Pengaturan Hukum Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang Undang Perkawinan

I Gusti Ayu Kireina Evarini Satriawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum dari perkawinan yang dilakukan oleh kedua pasangan yang memeluk agama berbeda jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum secara konseptual. Hasil studi penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya ketentuan khusus yang menjelaskan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, namun bila ditinjau pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 keabsahan suatu perkawinan dirumuskan pada Pasal 2 ayat (1) yakni “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu” sehingga kehadiran dari Pasal 2 ayat (1) memberikan bukti bahwa faktor agama yang menjadi faktor penentu keabsahan suatu perkawinan dapat dianggap sah atau tidak sah. Ketentuan ini menunjukan perkawinan tidak hanya merupakan perbuatan perdata namun juga merupakan suatu perbuatan keagamaan. Apabila menurut hukum agama telah melarang dilaksanakannya perkawinan berbeda agama, maka menurut undang-undang perkawinan juga dilarang, sebab mengakibatkan perkawinan tidak sah. Perkawinan tidak sah akan berimplikasi pada kedudukan anak, bahwa kedudukan sebagai anak ditentukan oleh keabsahan dari perkawinan kedua orang tuanya. Jadi, perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang tidak sah berdasar hukum masing-masing agama, akibatnya anak yang terlahir merupakan anak tidak sah atau anak di luar perkawinan.

Kata Kunci: Implikasi Hukum, Perkawinan Beda Agama, Undang-Undang Perkawinan

ABSTRACT

This journal aims to find out the legal arrangements of marriage performed by both couples who embrace different religions if reviewed from Law Number 1 of 1974 on Marriage. The method used in this research is normative legal research using a statutory and regulatory approach related to legal issues conceptually.. The results of the study showed that there is no specific provision governing the marriage of different religions in Indonesia, but when reviewed in Law Number 1 of 1974 that marriage status stated in Article 2 paragraph (1) that is “Marriage is legal if it is carried out according to the laws of each religion and belief” so Article 2 paragraph (1) provides evidence that religion is the determinant of a marriage status considered valid or invalid. This indicates that marriage is not only a civil act but also a religious act. With this marriage, it will have an impact on the status of the child, that the child's status determined by the validity of the marriage of both parents. Thus, interfaith marriage is an invalid marriage according to the laws of each religion, as a result of which the child born is also an illegitimate child or a child outside marriage according to the law of marriage.

Keywords: Legal Implication, Interfaith Marriage, Marriage Law

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Hidup untuk berpasang-pasangan dan berusaha untuk menemukan makna hidupnya dalam perkawinan merupakan hakikat setiap manusia. Adanya anggapan yang mengatakan bahwa perkawinan hanya akan membatasi kebebasan, namun sebagian besar orang juga mengatakan bahwa perkawinan memberikan jaminan ketentraman hidup. Menurut Sayuti Thalib yang memberikan definisi mengenai perkawinan, menurutnya yakni “Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kukuh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia”.1 Untuk mengetahui hakikat perkawinan, Indonesia memiliki sistem hukum positif yang digunakan sebagai landasan yaitu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dirumuskan definisi perkawinan menurut Pasal 1 UUP yakni “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perkawinan dilaksanakan atas suatu perjanjian yang terikat dalam ikatan yang suci. Perkawinan dapat memiliki tujuan secara material yaitu untuk membangun kehidupan dalam rumah tangga serta dapat memiliki keturunan (regenerasi).

