HARMONISASI HAK ATAS KEBEBASAN

BERPENDAPAT DAN BEREKSPRESI SERTA HAK
INDIVIDU ATAS REPUTASI DALAM PERSPEKTIF HAM

Kirana Apsari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Komang Pradnyana Sudibya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang berupaya dalam melindungi hak individu terhadap kebebasan mengemukakan pendapat dan ekspresi serta melindungi hak individu atas reputasinya, selain itu penulisan ini bertujuan mengetahui solusi dalam menyelaraskan hak individu dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi dengan hak individu atas reputasi melalui perspektif HAM. Dalam rangka mencapai tujuan a quo, penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktriner. Sehingga diperoleh hasil penelitian bahwa Negara Indonesia dalam melindungi hak individu untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresi termuat pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, sedangkan kebijakan yang berupaya dalam melindungi hak individu atas reputasi diatur dalam Pasal 310 hingga Pasal 321 KUHP. Kemudian dalam rangka menyeleraskan hak individu dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi dengan hak individu atas reputasi diatur pada Pasal 28J UUD 1945 yakni mengenai pembatasan hak dan kebebasan dengan maksud menjamin hak dan kebebasan orang lain sehingga tercapai ketertiban umum, hal ini sebagai dasar bahwa hak dan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi terdapat batasan untuk melindungi pula hak indvidu atas reputasi sebagaimana kemudian diatur dalam KUHP dan UU ITE.

Kata Kunci: HAM, Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Hak Individu Atas Reputasi

ABSTRACT

The purpose of this paper is to find out the policies that seek to protect individual rights to freedom of expression and expression as well as protect individual rights to their reputations, however this paper aims to find solutions in aligning individual rights in expressing opinions and expressions with individual rights to reputation through human rights perspective. In order to achieve the a quo goal, this paper uses normative legal research methods or doctrinal legal research. So that the results of the research show that the Indonesian State in protecting the rights of individuals to express opinions and expressions is contained in Article 28E paragraph (3) of the 1945 Constitution, while policies that seek to protect individual rights to reputation are regulated in Articles 310 to Article 321 of the Criminal Code. Then in order to harmonize individual rights in expressing opinions and expressions with individual rights to reputation, it is regulated in Article 28J of the 1945 Constitution concerning the limitation of rights and freedoms with the aim of guaranteeing the rights and freedoms of others so that public order is achieved, this is the basis that the rights and freedoms to In opinion and expression there are limits to protect individual rights to reputation as later regulated in the Criminal Code and the ITE Law.

Key Words: Human Rights, Right to Freedom of Opinion and Expression, Individual Rights to Reputation.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Kebebasan dalam hal berpendapat dan berekspresi sejatinya menjadi salah satu pendukung terciptanya negara serta masyarakat yang maju dan terus mengalami perkembangan. Kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi merupakan hal yang penting disebabkan oleh 4 hal yakni : (1) kebebasan dalam berekspresi merupakan upaya mencapai potensi secara maksimal dan menjamin pemenuhan dalam diri seseorang; (2) sebagai upaya dalam menemukan kebenaran dan kemajuan pengetahuan melalui mendengar seluruh sisi pertanyaan kemudian mempertimbangkan alternative lalu dilakukan pengujian terhadap penilaiannya melalui membandingkan penilaian tersebut dengan pemikiran yang berlawanan, kemudian mengambil manfaat dari adanya berbagai macam pandangan yang berlawanan secara optimal; (3) kebebasan ini juga penting agar setiap individu memiliki partisipasi dalam ditentukannya suatu keputusan, seperi khususnya dalam politik; (4) kebebasan berpendapat dan berekspresi juga memberikan pelajaran terhadap negara serta masyarakatnya untuk kemudian memiliki kemampuan beradaptasi sehingga mencapai stabilitas.1 Sehingga dalam terwujudnya suatu demokrasi maka kehadiran hak berpendapat dan berekspresi menjadi sangat penting. Hal tersebut berhubungan dengan demokrasi yang dianalogkan sebagai pemerintahan rakyat, yakni pemerintahan yang sesuai kehendak rakyat kemudian dilangsungkan oleh rakyat demi kebutuhan rakyat.2 Warga masyarakat dalam suatu negara demokratis tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam proses pemilihan umum melalui pemungutan suara atau memberikan partisipasi pada pembuatan kebijakan publik apabila masyarakat tidak memiliki kebebasan berekspresi dalam menunjukkan pandangannya dan pendapatnya secara bebas serta tidak memiliki hak untuk memperoleh informasi.3

