KEDUDUKAN HUKUM INFLUENCER DALAM IKLAN PRODUK KOSMETIKA MENYESATKAN

Rizki Amaliasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Pande Yogantara S, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan influencer dalam mengiklankan produk kosmetika yang menyesatkan.Kedudukan Influencer belum diatur oleh Hukum Indonesia . Keadaan ini mempengaruhi akibat hukum yang timbul apabila influencer mengiklankan produk kosmetika yang menyesatkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penulisan hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undang dan konseptual. Bahan hukum yang digunakan sebagai sumber diantaranya bahan hukum primer seperti Peraturan Perundang-undangan serta bahan hukum sekunder seperti buku dan karya ilmiah lain. Teknik pengumpulan bahan hukum ini menggunakan studi kepustakaan dengan teknik analisis secara deskripstif, argumentatif dan sistematis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan influencer dalam iklan produk kosmetika adalah sebagai pengiklan. Influencer juga dapat bertanggungjawab atas pemberian informasi yang menyesatkan tanpa diketahui pihak pengiklan.

Kata Kunci : Influencer, Kosmetika, Iklan Menyesatkan, Perlindungan Konsumen

ABSTRACT

This article aims to determine the legal standing of the influencers in advertise misleading products cosmetic.The legal status of the Influencers have not been regulated by Indonesia’s Law. This situation affects the legal consequences that arise when the influencers advertise mislending products cosmetics. This research was conducted by using a normative legal writing method that using a statutory approach and conceptual approach. Legal materials used as source of such primary legal material such as regulations,secondary legal meterials such as books and other scientific literature. The technique of collecting legal materials is to use literature study that use descriptive,argumentative, and systematic analysys techniques. The results of this study show that the position of influencers in the advertisements of cosmetic products are advertisers. Influencers can also be responsible for the provision of misleading information unbeknown by advertisers.

Keywords: Influencers, Cosmetics, Misleading Advertising, Consumer Protection

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Iklan merupakan sarana paling umum yang digunakan pelaku usaha di bidang jasa dalam memasarkan barang produksinya atau jasa yang ditawarkan. Hubungan pelaku usaha dan pihak periklanan memiliki hubungan hukum yang menguntungkan

berdasarkan kesepakatan serta adanya hubungan sebab akibat diantaranya.1 Iklan sebagai media penyebaran informasi kepada khalayak umum sangat membantu mengenalkan dan memasarkan produk barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, iklan sangat diperlukan oleh produsen dalam memasarkan produk yang ditawarkan. Iklan salah satu sarana pengenalan dan pemasaran produk dapat dilakukan melalui media cetak, radio, televisi ,media bioskop, media daring dan media luar griya. Media daring mengandung pengertian segala media yang format kodenya dapat dibaca oleh mesin. Salah satu bentuk iklan dengan menggunakan media daring adalah dengan menfaatkan media sosial sebagai pengenalan produk. Iklan yang disiarkan di media sosial pada umunya menggunakan jasa influencer.

Pengenalan dan pemasaran tidak terbatas pada produk barang dan/ jasa tertentu, hampir semua jenis produk kebutuhan manusia dapat dipromosikan melalui media iklan. Tidak terkecuali dengan produk kosmetika yang beredar dipasaran, produk-produk tersebut juga menggunakan media iklan sebagai pengenalan produk. Iklan mempunyai pengaruh yang sangat terasa terhadap khalayak, sebagian besar khalayak memutuskan untuk membeli atau menggunakan produk akibat adanya persuasi atau pengaruh informasi dari suatu iklan.2 Semakin dikenal jenis dan merek produk kosmetika dipasaran semakin tinggi peluang terjualnya produk tersebut dipasaran. Kosmetika saat ini menjadi barang penting bagi perempuan juga laki-laki yang sudah mulai memperhatikan penggunaan kosmetika untuk penampilan. Kebutuhan masyarakat yang semakin beragam ini memunculkan berbagai perkembangan dan inovasi kosmetika. Muncul berbagai penyebutan kosmetika sesuai dengan kegunaanya seperti, skincare, make-up body care, hair care dan lain sebagainya. Hal tersebut mempengaruhi munculnya produsen baru yang menciptakan dan mengembangkan kosmetika termasuk di Indonesia. Selain itu, era digitalisasi ini memudahkan konsumen mendapatkan produk kosmetika luar negeri yang dijual langsung dari negara asal.