Di Indonesia sendiri perkawinan bukanlah suatu hal yang rumit apabila dilakukan oleh pasangan yang sudah memeluk agama atau keyakinan yang sama, tetapi adanya pasangan yang berbeda agama atau keyakinan akan mengalami suatu persoalan apabila melakukan perkawinan,2 seperti perkawinan seorang muslim dengan nonmuslim atau perkawinan seorang beragama Hindu dengan seorang beragama Katolik. Sebab Indonesia dikenal dengan beragam agama dan aliran kepercayaan, adapun agama yang Pemerintah Republik Indonesia akui yakni Katolik, Hindu, Islam, Protestan, Konghucu, dan Buddha. Dapat diartikan perkawinan beda agama sebagai ikatan suci dari dua insan yang memeluk agama berbeda yang menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berbeda seperti tata cara dan prosedur pelaksanaan hukum masing-masing agama demi membangun keluarga yang kekal dan bahagia.3 Secara regulatif perkawinan bagi pasangan yang memeluk agama berbeda tidak memiliki kepastian hukum, hal ini karena ketentuan yang dirumuskan pada Pasal 2 ayat (1) UUP, Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 tidak memperbolehkan perkawinan beda agama.4 Jika ditinjau pada Pasal 2 ayat (1) UUP dirumuskan mengenai “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan ketentuan tersebut sehingga dapat diketahui perkawinan yang di luar dari ketentuan hukum masing-masing agama dan keyakinannya dianggap tidak sah karena

bertentangan dengan yang dinyatakan dalam ketentuan diatas. Sehingga perkawinan dengan agama berbeda tentunya dapat mengakibatkan sebuah problematika dan polemik terhadap pasangan yang menjalankan perkawinan agama berbeda.

Penulisan jurnal ini memiliki state of art dengan menggunakan beberapa penulisan terdahulu sebagai panduan dalam penulisan jurnal ini. Penulisan terdahulu yang digunakan yakni oleh Junaidi dan Martindo Merta yang menguraikan mengenai pandangan hukum Islam terhadap perkawinan beda agama serta hak mewaris akibat dari hasil perkawinan beda agama dalam perspektif hukum Islam. Lalu penulisan oleh Fakhrurrazi Yunus dan Zahratul Aini yang menguraikan mengenai ketentuan perkawinan beda agama dan dampak dari perkawinan beda agama yang diatur dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Ada pula penulisan oleh Daeng dan Ariga yang membahas larangan perkawinan beda agama dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), dalam penulisannya dijelaskan bahwa HAM di Indonesia bukanlah HAM yang sekuler, yang memisahkan agama dari Negara, yang melegalkan segala cara atas nama HAM, ini bertentangan dengan Pancasila sila pertama. Berbeda halnya dengan penulisan ini, dimana penulis menguraikan mengenai keabsahan perkawinan yang akan dilaksanakan oleh kedua pasangan yang memeluk agama berbeda dipertemukan dan kemudian ingin melakukan suatu ikatan perkawinan namun terhalang dengan adanya faktor agama. Karena faktor agama inilah yang dapat menjadi paling dominan di Indonesia sebagai pengaruh dalam hukum perkawinan. Penulis juga menguraikan mengenai implikasi perkawinan beda agama dalam perspektif UU Perkawinan. Keabsahan suatu perkawinan dapat ditentukan berdasarkan pelaksanaan yang sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Sehingga bagi pasangan beda agama hal ini tentu akan menimbulkan akibat hukum. Perkawinan dari agama yang berbeda dapat menimbulkan kontroversi dalam masyarakat sehingga merupakan suatu permasalahan yang cukup signifikan untuk dianalisis. Tidak adanya ketentuan khusus yang mengatur perkawinan dari agama yang berbeda di dalam ketentuan UUP karena Indonesia merupakan negara yang berasaskan Pancasila, sehingga kebebasan beragama dijamin oleh negara.5 Berdasarkan uraian tersebut, sehingga penulis mengangkat judul, yakni “Pengaturan Hukum Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang Undang Perkawinan”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah keabsahan perkawinan beda agama di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan?

  • 2.    Bagaimanakah kedudukan anak dalam perkawinan beda agama di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk menganalisis keabsahan terhadap perkawinan beda agama serta untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap kedudukan anak dalam perkawinan beda agama ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan. Dengan ini, tujuan penelitian yakni untuk memberi jawaban mengenai keabsahan serta kedudukan anak dalam perkawinan beda agama.