Teori-teori yang mendukung mengenai paham demokrasi pun selalu mengalami perkembangan, dimulai dengan pertama yakni teori kontrak sosial (social contract), kemudian mengalami perkembangan sehingga menjadi teori kedaulatan rakyat (democratie sovereiniteit), dan berlanjut mengalami perkembangan hingga menjadi teori negara hukum demokrasi (democratie rechstaat).4 Namun walaupun teori pendukung paham demokrasi terus mengalami perkembangan, terdapat inti yang tidak ditinggalkan dari teori-teori tersebut yakni bahwa manusia sebagai rakyat dalam suatu negara harus dihormati atas hak-haknya oleh negara dan pemerintah. Oleh karenanya, pada paham demokrasi dengan hak asasi manusia (HAM) memperoleh pengakuan serta perlindungan yang layak. Sesuai dengan pendapat Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa prinsip demokrasi dengan HAM merupakan konsepsi reaksi sosial dan kemanusiaan yang lahir melalui sejarah peradaban manusia di seluruh belahan dunia. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa HAM dan demokrasi merupakan

hasil dari perjuangan manusia untuk mengakui, menjamin serta mempertahankan harkat kemanusiannya.5 Melalui pemikiran tersebut, menjadi jelas bahwa antara HAM dengan demokrasi memiliki hubungan yang bersifat kohesi urgen, begitu pula bahwa demokasi dapat tumbuh subur apabila HAM mendapatkan pengakuan yang layak, sebaliknya HAM akan diaukui dan dihormati apabila demokrasi dipraktikkan dalam suatu negara.

Aswanto mengemukakan bahwa HAM dapat dikategorikan menjadi empat kategori yakni kelompok pertama civil rights, kedua political rights, ketiga socio economic rights, dan keempat cultural rights.6 Hak terhadap kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi dikategorikan ke dalam kelompok civil rights yakni freedom of Thought (kebebasan dalam mengemukakan pikiran serta pendapat) dan juga dapat dikategorikan pada kelompok political rights yakni opinion and expression (hak dalam mengemukakan pendapat dan juga pendapat). Dengan termasuknya hak dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi sebagai bagian pada HAM, sebagaimana HAM yakni hak yang berdasarkan kodrat telah melekat pada diri tiap manusia. Maka oleh karena itu, hak-hak ini perlu untuk memperoleh penghormatan kemudian perlindungan serta pemenuhan sebagai merupakan kewajiban dan juga tanggung jawab pemerintah. Namun terdapat persoalan-persoalan terkait dengan penerapan perlindungan hak dalam hal kebebasan berpendapat dan juga berekspresi dikarenakan hak ini sering bertabrakan terhadap kebijakan-kebijakan negara dalam rangka melindungi hak individu terhadap kehormatan atau reputasi dirinya (right to honour or reputation). Dimana negara tentu selain menjamin kebebasan atas berpendapat dan berekspresi juga harus menjamin perlindungan terhadap hak atas reputasi warga negaranya. Hanya saja pada praktiknya, kebijakan dalam rangka menjamin hak atas reputasi tersebut seringkali membelenggu hak dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi sebagai bagian dari HAM yang sudah dimiliki pada tiap individu manusia sejak manusia tersebut berada dalam kandungan.