Perkembangan teknologi untuk menjual produk semakin beragam mulai dari penjualan konvensional melalui toko-toko hingga penjualan melalui aplikasi belanja online. Menjamurnya produk kosmetika yang dijual dipasaran ini sering kali dimanfaatkan oleh pelaku usaha nakal untuk memasarkan produk yang tidak memiliki izin edar. Harga kosmetika yang murah dan khasiat yang ditawarkan menggiurkan dengan mudah menarik minat konsumen. Meskipun Pasal 106 ayat 1 Undang-undang Kesehatan telah diatur bahwa “sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setlah mendapatkan izin edar.” Dengan begitu, kosmetika hanya bisa diedarkan setelah mendapat izin edar.3 Aturan lain terdapat pada Pasal 2 Peraturan BPOM No.23 Tahun 2019 yang mengharuskan kosmetika yang diedarkan memenuhi persyaratan teknis bahan kosmetika. Produk yang tidak mempunyai izin

edar patut dicurigai bahwa produk tersebut berkemungkinan tidak memenuhi persyaratan teknis bahan kosmetika yang telah diatur.

Teknologi yang berkembangan pesat banyak mempengaruhi perubahan perilaku dan kebiasaan masyarakat, salah satu dengan adanya media sosial. Media sosial pada saat ini bukan hanya sebagai media interaksi saja namun juga dapat digunakan sebagai media untuk memperoleh penghasilan. Akhir-akhir ini bermunculan influencer dengan berbagai keahlian yang dimiliki serta memiliki pengaruh luas di media sosial. Influencer memiliki pengertian youtuber, blogger,selebritis, atau public figure lain yang dianggap mempunyai pengaruh penting dalam kelompok tertentu.4 Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi masyarakat ini yang dimanfaatkan para pelaku usaha untuk mempromosikan produk mereka. Seseorang yang mempunyai pengikut banyak di media sosial dapat melakukan promosi terkait barang dan/atau jasa melalui foto maupun video yang bertujuan untuk mempengaruhi pengikutnya.5

Beberapa tahun ini dengan adanya kesadaran masyarakat dengan penampilan membuat lahirnya influencer dengan keahliannya dibidang kecantikan bermunculan yang mampu menjaring pengikut dalam jumlah besar. Melihat peluang tersebut pelaku usaha menyesuaikan dengan teknik penawaran dan pemasaran untuk mendapatkan atensi dari konsumen.6Para pelaku usaha kosmetika memanfaatkan hal tersebut sebagai salah satu media baru untuk mempromosikan produk mereka. Bentuk promosi yang biasa dilakukan oleh influencer yang menjadi trend saat ini diantaranya adalah testimony dan endorsement. Promosi yang berupa penggunaan langsung produk oleh pihak pengiklan maupun hanya menyiarkan atau menayangkan iklan yang telah di buat langsung oleh pelaku usaha tanpa melalui perusahaan pengiklanan. Cara tersebut dianggap lebih efektif dan efisien bagi pelaku usaha pemula yang ingin mengenalkan dan memasarkan produknya sesuai target pasar yang diharapkan..

Permasalahan timbul ketika seorang influencer yang mengiklankan suatu produk kosmetika, namun dalam penyiaran atau penayangan iklan yang dilakukan oleh influencer tersebut tidak sesuai dengan etika periklanan dan ketentuan yang telah diatur dalam hukum positif Indonesia. Iklan yang ditawarkan melalui jasa influencer tersebut kemudian merugikan konsumen. Di Indonesia,kepentingan konsumen atas penggunaan dan pemanfaatan produk dilindungi melalui Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.