  • II.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang pada hakikatnya merupakan penelitian hukum yang menekankan pada kedudukannya sebagai norma hukum serta mengarah pada aturan hukum tertulis.6 Sebab dalam penulisan ini penulis bertujuan ingin memecahkan persoalan yang terjadi dalam masyarakat mengenai aturan perkawinan beda agama yang tidak secara khusus diatur pada sistem hukum positif di Indonesia. Sehingga untuk mengkajinya penelitian ini memerlukan bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan (statute approach) yang berkaitan terhadap permasalahan yang dibahas yakni Undang-Undang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta bahan hukum sekunder sebagai data kepustakaan yakni yang berasal dari pandangan sarjana, buku-buku tentang hukum, serta jurnal ilmiah yang berkaitan terhadap permasalahan di atas.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Keabsahan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adanya persoalan hukum akan menyebabkan hambatan dalam kegiatan penegakan hukum, yang diakibatkan oleh adanya tumpang tindih, multitafsir, tidak jelas dan tidak konsisten dalam ketentuan perundang-undangan. Saat ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) memberikan peranan sangat penting untuk menentukan perkawinan dapat dianggap sah atau tidak yaitu dengan berdasarkan pada hukum agama dan kepercayannya masing-masing, sesuai yang dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.7 Hal tersebut menjelaskan bahwa prinsip suatu perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Penjelasan dari ketentuan diatas menjelaskan bahwa “Tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Pasal 2 ayat (2) UUP merumuskan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang yang berlaku”. Keabsahan suatu perkawinan harus disesuaikan terhadap ketentuan hukum setiap agama dan kepercayaan yang dikaji dengan UUP. Maka dari itu sejak berlakunya UUP maka upacara perkawinan berdasarkan hukum agama akan menjadi dasar penentuan sah atau tidaknya perkawinan itu. Artinya apabila seseorang yang beragama Islam melakukan perkawinan yang memenuhi dari syarat seperti rukun nikah atau ijab kabul, atau seseorang yang beragama Kristen sudah melakukan pemberkatan dan ritual lainnya oleh pendeta atau pastur, maka suatu perkawinan tersebut dianggap sah menurut pandangan agama dan kepercayaannya.

Berdasarkan aturan diatas, membuktikan bahwa bukti agama dijadikan faktor pemasti sah atau tidak sahnya perkawinan. Maka hal ini menunjukkan bahwa tiap agama memiliki prosedur atau syarat yang berbeda, sehingga prosedur yang dilakukan dalam melangsungkan perkawinan akan tidak seragam sebab tergantung pada agama

yang dipeluk. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tersebut terjelaskan sejak awal bahwa unsur agamawi menjadi patokan yang sangat kental dalam melangsungkan perkawinan8 sehingga didapatkan kesimpulan bahwa sah ataupun tidak sahnya perkawinan yakni tergantung dari ketentuan masing-masing agama dan kepercayaan seseorang yang akan melakukan perkawinan. Jadi bagi seseorang di Indonesia yang hendak melakukan perkawinan, misalnya seseorang berumat Islam akan melakukan perkawinan wajib memenuhi ketentuan yang diatur sebagaimana menurut hukum perkawinan Islam. Hal ini pun berlaku terhadap pasangan yang beragama lain seperti Protestan, Katolik, Buddha, Konghucu dan Hindu bahwa masing-masing hukum agamalah yang dijadikan dasar sah atau tidak sahnya perkawinan. Suatu perkawinan dikatakan sah atau tidak sepenuhnya terletak pada ketentuan agama dan keyakinan masing-masing. Ketentuan dalam UUP ini menunjukkan bahwa suatu perkawinan tidak hanya merupakan perbuatan perdata namun juga merupakan suatu perbuatan keagamaan.9

