TINJAUAN TERHADAP SANKSI TINDAKAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

Kadek Bintang Claudia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

A.A. Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengetahui kedudukan terhadap pengguna Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika serta penggunaan sanksi tindakan dalam tindak pidana Narkotika di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode penelitian Normatif yang berfokus pada norma konflik serta kekaburan norma terhadap Pasal 4, Pasal 54, serta Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Pendekatan konseptual, perundang-undangan, serta perbandingan. Hasil studi menunjukkan bahwa Penerapan pasal-pasal terkait penyalahguna dan pecandu narkotika menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk penggolongan apa yang dapat dikatakan seseorang sebagai pecandu narkotika. Selain itu, aturan terkait pecandu narkotika juga menimbulkan kerancuan dan multitafsir, terutama dalam menentukan kategori antara pecandu dan penyalahguna narkotika. Oleh karena itu, perlu diperjelas peraturan tentang kategori pecandu dan penyalahguna narkotika untuk menghindari multitafsir. Penyalahgunaan Narkotika semestinya hanya menerima sanksi tindakan berupa Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, sebab penyalahguna Narkotika merupakan korban sekaligus pasien yang patut memperoleh perawatan dan/atau pengobatan untuk pulih.

Kata Kunci: Narkotika, Penyalahguna, Rehabilitasi.

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the position of narcotics users according to Law No. 35 of 2009 on Narcotics as well as the use of sanctions for narcotics crimes in Indonesia. The method used is normative research method that focuses on conflict norms as well as blurring of norms against Article 4, Article 54, and Article 127 paragraph (1) of the Narcotics Law. Conceptual approach, legislation, and comparison. The results showed that the application of articles related to abusers and narcotics addicts raises many questions, including the classification of what a person can say as a narcotics addict. In addition, the rules related to narcotics addicts also cause confusion and multi-interpretation, especially in determining the category between addicts and narcotic abusers. Therefore, it is necessary to clarify the regulations on the category of addicts and narcotic abusers to avoid multi-interpretation. Narcotic Abuse should only receive sanctions in the form of Medical Rehabilitation and Social Rehabilitation, because narcotic abusers are victims as well as patients who deserve treatment and/or treatment to recover.

Key Words: Keywords: Narcotics, Abusers, Rehabilitation.

  • I.     Pendahuluan

    1.1.   Latar Belakang Masalah

Saat ini Indonesia menghadapi tiga situasi yang sangat berbahaya bahkan mengancam masa depan bangsa, yaitu penyalahgunaan Narkotika, Pornografi, dan tindakan senang mengimport segala sesuatu dari luar negeri. Ketiga situasi inilah yang kita anggap fenomena umum saat ini, namun berdampak besar bagi generasi dan masa depan bangsa Indonesia, karena generasi muda seringkali menjadi korban yang

terlena menikmatinya sehingga lengah dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai generasi penerus bangsa. Salah satu dari ketiga situasi tersebut juga termasuk dalam kategori tindak pidana seperti penyalahgunaan narkotika. Kejahatan narkotika merupakan jenis kejahatan yang sangat serius yang mengancam masa depan generasi bangsa, sehingga harus ditangani secara benar dan serius.

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa “Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dipidana dengan aturan yang berlaku.

Narkotika pada saat ini tidak lagi beredar secara gelap di daerah kota-kota besar, tapi telah mulai ke berbagai daerah, menuju di pedesaan. Para konsumen tidak hanya orang kaya, tapi juga menyusup ke kelas ekonomi menengah ke bawah. Begitu pula masyarakat yang menggunakannya tidak hanya remaja, tetapi juga anak-anak, orang dewasa hingga orang tua. Kejahatan Narkotika merupakan ancaman utama bagi masyarakat dan generasi yang akan datang, karena begitu banyak orang yang terlibat di dalamnya apalagi mengingat kejahatan Narkotika semakin meningkat setiap tahun.1

