KEABSAHAN PENYIMPANAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH OLEH NOTARIS

I Made Dwiki Indra Sukma Budiarsa, Fakultas Hukum Universitas udayana, e-mail: [email protected]

I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Riset ini bertujuan agar dapat memperoleh pengetahuan mengenai dasar hukum penyimpanan sertifikat hak atas tanah milik oleh Notaris dan untuk mengetahui keabsahan penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah bagi Notaris. Metode yang digunakan berjenis penelitian hukum normatif. Notaris memiliki wewenang untuk melakukan pembuatan akta otentik. Sertifikat tanah yang disimpan merupakan pengikatan jual beli hak milik atas tanah. Penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah di kantor Notaris ini merupakan kehendak dari para pihak baik pihak penjual maupun pembeli. Harapannya agar lebih terjamin dan aman. Memberikan jaminan kepastian dan keamanan ini merupakan kewajiban Notaris kepada masyarakat yang membutuhkan. Kewenangan Notaris dalam penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah didasarkan pada Pasal 1706 KUH Perdata dan Pasal 1694 KUH Perdata.

Kata Kunci : Penyimpanan, Sertifikat, Jual Beli, Notaris.

ABTRACT

This research aims to gain knowledge about the legal basis for storing certificates of land rights owned by a Notary and to find out the validity of storing certificates of land ownership rights for a Notary. The method used is a normative legal research type. Notaries have the authority to make authentic deeds. The land certificate that is kept is a binding sale and purchase of ownership rights to the land. The storage of land ownership certificates at the Notary's office is the will of the parties, both the seller and the buyer. The hope is to be more secure and safe. Providing this guarantee of certainty and security is a Notary's obligation to people in need. The authority of a Notary in storing land title certificates is based on Article 1706 of the Civil Code and Article 1694 of the Civil Code.

Keywords: Storage, Certificate, Sale and Purchase, Notary.

  • I.    Pendahulan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (setelahnya disebut dengan UUJN) menentukan bahwa ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Pasal ini menentukan bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik. Akta autentik yang dibuat oleh Notaris itu bermaksud untuk memberikan jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi para pihak.

Berkaitan dengan kepastian hukum dalam akta yang dibuat oleh Notaris tersebut, maka dalam jual beli hak milik atas tanah juga memiliki kepastian hukum karena dibuat dan disahkan oleh Notaris. Notaris dalam hal ini sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan dalam membuat akta autentik. Dalam jual beli hak milik atas tanah, tentunya diawali dari suatu perjanjian. Perjanjian tersebut didasarkan pada adanya kesepakatan. Pihak-pihak yang melakukan kesepakatan itu adalah pihak penjual tanah dan pihak pembeli tanah. Pihak penjual dan pihak pembeli mengadakan kesepakatan terkait dengan harga tanah, luas tanah, proses pembayaran dan lain-lain. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian pengikatan jual beli tanah. Dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah ini, para pihak diikat dalam suatu perjanjian. Ikatan dalam perjanjian tersebut merupakan suatu ikatan janji, dimana para pihak tidak boleh mengingkari janji-janji yang telah disepakati.

Perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah dibuat sebelum perjanjian jual beli dibuat. Perjanjian pengikatan jual beli dibuat ketika telah terjadi kesepakatan antar para pihak. Perjanjian pengikatan jual beli ini sering dijumpai dalam prakteknya. Terkait perjanjian pengikatan jual beli ini, dalam buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka yang “memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada setiap orang yang mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum”. Salah satu perjanjian yang banyak timbul dalam praktek Notaris yang dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas adalah perjanjian pengikatan jual-beli hak atas tanah, perjanjian ini termasuk perjanjian onbenoemde (perjanjian tak bernama) yang kemudian diberi nama sendiri.

Dalam prakteknya, perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah, dibuat dengan akta autentik. Sebagai bukti pengikatannya, maka sertifikat hak milik atas tanah disimpan oleh Notaris. Notaris menyimpan sertifikat hak milik atas tanah terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya, khususnya sertifikat hak milik atas tanah, baik itu hak guna bangunan maupun hak milik. Salah satu alasan para pihak menitipkan sertifikat hak milik atas tanah kepada Notaris adalah jika pembeli belum mampu membayar lunas dan di lain pihak penjual sangat membutuhkan uang. Penitipan ini terjadi atas dasar kesepakatan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah.

Penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris merupakan bagian dari menjalankan profesinya sebagai pejabat umum dan harus sesuai dengan UUJN maupun kode etik profesi Notaris. Notaris wajib menjaga sertifikat yang dititipkan kepadanya dengan rasa tanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan oleh para pihak yang mengadakan perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah dihadapannya. Wujud tanggung jawab Notaris dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dari Pasal 1694 KUH Perdata yang menentukan bahwa “Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama”. Barang yang dimaksudkan dalam pasal ini dapat dikatakan sertifikat hak milik atas tanah. Sertifikat hak milik atas tanah tersebut juga sebagai barang bukti adanya pengikatan jual beli yang belum selesai. Apabila pengikatan jual beli itu telah selesai, maka sertifikat hak milik atas tanah itu akan dikembalikan dalam keadaan yang sama. Artinya, dikembalikan dalam keadaan seperti semula yaitu pada saat perjanjian pengikatan jual beli itu dibuat. Apabila sertifikat hak milik atas tanah itu telah berada ditangan Notaris atau disimpan oleh Notaris, maka Notaris diwajibkan juga memelihara dan merawat sertifikat tersebut. Notaris dalam melaksanakan penitipan sertifikat tidak diperbolehkan

menggunakan sertifikat yang ditipkan untuk keperluan sendiri, sebagaimana tertulis dalam Pasal 1712 KUH Perdata yang menentukan bahwa “Penerima titipan tidak boleh memakai barang titipan tanpa izin yang diberikan secara tegas oleh pemberi titipan atau dapat disimpulkan adanya, dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ada alasan untuk itu”. Sebagai bukti penyimpanan sertifikat oleh Notaris diberikan sekedar suatu tanda terima kepada pemilik sertifikat, padahal penyimpanan sertifikat tidak dapat dikatakan tanpa suatu resiko, baik bagi Notaris maupun bagi pemilik sertifikat.

Penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah tersebut dilakukan oleh Notaris. Dalam hal ini, Notaris menerima sertifikat hak milik atas tanah itu disimpan. Penyimpanan oleh Notaris ini menimbulkan adanya suatu perpindahan bukti kepemilikan hak milik atas tanah. Walaupun perpindahan itu tidak didasarkan atas jual beli, akan tetapi penyimpanan tersebut manandakan adanya penguasaan terhadap sertifikat hak milik atas tanah yang berada ditangan Notaris. Dengan kata lain, sertifikat hak milik atas tanah tersebut dikuasai oleh Notaris. Oleh karena itu, timbul kekhawatiran dari para pihak, baik pihak penjual maupun pembeli. Terutama bagi pihak penjual, adanya kekhawatiran bahwa sertifikat itu dipakai untuk kepentingan Notaris sendiri. Selain itu, bisa saja sertifikat hak milik tersebut digunakan oleh Notaris untuk kepentingan pihak lain dengan tujuan untuk memanfaatkan sertifikat tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi. Akan tetapi, pada sisi lain, apabila sertifikat tersebut tidak disimpan oleh Notaris, atau tidak dititipkan, maka tidak ada bukti dari perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah tersebut. Selain itu, pihak pembeli juga tidak berkenan apabila sertifikat tersebut masih tetap berada ditangan pihak pemilik atau pihak penjual. Dengan demikian, maka terjadi pertentangan dalam penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Oleh karena itu, agar perjanjian jual beli hak milik atas tanah itu tetap dapat berjalan dengan baik, maka para pihak harus merelakan sertifikat hak milik atas tanah itu dititipkan atau disimpan oleh Notaris. Berarti para pihak baik penjual maupun pembeli harus mengalah pada penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah tersebut.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka sangat penting kiranya untuk diadakan penelitian dengan mengetengahkan tema “Keabsahan Penyimpanan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Oleh Notaris”. Tema yang diangkat dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya. Adapun penelitian yang dilakukan sebelumnya (State of The Art) antara lain, penelitian oleh “Maria Nadea Ambarsari dan I Gusti Ngurah Darma Laksana dengan judul Peranan Notaris/PPAT Dalam Pendaftaran Hak Tanggungan Di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Gianyar, penelitian ini mengangkat permasalahan tentang peranan Notaris/PPAT dalam pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Gianyar dan kendala yang muncul dalam hal pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Gianyar. Penelitian tersebut mengkaji tentang pendaftaran hak tanggungan di Kantor BPN Gianyar”.1 Selanjutnya, penelitian oleh “Putu Mahaesa Surya Putri Utami dan I Nyoman Suyatna dengan judul Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Didasarkan Akta Notaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 130 K/PDT/2017), permasalahan dalam penelitian tersebut tentang keabsahan dari perjanjian