Sebelumnya telah terdapat karya ilmiah yang serupa dengan penelitian ini berjudul “Hak Atas Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Dalam Koridor Penerapan Pasal 310 Dan 311 Kuhp (The Rights to Freedom of Opinion and Expression in The Corridors of Article 310 and 311 of KUHP)” oleh Marwandianto dan Hilmi Ardani Nasution yang diterbitkan dalam Jurnal HAM. Dalam karya ilmiah tersebut menelusuri formulasi yang tepat antara hak atas kebebasan mengemukakan pendapat dan ekspresi dengan penerapan Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP sebagaimana terdapat pembatasan terhadap pada hak kebebasan mengemukakan pendapat dan ekspresi sebagai hak yang bersifat derograble. Selain itu karya ilmiah serupa juga terdapat dalam penelitian yang berjudul “Kebebasan Berekspresi Di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia” oleh Della Luysky Selian dan Cairin Melina yang diterbitkan dalam Lex Scientia Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, dalam karya ilmiah tersebut menekankan penerapan perlindungan dan pemenuhan kebebasan berekspresi dalam kaitannya dengan HAM. Sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dalam rangka menemukan harmonisasi antara hak dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi dan hak individu atas reputasi dirinya. Sebagaimana dalam negara demokrasi kedua hak tersebut sangat penting untuk diterapkan dan dihormati agar tercipta ketertiban sosial.

  • 1.2.    Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka ditemukan dua permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah pemenuhan HAM dalam perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta bentuk perlindungan hak individu atas reputasi?

  • 2.    Bagaimanakah solusi dalam menyelaraskan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta hak individu atas reputasi menurut peraturan perundang-undangan?

  • 1.3.    Tujuan Penilitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai upaya untuk mengetahui penerapan melalui kebijakan-kebijakan yang berupaya melindungi hak terhadap kebebasan mengemukakan pendapat dan ekspresi serta hak individu atas reputasinya, kemudian penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengetahui solusi dalam menyelaraskan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta hak individu atas reputasi melalui perspektif HAM.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penulisan penelitian ini yakni melalui metode penelitian normatif, dimana metode ini disebut pula sebagai penelitian hukum doktriner atau yang dikenal pula sebagai penelitian kepustakaan. Penelitian ini dalam penulisannya menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Sumber-sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yakni kaidah-kaidah hukum dan bahan hukum sekunder yakni buku, jurnal hukum. Teknik dalam pengumpulan bahan hukum tersebut melalui teknik studi kepustakaan dengan mengkaji literature serta peraturan terkait. Setelah pengumpulan bahan hukum selanjutnya dilakukan analisis bahan hukum, dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan adalah teknik sistematisasi yakni teknik yang berupaya untuk menganalisis kaitan dari rumusan suatu konsep hukum antara peraturan perundangan-undangan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Penerapan Perlindungan Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Serta Hak Individu Atas Reputasi

Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi, harus melibatkan warrga masyarakatnya dalam mengambil keputusan-keputusan salah satunya keputusan politik secara langsung ataupun diwakili oleh wakil rakyat. Selain itu, negara harus memberikan atau menghormati hak tiap-tiap warga negara yang disebut dengan hak alami atau HAM. Pada kehidupan dalam bernegara, hak yang dimiliki oleh tiap individu yakni hak untuk memilih, hak kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan bergerak, kebebasan dari tindakan yang sewenang-wenang, kebebasan berkumpul serta berserikat. Namun dari hak-hak tersebut, hak yang memiliki fungsi penting dalam negara demokrasi adalah hak kebebasan

berpendapat dan berekspresi.7 Oleh karenanya, hak tersebut penting untuk diakui, dilindungi, dan dihormati oleh negara-negara.

Dalam hukum internasional terdapat tiga instrumen pokok HAM yang dirancang oleh PBB dikenal dengan International Bill of Human Rights. Ketiga instrumen ini merupakan instrumen pokok dikarenakan memiliki kedudukan sentral dalam kelompok HAM internasional. Tiga instrument tersebut yakni Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil, Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Dimana kebebasan dalam bependapat memiliki keterkaitan dengan Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil, Political Rights.8 Pada konvenan hak-hak sipil dan politik, kebebasan berpendapat, mengutarakan pendapat, menggali dan memperoleh informasi diatur dalam Pasal 19.