Selain itu, dalam rumusan Pasal 8 huruf f menyatakan bahwa “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”.10 Apabila dilihat menurut ketentuan UUP ini maka diketahui bahwa dalam ketentuan tersebut melarang pelaksanaan atau disahkannya perkawinan yang dilarang oleh agama dan aturan lain yang berlaku di Indonesia. Undang-undang ini merumuskan bahwa cara dan syarat melangsungkan perkawinan ditentukan oleh masing-masing agama, selain yang sudah disahkan oleh negara. Maka sah atau tidak sahnya ikatan perkawinan tergantung oleh pasangan yang sudah memenuhi syarat perkawinan, menurut undang-undang serta ketentuan dari agamanya masing-masing sehingga apabila dilihat menurut pandangan agama, yaitu:

  • a.    Perkawinan Menurut Agama Hindu

Ketentuan yang terdapat dalam rumusan UUP yang menjadi penentu adanya hukum Hindu untuk dikaji dalam implementasi UUP yang dilaksanakan berdasar ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing.11 Menurut hukum hindu dijelaskan bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan berdasar upacara hukum agama Hindu maka perkawinan tersebut akan dianggap tidak sah. Menurut hukum adat Bali, suatu perkawinan harus berdasarkan pada UUP dan hukum agama Hindu sehingga menurut pandangan agama Hindu tidak menyetujui umatnya yang ingin melaksanakan perkawinan diluar dari agama Hindu.

  • b.    Perkawinan Menurut Agama Buddha

Menurut agama Buddha syarat perkawinan tidak mengharuskan calon mempelai untuk beragama Buddha, perkawinan beda agama tidak menjadikan hambatan, asalkan perkawinan dilaksanakan mengikuti prosedur agama Buddha. Syarat perkawinan dalam agama Buddha mewajibkan pasangan dari calon mempelai untuk mengucapkan “Atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” sehingga terlebih dahulu tidak diwajibkan memeluk agama Buddha karena dengan meyebutkan nama dewa-dewa tersebut dalam acara perkawinan

akan dianggap sudah menganut agama Buddha secara tidak langsung tanpa harus meyakini agama Buddha.12

  • c.    Perkawinan Menurut Agama Katolik

Berdasarkan dari agama Katolik menyatakan perkawinan dapat dianggap sah apabila syarat atau prosedur perkawinan telah terpenuhi yakni dilaksanakan, diteguhkan dan telah dilaksanakan pemberkatan oleh Pejabat Gereja dengan adanya saksi yang hadir yakni dua orang. Perkawinan yang tidak sah berdasarkan agama Katolik adalah calon mempelai yang salah satunya beda keyakinan atau bukan beragama Katolik.13 Agama Katolik tidak memperbolehkan melaksanakan perkawinan bagi calon mempelai yang salah satunya tidak berkeyakinan Katolik.

  • d.    Perkawinan Menurut Agama Protestan

Menurut agama Protestan bahwa perkawinan terbilang apakah sah atau tidak apabila memenuhi prosedur atau syarat-syarat perkawinan hukum agama Protestan. Perkawinan yang sah berdasarkan agama Kristen adalah kedua calon mempelai memeluk agama Kristen, sedangkan perkawinan di luar kawin atau tidak sah menurut agama Kristen yakni perkawinan beda agama. Agama Protestan mengharuskan perkawinan dengan agama yang sama sebab tujuan perkawinan sebagai tercapainya suatu kebahagiaan, sebab suami isteri yang tidak seiman nantinya akan menghadapi kepelikan.14

  • e.    Perkawinan Menurut Agama Konghucu

Menurut agama Khonghucu tidak ada satu ayat khusus yang memperbolehkan atau tidaknya perkawinan yang berbeda agama. Perkawinan bisa dikatakan sah jika laki-laki dan perempuan sudah dewasa, dilakukan tanpa paksaan, kedua calon mempelai telah menyetujui, kedua orang tua mempelai memberikan restu, diteguhkan melalui upacara keagamaan, mempelai yang berbeda agama tidak diharuskan untuk berpindah agama atau keyakinan.15 Dalam tradisi agama Konghucu dikenal dengan Li yuan yang merupakan perkawinan dengan kedua mempelai yang beragama Konghucu, walaupun adanya Li yuan namun agama Konghucu masih dapat membenarkan perkawinan yang berbeda agama.16