pengikatan jual beli (PPJB) Hak Atas Tanah yang dibuat berdasarkan akta Notaris Nomor 36 tanggal 9 November 1984 di Banjar Padangtawang, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali dan dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung sudah benar untuk membatalkan PPJB yang dibuat berdasarkan akta Notaris dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 130 K/Pdt/2017 dikaitkan dengan asas perjanjian yang ada. Penelitian tersebut mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 130 K/Pdt/2017 yang dikaitkan dengan asas-asas dalam hukum perjanjian”.2 Kemudian penelitian yang ditulis oleh “I Gusti Ayu Mas Maha Dewi dan Suatra Putrawan, berjudul Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT Oleh Notaris Sebagai PPAT, penelitian ini menganalisis tentang pelaksanaan tanggung jawab PPAT jika terjadi penyimpangan dalam pembuatan Akta Tanah dan akibat hukum bagi seorang PPAT yang melakukan penyimpangan dalam pembuatan Akta Tanah”.3 Ketiga penelitian tersebut diatas, merupakan penelitian yang ditulis sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut tentunya berbeda dengan penelitian ini yang menganalisis tentang dasar hukum penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris dan keabsahan penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris. Dengan demikian, penelitian ini memiliki nilai keaslian sebagai karya tulis ilmiah.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan hukumnya dapat dirumuskan dalam dua permasalahan yakni:

  • 1.    Apakah dasar hukum penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris ?

  • 2.    Bagaimanakah keabsahan penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti memiliki tujuan tertentu yang hendak diperoleh. Demikian pula pada penulisan ini yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dasar hukum penyimpanan sertifikat tanah oleh Notaris dan untuk mengetahui keabsahan penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris.

  • II.    Metode Penelitian

Model riset hukum yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hukum baik dalam arti law as it is writen in the book, maupun dalam arti law as it is decide by judge through judicial proces.4 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan sebab tidak terdapatnya norma dalam UUJN dimana dalam undang-undang tidak ada otoritas Notaris dalam menyimpan sertifikat hak milik atas tanah. Jadi tidak adanya wewenang ini

menyebabkan kebingungan bagi Notaris yang dalam hal terjadi perselisihan antara pihak-pihak di Pengadilan yang mengatur sertifikat kepemilikan hak atas tanah.

  • III.    Pembahasan

    3.1.    Dasar Hukum Penyimpanan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Oleh Notaris

Penyimpanan sertifikat tanah oleh Notaris pada dasarnya yaitu adanya kewenangan yang diberikan, baik kewenangan atribusi maupun delegasi dan mandat. Dalam kaitan dengan kewenangan pemerintahan terdapat tiga konsep kewenangan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat, menurut H. D. van Wijk, mendefinisikan sebagai berikut:

  • “1 . Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh Undang-undang kepada organ pemerintahan.