Seiring dengan berjalannya pengaturan HAM secara Internasional, Negara Indonesia sebagai negara demokratis kemudian turut mengakui dan menghormati HAM sebagai kebebasan dasar yang manusia miliki dan secara kodrati melekat serta tidak terpisahkan. Sebagaimana pernyataan yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yang secara inplisit menjunjung tinggi peri-kemanusiaan yakni hak setiap bangsa memperoleh kemerdekaan kemudian hak dalam mencapai kesejahteraan serta kecerdasan dengan ketertiban serta berkeadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 ini yang kemudian dapat menjadi pijakan dalam menghormati HAM salah satunya hak dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi.

Pada kehidupan bernegara di Indonesia, tiap warganya yang mengemukakan pendapat atau mengekspresikan pemikirannya dijamin secara konstitusional yakni pada Pasal 28 UUD 1945 yang menuliskan secara eksplisit bahwa warga Indonesia memiliki kemerdekaan dalam hal berserikat dan juga berkumpul, serta mengungkapkan buah pikiran melalui lisan ataupun tertulis. Kemudian hal ini juga tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa tiap individu memiliki hak untuk berserikat, kemudian berkumpul, dan juga mengeluarkan pendapatnya. Oleh karenanya menjadi jelas bahwa secara konstitusional kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi diatur dan dilindungi sebagai suatu hak asasi manusia. Sehingga pada implementasinya, sebagai hukum dengan kedudukan tertinggi dan hukum dasar di Indonesia maka hak dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi diatur dalam undang-undang dibawahnya yakni UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; UU PERS; UU Penyiaran; UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pengaturan mengenai hak untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi dijelaskan secara jelas dalam Pasal 1 ayat (1) yakni pengertian kemerdekaan dalam hal mengutarakan pendapat merupakan hak yang dimiliki oleh tiap warga negara untuk mengutarakan pikiran mereka dalam bentuk tidak tertulis, tertulis, dan lainnya namun tetap bertanggung jawab berdasarkan pada hukum positif. Selain itu dalam UU 9/1998 menegaskan sesuai dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia

bahwa kebebasan untuk mengutarakan pendapat dan ekspresi ini termasuk pula kebebasan untuk tidak menerima gangguan atau hambatan dan kebebasan untuk menggali, memperoleh serta menyampaikan keterangan dengan bentuk apapun. Kemudian dalam UU 40/1999 tentang PERS pengaturan mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwasanya kemerdekaan terhadap pers termasuk HAM.

Implementasi dari kebebasan berpendapat dan berekspesi ini dapat berbentuk tulisan, buku, berunjuk rasa atau melakukan demonstrasi, rapat secara umum, pawai, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pers dan penyiaran. Terlebih semakin berkembangnya teknologi informasi yakni media sosial maka memudahkan masyarakat dalam memanfaatkan sarana ruang publik tersebut sebagai media merealisasikan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Setiap warga negarapun dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas termasuk berhubungan dengan kebijakan publik yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang membuat kebijakan publik tersebut. Sebagaimana menurut Toby Mendel, terdapat alasan-alasan yang menjadikan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hal yang penting. Pertama, dikarenakan hak ini merupakan hak dasar dari adanya demokrasi. Kedua, karena kebebasan ini memiliki peranan dalam memberantas korupsi. Ketiga, karena kebebasan ini mencerminkan akuntabilitas. Keempat, karena kebebasan ini dipercaya oleh masyarakat sebagai cara terbaik untuk mengungkapkan ataupun menemukan kebenaran.9