Kejahatan Narkotika di Indonesia semakin meningkat baik dari segi pengguna maupun jenis serta jumlah Narkotika yang digunakan sampai dengan konteks korban.2 Kejahatan ini dilakukan dengan cara dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang. Para aparat hukum diharapkan dapat mencegah dan menangani tindak pidana tersebut untuk meningkatkan moral dan SDM Indonesia khususnya untuk generasi penerus bangsa yang akan datang. Jika pengguna tidak dalam pengawasan dan bimbingan dari staf medis dengan pengetahuan dan keahlian untuk itu, penyalah gunaan Narkotika dapat menyebabkan sindrom ketergantungan. Hal ini tidak hanya merugikan dirinya sendiri, melainkan juga berdampak besar terhadap masyarakat setempat, ekonomi bahkan sampai dengan keamanan nasional, untuk itu bisa membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Upaya penyelesaian narkotika untuk mengurangi jumlah penyalahguna tidak cukup hanya dengan satu cara, namun harus dilakukan melalui rangkaian tindakan yaitu baik sarana hukum pidana (penal) dan non hukum pidana (non penal).3 Efektivitas hukuman juga dapat dilihat dari perspektif perlindungan atau kepentingan social. Jika hukuman dapat mencegah atau mengurangi kejahatan sebanya mungkin, maka kejahatan tersebut dikatakan efektif.4 Meningkatnya jumlah kasus penyalahgunaan narkotika di bawah lembaga pemasyarakatan menunjukkan perlunya pengawasan dan penangan yang memadai terhadap semua kasus yang terjadi.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dari pencegahan, penanggulangan, pengobatan dan pemberantasan Narkotika itu sendiri, serta berbagai peraturan perUndang- Undangan yang telah diundangkan, termasuk penanganan terhadap pengguna Narkotika dan orang-orang yang menyalahgunakan obat-obatan

Narkotika.5 Pada hakikatnya, penyalah gunaan Narkotika dijamin mendapatkan Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf (d) serta Pasal 54 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menyebutkan “Pecandu Narkotika wajib menjalani Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial”. Tetapi, dalam Pasal 127 menjelaskan tentang sanksi pidana akan dijatuhkan kepada mereka yang terbukti sebagai pengguna Narkotika.

Salah stau yang menjadi kelemahan di Indonesia adalah UU Narkotika yang masih memiliki banyak celah. Hal inilah yang menyebabkan tumbuhnya jaringan Narkotika di Indonesia. Lebih buruk lagi, pengguna merasa sulit untuk pulih dari kecanduan, sehingga mereka semakin terjerumus ke lubang hitam Narkotika. Padahal seharusnya UU Narkotika mengambil langkah-langkah hukuman sebagai upaya terakhir bagi pengguna Narkotika. Sejauh ini, pengguna Narkotika dianggap sebagai pelaku kejahtaan, bukan korban. Pendekatan dalam UU Narkotika juga lebih mementingkan sanksi, dengan usnur-unsur yang tidak membedakan secara jelas antara pengguna, distributor, produsen, dan bandar Narkotika. Padahal, UU Narkotika harus memprioritaskan dari segi kesehatan dan sosial daripada penindakannya.6

Indonesia dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) menganut Asas Legalitas, artinya semua perkara Narkotika termasuk pengguna Narkotika (termasuk bukan pengadar Narkotika) diberikan sanksi pidana penjara sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Narkotika, sehingga pelaku penyalahgunaan Narkotika untuk dirinya sendiri (termasuk bukan pengedar Narkotika) yang semula menjadi korban yang seharusnya direhabilitasi malah menjadi pidana penjara sesuai dengan ketentuan Pasal 127 tersebut. Dalam Pasal 127 UU Narkotika sendiri tidak membedakan secara tegas antara tindak pidana dengan tindak pidana lain yang terkandung di UU Narkotika. Dalam hal ini, dapat ditentukan apakah pengguna Narkotika dalam memperoleh Narkotika secara illegal, hal tersebut sudah dapat dipastikan telah melengkapi elemen-elemen “menguasai”; “memilik”; “menyimpan”; dan / atau “membeli”. Dalam UU Narkotika, Narkotika diklasifikasikan menjadi kejahatan spesifik. Berdasarkan paparan kondisi tersebut, maka penulis tertarik menulis jurnal yang berjudul “TINJAUAN TERHADAP SANKSI TINDAKAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA”.

Terdapat beberapa tulisan yang mengangkat mengenai materi ini, namun berbeda dalam perumusan masalahnya. Salah satunya adalah tulisan milik Anak Agung Sagung Istri Brahmanda Febriyanti, R. Ibrahim, dan I Made Walesa Putra. Yang berjudul "Tinjauan Mengenai Sanksi Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana”, dimana dalam tulisan ini yang menjadi topik utamanya adalah kedudukan sanksi rehabilitasi bagi penyalahgunaan Narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta konsep sanksi rehabilitasi dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia sedangkan yang akan penulis teliti terkait dengan pengaturan hukum terhadap pengguna Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan penerapan sanksi tindakan dalam tindak pidana Narkotika di Indonesia.