Terdapat beberapa karya ilmiah memiliki kemiripan dengan topik penulis, namun berbeda permasalahan yang diangkat. Adapun karya ilmiah yang memiliki konsep yang sama dengan penulis, diantaranya karya tulis yang dibuat oleh “Dewa Ayu Kade Wida Suryandini” dan “Suatra Putrawan” yang berjudul “Pertanggungjawaban Selebgram Terhadap Konsumen Yang Mempromosikan Barang Dan Jasa Di Media Sosial”. Pembahasan pada karya ilmiah ini lebih berfokus hanya

pada pertanggungjawaban hukum selebgram terhadap barang dan jasa yang dipromosikan.7 Serta karya ilmiah dari “I Putu Mita Apsari Dewi” dan “Sagung Putri M.E. Purwani” yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan oleh Produsen dan Biro Iklan terhadap Iklan yang Menyesatkan Masyarakat”. Karya ilmiah ini fokus pembahasannya berkaitan dengan perbuatan melawan hukum pihak pengiklan terhadap masyarakat atas iklan yang menyesatkan.8 Dua penelitian diatas tentunya memiliki perbedaan subjek dan objek pembahasan dengan penelitian ini yang berkaitan dengan kedudukan hukum influencer dalam iklan produk kosmetik yang menyesatkan. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini memiliki nilai keaslian sebagai karya ilmiah.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kedudukan hukum influencer dalam mengiklankan produk kosmetika?

  • 2.    Bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap konsumen yang menjadi korban iklan produk kosmetika yang menyesatkan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui dan memahami kedudukan hukum dan pertanggungjawaban influencer dalam melakukan promosi produk kosmetika dikaji berdasarkan hukum positif Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Pembahasan dalam karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif yaitu kegiatan mempelajari aspek-aspek untuk menyelesaikan persoalan internal dari hukum positif.9 Dalam memecahkan masalah dalam penulisan ini menggunakan pendekatan diantaranya, pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Pendekatan perundang-undangan memandang hukum sebagai sistem yang tertutup yang memiliki sifat all inclusive ,comprehensive, dan systematic.10 Metode penulisan yang digunakan adalah metode kualitatif, untuk menguraikan pemahaman secara mendalam. Bahan hukum yang digunakan sebagai sumber diantaranya bahan hukum primer seperti Peraturan Perundang-undangan serta bahan hukum sekunder seperti buku dan karya ilmiah lain. Teknik pengumpulan bahan hukum ini menggunakan studi kepustakaan dengan teknik analisis secara deskripstif, argumentatif dan sistematis.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Kedudukan Hukum Influencer dalam Melakukan Iklan Produk Kosmetika Influencer melalui kemampuannya mempengaruhi kelompok tertentu dalam masyarakat dapat menciptakan perubahan dalam berbagai bidang. Media sosial

sebagai media baru dalam berinteraksi dengan pihak lain secara online sangat mempengaruhi lahir dan berkembangnya influencer ini. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2018 menyatakan bahwa, “ 171.176.716 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 27.916.716 dari tahun 2017. Sebanyak 24,7 persen menggunakan internet untuk berkomunikasi lewat pesan dan 18,9 persen digunakan untuk social media seperti facebook,twitter,dan Youtube.”11 Keberadaan influencer dalam menggunakan media sosial ini mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Didukung dengan berkembangnya teknologi mempengaruhi terciptanya aplikasi-aplikasi media sosial dan layanan jual-beli online (e-commerce).

Media sosial dengan bentuk dan manfaat beragam dapat mempengaruhi kebiasaan dan perilaku masyarakat. Kemampuan media sosial sebagai wadah masyarakat dengan latar belakang yang berbeda, dengan kemampuan yang berbeda mengeksplor seluruh keahlian dari orang biasa menjadi orang yang mampu mempengaruhi banyak orang. Orang-orang tersebut dikenal dengan istilah social media influencer atau sering disebut influencer. Terdapat tiga jenis influencer, diantaranya micro influencer, macro influencer, dan Mega Influecer.12 Aplikasi sosial media seperti Youtube,Instagram, dan Tiktok merupakan aplikasi yang sekarang ini banyak digunakan oleh para social media influencer untuk menjaring pengikut.