Namun selain perlindungan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi terdapat pula bentuk perlindungan atas reputasi seseorang, dimana negara mencegah terjadinya perbuatan dengan tujuan mencemarkan nama baik individu lain (defamation), menghina (insult), hingga memfitnah dan menista (libel). Perbuatan-perbuatan itu sendiri telah diatur sebagai tindak pidana dalam Pasal 310 hingga Pasal 321 KUHP. Baik itu perbuatan penghinaan dengan cara memfitnah dan menista, serta pencemaran nama baik yang dilakukan baik lisan maupun tulisan. Dimana penghinaan hingga mencemarkan nama baik seseorang merupakan pembunuhan karakter atau character assassination yang tergolong merupakan pelanggaran HAM.10 Menurut pendapat R. Soesilo merujuk pada aturan dalam KUHP, penghinaan terbagi ke dalam enam konsep. Pertama, penistaan menurut Pasal 310 ayat (1) KUHP. Kedua, penistaan melalui surat baik yang dilakukan dengan tulisan maupun gambar sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP. Ketiga, hal-hal yang mengandung fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 311 KUHP. Keempat, penghinaan ringan seperti memaki diatur dalam Pasal 315 KUHP. Kelima, penghinaan dalam hal pengaduan palsu atau fitnah dan berkaitan dengan pemberitahuan yang tidak benar termuat pada Pasal 317 KUHP. Keenam, Pasal 318 KUHP yakni perbuatan fitnah yakni perbuatan yang sengaja untuk dilakukan dengan tujuan menimbulkan prasangka terhadap seseorang bahwa dia telah melakukan perbuatan pidana.11

Hanya saja di Negara Indonesia, apabila terdapat ekspresi yang bersifat menghina ataupun pencemaran nama baik di media baru khususnya media sosial, dasar hukum yang digunakan tidak berdasarkan KUHP yakni pada Pasal 310 namun berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang terdapat klausul mengenai pengaturan media elektronik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hal ini dikarenakan terdapat salah satu asas hukum yang mendasari untuk digunakannya UU ITE apabila terdapat pelanggaran yakni asas lex specialis derogate legi generalis.12 Sehingga pasal tersebutlah yang menjadi dasar hukum dalam menjerat beberapa warga Negara Indonesia dengan tuduhan pencemaran nama baik dengan kata lain menjatuhkan reputasi seseorang di dalam media sosial. Pelanggaran terhadap Pasal 27 UU ITE ini sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE akan menimbulkan sanksi yakni dengan pidana penjara dan juga denda. Hanya saja untuk seseorang dapat terjerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut apabila telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut.

  • 3.2.    Solusi Dalam Menyelaraskan Hak Atas Kebebasan Berpendapat Dan

    Berekspresi Serta Hak Individu Atas Reputasi

Sebebas-bebasnya suatu negara merdeka, HAM yang telah diberikan dan dilindungi negara kepada warganya tetap harus dibatasi oleh undang-undang dikarenakan apabila tidak dilakukan demikian dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pada warga hingga saling merugikan antara individu. Seperti halnya dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak berarti bahwa diberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tetapi terdapat batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Declaration of Human Rights (DUHAM).

Pembatasan ini tertuang pula dalam DUHAM Pasal 29 yang menyebutkan bahwa batasan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan Prescribed by law, artinya perlu ditetapkan peraturan perundang-undangan dengan tujuan menjunjung hak individu lain, memenuhi keadilan dalam hal kesusilaan, ketertiban serta kesejahteraan umum, kemudian tidak berlawanan dengan prinsip dan tujuan PBB. Selain itu, Pasal 19 poin 3 ICCPR menyatakan bahwa kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi memiliki tanggungjawab dan dibatasi oleh hukum dengan tujuan menghornati hak serta reputasi individu lain, perlindungan terhadap keamanan negara dengan kata lain tidak menimbulkan ancaman pada keamanan nasional, serta kesehatan dan moral publik. Selanjutnya ketentuan pada Pasal 20 ayat (2) ICCPR juga merupakan hukum sebagai pembatas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini sejalan dengan tujuan mencegah kebebasan berpendapat dan berekspresi secara tertulis, gambar maupun video yang mengandung propaganda, ujaran akan kebencian terhadap SARA, maupun tindakan diskriminasi lainnya. Kemudian dalam instrumen hukum di Indonesia, menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dimana seseorang pada pelaksanaan haknya untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi wajib untuk tunduk pada pembatasan berdasarkan undang-undang demi terjaminnya kesetaraan dengan hak dan kebebasan orang lain.

