TANGGUNG JAWAB KOMANDO TERHADAP PENGGUNAAN LETHAL AUTONOMOUS WEAPON

SYSTEM (LAWs)

Stefanus Agung Hariwicaksono Passar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Bagus Erwin Ranawijaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab komando terhadap penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs) dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional serta untuk mengetahui penggunaan LAWs dalam konflik bersenjata internasional berdasarkan perspektif tindak pidana internasional. Adapun dalam penelitian ini, metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil studi terhadap rumusan masalah yang ada adalah Penerapan prinsip tanggung jawab komando dalam penggunaan LAWs dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional berdasarkan ketentuan Pasal 86 ayat (2) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 jo. Pasal 28 Statuta Roma, hanya akan berlaku pada pengoperasian senjata yang tergolong dalam kategori “Human-in-the-Loop Weapons” dan “Human-on-the-Loop Weapons” karena komando masih terlibat dalam penggunaan senjata tersebut sebaliknya, prinsip tanggung jawab komando tidak dapat diterapkan pada senjata LAWs yang termasuk dalam kategori senjata “Human-out-of-the-Loop Weapons” karena sistem senjata ini dapat memilih target dan mengirim kekuatan tanpa masukan atau interaksi manusia. Penggunaan LAWs dalam konflik bersenjata merupakan suatu pelanggaran berdasarkan perspektif tindak pidana internasional dikarenakan penggunaan LAWs tidak mencerminkan prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Oleh karenanya, penggunaan LAWs yang menimbulkan akibat-akibat sebagaimana yang termuat dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b Statuta Roma merupakan bentuk tindak pidana internasional.

Kata Kunci: Lethal Autonomous Weapon System (LAWs), Tanggung Jawab Komando, Tindak Pidana Internasional.

ABSTRACT

This writing aims to determine the application of command responsibility to the use of Lethal Autonomous Weapon Systems (LAWs) from the perspective of international humanitarian law and to determine the use of LAWs in international armed conflicts based on the perspective of international criminal acts. As for this research, the research method applied is a normative legal research method with a statutory and conceptual approach. The result of the study is the application of the principle of command responsibility in the use of LAWs from the perspective of international humanitarian law based on the provisions of Article 86 paragraph (2) Additional Protocol I of the 1977 Geneva Convention jo. Article 28 of the Rome Statute, will only apply to the operation of weapons that fall into the categories of “Human-in-the-Loop Weapons” and “Human-on-the-Loop Weapons” because the command is still involved in the use of these weapons otherwise, the principle of command responsibility cannot be applied to LAW weapons are included in the category of “Human-out-of-the-Loop Weapons” because this weapon system can select targets and send power without human input or interaction. The use of LAWs in armed conflict is a violation based on the perspective of international crimes because the use of LAWs does not reflect the principle of distinction and the principle of proportionality. Therefore, the use of LAWs that cause consequences as contained in Article 8 paragraph (2) letter b of the Rome Statute is a form of international crime.

Key words: Lethal Autonomous Weapon System (LAWs), Command Responsibilities, International Crimes.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Segala lini kehidupan di bumi pertiwi ini tidak akan pernah luput dari perkembangan teknologi yang memang secara masif terus terjadi, salah satu bidang yang terkena imbas perkembangan teknologi adalah bidang senjata militer. Dalam bidang persenjataan militer, belakangan ini telah dikembangkan sebuah sistem senjata baru yang dicanangkan dapat dioperasikan dalam perperangan. Sistem senjata baru ini dikenal dengan nama Lethal Autonomous Weapon System (LAWs).1 Apabila merujuk mengenai definisi dari LAWs, memang terdapat banyak sumber berbeda yang mencoba merumuskannya namun merujuk pada pengertian yang diberikan oleh the International Committee of the Red Cross (ICRC) maka dapat diintisarikan bahwa definisi dari LAWs adalah setiap sistem persenjataan yang dapat memilih, melacak, mendeteksi maupun mengindentifikasi serta menyerang maupun menghancurkan obyek tertentu tanpa campur tangan manusia.2 Beberapa pengembangan terhadap LAWs sendiri terjadi di beberapa negara terutama negara maju atau “moredeveloped country” seperti Amerika Serikat, United Kingdom, Rusia maupun negara yang sedang terlibat dalam peperangan seperti Israel.