  • 5    Rizky, Fauzi. “Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pecandu, Penyalahguna dan Korban Narkotika”. Riau Law Journal 1, No. 1 (2017): 103

  • 6    Kusumah, Haidan Angga. “Kebijakan Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Narkotika”. Jurnal ADHUM VI, No. 3 (2016): 163

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ditemukan dua permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah kedudukan hukum terhadap penggunaan Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

  • 2.    Bagaimanakah penggunaan sanksi tindakan dalam tindak pidana Narkotika di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum terhadap penggunaan Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan untuk mengetahui penggunaan sanksi tindakan dalam tindak pidana Narkotika di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian dalam jurnal ini adalah penelitian normatife yang berfokus pada norma konflik serta kekaburan norma terhadap Pasal 4 serta Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa “menjamin fasilitas rehabilitasi medis dan rehabilitasi social terhadap pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika”, namun ketentuan Pasal 127 ayat (1) menegaskan bahwa “…. Dipidana dengan pidana penjara…”. Penulisan ini menggunakan pendekatan koseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach), serta pendekatan perbandingan (comparative approach). Analisis datanya adalah deskriptif, dimana bahan hukum yang diperoleh disederhanakan untuk dipilah keabsahannya sebagai bahan hukum dan keberlakuannya terhadap bahan yang digunakan dalam penulisan ini.

  • III.    Pembahasan

    • 3.1    Kedudukan Pengguna Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Kebijakan hukum pidana terhadap Narkotika dalam undang-undang menitikberatkan pada penyalahgunaan dan peredaran narkotika, karena narkotika pada dasarnya memiliki manfaat medis.7 Secara umum penyalahgunaan narkotika melibatkan 3 (tiga) kelompok utama, yaitu (1) prosuden, baik jaringan nasional maupun internasional; (2) pengedar yang terdiri dari dua kategori pengedar yang berasal dari jaringan produsen dan pengedar lapas yang biasa disebut kurir; (3) pengguna, yaitu masyarakat. Ketiga kelompok tersebut merupakan mata rantai yang sulit dipisahkan.8

Menggunakan kata “pengguna Narkotika” dilakukan guna mempermudah bagi penyebutan terhadap orang yang memakai Narkotika serta mengenali perbedaan antara penanam, produsen, distributor, kurir dan pengadar Narkotika. Terkait tentang

penggunaan Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan sejumlah istilah, yaitu:

  • 1.    Pasal 1 (13) “Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis”;

  • 2.    Pasal 1 (15) “Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum”;

  • 3.    Penjelasan Pasal 54 “Korban Penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika”.

Salah satu persoalan yang belum terselesaikan adalah terkait pengaturan pengguna Narkotika dalam UU Narkotika. Berdasarkan Pasal 1 angka 15 menegaskan bahwa “penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Secara garis besar penyalahguna Narkotika dapat dijelaskan secara luas dan mencakup produsen, pengedar ataupun pengguna. Hal ini membuat sulit untuk menemukan status pengguna narkotika, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan narkotika. Jika memposisikan diri sebagai pelaku akan dipidana, dan jika memposisikan diri sebagai korban akan mendapatkan rehabilitasi. Pengawasan yang tidak jelas dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam pelaksanaan sanksi pidana.

Berbagai istilah yang digunakan oleh pengguna Narkotika dapat menimbulkan kerancuan dan dapat menimbulkan kebingungan dalam perumusan dan pelaksanaan berbagai ketentuan dalam UU Narkotika, khususnya dalam ketentuan rehabilitasi bagi pengguna. UU Narkotika mengatur bahwa semua pecandu wajib mendapatkan perawatan rehabilitasi, tetapi pasal selanjutnya mengatur bahwa prosedur yang harus dilalui selama fase rehabilitasi harus mendapat persetujuan dari korban yang bersangkutan. Ini adalah 2 (dua) hal yang kontradiktif karena rata-rata pencandu tidak akan teuju untuk menerima perawatan rehabilitasi. Dalam UU Narkotika diperlukan pengaturan yang lebih jelas mengenai status pengguna sebagai korban, dan substansi dalam lampiran harus direvisi.