  • f.     Perkawinan Menurut Agama Islam

Berdasarkan pandangan Islam, perkawinan beda agama tidak bisa dilaksanakan selain kedua pasangan itu memeluk agama yang sama yaitu agama Islam. Ketentuan ini diatur dalam ketentuan hukum agamanya pada KHI Pasal 40 huruf c, merumuskan bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena tidak beragama Islam” serta Pasal 44 yang merumuskan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.17 Sehingga kajian dalam ketentuan yang ada dalam KHI jelas memberikan aturan bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan agama lain tidak diperbolehkan kawin bagi agama Islam.

Ketentuan lain di Pasal 10 PP No. 9/1975 yang berbunyi “Suatu perkawinan yang dianggap sah apabila dilaksanakan di depan pegawai pencatat dan disaksikan oleh dua orang saksi yang menghadiri, dengan mengikuti prosedur dan syarat perkawinan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing”.18 Jadi, UUP tidak melarang perkawinan beda agama melainkan tidak mengaturnya. Artinya suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila hukum agamanya memperbolehkan melakukan perkawinan beda agama, sebaliknya apabila menurut hukum agamanya masing-masing melarang pelaksanaan perkawinan beda agama maka menurut hukum perkawinan juga melarang perkawinan beda agama tersebut karena menimbulkan perkawinan yang tidak sah sehingga suatu perkawinan yang dilaksanakan tidak berlandaskan pada aturan hukum agamanya, maka perkawinan tersebut otomatis dianggap tidak sah menurut hukum perkawinan dan tidak mempunyai akibat dalam ikatan perkawinan sehingga ketentuan dalam UUP bukan merupakan suatu permasalahan.

  • 3.2    Kedudukan Anak dalam Perkawinan Beda Agama di Indonesia Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan yang dilaksanakan beda agama menyebabkan suatu persoalan yang rumit karena menyatukan dua peraturan sesuai prosedur hukum agama masing-masing.19 Tujuan dilaksanakannya perkawinan yakni melanjutkan keturunan (regenerasi) sehingga keberlangsungan umat manusia tetap dapat mengalir tiada henti. Implikasi hukum terhadap kedudukan anak dari perkawinan beda agama, yaitu:

  • a.    Kedudukan Anak dari Perkawinan Beda Agama

Kedudukan anak dilihat oleh keabsahan perkawinan dari orangtuanya. Kedudukan anak dijelaskan pada Pasal 42 UUP yang menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Seperti yang juga dirumuskan pada ketentuan dalam Pasal 99 huruf a KHI bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah”. Sah atau tidak sahnya ikatan perkawinan dapat mengakibatkan sah atau tidak sahnya status anak yang dilahirkan. Sehingga, anak yang terlahir dari hasil perkawinan yang tidak sah atau sebagaimana dalam hal ini yaitu perkawinan beda agama akan menjadikan status anak menjadi tidak sah atau anak di luar perkawinan.20 Sehingga hasil perkawinan beda agama mengakibatkan anak tersebut hanya menyandang hubungan secara perdata dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya saja, namun tidak menyandang hubungan secara perdata dengan ayahnya. Hal ini sesuai berdasar pada Pasal 43 ayat (1) UUP yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” serta sesuai pada aturan Pasal 100 KHI bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Masalah lain juga timbul mengenai kedudukan si anak yaitu anak akan dibawa kemana nantinya, ke kelenteng, ke masjid, ke gereja, atau tidak ke mana-mana. Bahwa perlu diingat di Indonesia sendiri berdasarkan pada Pancasila, sehingga tidak memiliki tempat untuk warganya yang tidak beragama. Hal ini secara tidak langsung akan membentuk sebuah kompetisi bagi kedua orangtua dari perkawinan tidak sah untuk memengaruhi agama anaknya. Mental anak pun akan terbebani mentalnya dalam menentukan atau menganut agama mana yang akan dipilih atau dianutnya.21 Ketentuan dalam undang-undang perkawinan mengatur secara garis besar untuk menyerahkan pada ketentuan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, jadi walaupun calon kedua mempelai mengupayakan berbagai cara untuk melaksanakan perkawinan beda agama, perkawinan tersebut akan tetap tidak diperbolehkan dan dianggap tidak sah berdasarkan hukum agama di Indonesia.