Sebagai contoh, United Kingdom memiliki senjata yang diberi julukan “fire and forget” Brimstone yang merupalan senjata dengan kemampuan untuk mengindetikasikan obyek tertentu seperti mobil, bus maupun mobil dengan system kerja menemukan obyek target tanpa banyak campur tangan manusia secara langsung. Sedangkan Amerika Serikat sendiri dapat dikatakan sebagai negara pelopor penggunaan LAWs pada saat senjata berbentuk drone bernama American MQ-1, tail fin #3034 pertama kali digunakan pada tahun 2001. Setelah kemunculan perdana tersebut banyak negara maju berlomba-lomba untuk menciptakan LAWs untuk mendukung pertahanan negara mereka.3

Amerika Serikat sebagai negara adidaya menunjukkan keseriusannya dalam dunia penggunaan LAWs kemudian mendorong terbentuknya Offensive Swarm-Enabled Tactis (OFFSET) melalui Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA). OFFSET mengemban tugas utama yakni melakukan eksplorasi artificial intelligence terutama penggunaan hal tersebut dalam dunia militer. Negara dengan tingkat pergejolakan yang tinggi seperti Israel juga melakukan pengembangan LAWs melalui badan strategi nasional Israel (Israeli Defense Forces). Melalui badan tersebut dilakukan pengembangan terhadap Harpy Laoitering Munition 1. Senjata tersebut adalah sebuah “anti-radar attack system” yang memiliki kemampuan proteksi dan penyerangan yang mumpuni. Radar ini sering digunakan untuk memantau perbatasan Israel-Palestina dengan sistem kerja

melakukan patroli di ruang udara suatu medan perang, melacak dan mengidentifikasi emitter radar, terbang mendekatinya kemudian menghancurkannya.4

Kehadiran LAWs saat ini masih mendatangkan pro dan kontra dari berbagai negara. Apabila dikemudian hari terdapat korban-korban sipil yang berjatuhan akibat penggunaan Lethal Autonomous Weapons System (LAWs) ini, maka akan muncul sebuah pertanyaan mengenai pihak mana yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Secara umum, dalam konsep pertanggungjawaban hukum diketahui bahwa terdapat dua jenis pertanggungjawaban yakni pertanggungjawaban negara dan pertanggungjawaban individu. Salah satu bentuk pertanggungjawaban individu adalah tanggung jawab komando dalam hukum humaniter.5 Apabila mengaitkan konsep tanggung jawab komando dengan penggunaan LAWs pada status quo masih menyisakan banyak ruang perdebatan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan jurnal ini. Dalam beberapa jurnal yang telah dipublikasikan seperti artikel yang ditulis oleh Saudari Yunanda yang berjudul “Autonomous Weapon Systems dan Legalitas Penggunaannya dalam Hukum Humaniter Internasional”6 dan artikel yang ditulis oleh Sarah Marisi Ireney Sidauruk dan kawan-kawan dengan judul “Penggunaan Autonomous Weapons System dalam Konflik bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional”7 kedua jurnal tersebut juga menjelaskan mengenai kehadiran LAWs dalam bidang militer namun pembahasan dalam kedua jurnal tersebut lebih banyak mengenai legalitas LAWs dalam peperangan sedangkan hal mengenai tanggung jawab komando tidak dijelaskan secara mendetail. Adanya fakta bahwa belum terdapatnya pengaturan yang spesifik mengenai penggunaan LAWs dalam perang serta belum terjawabnya pertanyaan mengenai sejauh apa batasan prinsip tanggung jawab komando yang dapat diterapkan pada penggunaan LAWs berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang berlaku, maka diperlukan pengkajian kembali mengenai hal ini. Atas fakta yang didasarkan pada penjabaran tersebut maka penelitian ini dirumuskan dengan judul “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Komando Terhadap Penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs)”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berlandaskan pada uraian sebagaimana yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka rumusan masalah yang akan dikupas antara lain:

  • 1.    Bagaimanakah tanggung jawab komando dalam penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs) dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional?