Pada saat yang sama, penerapan pasal-pasal yang terkait dengan pecandu narkotika telah membawa banyak masalah, termasuk klasifikasi seseorang yang dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika. Selain itu, aturan terkait pecandu narkotika juga menimbulkan kerancuan dan multitafsir, terutama saat menentukan kategori antara pecandu dan penyalahguna narkotika. Untuk itu, perlu diperjelas peraturan tentang kategori pecandu dan penyalahguna, sehingga menjadi jelas dan menghindari penjelasan yang berlipat ganda. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah seseorang adalah pecandu atau penyalahguna, seseorang harus melakukan penelitian. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian medis, penelitian jaringan dan penelitian hukum.

Ketiga penelitian terebut menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum untuk menentukan apakah orang yang ditangkap di TKP adalah pengguna, kurir atau pengedar narkotika. Penelitian medis terdiri dari pemeriksaan apakah yang bersangkutan memiliki riwayat kesehatan bahwa yang bersangkutan adalah pecandu narkotika dari surat dokter. Penelitian jaringan dapat ditemukan dalam tes laboratorium atas urin yang terlibat. Penelitian hukum apakah yang bersangkutan melanggar pasal UU Narkotika.

Permasalahan yang ditimbulkan oleh banyaknya istilah tersebut adalah kesimpangsiuran pengaturan dalam Pasal 4 (d) UU Narkotika menegaskan “menjamin adanya upaya Rehabilitasi Medis serta Sosial”, tetapi menurut Pasal 54 UU Narkotika menetapkan bahwa “menjalani Rehabilitasi Medis serta Rehabilitasi Sosial ialah

wajib”. Sebelumnya penyalah guna memperoleh jaminan Rehabilitasi, namun ketika di Pasal 127 UU Narkotika ternyata penyalah guna Narkotika dapat dipidana serta kehilangan hak untuk Rehabilitasi, kecuali bisa dibuktikan ataupun terbukti bahwa dirinya adalah korban Narkotika.

Pada prakteknya, pecandu narkotika dikenakan Pasal 127, dan harus disertai hasil tes urin oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan keterangan dokter yang merawat sebelum dapat meyakini bahwa tersangka adalah pecandu narkotika. Dilihat dari proyeksi pendekatan perspektif restorative justice sebenarnya adalah korban dan tidak boleh dikenakan sanksi pidana.

Sementara itu, huruf c dan d Pasal 4 UU Narkotika menunjukkan adanya perbedaan perlakuan terhadap pengedar dan penyalahguna. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan criminal mengadopsi kebijakan yang komprehensif, melalui jalur pidana dan non pidana, untuk menyembuhkan terpidana (perlakuan pidana) dan anti social (perlakuan social). Oleh karena itu, rehabilitasi mencakup sanksi yang diharapkan, yaitu memperbaiki yang bermasalah dan melindungi masyarakat.

Secara umum penyalahguna narkotika dapat diartikan meliputi produsen, pengedar dan pengguna. Hal ini memicu kesulitan untuk menentukan apakah sebagai pelaku atau sebagai korban dalam tindak pidana narkotika. Jika memposisikan diri sebagai pelaku akan menghadapi tuntutan pidana, dan jika memposisikan sebagai korban harus menjalankan rehabilitasi. Menyikapi hal tersebut, saat mengusut kasus, penyidik akan segera meminta keterangan ahli (psiater) untuk memeriksa tersangka, terlepas dari apakah mereka pengguna yang membutuhkan rehabilitasi atau tidak. Oleh karena itu, jika dalam persidangan dapat dibuktikan bahwa tersangka adalah korban, maka ia harus dikenakan sanksi tindakan berupa rehabilitasi social maupun rehabilitasi medis bukan dikenakan sanksi pidana, kecuali ia adalah seorang pengedar, kurir atu pecandu narkotika, tetapi hanya jika penuntut umum dapat membuktikan bahwa tersangka adalah korban, dan pimpinan menuntun untuk dilakukannya pendekatan restorative justice.

Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa “system hukum terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum”. Dilihat dari substansi hukum, beberapa konsep UU Narkotika perlu disempurnakan, terutama ketentuan tentang kedudukan dari pengguna narkotika. Pengguna narkotika haru memiliki status hukum yang ama dengan korban peredaran narkotika. UU Narkotika mengusulkan untuk menangkap pengguna narkotika di tempat kejadian. Setelah penyidik memverifikasi bahwa pengguna narkotika yang terlibat adalah pengguna narkotika murni, mereka harus menjalani perawatan rehabilitasi, sehingga memaksimalkan kapasitas penegakan hukum dan pencegahan. Saat ini, sesuai dengan konsep kedudukan pengguna narkotika dalam UU Narkotika, polisi dan BNN berselisih soal tangkap tangan. Kesenjangan ini muncul di berbagai pemberitaan media, jika pengguna narkotika jatuh ke tangan polisi, kemungkinan besar mereka akan dikenakan sanksi pidana, dan jika BNN lebih memungkinkan untuk dijatuhi sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis maupun social.