Kemampuan influencer untuk mempengaruhi pola konsumsi masyarakat ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mempromosikan produk dan/atau jasa mereka. Dari sekian banyak produk yang ditawarkan salah satu yang paling banyak dipromosikan oleh influencer media sosial adalah kosmetika. Undang-undang Kesehatan mengkategorikan kosmetika menjadi salah satu produk sediaan farmasi. Peraturan BPOM No.23 Tahun 2019 memberikan mengertian bahwa, “Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar, atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.” Beberapa tahun terakhir muncul dan berkembang berbagai jenis produk baru kosmetika dengan keunggulan dan klaim yang diberikan. Influencer pada umumnya dalam mempengaruhi masyarakat berdasarkan kemampuan atau keahlian mereka sesuai bidang. Satu dari sekaian banyak bidang yang banyak digeluti oleh influencer yaitu dibidang kecantikan. Masyarakat biasa menyebut influencer dibidang kecantikan ini dengan nama Beauty Influencer.

Social media influencer ini merupakan salah satu sarana pemasaran produk yang lahir dari perkembangan teknologi, dan mempunyai cakupan lebih sempit daripada definisi periklanan. Dengan berkembangnya media periklanan salah satunya media daring dapat menjadi sarana baru bagi pelaku usaha untuk megiklankan sebuah produk. Penggunaan influencer sebagai sarana pemasaran, dianggap lebih menguntungkan oleh pelaku usaha daripada menggunakan jasa perusahaan

periklanan. Pelaku usaha dapat memilih influencer yang sesuai dengan produk yang ditawarkan. Iklan kosmetika contohnya, pelaku usaha dapat memilih influencer yang mempunyai keahlian atau kemampuan dibidang kecantikan. Selain itu, pelaku usaha juga dapat lebih dapat menghemat biaya iklan. Penggunaan jasa social media influencer memungkinkan pelaku usaha membuat sendiri iklan dari produk yang dipasarkan, tidak harus melalui jasa perusahaan periklanan. Sehingga influencer hanya cukup mengunggah produk kosmetika yang ditawarkan pada media sosial terkait.

Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya merumuskan tentang tanggungjawab dan larangan pelaku usaha periklanan. Pasal 17 Undang-undang ini melarang pelaku usaha periklanan memproduksi iklan dalam bentuk apapun yang dapat mengelabuhi konsumen, memuat informasi keliru,tidak mencantumkan informasi mengenai resiko pemakaian, mengeksploitasi kejadian dan/ atau seseorang tanpa persetujuan, serta melanggar etika periklanan. Tanggungjawab pelaku usaha iklan diatur pada Pasal 20 Undang-undang yang sama. Terbatasnya mengaturan terkait pelaku usaha periklanan dalam Undang-undang ini tidak dapat secara eksplisit mengkategorikan influencer sebagai bagian darinya. Peraturan ini tidak memberikan batasan dari pengaturan pelaku usaha periklanan sehingga menimbulkan kekaburan mengenai definisi dan ruang lingkupnya.

Etika Pariwara Indonesia memberikan pengertian bahwa pelaku periklanan mempunyai ruang lingkup diantaranya, pengiklan, sponsor, media periklanan, perusahaan periklanan, serta produsen materi periklanan. Pengiklan dapat berupa sebagai pengguna jasa, pemrakarsa dan/atau penaja periklanan. Perusahaan periklanan merupakan organisasi usaha yang memberi/ menawarkan layanan dan mempunyai keahlian di bidang periklanan yang bertujuan untuk memajukan suatu pesan, merek atau media komunikasi pemasaran, yang melakukan untuk dan atas nama pengiklan yang karena itu mendapatkan imbalan dan mematuhi Standar Usaha Periklanan Indonesia. Penaja (sponsor) dapat diartikan sebagai pihak yang menyelenggarakan atau menyiarkan suatu program yang memberikan imbalan kepada penyelenggara, pelaksana atau media terkait dengan kesepakatan yang ditentukan seperti biaya dan waktu. Sedangkan yang dikatakan sebagai media dalam periklanan yaitu, segala sesuatu yang dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian pesan dalam suatu iklan. Selain itu, untuk menyampaikan isi dalam iklan khususnya melalui media elektronik dan media daring (media sosial, e-commerce, search publisher, on demand transportation) biasanya menggunakan jasa pemeran iklan. Penggunaan pemeran iklan atau biasanya sering dikenal dengan endorser dalam mengiklankan produk memiliki tiga indikator yaitu popularitas (visibility), daya tarik (attraction), kredibilitas (credibility) dan kekuatan menggerakkan target (power).13