Dilihat dari instrumen-instrumen hukum Internasional dan nasional tersebut dapat ditetapkan bahwa hak dalam kebebasan untuk mengutarakan pendapat dan ekspresi adalah hak yang dapat dibatasi atau dikurangi disebut dengan derogable rights.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi walau mendapat perlindungan dari negara, diperlukan pula suatu pembatasan-pembatasan yang dikarenakan banyaknya terdapat hoax yang beredar di media sosial dan juga ujaran-ujaran kebencian yang bahkan dapat mencemarkan nama baik seseorang. Batasan yang dimaksud yakni batasan yang terbentuk dikarenakan terdapat pula hak individu lain sehingga sebagai mahluk sosial, tiap manusia harus saling menghargai antar individu.13 Begitu pula sebaliknya, apabila kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak mendapatkan perlindungan dan terancam keberadaanya maka negara tersebut menjadi negara yang tidak demokratis dan gagal dalam memenuhi HAM. Oleh karenanya diperlukan harmonisasi atau perpaduan antara kedua hak tersebut agar kemudian antara hak kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi serta hak individu atas reputasi menjadi berjalan secara selaras tanpa melanggar HAM.

Terdapat 3 hal yang membatasi agar kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi tidak kebablasan yakni pembatasan melalui peraturan perundang-undangan, moral masyarakat (morality), dan ketertiban sosial dan politik (public order) masyarakat yang demokratis.14 Dimana peraturan perundang-undangan dimulai dari konstitusi negara dan hukum positif menjadi pagar dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Moralitas yang dengan kata lainnya merupakan prinsip mengenai baik buruknya perbuatan, akhlak, dan budi pekerti merupakan jiwa yang mengakibatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat hidup dengan baik di masyarakat. Kemudian public order berhubungan dengan kebiasaan di masyarakat mengenai norma atau etik dalam berpendapat dan berekspresi. Berdasarkan UU 9 /1998 terdapat 5 asas dalam menyampaikan pendapat di muka umum sebagai bentuk tanggung jawab dalam berpikir dan bertindak, asas tersebut yaitu :

  • 1)    Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban.

  • 2)    Asas musyawarah.

  • 3)    Asas kepastian hukum dan keadilan.

  • 4)    Asas proporsionalitas.

  • 5)    Asas mufakat.

Maka dalam rangka upaya penyelarasan antara hak atas kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi serta hak individu atas reputasinya dapat tercapai melalui penyelesaian yang adil dalam kasus yang terjerat pasal penghinaan atau pencemaran terhadap nama baik yang kemudian dikenal sebagai pasal defamasi. Sebagaimana sesungguhnya tindak pidana penghinaan (beleediging) yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap rasa harga diri seseorang tentang kerhomatannya dan tentang nama baiknya. Perlindungan tersebut penting adanya, dikarenakan apabila terjadi pembunuhan karakter atau character assassination yakni kehormatan dan nama baik seseorang dicemarkan oleh orang lain maka orang tersebut akan merasa harga dirinya hancur. Dalam kasus yang teridentifikasi terdapat empat kondisi yang dapat terjadi akibat terjerat oleh pasal defamasi atas ungkapan ekspresi dan pendapat yang dilakukan di media sosial. Pertama, jatuhnya putusan hukuman sebagaimana diatur dalam UU ITE.

Kedua, korban dibebaskan dari tuntutan. Ketiga, kasus dapat diselesaikan melalui perdamaian secara mediasi. Keempat, tidak terdapatnya kelanjutan atau kejelasan atas kasus yang terjadi.15

Secara prinsip, defamasi digunakan sebagai perlindungan atas reputasi seseorang yang mengakibatkan kerugian yakni perasaan direndahkan, ejekan di khalayak publik ataupun perbuatan yang menyebabkan seseorang dihindari atau dijauhi. Pelaksanaan defamasi dilakukan dengan pengadilan harus memastikan mengenai pernyataan yang mengakibatkan kerugian serius dan substantif, tidak untuk pelanggaran yang bersifat nominal dan minor. Menurut rancangan standar norma dan pengaturan (SNP) hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh KOMNAS HAM, defamasi dilakukan tidak untuk menjustifikasi hal-hal sebagai berikut:

  • a.    Mencegah kritikan kepada pejabat atau figur publik sebagai bentuk pengungkapan kesalahan atau tindakan koruptif seseorang;

  • b.    Perlindungan pada reputasi suatu objek seperti bendera atau lambang nasional;

  • c.    Perlindungan atas reputasi suatu daerah

  • d.    Mengizinkan seseorang menggugat atas nama orang yang telah meninggal;

  • e.    Mengizinkan seseorang menggugat atas nama suatu kelompok yang tidak mempunyai status untuk melakukan gugatan;

  • f.    Melindungi perasaan subjektif terhadap selera humor.

Namun setiap individu yang mengalami kerugian secara langsung ataupun tidak langsung akibat kebebasan berpendapat dan berekspresi, dapat mengajukan perkaranya di pengadilan. Kemudian untuk menghindari penyalahgunaan perkara defamasi, menurut SNP tersebut pengajuan perkara ini memiliki masa waktu pengajuan, dimana secara internasional standar yang berlaku yakni dalam waktu maksimal satu tahun setelah pernyataan dipublikasikan. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghindari penyalahgunaan perkara penghinaan. Akan tetapi, masa waktu tersebut dapat berlaku pengecualian terhadap kasus-kasus tertentu.

Mengutip pendapat Wirjono Projodikoro bahwa pernyataan yang disampaikan oleh individu sangat tergantung pada kata yang digunakan dan juga pada cara penyampaiannya, selain itu bergantung pula pada perasaan subjektif orang yang mendapatkan pernyataan penghinaan tersebut yang berkaitan dengan rasa harga diri.16 Sehingga bentuk objektif dari pernyatan penghinaan yakni apabila pernyataan itu menyelakai kehormatan serta harga diri yang berpengaruh terhadap nama baiknya, kemudian akan ditinjau tingkat pengaruh penghinaan tersebut terhadap harga diri indvidu tersebut. Dengan demikian berkaitan dengan reputasi atau kehormatan ini, maka delik penghinaan menjadi subjektif, oleh karenanya pembuktian pada delik penghinaan dibutuhkan unsur “tujuan untuk menghina” atau oogmerk om te beledigen atau animus iniuriandi. Namun untuk mencegah timbulnya kesewang-wenangan oleh aparat penegak hulum dalam menafsirkan secara subjektif unsur pada delik penghinaan tersebut perlu diberikan prinsip alasan penghapus pidana khusus baik di dalam ataupun di luar KUHP dan dilakukan revisi terkait rumusan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik untuk tidak lagi dinilai secara subjektif dengan kata lain menjadi tindak pidana materil.

Dalam penyelesaiannya, pengadilan wajib memprioritaskan penggunaan sanksi non-uang seperti hak untuk mengoreksi atau menjawab. Penggunaan sanksi berbentuk uang apabila sanksi non-uang tidak dapat memperbaiki rusaknya reputasi yang ditimbulkan. Hanya saja penerapan sanksi ini harus mempertimbangan efek meluas terhadap kebebasan berpendapat dan berekpresi yang buruk sehingga mengakibatkan efek intimidatif atau chilling effect. Efek intimidatif ini merupakan istilah yang digunakan sebagai penggambaran kondisi dimana masyarakat atau jurnalis menjadi takut dalam menyuarakan pendapat dan berekpresi mereka17. Begitu pula sebagaimana pendapat Toby Danniel Mendel seorang ahli kebebasan berekspresi berkewarganegaraan Canada yang berpendapat bahwa pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh terlalu luas karena akan berdampak menimbulkan chilling effect. Dimana chilling effect di sini adalah tidak hanya berdampak kepada pihak yang berpendapat tetapi juga semua masyarakat akan lebih hati-hati dalam menggunakan kebebasan berpendapat dan berekspresi.18 Tentu hal ini akan menjadi penghalang dalam pelaksanaan pemenuhan HAM atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Begitu pula dengan perintah penghapusan sementara atau interim injunctions tidak dapat dilakukan sebelum pernyataan dipublikasikan sehingga yang dapat dilakukan yakni larangan pernyataan atau sensor sebelum pernyataan tersebut dipublikasikan (prior restraint). Sedangkan perintah penghapusan pernyataan secara permanen atau permanent injunctions hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan dan terhadap kasus-kasus tertentu.