Dari segi struktur hukum, aparat penegak hukum didepartemen narkotika, seperti polisi, BNN, kejaksaan, dan hakim, harus bekerja sama untuk melaksanakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Empat lembaga penegak hukum berdasarkan struktur hukum harus memenuhi tugas dan tanggung jawabnya tanpa terpengaruh oleh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. Ada pepatah yang mengatakan “fiat justitia ruat caelum” yang artinya keadilan ditegakkan walaupun

langit akan runtuh. Tanpa aparat penegak hukum yang kredibel, kompeten da independen, hukum tidak dapat ditegakkan.

Kultur hukum juga memiliki peran yang sama dalam mendukung bebasnya Indonesia dari perdagangan gelap narkotika. Masyarakat perlu memahami undang-undang saat ini, khususnya UU Narkotika. Kultur hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin banyak masyarakat memiliki pengetahuan hukum, akan menciptakan kultur hukum yang baik, dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap hukum selama ini. Sederhananya, kepatuhan masyarakat terhadap undang-undang merupakan penunjuk pengimplementasian dari hukum tersebut.

  • 3.2    Penggunaan Sanksi Tindakan Dalam Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa “sanksi adalah tanggungan (tindakan, hukuman dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan dan sebagainya). Sanksi juga didefinisikan sebagai “bagian dari undang-undang yang secara khsusus dirancang untuk memastikan keamanan penegakan hukum dengan memberikan penghargaan atau hukuman kepada seseorang yang melanggar hukum atau memberikan hadia karena telah mematuhinya”. Tindakan didefinisikan sebagai “hukuman yang diberikan kepada seseorang yang sifatnya tidak berbicara tetapi untuk mendidik dan melindungi”. Pemberian tindakan ini bertujuan untuk menciptakan keselamatan di masyarakat dan meningkatkan kualitas pegawai, misalnya wajib belajar, wajib berobat, rawat inap, dan lain-lain.9

Dalam mengelompokkan suatu perilaku yang digolongkan sebagai suatu kejahatan Narkotika, UU Narkotika mengelompokkannya sesuai dengan kelayakan jenis kejahatannya. Pada prinsipnya, menurut ketentuan Pasal 127, pengelompokkan penyalah gunaan Narkotika termasuk dalam sistem jalur ganda, dimana hakim yang memeriksa kasus penyalah gunaan Narkotika bisa dengan bebas memutuskan apakah akan mengadili penyalah guna Narkotika atau menginstruksi Rehabilitasi.

Selain itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan inovasi dengan mengeluarkan “Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial”. Dimana, modifikasi tersebut terjadi berbarengan terhadap berlakunya UU Narkotika. Diberlakukannya ini boleh dikatakan bahwa, Mahkamah Agung masih membenarkan bahwa mayoritas terpidana serta terpidana kasus Narkotika diklasifikasikan sebagai pengguna atau bahkan korban dari yang sebenarnya sakit, dan lapas bukanlah langkah yang tepat dilakukan. Dari sudut pandang politik, SEMA tersebut dikeluarkan demi mengimplementasikan ketentuan Pasal 103 (a) serta (b) UU Narkotika, dimana hal tersebut guna memfasilitasi hakim untuk menempatkan pecandu dalam Rehabilitasi Medis maupun Rehabilitasi Sosial. Dipercaya bahwa semangat dari UU Narkotika Pasal 54 menganggap pecandu Narkotika sebagai narapidana untuk itu perlu adanya perlindungan terhadapnya.

SEMA Nomor 04 Tahun 2010 mencerminkan penilaian MA mengenai pengguna Narkotika, dan penekanannya mengutamakan kebutuhan kesehatan dari

masyarakat. Dilihat dari sifat SEMA, kedudukan penegak hukum serta hakim terutama penyidik beserta JPU dalam melaksanakan Rehabilitasi bagi pengguna Narkotika sangat penting. Seluruh persyaratan yang tercantum dalam SEMA dapat diterapkan untuk pengguna Narkotika, dengan fokus paradigm yang digunakan oleh penyidik serta JPU. Sebagai contoh, bila diwajibkan surat uji laboratorium dan hasil ujinya positif Narkotika. Hal tersebut bisa tercapai jika dilakukan ujia laboratorium sambal menagkap si pengguna. Dengan cara demikian penyidik dapat memohon kepada hakim untuk memasukkan terdakwa di fasilitas Rehabilitasi, atau pada awal persidangan JPU dapat mengajukan permohonan litigasi ke pengadilan untuk menempatkan yang bersangkutan di fasilitas Rehabilitasi.