Berdasarkan penjelasan diatas Influencer dapat dikategorikan menjadi bagian dari penganjur atau pemeran iklan (endorser) Kedudukan influencer dalam periklanan sebagai penyiar atau pihak yang menyebarluaskan, cara influencer mempromosikan produk menggunakan media sosial atas nama pribadinya. Media tersebut juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan penggunanya yang tidak sesuai dengan kebijakan media sosial.14 Fungsi media sosial pada dasarnya hanyalah sebagai sarana komunikasi yang kemudian digunakan sebagai media iklan. Sedangkan iklan atau promosi oleh social media influencer hanya merupakan inovasi pemanfaatan sosial

media yang dilakukan pengguna. Meskipun tidak dapat disamakan dengan perusahaan iklan namun influencer dalam mengiklan suatu produk mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk memasarkan produk pelaku usaha yang memberikan imbalan atas jasanya.

Undang-undang Perlindungan Konsumen, Etika Periklanan Indonesia serta peraturan terkait dengan iklan produk kosmetika yang diterbitkan oleh BPOM tidak mengatur secara langsung mengenai influencer dalam iklan suatu produk kosmetika. Influncer selama belum ada aturan khusus yang mengatur mengenai penggunaan influencer dalam iklan produk barang dan/jasa pada khususnya kosmetika, harus tetap tunduk pada peraturan-peraturan dan kode etik periklanan kosmetika di Indonesia.

  • 3.2.    Pertanggungjawaban Hukum terhadap Konsumen yang Menjadi Korban Iklan

    Produk Kosmetika Menyesatkan

Hak-hak konsumen telah diatur pada Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen , hak tersebut diantaranya : “ . . . hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan / atau jasa; hak untuk memilih barang dan/ jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur atas kondisi dan jaminan barang dan/ atau jas ....” Pasal 7 Undang-undang

Perlindungan Konsumen mewajibkan untuk memperhatikan hak konsumen tersebut.Informasi ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha kosmetika untuk menjamin hak-hak konsumen. Ada produk kosmetika pelaku usaha harus memperhatikan kaidah-kaidah produksi dan pemasaran kosmetika yang ada. Pasal 105 Undang-undang Kesehatan menegaskan, sediaan farmasi yang diantarnya kosmetika, harus memenuhi standar dan /atau persyaratan yang ditentukan. Berdasarkan peraturan tersebut maka pelaku usaha dalam memproduksi dan memasarkan produk harus memenuhi standarisasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.15

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan BPOM No.23 Tahun 2019,persyaratan Teknis. Bahan Kosmetika harus memperhatikan keamanan, kemanfaatan dan mutu. Terdapat dua bahan kimia berbahaya produk kosmetika yaitu bahan kimia berbahaya yang diperbolehkan dengan pembatasan penggunaannya pada produk kosmetik dan bahan kimia berbahaya yang dilarang.16 Iklan kosmetika haruslah objektif, dengan menyatakan hal yang benar, tidak menyesatkan atau berlebihan, sesuai dengan kenyataan dan terdapat informasi yang lengkap.17 Terkait dengan iklan produk kosmetika, Peraturan Menteri Kesehatan No.76 Tahun 2013 melarang adanya iklan yang menyesatkan, iklan harus jujur, bertanggungjawab,akurat, tidak boleh memanfaatkan kekhawatiran masyarakat tentang masalah kesehatan. Iklan kosmetika

harus berlandaskan persaingan usaha sehat, tidak menyinggung perasaan, mengandung SARA dan merendahkan martabat.