  • 2.    Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

  • 3.    Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya”.5

Notaris dalam menjalankan jabatannya didasarkan pada UUJN, di mana Notaris berwenang untuk membuat akta autentik yang tidak dimiliki oleh pejabat publik lainnya seperti pencatatan sipil atau birokrat lelang. Jadi Notaris dikatakan birokrat umum yang memiliki wewenang pada proses pembuatan beraneka ragam akta. Akta Notaris dikatakan seperti akta autentik sebab Notaris membuat sesuai dengan bentuk dan prosedur yang diatur dalam hukum, yang terdiri dari melibatkan jumlah, serta ketika diproduksi, dari birokrat, yurisdiksinya serta identitas seluruh penindas yang jadi kondisi subyektif, badan akta tersusun atas isi akta untuk jadi kondisi objektif serta akhir akta berkaitan pada pembacaan isi akta dan membubuhkan tanda tangan serta sidik jari dari penerima, saksi serta Notaris sendiri.

Berdasarkan Pasal 1 UUJN memberi ketentuan yakni ”Notaris adalah pejabat yang merupakan satu-satunya otoritas untuk membuat akta autentik mengenai semua tindakan, perjanjian, dan ketentuan yang disyaratkan oleh peraturan umum atau oleh pihak-pihak yang berkepentingan, untuk menyatakannya dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan akta dan memberikan grosse, salinan dan kutipan, yang semuanya dibuat oleh peraturan umum yang tidak dibuat oleh peraturan resmi atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain dan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan: "akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh hukum oleh atau di hadapan pejabat publik yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat”.

Setelah perjanjian pembelian yang mengikat para pihak ditandatangani, penjual mempercayakan sertifikat hak milik kepada Notaris yang, ketika pembayaran diselesaikan, akan dilanjutkan dengan akta Jual Beli. Perjanjian jual beli yang mengikat adalah ”kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Hal tersebut memiliki arti yakni akta jual beli yang dibuat itu merupakan kelanjutan dari akta pengikatan jual beli hak milik atas tanah,”.6 Pada umumnya, akta tersebut dibagi kedalam dua wujud, yakni akta di

bawah tangan serta akta otentik. Akta di bawah tangan memiliki kekuatan yang lemah sebab hanya ditandatangani bagi kedua faksi tetapi ajeg merupakan bukti yang berlaku secara hukum. Sedangkan akta otentik ialah ”akta yang dijadikan dari birokrat yang diundang serta mempunyai kekuasaan untuk membuktikan yang tidak terdapat kekurangan”.7

Pertanggungjawaban Notaris berupa ”menerima sertifikat penyimpanan hak terhadap tanah maupun bangunan sebagai tindakan hukum dari perjanjian penjualan serta pembelian dengan tahapan yang dilaksanakan guna memberikan perlindungan serta kepastian hukum”. Pasal 1706 KUH Perdata menentukan bahwa ”penerima dipercayakan wajib menjaga penyimpanan barang-barang diamankan serta menjaga barang-barang miliknya sendiri”. Sebagai penerima, Notaris harus melindungi barang seperti yang dijelaskan dalam posisi Notaris ketika memperoleh penyimpanan sertifikat hak atas tanah. ”Apabila terjadi kelalaian dari Notaris yang dipercayakan seperti, sertifikat hak milik atas tanah yang diperoleh menghilang maupun dirusak, maka Notaris wajib mengganti sertifikat yang hilang itu”.8 Pasal 1694 KUH Perdata, ”Pengamanan barang terjadi, ketika seseorang menerima objek orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam kondisi yang sama”.9

Keputusan hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 863 / pdt.G / 2015 / PN.DPS tanggal 14 Januari 2016 di mana ”terdakwa diharuskan menyerahkan sertifikat hak milik aslinya kepada penggugat dan tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur penyimpanan sertifikat hak kepemilikan hanya merupakan kesepakatan para pihak jika sertifikat kepemilikan dipercayakan kepada Notaris, tetapi dalam hal terjadi tuntutan hukum antara pihak-pihak yang juga telah dibuktikan dengan keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum, itu harus diserahkan ke sertifikat kepemilikan Notaris dapat netral atau tidak memihak kepada satu pihak”. Perihal demikian ialah ketidaktahuan pada norma, tidak terdapat aturan yang memberikan penjelasan bahwa sertifikat kepemilikan harus disimpan oleh Notaris tetapi Notaris hanya memberikan kenyamanan bagi para pihak dalam akta perjanjian pembelian yang mengikat sehingga sertifikat kepemilikan dapat disimpan dengan benar dan jika proses pembayaran antara para pihak telah dilunasi sehingga sertifikat kepemilikan dapat diserahkan kepada para pihak.