  • 2.    Apakah penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs) dalam konflik bersenjata merupakan suatu pelanggaran berdasarkan perspektif tindak pidana internasional?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun mengenai tujuan dari pengkajian terhadap rumusan masalah yang ada sejatinya adalah untuk memahami tanggung jawab komando dalam penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs) dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional serta untuk mengetahui penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs) dalam konflik bersenjata merupakan suatu pelanggaran berdasarkan perspektif tindak pidana internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sebagaimana secara umum telah diketahui bahwa penelitian hukum normatif secara fundamental merupakan suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan menelaah suatu permasalahan hukum untuk kemudian dikaitkan dengan aspek asas, norma dan doktrin-doktrin hukum yang ada. Pendekatan dalam penulisan ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Pada penulisan penelitian ini akan menggunakan peraturan yang berkaitan dengan hukum humaniter internasional. Tidak hanya pendekatan perundangan-undangan, dalam penelitian ini juga menerapkan pendekatan konseptual (conseptual approach) sehingga terhadap permasalahan yang dikaji akan dikaitkan dan akan dikupas dengan konsep, asas-asas maupun doktrin hukum yang relevan.8

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Tanggung Jawab Komando dalam Penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LaWs) Dilihat dari Perspektif Hukum Humaniter Internasional

Sebelum membahas mengenai tanggung jawab komando dalam pengoperasian LAWs, terlebih dahulu kita menilik kepada pengaturan dari tanggung jawab komando yang terdapat dalam sumber-sumber hukum internasional. Konsep mengenai tanggung jawab komando pada Additional Protocol I of Geneva Convention 1977 diatur pada Pasal 86 ayat (2) AP I yang pada intinya menyatakan bahwa apabila terdapat fakta bahwa apabila seorang bawahan melakukan pelanggaran maka terhadap hal tersebut tidak akan serta merta melepaskan atasan/komandan terbebas dari hukuman karena apabila seorang bawahan melakukan pelanggaran besar kemungkinan bahwa komando dari bawahan tersebut seharusnya sudah mengetahui atau minimal memiliki informasi bahwa bawahannya berpotensi melakukan pelanggaran dan sudah seyogyanya seorang komando melakukan pencegahan atau menekan pelanggaran tersebut.

Apabila merujuk pada ketentuan pada Pasal 28 huruf (a) Statuta Roma ditentukan bahwa pada dasarnya “The fact a breach of the conventions or of this Protokol was committed by a subordinate does not absolve his duperiors from penal or disciplinary, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not all

feasible measures within their power to prevent or repress the breach.” Berkaitan dengan korelasi antara atasan dan bawahan yang tidak tercakup dalam pasal tersebut, telah dirumuskan lebih lanjut dalam pasal 28 huruf (b) Statuta Roma. Berdasarkan ketentuan Pasal 86 ayat (2) AP I Geneva Convention 1977 jo. Pasal 28 huruf (a) Statuta Roma jo. Pasal 28 huruf (b) Statuta Roma maka dapat diintisarikan bahwa unsur-unsur dari tanggung jawab komando adalah sebagaimana di bawah ini.

  • a.    Bahwa harus terdapat hubungan antara komandan dengan bawahan yang diduga atau patut diduga melakukan kejahatan bersangkutan. Frasa “hubungan” mengacu pada makna bahwa komando serta bawahan tersebut memiliki tugas bersama dalam suatu lingkungan militer yang mana hubungan tersebut bersifat vertikal dengan komandan sebagai senior sedangkan bawahannya sebagai junior dalam lingkungan tersebut.