Namun sayangnya, karena dalam praktiknya banyak aparat penegak hukum masih disibukkan dengan konsep legalitas. Mayoritas penangkapan pengguna Narkotika, pemeriksaan laboratorium dilaksanakan oleh penyidik, tidak demi menempatkan pengguna Narkotika di fasilitas Rehabilitasi, tetapi untuk menjerat dan memperbanyak bukti persidangan. Mereka memutuskan dan menetapkan suatu perbuatan adalah tindak pidana dan harus menjalani hukuman penjara, karenanya dalam hal ini korban penyalah gunaan Narkotika berakhir di penjara dan tidak menjalani Rehabilitasi.

Tidak hanya itu, Mahkamah Agung pun merilis “Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial” menciptakan ruang yang lebih fleksibel terhadap pengguna narkotika dalam melakukan rehabilitasi. Tidak hanya setelah proses peradilan dan putusan dikeluarkan, tetapi juga dari tahap penyidikan. Hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010 . Aparat penegak hukum, terutama hakim ditugaskan untuk menentukan apakah seorang pengguna narkotika ditempatkan di pusat lembaga rehabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan dan persidangan.10

Hukuman penjara terhadap pengguna Narkotika tidak berarti mereka langsung berhenti menyalah gunakan Narkotika. Karena secara umum sistem pembinaan bagi pecandu Narkotika yang menjalani hukuman penjara tidak berbeda dengan sistem pembinaan yang berlaku bagi terpidana dalam kasus lain. Padahal, mereka memang membutuhkan perawatan dan/atau pengobatan khusus yang memulihkan kesehatannya, dan kesehatannya pun hancur akibat menggunakan Narkotika lagi. Memenjarakan seorang pecandu merupakan keputusan yang salah karena maksud dari hukuman tersebut adalah balas dendam. Sementara untuk pecandu Narkotika, hukuman yang harus diterapkan adalah “pengobatan”, dengan mempertimbangkan kondisinya yang membutuhkan pengobatan dan/atau perawatan.11

Penegakan hukum semacam inilah yang terjadi karena sebenarnya terdapat suatu kekaburan Norma (obcur norm) dan konflik Norma (comflict norm). Kekaburan Norma (obcur norm) yang disebutkan dalam hal ini adalah definisi penyalah gunaan Narkotika tidak memiliki arti dan akibat yang berbeda. Sebaliknya, dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114 dan pasal-pasal lainnya sepanjang memenuhi unsur-unsur

“memiliki, menyimpan, menguasai, dan/atau membeli” tidak dapat secara transparan serta tegas menyebutkan tujuan dari pasal tersebut kemudian akan menyebabkan norma dari pasal tersebut bisa ditafsirkan serta dialamatkan kepada penyalah guna Narkotika untuk diri sendiri, pengadar, penjual, produsen, importir, dan/atau pengelompokkan lain dari tindak pidana. Padahal setiap pengolompokkan perilaku ini memiliki makna akibat dan dampak kerugian yang berbeda.

Untuk melindungi pelaku penyalah gunaan Narkotika dari ancaman pidana penjara, yang mesti dilaksanakan yaitu merumuskan kembali norma-norma di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tentang posisi penyalah gunaan Narkotika melalui penyusunan jenis sanksi dan menerima manfaat terhadap posisinya serta menegaskan sasaran pasal mengenai klasifikasi tindak pidana Narkotika lainnya, dimana unsur-unsurnya dapat terpenuhi dengan sendirinya apabila seseorang melakukan tindakan penyalah gunaan Narkotika untuk dirinya.12

Sebagai bagian dari perumusan kembali terkait dengan kebijakan terhadap sanksi, maka hal yang dapat dilakukan adalah menjalankan sanksi tindakan, dimana harus diperhatikan jenis dan bentuk sanksi yang sesuai dan bermanfaat untuk melindungi terhadap pengguna untuk dirinya sendiri. Guna untuk memutuskan jenis sanksi tersebut, maka penting mencermati beberapa hal, yaitu aturan negara diberbagai belahan dunia yang merepresentasikan paradigm baru dalam menghindari peradilan pidana. Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan salah satu pilihan yang sangat popular untuk menangani perilaku tindak pidana yang memiliki masalah hukum di seluruh dunia karena memberikan jalan keluar yang inklusif dan efisien.13