Penyimpanan sertifikat hak tanah dalam perjanjian penjualan serta pembelian yang mengikat yang disetujui, dinyatakan pada akta jual beli melalui kesepakatan. Perlakuan menyimpan sertifikat hak atas tanah di Notaris dilaksanakan guna menyerahkan hal yang pasti serta melindungi secara hukum. Wewenang serta tanggungjawab Notaris wajib menyediakan fungsi perlindungan hukum. Agar dapat melakukan pemastian atas peran

perlindungan hukum serta ketetapan, Notaris wajib menyerahkan kegunaan hukum yang riil pada wujud kepastian hukum atas penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah.

Dalam menjalankan posisinya sebagai Notaris, maka Notaris melaksanakan posisinya itu tidak ada otoritas yang jelas mengenai penyimpanan sertifikat, Notaris menyimpan sertifikat sehingga sertifikat tersebut aman untuk melindungi kepentingan para pihak, baik kepentingan penjual maupun pembeli.

  • 3.2.    Keabsahan Penyimpanan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Oleh Notaris

Otoritas menurut Max Weber, di mana otoritas adalah validitas suatu tindakan didasarkan pada kepercayaan pada pemikiran serta hukum yang ditaati sebab sudah ditegakkan bersama peraturan yang sesuai dan notaris ketika melakukan pembuatan akta jual beli perjanjian tentang hak terhadap tanah harus melaksanakan kewenangan. Namun, untuk melindungi kepentingan para pihak dan atas keinginan para pihak, Notaris diberikan wewenang berdasarkan kekuatan lisan atau tertulis untuk menyimpan sertifikat yang menjadi objeknya.

Perlindungan hukum bagi seluruh faksi pada kesepakatan hak. Berdasarkan penulis putusan hakim di sini kurang tepat, karena yang bisa dikatakan default adalah penggugat (penjual) dan keputusan dapat dikatakan memberikan perlindungan hukum bagi pembeli karena penjual tidak mematuhi ketentuan sesuai dengan perjanjian pembelian mengikat yang dibuat di kantor Notaris, itu dilakukan agar penjual tidak ingkar janji.”Perlindungan hukum yang diserahkan pada kesepakatan penjualan serta pembelian hak atas tanah amat kokoh sebab karakter atas bukti kesepakatan pembelian yang mengikat diadakan di depan Notaris, di mana birokrat publik notaris memiliki wewenang guna melakukan pembuatan akta otentik di mana akta diadakan dari Notaris ini memiliki kekuatan sempurna”.10 Sehingga baik penjual maupun pembeli akan merasa diberi perlindungan hukum.

Perjanjian Pengikatan untuk jual beli adalah kesepakatan yang tidak tercatat pada undang-undang. Namun demikian untuk menyerahkan perlindungan hukum untuk seluruh faksi serta melakukan penjagaan atas kebutuhan seluruh faksi yang hendak melaksanakan negosiasi penjualan serta pembelian tanah maupun tanah serta bangunan yang tidak sesuai dengan persyaratan guna membuat Akta Jual Beli, dengan demikian atas dasar Perjanjian Hukum pada perkembangannya prinsipnya ialah Hukum Perjanjian yang mana ketentuan hukumnya dipakai untuk perjanjian, perjanjian pengikatan dibuat untuk membeli dan menjual. Merujuk persoalan ini, diperkokoh dari peraturan pada KUHPerdata yang menyerahkan keleluasaan kepada seluruh faksi guna melakukan pembuatan sesuatu yang memberikan penentuan kesepakatan secara utuh menjadi wewenang seluruh faksi.