  • b.    Bahwa komandan bersangkutan secara nyata dan efektif memang memberikan komando atau pengawasan efektif terhadap bawahan yang diduga atau patut diduga melakukan kejahatan bersangkutan. Hal-hal yang dimaksudkan sebagai pengawasan efektif dari seorang pemberi komando terhadap bawahannya yakni apabila saat bawahannya melakukan kejahatan, seorang komandan tersebut sejatinya memiliki kemampuan material untuk melakukan pencegahan agar bawahan tersebut tidak melakukan kejahatan maupun tindakan preventif lainnya seperti komandan tersebut sejatinya mampu untuk melaporkan permasalahan tersebut kepada pihak yang memiliki wewenang.

  • c.    Bahwa komandan tersebut mengetahui atau dianggap seyogyanya mengetahui bahwa bawahannya akan melaksanakan atau sudah melaksanakan suatu tindak kejahatan. Berdasarkan ketentuan International Criminal Court (ICC) mengenai frasa “seorang komandan mengetahui atau dianggap sepatutnya mengetahui”, ke depannya frasa terebut tidak hanya sekedar disertakan tapi harus mampu dibuktikan pada persidangan.

  • d.    Bahwa komandan yang bersangkutan tidak berhasil melaksanakan langkah yang logis serta diperlukan untuk mencegah, menindak, atau bahkan menyerahkan permasalahan/tindak kejahatan tersebut kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Seorang komandan tersebut akan dicap telah lalai untuk melaksanakan controlling atas bawahannya sehingga terjadilah kejahatan tersebut.9

Setelah mengetahui unsur-unsur dari pengaplikasian tanggung jawab komando, untuk mengetahui sejauh mana seorang komando tersebut dapat bertanggung jawab atas pengoperasian LAWs, maka unsur-unsur tersebut kemudian akan dikaitkan dengan pengklasifikasian dari Autonomous Weapon Systems yang disusun oleh Human Rights Watch (HRW). Pengklasifikasian menurut HRW dilakukan berdasarkan dari tingkat keotonoman a quo. Tujuan pengklasifikasian ini adalah untuk mengkategorikan berbagai macam bentuk dari Autonomous Weapon Systems itu sendiri. Adapun pengklasifikasian tersebut adalah sebagai berikut:

  • a.    Kategori pertama yakni “Human-in-the-loop Weapons” didefinisikan sebagai sebuah senjata yang manakala diaktifkan dapat memilih target individu atau kelompok

target tertentu dan mengirimkan kekuatan hanya dengan perintah manusia. Senjata-senjata ini dapat dikategorikan sebagai Sistem Senjata Semi-Otonom.

  • b.    Kategori kedua yakni “Human-on-the-Loop Weapons” adalah sistem senjata yang dapat dengan bebas memilih dan menyerang target tertentu. Tidak ada manusia yang harus memutuskan apakah target spesifik itu akan dilibatkan, tetapi ada manusia yang bisa turun tangan untuk menghentikan operasi jika diperlukan.

  • c.    Kategori ketiga yakni “Human-out-of-the-Loop Weapons” didefinisikan sebagai sistem senjata yang mampu memilih target dan mengirim kekuatan tanpa masukan atau interaksi manusia. Sistem senjata ini telah diprogram sedemikian rupa untuk secara otonom memilih target individu dan menyerang mereka di area terpilih yang telah diprogram selama periode tertentu.10