Maraknya iklan-iklan kosmetika di berbagai media yang biasa berupa endorsement dan testimony mempunyai peluang hadirnya iklan tak bertanggungjawab dan menyesatkan konsumen. Etika Pariwara Indonesia mengatur bahwa endorsement atau anjuran berupa pernyataan, klaim dilakukann secara individu harus terkait kompetensi yang dimiliki oleh penganjur. Testimony atau kesaksian konsumen juga hanya memberikan kesaksian pribadi yang merupakan kejadian yang sebenarnya tidak melebih-lebihkan manfaat suatu produk. Pelaku usaha dan/ atau media periklanan yang digunakan untuk mempromosikan produk kosmetik harus dapat mempertanggungjawabkan iklan yang dibuat. Pertanggungjawaban hukum terhadap iklan menyesatkan yang diiklankan pelaku usaha melalui influencer harus dilihat dari sejauh mana keterlibatan influencer itu sendiri.

Tanggung jawab merupakan kewajiban berdasarkan undang-undang untuk bertanggungjawab serta memperbaiki kerusakan ditimbulkan.18 Prinsip pertanggungjawaban hukum pada umumnya dibagi menjadi :19

  • a.    Presumption of liability, prinsip beranggapan untuk bertanggungjawab

  • b.    Presumption of non-liability , prinsip untuk tidak bertanggungjawab

  • c.    Liability base on fault, prinsip pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan d. Strict liability , prinsip tanggungjawab secara mutlak

  • e.    Limitation of liability , prinsip tanggungjawab terbatas

Sedangkan dalam konsep perlindungan konsumen, prinsip pertanggungjawaban dibedakan menjadi :20

  • a.    Contractual Liability, tanggungjawab yang timbul atas adanya perjanjian pelaku usaha dengan konsumen karena pemanfaatan barang dan / atau jasa

  • b.    Product liability, pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen yang menderita kerugian akibat penggunaan produk yang dihasilkan.

  • c.    Professional liability, pertanggungjawaban pelaku usaha dibidang jasa terhadap konsumen yang memanfaatkan jasa yang ditawarkan

  • d.    Criminal responsibility,pertanggungjawaban pidana pelaku usaha kepada konsumen atas terancamnya keselamatan dan keamanan akibat penggunaan barang dan / jasa .

Konsumen yang menderita kerugian akibat iklan produk kosmetika yang menyesatkan dapat meminta pertanggungjawaban hukum kepada pelaku usaha. Hal tersebut ditempuh apabila pihak yang bersangkutan melakukan perbuatan dilarang bagi pelaku usaha yang diatur Pasal 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :

  • a.    harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

  • b.    kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

  • c.    kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

  • d.    tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

  • e.    bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.”

Pelaku usaha dapat dituntut pertanggungjawaban berdasarkan prinsip strict liability, pertanggungjawaban mutlak atas kerugian yang diderita konsumen. Berdasarkan Pasal 7 huruf f. Undang-undang Perlindungan Konsumen, bahwa “Pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ jasa yang diperdagangkan.” Pengaturan tersebut menunjukan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab secara mutlak berdasarkan undang-undang atas kerugian yang diderita konsumen.Terkait dengan iklan kosmetika yang menyesatkan, konsumen dapat meminta pertanggungjawaban perlindungan konsumen atas dasar prinsip product liability. Kosmetika dikategorikan sebagai produk barang yang diproduksi oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, product liability sangat tepat sebagai dasar pertanggungjawaban. Pelaku usaha memproduksi dan memasarkan kosmetika yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan merupakan bentuk pelanggaran. Berdasarkan prinsip pertanggungawaban berdasarkan unsur kesalahan yang dianut Indonesia. Pelaku usaha yang memproduksi kosmetika selaku pihak yang mengikatkan diri dengan konsumen melalui jual-beli kosmetika tidak sesuai Peraturan Perundang-undangan maupun peraturan terkait lainnya dapat dimintai pertanggungjawaban. Apabila kosmetika tersebut digunakan oleh konsumen yang kemudian mengakibatkan kerugian, konsumen dapat menuntut pertanggungjawab atas produk yang diproduksi dan dipasarkan pelaku usaha. Konsumen dalam usaha memperoleh kompensasi atau ganti rugi harus dapat membuktikan bahwa konsumen tersebut benar-benar dirugikan. Beban pembuktian dalam gugatan ganti rugi ini yaitu beban pembuktian terbalik.

