NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM KEGIATAN POLITIK

Agnes Febyrian Indah Gayatri, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]

I Ketut Sudiarta, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami pengaturan mengenai asas netralitas bagi PNS di Indonesia serta mengkaji implikasi hukum yang terjadi atas adanya pembatasan hak politik bagi PNS. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data studi pustaka berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berkaitan, serta menggunakan teknik analisis deskriptif. Pembatasan hak politik bagi PNS dalam hukum positif di Indonesia dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam Pasal 9 ayat (2) UU ASN menegaskan bahwa, PNS harus terbebas dari pengaruh dan intervensi politik. Namun dalam praktiknya, PNS masih diberikan hak suara dalam pemilihan, serta dalam ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN juga mengatur tentang hak PNS untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ketentuan tersebut menimbulkan pemaknaan dengan standar ganda dimana PNS melalui ketentuan perundang-undangan dilarang untuk ikut serta dalam segala jenis kegiatan politik, namun juga diberikan hak untuk memilih dan dipilih. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa adanya pembatasan hak politik bagi PNS dapat menimbulkan implikasi hukum di dalam proses politik. Di satu sisi, PNS tidak boleh menempatkan diri pada golongan dan partai politik tertentu, sedangkan di sisi lainnya, ranah politik bukanlah hal yang netral karena setiap PNS masih diberikan hak untuk memilih dan juga dipilih.

Kata Kunci: Asas Netralitas, Pegawai Negeri Sipil, Kegiatan Politik.

ABSTRACT

The purpose of this article is to comprehend the regulation regarding the principle of neutrality for civil servants in Indonesia and to examine the legal implications that occurs for the limitation of political rights for civil servants. The research method used is a normative juridical research method with literature study data collection techniques in the form of statutory regulations and related legal materials, as well as using descriptive analysis techniques. The limitation of political rights for civil servants in positive law in Indonesia is still multiple interpretations and creates legal uncertainty. Article 9 paragraph (2) of the ASN Law emphasizes that civil servants must be free from political influence and intervention. However, in practice, civil servants are still given voting rights in elections, and in the provisions of Article 119 and Article 123 paragraph (3) the ASN Law also regulates the rights of civil servants to run for regional heads. This provision creates a double standard meaning where civil servants are prohibited from participating in all kinds of political activities, but are also given the right to vote and be elected. The results of this study indicate that the limitation of political rights for civil servants can have legal implications in the political process. On the one hand, civil servants are not allowed to place themselves in certain political groups and parties, while on the other hand, the political sphere is not neutral because every civil servant is still given the right to vote and also be elected.

Keywords: Principle of Neutrality, Civil Servants, Political Activity.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Berjalannya roda pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari keberadaan dan peran serta pemangku jabatan dalam birokrasi yakni Aparatur Sipil Negara, termasuk di dalamnya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), ditentukan bahwa yang dimaksud dengan PNS adalah mereka yang telah dilantik secara tetap sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara, menyandang status sebagai WNI dan telah memenuhi berbagai ketentuan atau persyaratan yang telah ditetapkan dalam rangka memegang jabatan di tingkat pemerintahan. Menurut Ismail Nurdin (2017:113), pada dasarnya setiap PNS memiliki tiga fungsi dalam pemerintahan, diantaranya: sebagai pihak yang mentaati juga mengemban peraturan perundang-undangan yang telah secara resmi disahkan oleh negara, melaksanakan fungsi tata kelola (manajemen) dalam jasa pelayanan publik, dan sebagai aktor dalam melaksanakan pengelolaan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.1

Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan konstitusi, serta terselenggaranya pembangunan dan fungsi umum yang baik oleh pemerintahan (good governance), telah menjadi tuntutan bagi pemerintah untuk dapat menciptakan sumber daya ASN yang memiliki jiwa profesional, integritas, netralitas dan terbebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan menjalankan peran sebagai unsur pemersatu bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Kedudukan dan peran serta pegawai negeri dalam organisasi pemerintahan sangat menentukan, sebab PNS merupakan tulang punggung pemerintahan dalam melakukan pembangunan nasional.2 Sehingga, PNS sebagai salah satu inti penggerak dalam pemerintahan harus mampu menjalankan tugas dan kewajibannya berdasarkan kode etik dan disiplin yang telah ditetapkan. Di Indonesia, pengaturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur secara tersendiri dalam peraturan pemerintah.