Setelah mengetahui pengklasifikasian dari Autonomous Weapon Systems yang disusun oleh HRW. Maka apabila dikaitkan antara unsur-unsur tanggung jawab komando dengan pengklasifikasian dari Autonomous Weapon Systems yang disusun oleh HRW, berdasarkan dua landasan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa batasan tanggung jawab komando hanya akan berlaku pada senjata-senjata yang tergolong dalam kategori senjata “Human-in-the-loop Weapons” dan “Human-on-the-Loop Weapons”. Hal tersebut dikarenakan pada senjata yang dikategorikan sebagai senjata yang tegolong ke dalam kategori “Human-in-the-loop Weapons”, sistem senjata dapat memilih target individu atau kelompok target tertentu dan mengirimkan kekuatan hanya dengan perintah manusia. Begitupula dalam hal pengoperasian senjata yang tergolong “Human-on-the-Loop Weapons”, pada sistem senjata ini memang senjata dapat dengan bebas memilih dan menyerang target tertentu namun dalam ditengah jalannya pengoperasian terdapat manusia yang dapat turun tangan melakukan intervensi untuk menghentikan operasi jika hal tersebut diperlukan. Berkaitan dengan senjata pada kedua kategori tersebut, seorang komando masih bisa dimintakan pertanggungjawabannya manakala dikemudian hari penggunaan atas senjata tersebut menimbulkan akibat berupa tindakan pidana perang hal ini karena unsur-unsur tanggung jawab komando. Misalnya pada senjata drone yang masih dikendalikan dengan remote yang sudah tentu remote tersebut dikendalikan seorang pasukan militer yang bergerak atas perintah komandannya maka apabila prajurit yang merupakan bawahan dari seorang komandan tersebut kemudia melakukan kejahatan perang dengan memanfaatkan drone yang dikendalikannya maka dalam kasus tersebut prinsip tanggung jawab komando dapat diterapkan. Sedangkan prinsip mengenai tanggung jawab komando tidak dapat diterapkan pada senjata LAWs yang termasuk dalam kategori senjata “Human-out-of-the-Loop Weapons”. Hal tersebut dikarenakan sistem senjata ini dapat memilih target dan mengirim kekuatan tanpa masukan atau interaksi manusia. Sehingga penerapan prinsip tanggung jawab komando terhadap LAWs hanya terbatas apabila seorang komando atau bawahan dari komando yang bersangkutan memulai kejahatan perang pada saat proses penginputan data algoritma mengenai target dari senjata tersebut.

  • 3.2.    Penggunaan Lethal Autonomous Weapon System (LAWs) dalam Konflik Bersenjata Ditinjau dari Perspektif Tindak Pidana Internasional

Dalam dunia hukum pidana internasional, pandangan para ahli mengenai ruang lingkup dari hukum pidana internasional terbagi atas dua yakni dalam arti sempit dan luas.11 Beberapa ahli seperti Antonio Cassese, G. Schwarzenberger, Kane Taijudo, M. N. Shaw dan Robert Cryer meyakini scope dari hukum pidana internasional dalam arti sempit. Para ahli tersebut memandang bahwa scope hukum pidana internasional hanya terbatas pada tindak pidana yang mengguncang hati nurani manusia sehingga mencederai kehormatan dan kemuliaan martabat manusia (the dignity of man kind). Jenis kejahatan internasional berdasarkan pandangan ini umumnya berupa pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) seperti: kejahatan terhadap perdamaian (crime of aggression/crime against peace), kejahatan perang (war crime), pemusnahan suatu ras/kelompok (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) serta kejahatan yang paling klasik yakni kejahatan berupa pembajakan di laut lepas (piracy). Di sisi lain, terdapat beberapa ahli yang menganut pandangan hukum pidana internasional dalam ruang lingkup luas seperti Cherif Bassiouni, Illias Bantekas dan Susan Nash. Para ahli tersebut berpendapat bahwa jenis kejahatan yang tergolong sebagai tindak pidana internasional tidak hanya terbatas pada kejahatan-kejahatan tersebut namun juga terdapat berbagai kejahatan yang dapat dikategorikan pula sebagai kejahatan internasional.12