Berkaitan dengan iklan produk kosmetika yang menyesatkan melalui influencer, pihak ini dapat dimintakan pertanggungjawaban sejauh mana keterlibatannya dalam mengiklankan kosmetika tersebut. Influencer yang dalam hal ini sebagai penyiar iklan tidak dapat serta merta bertanggungjawab atas iklan yang ditayangkan pada media sosial pribadinya. Iklan yang dilakukan melalui influencer biasanya dilakukan dengan hanya mengunggah gambar atau video yang telah disiapkan oleh pihak pengiklan saja, testimony atau dengan endorsement. Apabila promosi atau iklan hanya berupa mengunggah gambar dan/atau video, maka konsumen tidak dapat meminta ganti rugi kepada pihak influencer. Namun, jika pihak influencer itu melakukan promosi dengan cara testimony atau endorsement, maka mempunyai kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban. Iklan sendiri merupakan salah satu bentuk pra kontrak yang sering tidak disadari. Pra kontrak merupakan janji yang disampaikan oleh pihak promisor (pemberi janji) kepada promisee (penerima janji) pada tahap perundingan dengan harapan pihak promisee menerima janji. Tahapan ini dapat dilihat dengan adanya penawaran dan penerimaan antara para pihak yang akan mengikatkan diri. 21 Namun, pra kontrak di Indonesia belum diakui sebagai tahapan dalam pembuatan

kontrak yang mengakibatkan para pihak tidak mempunyai dasar mengikatkan diri.22 Maka, dalam suatu iklan yang ditayangkan dalam media sosial yang oleh influencer pada hakekatnya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat antara influencer dan konsumen yang ditargetkan, selama konsumen belum melakukan pembelian kosmetika.

Namun, saat influencer tersebut melakukan testimony atau endorsement tidak sesuai dengan ketentuan Etika Pariwara dengan maksud memberikan informasi menyesatkan, tanpa sepengetahuan dari pihak pengiklan, maka pihaknya dapat dimintai pertanggungjawaban. Berdasarkan prinsip liability base on fault, influencer dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban menurut unsur kesalahan, yaitu mengiklankan kosmetika yang tidak memperhatikan keamaan,kemanfaatan dan mutu dari produk tersebut.

  • IV. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan permasalahan yang telah diuraikan diatas, disimpulkan bahwa,kedudukan hukum influencer dalam melakukan iklan kosmetika adalah sebagai pemeran iklan (endorser). Meskipun belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang influencer dalam melakukan iklan di media sosial namun, influencer tetap harus taat dan patuh terhadap peraturan terkait iklan kosmetika. Pertanggungjawaban hukum ketika terjadi kerugian pada konsumen akibat menggunakan kosmetika yang diiklankan melalui influencer, berdasarkan perjanjian jual-beli maka pihak pengiklan/ pelaku usaha kosmetika yang bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Influencer juga dapat dimintakan pertanggungjawaban ketika memberikan informasi produk yang menyesatkan tanpa sepengetahuan pihak pengiklan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Wijoyo,Hadion.Digital ekonomi dan Pemasaran Era New Normal (Selayo,Insan Cendikia Mandiri,2020),74-75.

Rosmawati. Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen.(Jakarta,Prenada Media Group, 2018), 78

Jurnal Ilmiah :

Asnawi,Nasir. "Aspek Hukum Janji Pra Kontrak dalam Pranata Hukum Kontrak Indonesia". Jurnal Hukum & Pembangunan 49, No.3 (2019) :502 https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2185

Benuf, Kornelius, dan Muhamad Azhar. "Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer". Jurnal Gema Keadilan 7,Edisi 1 (2020) :23.

