukaran informasi otomatis yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Huda, Ni’matul. Ilmu Negara, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 2.

Kansil, C., dan Christine ST Kansil. Ilmu Negara, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2004) Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum”, (Depok: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 2006), h. 51.

Jurnal Ilmiah

Akmam, Sidharta. "Pertukaran Otomatis dalam Informasi: Perspektif Ekonomi Politik." Jurnal Hubungan Internasional 10, no. 2 (2017): 133-146.

Fahrurrozi, Rizky, Tarsisius Murwadji, and Mien Rukmini. "Problematika Pengungkapan Rahasia Bank Antara Kepentingan Negara Dan Perlindungan Kepada Nasabah." Esensi Hukum 2, no. 1 (2020): 77-96.

Ispriyarso, Budi. "AUTOMATIC EXCHANGE OF INFORMATION (AEOI) DAN PENGHINDARAN PAJAK." Masalah-Masalah Hukum 49, no. 2 (2020): 172-179.

Mutiara, Upik, Ika Khairunnisa Simanjuntak, Rahmad Ramadhan Hasibuan, and Amiludin Amiludin. "Exceptions of banking secrets for the interest of taxes in Indonesia (a comparison of the post-birth of access law to financial information)." Legality: Jurnal Ilmiah Hukum 28, no. 2 (2020): 196-210.

Parsaulian, Baginda. "Implementasi Automatic Exchange of Financial Account Information (Aeoi) Di Indonesia." Jurnal Reformasi Administrasi: Jurnal Ilmiah untuk Mewujudkan Masyarakat Madani 6, no. 1 (2019): 1-7.

Putrayasa, Priskila, and Desak Putu Dewi Kasih. "Tanggung Jawab Bank Terkait. Terbukanya Rahasia Bank Milik Nasabah Penyimpan yang Tidak Aktif.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 6: 943-954.

Samsul H. Hidayat, “Kesiapan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dalam Mengadopsi Automatic Exchange Of Information (AEOI)”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (2017),

Santika, I. Komang. "Perbandingan Pengaturan Rahasia Bank antara Indonesia dan Singapura." Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, no. 3 (2019): 409-420.

Setiawan, Adi. "Tinjauan Yuridis Terhadap Rahasia Bank dan Kepentingan Pihak-Pihak yang Terkait.”Lex Privatum 7, no. 5 (2020).

Simanjuntak, Ika Khairunnisa. "Pengecualian Rahasia Perbankan untuk Kepentingan Perpajakan di Indonesia." Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 19, no. 1 (2020).

Sugiarta, I Putu Gede. "Pengungkapan Rahasia Bank Untuk Kepentingan Peradilan Dalam Tindak Pidana Perbankan.”Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 7: 1116-1128.

Sutiawan, Hendrik Agus, Etty Mulyati, and Ijud Tajudin. "Perlindungan Nasabah Terkait Praktik Pembukaan Rahasia Bank oleh Pegawai Bank dalam Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum." Jurnal Hukum & Pembangunan 48, no. 3 (2018): 630-650.

Tiraada, Tryana AM. "Kesadaran perpajakan, sanksi pajak, sikap fiskus terhadap kepatuhan wpop di kabupaten minahasa selatan." Jurnal EMBA: Jurnal Riset

Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi 1, no. 3 (2013).

Umam, Moh Shofiyul. "Kriminalisasi Rahasia Bank dan Peran PPATK Dalam Penegakan Hukum Perbankan.” Jurnal Pro Justice: Kajian Hukum dan Sosial 1, no. 1 (2019): 40-49.

Yasin, Akhmad. "Keterkaitan Kerahasiaan Bank dan Pajak: Antara Kepentingan Negara dan Pribadi." Jurnal Konstitusi 16, no. 2 (2019): 212-234.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 8 Tahun 2021, hlm.587-599

599