Adapun jenis kejahatan lain yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional menurut pandangan Cherif Bassiouni adalah kejahatan-kejahatan transnasional seperti pembajakan pesawat terbang, kejahatan narkotika, penyebaran dan publikasi pornografi, kejahatan terhadap orang dalam perlindungan internasional, pemalsuan uang dan penyapan pejabat di luar negeri, kejahatan terhadap lingkungan, pencurian bahan-bahan nuklir dan perusakan terhadap kabel bawah laut. Selain pandangan dari Cherif Bassiouni, Illias Bantekas dan Susan Nash juga mengemukakan pandangan mereka mengenai luasnya ruang lingkup hukum pidana internasional sehingga berdampak pula pada meluasnya ruang lingkup kejahatan internasional yang juga melingkupi kejahatan terorisme, kejahatan transnasional seperti: kejahatan tersusun dan terorganisir, kejahatan tindak pidana korupi, kejahatan pencucian uang (money laundry), kejahatan perdagangan orang, kejahatan politik apartheid, penghilangan paksa terhadap keberadaan seseorang dan penyiksaan.

Setelah memahami mengenai ruang lingkup tindak pidana internasional maka menjadi hal vital pula untuk mengetahui definisi dari konflik bersenjata internasional. Pengertian mengenai konflik bersenjata internasional (International Armed Conflict) berdasarkan hukum humaniter internasional, terdapat pada ketentuan Pasal 2 Geneva Convention 1949. Berdasarkan ketentuan tersebut yang pada intinya mendefinisikan konflik bersenjata internasional sebagai konflik bersenjata yang bersifat internasional yang mana konflik tersebut berlangsung antara suatu negara dengan negara lainnya.13 Pada umumnya suatu konflik bersenjata sangat rawan memuat unsur kejahatan perang. Ketentuan mengenai bentuk kejahatan perang dalam suatu konflik bersenjata

internasional terdapat pada Pasal 8 ayat (2) huruf b Statuta Roma. Kejahatan perang sendiri merupakan salah satu bentuk tindak pidana internasional.14

Berkaitan dengan tindak pidana internasional maka kehadiran Statuta Roma sebagai dasar berdirinya ICC merupakan suatu langkah besar yang diambil oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kehadiran ICC sebagai suatu badan peradilan permanen memiliki fungsi untuk mengadili individu yang diduga atau patut diduga berperan dalam berbagai kejahatan internasional.15 Berkaitan dengan hukum yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang akan diadili ICC, terdapat ketentuan pada Pasal 21 Statuta Roma yang mengatur sebagai berikut: “1. The Court shall apply: (a) In the first place, this Statute, Elements of Crimes and its Rules of Procedure and Evidence; (b) In the second place where appropriate, applicable treaties and the principles and rules of international law, including the established principles of the international law of armed conflict;…”

Apabila ketentuan Pasal 21 ayat 1 Statuta Roma tersebut dicermati kemudian dikaitkan dengan penggunaan LAWs lebih khususnya mengacu pada ketentuan Pasal 21 ayat 1 huruf b Statuta Roma pada frasa “In the second place where appropriate, applicable treaties and the principles and rules of international law, including the established principles of the international law of armed conflict”, maka terhadap LAWs dapat diberlakukan beberapa prinsip hukum internasional seperti Klausula Marten (Marten Clause). Klausula Marten (Marten Clause) merupakan salah satu aturan vital dalam hukum humaniter internasional. Pengaturan mengenai Marten Clause terdapat didalam preambul Konvensi Den Haag 1899 (The Hague Convention 1899). Marten Clause mencakup beberapa prinsip kemanusiaan serta kesadaran umum manakala tidak terdapat perjanjian maupun ketentuan kebiasaan internasional yang sesuai dengan senjata yang akan ditinjau. Prinsip paling mendasar yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan Marten Clause adalah prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas.16