  • b.    Kedudukan Anak dari Perkawinan Beda Agama dalam Hal Kewarisan

Kedudukan anak dari hasil perkawinan beda agama juga memengaruhi dalam masalah hal kewarisan. Berdasarkan aturan yang ada dalam UUP, kedudukan anak dianggap sebagai anak yang tidak sah atau anak di luar perkawinan jika dilahirkan dari hasil perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama maka akan menjadi tidak sah pula menurut hukum perkawinan. Anak yang memiliki status sebagai anak tidak sah maka anak tersebut hanya menyandang hubungan secara perdata dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya, dan tidak menyandang hubungan perdata terhadap ayahnya.22 Hal ini mendapatkan konsekuensi terhadap masalah kewarisan, karena apabila hak kewarisan suami isteri dan anak-anaknya mengenai keabsahan perkawinan beda agama tidak dipersoalkan maka perkawinan dianggap sah termasuk juga pada status anak-anaknya dianggap sah, namun tidak ada hak kewarisan diantara mereka akibat perkawinan beda agama yang menyebabkan gugurnya hak mewaris.23 Anak tidak sah tidak memiliki hak warisnya dari yang ditinggalkan oleh ayahnya, melainkan hanya memiliki hak kewarisan dari ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Berdasarkan yang telah penulis katakan diatas bahwa akibat perkawinan dari orang tuanya yakni anak akan terbebani mentalnya untuk menentukan kelak agama apa yang akan dianutnya, apakah mengikuti agama dari yang dianut ayahnya atau ibunya. Sehingga dalam hal kewarisan apabila agama yang dianut anak tidak sesuai dengan orang tuanya maka anak tersebut tidak mempunyai hak lagi dalam hal kewarisan dari harta yang dimiliki orang tuanya. Berdasarkan hukum Islam tidak diperbolehkan bagi seseorang yang menjadi ahli waris berbeda agama dengan pewaris, hal ini didasari oleh Pasal 171 huruf c KHI yang menyatakan definisi “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Sehingga bagi pewaris beragama Islam tidak dapat mewariskan hartanya kepada ahli waris yang

tidak beragama Islam, ditegaskan sebab adanya kata “beragama Islam”.24 Hadist Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memberikan aturan yang tegas untuk tidak memberikan warisan kepada yang berbeda agama. Dengan demikian seseorang yang menjadi ahli waris namun berbeda agama dengan pewaris akan gugur haknya untuk menjadi ahli waris dari pewaris, kecuali saat pewaris meninggal ia telah kembali pada keyakinannya yaitu agama Islam. Namun ketentuan ini tidak untuk agama lain seperti Hindu dengan Katolik, dan hanya berlaku pada pewaris yang beragama Islam. Dalam hal ini dapat diselesaikan apabila anak yang memiliki agama yang berbeda dengan orang tuanya maka akan tetap menerima harta orang tuanya 1/3 dari harta yang ditinggalkan yakni dengan jalan hibah dan wasiat. Namun menurut hukum perdata, dalam KUHPerdata tidak terdapat aturan mengenai perbedaan agama dijadikan halangan bagi ahli waris untuk mendapatkan hak warisnya dari pewaris, selama anak memiliki ikatan darah dengan pewaris, baik yang sah maupun tidak sah atau yang di luar perkawinan menurut peraturan perundang-undangan, seperti yang dirumuskan pada Pasal 832 KUHPerdata.25