Candrawati, Ni Nyoman Anita. "Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Kartu EMoney Sebagai Alat Pembayaran Dalam Transaksi Komersial". Jurnal

Magister Hukum Udayana 3, No. 1     (2014)     :10

https://doi.org/10.24843/JMHU.2014.v03.i01.p03

Devi, Putu Carina Sari dan Suatra Putrawan. " Perlindungan Hukum Konsumen Yang Melakukan Review Produk Barang Atau Jasa Di Media Sosial". Kertha Semaya: Journal       Ilmu       Hukum       6,       No.7       (2019):2-3.

https://doi.org/10.24843/KM.2018.v07.i01.p02

Dewi, Putu Mita Apsari, dan Sagung Putri M.E. Purwani. "Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan oleh Produsen dan Biro Iklan terhadap Iklan yang Menyesatkan Masyarakat". Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 2,No.4 (2014)

Dyani,Vina Akfa. "Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Notaris dalam Membuat Party Acte". Lex Renaissance 2, No.1 (2017) :165 https://doi.org/10.20885/JLR.vol2.iss1.art11

Fathanudien,Anton. Et.al, "Pertanggungjawaban Terhadap Konsumen atas Iklan-iklan yang Menyesatkan di Era Globalisasi", Unifikasi Jurnal Hukum 2, No.2 (2015):33.

https://doi.org/10.25134/unifikasi.v2i2.414

Hanindharputri,Made Arini and I Komang Angga Maha Putra. "Peran Influencer dalam Strategi Meningkatkan Promosi dari Suatu Brand". Seminar Nasional Sandyakala (2019) :339-342

Maulana, Irfan, Jovanna Merseyside br.Manulang and Ossya Salsabila. "Pengaruh Social Media Influencer Terhadap perilaku Konsumtif di era Ekonomi Digital". Majalah        Ilmiah        Bijak        17.No.1        (2020)        :29

https://doi.org/10.31334/bijak.v17i1.823

Nurhan, Ahmad Dzulkifli,et.al. "Pengetahuan Ibu-ibu Mengenai Kosmetik yang Aman dan Bebas dari Kandungan Bahan Kimia Berbahaya". Jurnal Farmasi Komunitas 4,No.1 (2017) : 16

Nurhayati,Eva. "Pengaruh kreativitas Iklan dan Kredibilitas Endorser terhadap Efektifitas Iklan". Jurnal Sains Pemasaran Indonesia 9, No.2 (2012) : 174

Raharni,et.al. "Kajian Kebijakan Periklanan Kosmetika di Indonesia : Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah". Buletin Penelitian Kesehatan 42, No.2 (2014) :133

Rahmawati, Indah Dwi,I Made Udiyana ,dan I Nyoman Mudana, " Perlindungan Hukum Konsumen Pengguna Kosmetik Tanpa Izin Edar Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen" Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 7,No 5   (   2019):3

https://doi.org/10.24843/KM.2019.v07.i05.p10

Rani, Ni Nyoman dan I Made Maharta Yasa. " Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Penjualan Produk Kosmetik dalam Kemasan Kontainer (Share in Jar)". Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum 6, No.3 (2018) : 8

Suhaimi. "Problem Hukum dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum Normatif"'. Jurnal Yustitia 19. No.2 (2018) : 207-208

Suryandini,Dewa Ayu Kade Wida dan Suatra Putrawan. "Pertanggungjawaban Selebgram terhadap Konsumen yang Mempromosikan Barang dan Jasa di Media Sosial". Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum 8,No.6 (2020)

Syamsudin,M. "Tanggungjawab Hukum pelaku Usaha Periklanan atas Produk Iklan yang Melanggar Etika Periklanan (Kajian Kritis terhadap UU Perlindungan Konsumen) BPKN : 9-15

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2013 tentang Iklan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 192)

Peraturan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan Nomor 23 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 949)

Lain-lain :

Etika Pariwara Indonesia Amandemen 2020

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.791-802

802