Prinsip pembedaan atau “distinction principle” melandasi sikap untuk memilah penduduk pada suatu negara yang berkonflik atau terlibat dalam suatu perang, atas dua kategori yakni kombatan dan penduduk sipil. Kategori pertama yakni, kombatan merupakan kategori yang terdiri atas penduduk yang secara nyata melibatkan diri dalam peperangan, sedangkan kategori penduduk sipil ialah mereka yang tidak terlibat dalam peperangan atau konflik tersebut. Pada hakikatnya, prinsip pembedaan menekankan dan mengharuskan pihak-pihak yang terlibat konflik agar senantiasa dapat membedakan antara obyek militer dengan obyek sipil.17    Prinsip

proporsionalitas diterapkan dengan tujuan agar penggunaan senjata dalam peperangan tidak menyebabkan kerusakan, penderitaan maupun korban berjatuhan yang berlebihan yang mana hal tersebut tidak berkorelasi dengan tujuan militer yang ada atau dikenal dengan prinsip “the unnecessary suffering principles”.18 Prinsip ini termaktub dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I. Prinsip ini merupakan suatu upaya preventif daripada penggunaan senjata yang mengarah pada “indiscriminate attacks” atau penyerangan yang membabi buta. Sehingga diharapkan agar setiap keputusan untuk menggunakan suatu senjata harus memenuhi konsep keseimbangan antara kepentingan militer dengan kemungkinan mengenai kerugian maupun korban jiwa yang timbul sebagai akibat dari penggunaan senjata tersebut.

Penerapan prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas yang terdapat dalam Marten Clause menunjukkan bahwa terhadap penggunaan LAWs dapat diberlakukan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b Statuta Roma. Apabila di masa mendatang terdapat penggunaan LAWs maka International Criminal Court (ICC) dapat menjadikan Pasal 21 ayat (1) huruf b Statuta Roma sebagai dasar penyelesaian tindak pidana internasional tersebut serta berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf b Statuta Roma jika dikaitkan terhadap penggunaan Lethal Autonomous Weapons (LAWs) dalam konflik bersenjata internasional apabila penggunaan Lethal Autonomous Weapons (LAWs) menimbulkan hal-hal sebagaimana yang dijabarkan pada ketentuan pasal tersebut beserta unsur-unsurnya, maka dapat dipastikan bahwa penggunaan LAWs adalah suatu pelanggaran dan merupakan kejahatan perang yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pihak-pihak terkait sesuai dengan peraturan yang berlaku.

  • IV.    Kesimpulan

Tanggung jawab komando dalam penggunaan LAWs dilihat dari perspektif hukum humaniter internasional berdasarkan ketentuan Pasal 86 ayat (2) Protokol Tambahan I Geneva Convention 1977 jo. Pasal 28 Statuta Roma, maka tanggung jawab komando hanya akan berlaku pada pengoperasian senjata-senjata yang tergolong ke dalam kategori “Human-in-the-Loop Weapons” yang system operasinya dapat memilih target individu atau kelompok target tertentu dan mengirimkan kekuatan hanya dengan perintah manusia dan “Human-on-the-Loop Weapons” yang sistem operasinya dapat dengan bebas memilih dan menyerang target tertentu tanpa ada pelibatan keputusan oleh manusia, kendatipun manusia dapat menghentikan penggunaan senjata tersebut jika diperlukan. Pada kedua kategori tersebut, seorang komandan dapat melakukan intervensi secara langsung terhadap system pengoperasian senjatanya. Sebaliknya, prinsip tanggung jawab komando tidak dapat diterapkan pada senjata LAWs yang termasuk dalam kategori senjata “Human-out-of-the-Loop Weapons” karena sistem senjata ini dapat memilih target dan mengirim kekuatan tanpa masukan atau interaksi manusia. Penggunaan LAWs dalam konflik bersenjata merupakan suatu pelanggaran berdasarkan perspektif tindak pidana internasional dikarenakan penggunaan LAWs tidak mencerminkan prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Oleh karenanya, penggunaan LAWs yang menimbulkan akibat-akibat seperti yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b Statuta Roma merupakan bentuk tindak pidana internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. (PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014).