Perjanjian Pengikatan guna penjualan serta pembelian mematuhi cara yang terbuka seperti halnya hukum kesepakatan seperti biasanya. Sistem terbuka bisa berarti yakni ”siapa pun bisa masuk ke dalam kesepakatan apapun bahkan jika hukum tidak mengurusnya. Sistem terbuka tersebut acapkali dikenal selaku prinsip keleluasaan dalam

kontrak”.11 Walaupun satu kesepakatan didasarkan pada keleluasaan kontrak namun dalam proses pembuatan kesepakatan itu tidak diperkenankan berlawanan dari hukum, kesopanan serta keteraturan khalayak. Dampak baik dari keberadaan prinsip keleluasaaan kontrak ialah bahwa ia akan menciptakan kesepakatan baru, di mana kesepakatan yang dituju tidak dikelola pada undang-undang namun sesungguhnya diperlukan, termasuk kelahiran Perjanjian Pengikatan guna Penjualan dan Membeli tanah maupun tanah serta bangunan selaku jalan keluar guna melindungi kepentingan seluruh faksi. Namun prinsip keleluasaan kontrak tersebut pula memiliki dampak buruk, yang mana pada prinsip keleluasaan kontrak guna melakukan pembuatan kesepakatan, faksi yang memiliki kekuatan lebih yang letak jualnya akan mampu melakukan tindakan lebih banyak tekanan pada pihak yang berlawanan dari kontrak sehingga ketidakseimbangan akan terjadi serta hendak membuat ketidakadilan yang berpotensi memberikan kerugian bagi faksi yang yang tidak lebih kuat.

Pasal 1458 KUH Perdata mengenai adanya jual beli adalah adanya kesepakatan oleh seluruh faksi mengenai barang serta harga, bahkan jika materi tidak diberikan serta harga tidak dilakukan pembayaran. Namun nyatanya perjanjian tidak cukup untuk membuktikan keberadaan penjualan serta pembelian, sebab niat tulus sesorang butuh diyakinkan tidak dengan adanya bukti tertulis, yakni ”kesepakatan dalam bentuk formalitas serta otentik. Sedangkan akta yang dibuat itu menjadi tanggung jawab Notaris”.12

Prinsip konsensus, namun juga kepercayaan ialah satu dari beberapa cara untuk membuat Perjanjian Pengikatan guna Jual Beli, sebab jika kepercayaan satu sama lain di antara seluruh faksi tidak ada, maka kesepakatan yang dikehendaki tidak bisa terwujud. Contohnya, pada persoalan posisi sesorang pada negosiasi penjualan serta pembelian selaku orang yang menjual, orang tersebut tidak ingin memberikan sertifikat hak terhadap tanah pada orang yang membeli lewat ruang kerja notaris sebab ketidakpercayaan terhadap niat baik pembeli sementara untuk perjanjian yang mengikat untuk membeli dan menjual sertifikat tanah wajib diminta sebelumnya dengan Kantor Pertanahan, jadi bersama kasus ini perjanjian akan terhambat.

Dalam Keputusan Nomor 91 / Pdt / 2013 / PT.Dps yang menyatakan bahwa penjual telah mengambil tindakan wanprestasi dan menghukum penjual untuk menandatangani akta penjualan tanah di depan otoritas yang berwenang, tetapi dalam hal ini membatalkan keputusan ini. Tanggal 2 Oktober 2013 yang menguatkan Keputusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 19 Februari 2013 Nomor 294 / Pdt.G / 2012 / PN .Dps dan menyatakan pembeli yang menyatakan bahwa pembeli berada dalam wanprestasi yang mengikat perjanjian jual beli dan mensyaratkan pengembalian sertifikat kepada penjual, tetapi sertifikat tersebut masih ada oleh Notaris. Karena sertifikat tidak diserahkan kepada penjual, penjual mengambil tindakan hukum, yaitu dengan menggugat Notaris melalui Keputusan Nomor 863 / Pdt.G / 2015 / PN.Dps. dalam keputusan tersebut Majelis Hakim memutuskan di Verstek karena Notaris tidak menghadiri persidangan, dan juga

menjelaskan bahwa Notaris dijatuhi hukuman untuk mengembalikan sertifikat kepada penjual, tetapi pada kenyataannya Notaris tidak senang untuk menyerahkan sertifikat. Meskipun telah diperingatkan / dipanggil oleh Pengadilan Negeri dua kali melalui surat panggilan pengadilan No. 38 / Pdt / WS / V / 2015 tanggal 27 Mei 2015 dan surat panggilan No. 42.42 / Pdt / WS / V / 2015 tanggal 12 Juni 2015 .