Untuk dapat memahami sepenuhnya jenis sanksi tindakan yang pantas dan ideal yang harus digunakan kepada penyalah gunaan Narkotika untuk diri sendiri, dapat dilihat dari sasaran perumusan yang juga merupakan jiwa dalam Undang-Undang tentang Narkotika sebagaimana dimaksud Pasal 4 (d) menyebutkan bahwa “menjamin pengaturan upaya Rehabilitasi Medis dan Sosial bagi Penyalah Guna dan Pecandu Narkotika”. Pasal 54 kembali menyebutkan tentang “Pecandu Narkotika dan Penyalah Guna Narkotika wajib menjalani Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial”. Dnegan bunyi pasal tersebut, menunjukkan bahwa sanksi yang harus dijatuhkan kepada penyalah gunaan Narkotika berupa sanksi tindakan yaitu Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, bahkan tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127.

Jika dilihat dari sudut pandang batin pelaku, pedoman standar Rehabilitasi bagi pelaku Narkotika harus dilaksanakan. Apabila pelaku Narkotika telah melaksanakan suatu tindakan dan terbukti sikap mentalnya serasi dengan perilaku yang telah dilaksanakannya, bahwa sudah selayaknya untuk menerapkan sanksi pidana yang paling berat kepada pelaku Narkotika guna memberantas perdagangan gelap Narkotika karena perilaku ini adalah kejahatan transnasional.

Menurut Pasal 127 UU Narkotika, pelaku penyalah gunaan Narkotika dianggap sebagai tindak pidana, sehingga yang menjadi persoalan adalah siapa sebenarnya korban dari tindak pidana yang dilaksanakan oleh pengguna Narkotika, sebab dalam hukum pidana dikenal dengan “tidak ada tindak pidana yang dapat

dilakukan tanpa adanya korban”. Terkait hal tersebut, menurut UU Narkotika tidak ada masalah dengan pengguna sebagai korban, dan pada saat yang sama pelaku juga dijatuhi pidana dan Rehabilitasi berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Narkotika. Selanjutnya untuk kajian atas asas, terori serta norma hukum pembuktian, guna membuktikan seorang pelaku Narkotika adalah korban Narkotika merupakan hal yang sulit, sebab mesti memandang terlebih dahulu apakah pengguna Narkotika tersebut telah memakai Narkotika dan harus dibuktikan bahwa pengguna Narkotika dalam keadaan dibujuk, ditipu, diperdaya, dipaksakan, dan/atau diancam akan menggunakan Narkotika. Maka dari itu, dalam praktik peradilan pengimplementasian ketentuan Pasal 127 UU Narkotika, spesifiknya bagi pecandu Narkotika relatif terbatas dilaksanakan oleh hakim.14

Namun demikian, sekalipun seorang pecandu Narkotika memenuhi unsur pengelompokkan perbuatan terlarang yang diatur dalam pasal lain, jika maksud pelakunya adalah digunakan sendiri sebagai akibat dari kecanduan Narkotika, pelaku tidak diperkenankan diancam dengan pidana penjara, tetapi harus mengatur secara tegas sanksi dari perbuatan tersebut yang berupa Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Sebagai bagian dari perumusan kembali dari Undang-Undang Narkotika yang akan datang, harus ditegaskan bahwa Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114 dan pasal-pasal lainnya sepanjang memenuhi unsur-unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, dan/atau membeli” adalah untuk distributor, importir, produksi, dan pengelompokkan tindak pidana terhadap Narkotika itu ditujukan kepada penyalahguna Narkotika untuk diri sendiri. Jika penyalahguna menyadari unsur-unsur tersebut dan membuktikan bahwa sikap mentalnya hanya untuk kepentingan sendiri, maka untuk menyelamatkan diri sendiri hakim berkewajiban untuk menjutuhkan sanksi berupa Rehabilitasi Medis serta Rehabilitasi Sosial kepada si penyalahguna.