Jurnal Ilmiah

Bieri, Matthias. “Lethal Autonomous Weapons Systems: Future Challenges”, CSS Analyses in Security Policy 11 No. 164,    (2014):   1-4. DOI:

https://doi.org/10.3929/ethz-a-010273874

Cahyono, Heru. "Kejahatan Perang yang Diatur Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional." terAs Law Review 1, no. 1   (2019):   121-155.

DOI: http://dx.doi.org/10.25105/teras-lrev.v1i1.5391

Davison, Neil. "A legal perspective: Autonomous weapon systems under international humanitarian law." UNODA Occasional Paper’s 1 No.30 (2018): 5-18. DOI: https://doi.org/10.18356/29a571ba-en

Giladi, Rotelm. “The Enactment of Irony: Reflections on the Origins of the Martens Clause.” European Journal of International Law 25 (2014): 847-869. DOI: https://doi.org/10.1093/ejil/chu058

Kaban, Gheanina Prisiliao. "Unsur-Unsur Tanggung Jawab Komando Di Dalam Hukum Pidana Internasional (Studi Putusan the Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/Icc-01/05-01/08)." Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA 1, no. 2 (2018): 156-170.

Kereh, Yosua. "Tinjauan Hukum Tentang Kejahatan Perang Dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Internasional." Lex Et Societatis 7, no. 4 (2019): 95-103. DOI: https://doi.org/10.35795/les.v7i4.24709

Liu. “Categorization and Legality of Autonomous and Remote Weapons System”, International Review of the Red Cross Vol. 94 No. 886, (2012): 127-139.

Muhammad Nasution dan Hasan Sidi. “Kesesuaian Lethal Autonomous Weapon Systems dengan Rezim Kontrol Persenjataan Internasional”, Padjadjaran Journal of International Relations 1 No. 3, (2020): 334-349.

Nurbani, Erlies Septiana. "Perkembangan Teknologi Senjata dan Prinsip Proporsionalitas." Jurnal IUS Kajiian Hukkum dan Keadiilan 5, no. 1 (20117): 13-29.

Roisah, Sarah Nur Sar Kholis, and Soekotjo Hardiwinoto. "Tindakan Pembalasan (Reprisal) oleh Israel Terhadap Jalur Gaza (Palestina) dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional." Diponegoro Law Journal 6, No. 2 (2017): 1-13.

Salina, Felicity C. "Lethal Autonomous Weapon Systems: Legal and Ethical Perspectives." Juris Gentium Law Review 6, no. 1 (2018): 24-35.

Sari, Indah. "Kejahatan-Kejahatan Internasional (Tindak Pidana Internasional) Dan Peranan International Criminal Court (ICC) dalam Penegakan Hukum Pidana International." Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 6, No. 1 (2018): 38-65

Setiyani dan Joko Setiyono. "Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Negara Terhadap Kasus Pelanggaran HAM Etnis Rohingya di Myanmar." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 2, no. 2 (2020): 261-274.

Sidauruk, Sarah M. I., Nuswantoro Dwiwarno, dan M. K. Supriyadhie. "Penggunaan Autonomous Weapons System Dalam Konflik Bersenjata Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional." Diponegoro Law Journal 8, No. 2 (2019): 1489-1505.

Wahyu. “The Effect of International Criminal Law to Nasional Criminal Law.” Belom Bahadat Jurnal Hukum Agama Hindu 9, No. 2 (2019): 1-20.

Yunanda. “Autonomous Weapon Systems dan Legalitas Penggunaannya Dalam Hukum Humaniter Internasional.” Jurist-Diction 2, No. 2 (2019): 377-394.

Skripsi

Henny, S. R. S. “Peran International Criminal Court (ICC) dalam Penyelesaian Kejahatan Internasional (Studi Kasus Kejahatan Internasional di Darfur, Sudan Selatan).” (2016) Doctoral dissertation Universitas Andalas.

Peraturan Perundang-Undangan

Protokol Tambahan I mengenai Perlindungan Korban-korban Sengketa Bersenjata Internasional tahun 19707

Statuta ICC (Rome Statute of the International Criminal Court)

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 8 Tahun 2021, hlm.600-610

610