Putusan tersebut mencerminkan dari kekuasaan kehakiman, penulis setuju dengan keputusan hakim atas Keputusan Mahkamah Agung Nomor 477 K / Pdt / 2014, yang harus dikatakan melakukan default adalah dari pembeli dan yang perlu mendapat perlindungan di sini adalah dari penjual, penjual dengan itikad baik untuk menandatangani akta perjanjian pembelian yang mengikat. Namun, jika dilihat sebelum akta Notaris No. 17 tanggal 14 Mei 2007, ia telah memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak di dalamnya, tetapi pembeli gagal dalam perjanjian. Bentuk wanprestasi seperti ”tidak sekalipun mengerjakan prestasi, mengerjakan prestasi namun tidak pada waktu yang tepat (terlambat), mengerjakan namun tidak sama dengan yang dijanjikan serta debitur mengerjakan yang sesuai dengan kesepakatan tidak dapat dilaksanakan. Jadi pembeli bisa dikategorikan selaku wanprestasi”.13 Apabila para ”pihak melanggar ketentuan dalam perjanjian, maka dikatakan wanprestasi.”14 Penukaran biaya, kerugian serta bunga sebab perjanjian tidak terpenuhi berawal dari diperlukan, apabila debitur, bahkan walaupun sudah dinyatakan salah, masih salah guna menepati kesepakatan, maupun apabila sesatu wajib diserahkan maupun dilaksanakan hanya bisa diserahkan maupun dilaksanakan pada periode yang melewati periode yang disepakati".15 Ini merugikan penjual dan Notaris karena mereka dituntut.

Keadilan, ”kepastian dan kegunaan keputusan pengadilan dapat diperoleh oleh masyarakat, ketika hakim sebagai aparatur administrasi Negara di pengadilan memiliki pemahaman yang baik”.16 "Hakim dalam keputusannya harus dan harus mengeksplorasi, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat" hakim memiliki kewajiban yang diamanatkan pada:

”Pasal 5 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kewenangan kehakiman, yang menyatakan bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib mengeksplorasi, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kata penggalian memberikan asumsi yakni hukum itu ada tetapi disembunyikan, sehingga harus dieksplorasi di permukaan".

Dengan demikian, maka hukum ada tetapi harus dieksplorasi dan ditemukan, bukan absen, kemudian diciptakan. Menurut Gustav Radbruch,”kepastian hukum memberikan jaminan kepada sesorang untuk melaksanakan tindakan selaras dalam ketentuan hukum yang ada, kebalikannya tidak adanya kepastian hukum, lalu sesorang tidak memunyai

aturan standar pada saat melakukan tindakan tersebut”.17 Sehingga, Notaris di sini telah melaksanakan amanat UUJN dalam membuat akta adalah ”suatu perbuatan otentik yang memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang tercantum dalam akta tersebut”.18 Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum memberi perlindungan kepada hak asasi manusia yang mendapatkan kerugian dari pihak lain serta perlindungan diserahkan pada khalayak umum jadi mereka bisa merasakan semua hak yang diserahkan dari hukum, seorang birokrat publik notaris dari akta otentik di mana akta otentik adalah sempurna bukti, akta tersebut sebagai bukti yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum untuk seluruh faksi. Notaris ini pada saat melakukan pembuatan akta konten memberikan perlindungan untuk kepentingan kedua belah pihak.19