  • IV. Kesimpulan

Indonesia sebagai negara yang demokratis harus melibatkan masyarakatnya dalam mengambil keputusan ataupun mengkritisi keputusan pemerintah dengan melindungi dan menjamin hak mengenai kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Hak tersebut juga merupakan salah satu bagian HAM yang merupakan kewajiban Negara Indonesia untuk memastikan pemenuhannya dikarenakan Negara Indonesia sebagai negara demokratis kemudian mengakui dan menghormati HAM sebagaimana termuat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa tiap individu memiliki hak untuk berserikat, kemudian berkumpul, dan juga mengeluarkan pendapatnya. Oleh karenanya menjadi jelas bahwa kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi diatur dan dilindungi sebagai suatu hak asasi manusia secara konstitusional dan juga peraturan perundang-undangan dibawahnya. Hanya saja dalam pelaksananaan hak mengemukakan pendapat dan ekspresi diperlukan batasan sebagaimana dalam instrument hukum di Indonesia, pembatasan hak ini termaktub pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menuliskan bawa seseorang dalam mengemukakan pendapat dan ekspresinya wajib untuk menaati pembatasan yang berlaku sesuai dengan undang-undang demi menghormati hak dan kebebasan orang lain. Sebagaimana kebebasan dalam hal berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah perjuangan manis yang harus senantiasa dijaga. Akan tetapi, kebebasan berpendapat dan berekpresi yang tidak terbatas sehingga

menimbulkan kerugian pada orang lain bukan merupakan tindakan yang dapat dibenarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Qamar, Nurul. “Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Right In Democratiche Rechtsstaat)”. Jakarta: Sinar Grafika, (2018)

UNESCO, “Toolkit Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Bagi Aktivis Informasi”, Paris: The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), (2013)

Jurnal

Astuti, Fitria. "Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Kebebasan Menyatakan Pendapat Dikaitkan dengan Delik Pidana Pasal 156 KUHP di Media Sosial." Lex Administratum 5, no. 5 (2017):15-21.

Dewi, Christyana Olivia. "Perspektif Penanganan Perkara Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Terkait dengan Impelementasi Hak Kebebasan Berpendapat Ditinjau dari Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia." Lex Et Societatis 6, no. 4 (2018):63-74.

Marwandianto, Marwandianto, and Hilmi Ardani Nasution. "Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Koridor Penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP." Jurnal HAM 11, no. 1 (2020):1-25.

Muchladun, Wildan. "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik." PhD diss., Tadulako University, (2015):1-8.

Nurlatifah, Mufti, S. IP, and Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. "Ancaman Kebebasan Berekspresi Di Media Sosial." Depertemen Ilmu Komunikasi Fispol UGM (2019):0-15.

Sambali, Selviani. "Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penghinaan Khusus Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran." Lex Crimen 2, no. 4 (2013):156-169.

Suhartanto, Suhartanto. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Internet Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016." Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik 6, no. 2 (2017):111-117.

Susanto, Muhamad Iqbal. "Kedudukan Hukum People Power dan Relevansinya dengan Hak Kebebasan Berpendapat di Indonesia." Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi 2, no. 2 (2019):225-237.

Peraturan Perundang-Undangan

Declaration of Human Rights

International Covenant on Civil and Political Rights

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3789)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang PERS (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Internet

Institute For Criminal Justice Reform, “Keterangan Toby Daniel Mendel Dalam Pengujian KUHP di Mahkamah Konstitusi.” 2011 URL: https://icjr.or.id/keterangan-toby-daniel-mendel-dalam-pengujian-kuhp-di-mahkamah-konstitusi/, diakses pada tanggal 29 Juli 2021.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.779-790

790