  • IV.    Kesimpulan

Keabsahan perkawinan dibuktikan pada Pasal 2 ayat (1) “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Apabila menurut hukum agamanya masing-msing melarang pelaksanaan perkawinan beda agama maka menurut hukum perkawinan juga melarang perkawinan beda agama tersebut karena menimbulkan perkawinan yang tidak sah. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut telah merumuskan bahwa penentuan, cara, dan syarat pelaksanaan perkawinan yang sah adalah menurut masing-masing agama serta kedudukan anak dalam perkawinan beda agama diatur pada Pasal 42 UUP “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” sehingga anak memiliki status sebagai anak tidak sah sebab kedudukan sebagai anak sangat ditentukan oleh keabsahan perkawinan kedua orangtuanya. Akibat anak yang terlahir dari perkawinan kedua orang tuanya yang beda agama, Pasal 43 ayat (1) UUP “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” tetapi dalam hal kewarisan menurut KUHPerdata tidak terdapat aturan mengenai perbedaan agama dijadikan halangan bagi ahli waris dalam memeroleh hak warisnya dari pewaris, selama anak memiliki hubungan darah dengan pewaris, baik yang sah maupun di luar perkawinan menurut undang-undang, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 832 KUHPerdata. Namun menurut hukum Islam tidak diperbolehkan bagi seseorang yang menjadi ahli waris berbeda agama dengan pewaris, hal ini didasari oleh Pasal 171 huruf c KHI yang menyatakan “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Dalam hal ini dapat diselesaikan apabila anak yang memiliki agama yang berbeda dengan orang tuanya maka akan tetap menerima harta orang tuanya 1/3 dari harta yang ditinggalkan yakni dengan jalan hibah dan wasiat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. Metode Penelitian Hukum Langkah-Langkah Untuk Menemukan Kebenaran Dalam Ilmu Hukum (Bandung, PT Refika Aditama, 2018).

Isnaeni, H. Moch. Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung, PT Refika Aditama, 2016).

Rachman, H.M. Anwar, Prawitra Thalib, dan Saepudin Muhtar. Hukum Perkawinan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Administrasi (Jakarta, Prenadamedia Group, 2020).

Jurnal

Agustin, Fitria. "Kedudukan Anak Dari Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Perkawinan Indonesia." Jurnal Ilmu Hukum 2, No. 1 (2018).

Ashsubli, Muhammad. "Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama)." Jurnal Cita Hukum 3, No. 2 (2015).

Asiah, Nur. "Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam." Jurnal Hukum Samudra Keadilan 10, No. 2 (2015).

Bahri, A. Syamsul dan Adama. "Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Jurnal Hukum Keluarga Islam Dan Kemanusiaan 2, No. 1 (2020).

Devi, Hanum Farchana dan Mastur. "Tinjauan Hukum Perkawinan Beda Agama Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE 11, No. 1 (2018).

Halim, Abdul dan Ardhani, Carina Rizky. "Keabsahan Perkawinan Beda Agama Di Luar Negeri Dalam Tinjauan Yuridis." Jurnal Moral Kemasyarakatan 1, No. 1 (2016).

Hanifah, Mardalena. “Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Soumatera Law Review 2, No. 2 (2019).

Jalil, Abdul. "Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia." Jurnal Diklat Teknis Pendidikan Dan Keagamaan 6, No. 2 (2018).

Makalew, Jane Marlen. "Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia." Jurnal Privatum I, No. 2 (2013).

Palandi, Anggreini Carolina. "Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia." Lex Privatum I, No. 2 (2013).

Putri, Indah melani. "Perkawinan Beda Agama Yang Dilaksanakan Di Luar Wilayah Negara Republik Indonesia." Jurnal Restitusi 1, No. 1 (2019).

Syahputri, Cyntia Herdiani dan Astariyani, Ni Luh Gede. "Akibat Hukum Perkawinan Berbeda Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Jurnal Kertha Semaya 2, No. 4 (2014).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 1 Tahun 2022 hlm 1-10

10