  • IV.    Kesimpulan

Atas dasar penjabaran pada pembahasan diatas atau pada bab-bab terdahulu, kesimpulan yang diperoleh adalah dasar hukum penyimpanan akta hak milik atas tanah oleh Notaris diatur dalam Pasal 1694 KUH Perdata dan Pasal 1706 KUH Perdata. Ketentuan tersebut memperbolehkan untuk menitipkan atau menyimpan sertifikat hak milik atas tanah pada Notaris. Penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah tersebut dilakukan untuk mengikat para pihak baik pihak penjual maupun pihak pembeli. Sedangkan Notaris sebagai pihak yang netral. Selain itu, Notaris juga memiliki kewajiban untuk memelihara dan merawat sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Keabsahan penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah oleh Notaris adalah sah. Keabsahan penyimpanan sertifikat hak milik atas tanah tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1694 KUH Perdata. Pasal tersebut memperbolehkan para pihak untuk menitipkan sertifikat hak milik atas tanah kepada Notaris sebagai bukti adanya perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah. Notaris juga wajib mengembalikan dalam keadaan yang sama seperti semula.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Harahap, Muhamad Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djembatan, Jakarta, 2003.

Jurnal Ilmiah

Adityanata, I Putu, dan I Nyoman Bagiastra,”Upaya Memperoleh Kepastian Hukum Demi Hak Dari Pemenang Suatu Lelang”. Kertasemaya 8 no. 5 (2020).

Ambarsari, Ni Made Nuri, dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana, ”Peranan Notaris/PPAT Dalam Pendaftaran Hak Tanggungan Di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Gianyar”, Kertasemaya 17, no.10, (2019).

Bayusuta, I Gede, dan Marwanto,”Peran Notaris Dalam Pembuatan Akta Wasiat (Testamen) Di Denpasar”, Kertasemaya, 6 no. 5 (2018).

Damara, I Putu, dan A.A. Ngurah Oka Parwata, ,”Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Terhadap Akta Yang Mengandung Cacat Hukum”,Kertasemaya 3 no. 1 (2015).

Dewi, I Gusti Ayu Mas Maha, dan Suatra Putrawan.”Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 2007 tentang Peraturan Jabatan PPAT Oleh Notaris Sebagai PPAT.” Kertasemaya 04 no. 3 (2016).

Dewi, I Gusti Ayu Agung Winda Utami, I Made Dedy Priyanto, dan Kadek Sarna, ”Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen Melalui Pemesanan”,Kertasemaya 5 no. 2, (2017).

Dewi, Putu Ayu Sukmawati dan I Wayan Novy Purwanto,”Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Smartphone Bermerek Iphone Dalam Kaitannya Dengan Peredaran Produk Iphone Rekondisi di Indonesia”, Kertasemaya, 4 no. 3, (2016).

Dinanda, I Gusti Ayu Putri, dan I Nyoman Wita,”Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku”,Kertasemaya, 6, no. 9 (2018).

Handayani, Kadek Novi Pitria, I Nyoman Suyatna dan Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, “KewenanganPemerintah Daerah Kabupaten Gianyar Dalam Pengembangan Daya Tarik Wisata Alam Air Terjun Tegenungan.” Kertha Negara 5 no. 1 (2017)

Permadi, I Putu Wira, Putu Arya Sumerthayasa, dan Cokorda Dalem Dahana,”Kepastian Hukum Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”, Kertanegara, 5 no. 2 (2017).

Ragiliana, Rengganis Dita, dan I Made Budi Arsika,”Pengaturan Mengenai Kewajiban Notaris Dalam Melekatkan Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta Notaris Terkait Dengan Perubahan Undang-Undnag Jabatan Notaris”, Kertasemaya 2 no. 12 (2014).

Sekarini, Ni Made Ayu Putri, dan I Nyoman Darmadha, ”Eksistensi Asas Kebebasan Berkontrak Berkaitan Dengan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku”, Kertasemaya 2, no. 3 (2014).

Suparman, I Gede Jaya Alit, dan Suatra Putrawan,”Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Dilegalisasi Oleh Notaris”,Kertasemaya 4, no. 3 (2016).

Yudha, Ida Bagus Dharma, dan Ida Bagus Wyasa, Putra,”Tanggung Jawab Calon Notaris Yang magang Tidak Sebagaimana Mestinya”,Kertasemaya 9, no. 2, (2021).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah LN 2016/120; TLN No. 5893, Tanggal 27 Juni 2016

Keputusan Mahkamah Agung Nomor 477 K / Pdt / 2014.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 9 Tahun 2021, hlm.677-687

687