Penyelenggaraan Rehabilitasi untuk penyalah guna Narkotika merupakan sanksi tindakan yang dapat mengembalikan keadaan seperti sediakala, atau sanksi yang merepresentasikan nilai restorative justice. Ada beberapa negara yang bias dijadikan bahan perbandingan dalam perumusan kembali tentang penyalahguna narkotika salah satunya Australia. Australia menunjukkan bahwa pengobatan serta rehabilitasi terhadap pengguna narkotika terbukti lebih efektif serta lebih murah daripada hukuman penjara.15

Berdasarkan upaya pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk menerapkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi, sebenarnya cukup untuk menghindari sanksi pidana, hanya dengan membentuk undang-undang terkait dengan pelaksanaan atau petunjuk teknis penempatan penyalah guna dan pecandu narkotika di lembaga rehabilitasi. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus terus meningkatkan upaya menempatkan penyalahguna dan pecandu narkotika di fasilitas rehabilitasi daripada menjebloskan mereka ke dalam penjara. Efek negative terburuk

dari penjara adalah membuat dari yang seorang pengguna saja bisa menjadi pengedar, kurir atau bahkan seorang bandar.

  • IV.    Kesimpulan

Penerapan pasal-pasal terkait penyalahguna dan pecandu narkotika menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk penggolongan apa yang dapat dikatakan seseorang sebagai pecandu narkotika. Selain itu, aturan terkait pecandu narkotika juga menimbulkan kerancuan dan multitafsir, terutama dalam menentukan kategori antara pecandu dan penyalahguna narkotika. Oleh karena itu, perlu diperjelas peraturan tentang kategori pecandu dan penyalahguna narkotika untuk menghindari multitafsir. Berdasarkan upaya pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk menerapkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi, sebenarnya cukup untuk menghindari sanksi pidana, hanya dengan membentuk undang-undang terkait dengan pelaksanaan atau petunjuk teknis penempatan penyalah guna dan pecandu narkotika di lembaga rehabilitasi. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus terus meningkatkan upaya menempatkan penyalahguna dan pecandu narkotika di fasilitas rehabilitasi daripada menjebloskan mereka ke dalam penjara. Efek negatif terburuk dari penjara adalah membuat dari yang seorang pengguna saja bisa menjadi pengedar, kurir atau bahkan seorang bandar.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, Barda Nawawi. “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”. (Jakarta, Kencana Pradana Media Group, 2011)

----------Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. (Prenadamedia Group, Jakarta, 2016),

Jaya, Nyoman Serikat Putra. Kapita Selekta Hukum Pidana. (Universitas Diponegoro, Semarang, 2005).

Jurnal Ilmiah:

Ariyanti, Vivi. “Kedudukan Korban Penyalahgunaan Narkotika Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”. Al-Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam XI, No. 2 (2017):249

Febriyanthi, Anak Agung Sagung Istri Brahmanda, Ibrahim R, dan I Made Walesa Putra. “Tinjauan Mengenai Sanksi Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana”. Kertha Wicara 7, No. 03 (2018): 8

Hanafi. “Analisis Terkait Sanksi Pidana Bagi Pengguna dan Pengadar Narkoba Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”. Jurnal Hukum dan Keadilan Voice Justisia 1, No. 2 (2017): 40-42

Hikmawati, Puteri. “Analisis Terhadap Sanksi Pidana Bagi Pengguna Narkotika”. Jurnal

Negara Hukum 2, No. 2 (2011): 329-330

Koropit, Reki K. "Penegakan Hukum Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika." Lex Et Societatis Vol.7, No.8 (2020): 86

Kusumah, Haidan Angga. “Kebijakan Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Narkotika”. Jurnal ADHUM VI, No. 3 (2016): 163

Meliala, Adrianus. “Badan Narkotika Nasional dan Jebakan Kelembagaan”. Jurnal

Peradilan Indonesia 5 (2016-2017): 1

Pakpahan, Hataryo. “Kebijakan Formulasi Sanksi Tindakan Bagi Pengguna Dalam Tindak Pidana Narkotika”. Jurnal Arena Hukum 7, No. 2 (2014): 242

Rizky, Fauzi. “Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pecandu, Penyalahguna dan Korban

Narkotika”. Riau Law Journal 1, No. 1 (2017): 103

Sibue, Hariss Y.P. “Kedudukan Pengguna Narkotika dan Kesiapan Fasilitas Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” Negara Hukum 6, No. 1 (2015): 52

Disertasi :

Yoslan. “Penerapan Asas Keadilan Dalam Putusan Hakim Wajib Menjalani Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia”. Disertasi Universitas Pasundan (2017): 24

Peraturan Perundang-Undangan:

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 9 Tahun 2021, hlm.767- 778

778