Merupakan kewajiban mutlak bagi aparatur negara agar dapat mengelola dan mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan tetap memperhatikan etika profesi yang ada. Salah satunya adalah tanggung jawab dan kesadaran untuk dapat bersikap netral dan terbebas dari segala jenis intervensi politik dan golongan tertentu, karena tidak dapat di pungkiri bahwa hingga saat ini, keterlibatan PNS dalam unsur politik masih terjadi dan ada dalam jumlah yang besar. S.F. Marbun berpendapat bahwa jika seorang PNS aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif, maka ia harus mengundurkan diri. Apabila aparat birokrasi mampu memegang teguh asas netralitas dalam pelaksanaan tugasnya, maka rakyat secara keseluruhan dapat terlayani dengan baik, tidak memihak, dan obyektif.

Berdasarkan hasil kajian dari lembaga KASN, dalam musim demokrasi yakni semasa kampanye pemilihan kepala daerah maupun pemlihan umum, tingkat ketidaknetralan PNS sangatlah riskan terjadi dan dapat meningkat dengan cukup pesat.3

Dikutip dari artikel CNN Indonesia4 (28 Oktober 2020), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memperoleh data bahwa sejumlah 854 PNS melanggar asas netralitas selama pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Berdasarkan survei dan data KASN tahun 2018, disebutkan bahwa 43,4% beralasan ingin mendapatkan atau mempertahankan jabatan. Kemudian, adanya alasan hubungan kekerabatan antara PNS dengan calon bersangkutan 15,4% dan kurangnya pemahaman terhadap regulasi netralitas PNS sebanyak 12,1%.

Mencermati persoalan tersebut, perlu disadari bahwa kasus pelanggaran netralitas oleh PNS dari waktu ke waktu tidak dapat dihindari, pada kenyataannya pemerintah telah mengatur mengenai netralitas dan larangan PNS untuk ikut serta dalam kampanye maupun keterjalinan partai politik dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU ASN yang menyatakan dengan tegas bahwa “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.” Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai pengaturan tentang asas netralitas bagi Aparatur Sipil Negara, akan tetapi masih saja angka keterlibatan PNS dalam kancah politik semakin bertambah. Berbagai upaya pemerintah dalam menekan jumlah keterlibatan PNS dalam Pilkada belum membuahkan hasil maksimal. Sehingga, efektivitas dari upaya tersebut masih jauh dari kata sempurna. UU ASN yang menekankan prinsip netralitas di dalam ketentuannya, ternyata masih memberikan kesempatan bagi anggota PNS untuk mengantongi hak pilih serta hak untuk dapat dipilih dalam kegiatan politik sebagai seorang pejabat negara. Apabila dicermati lebih lanjut, ketentuan tersebut menimbulkan pemaknaan dengan standar ganda dimana PNS melalui ketentuan perundang-undangan dilarang untuk ikut serta dalam segala jenis kegiatan politik namun mereka juga diberikan hak untuk memilih dan dipilih.

Guna menjamin originalitas dalam penelitian ini, penulis melakukan perbandingan dengan dua penelitian terdahulu yang mengangkat tema serupa dengan penulisan artikel ilmiah ini. Pertama, penelitian dengan judul “Pelanggaran Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah” oleh Stevenril Mokoagow yang berfokus pada pengaturan netralitas dan implementasi hukum terhadap pelanggaran netralitas PNS. Kedua, penelitian dengan judul “Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Kepala Daerah” yang ditulis oleh Sutrisno yang bertitik fokus pada penyebab ketidaknetralan ASN dan upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan netralitas ASN dalam pilkada.

Kedua penelitian tersebut memiliki tema yang serupa dengan penelitian ini, namun dengan rumusan masalah yang berbeda. Penelitian ini menitikberatkan pada implikasi hukum yang timbul atas adanya pembatasan hak politik bagi PNS di Indonesia. Penelitian ini penting dilakukan guna memahami bagaimana pengaturan asas netralitas bagi PNS melalui hukum positif yang berlaku di Indonesia, mengingat salah satu faktor penyebab adanya pelanggaran netralitas tersebut adalah kurangnya pemahaman terhadap regulasi netralitas PNS, serta untuk mengkaji persoalan netralitas serta implikasi hukum yang dapat terjadi atas adanya pembatasan hak politik bagi PNS. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Kegiatan Politik”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka terdapat beberapa permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yaitu:

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai netralitas PNS di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah implikasi hukum atas pembatasan hak politik bagi PNS?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan dari adanya penulisan artikel ini yaitu untuk memahami pengaturan asas netralitas PNS di Indonesia dan untuk mengetahui persoalan netralitas serta implikasi hukum yang terjadi atas adanya pembatasan hak politik bagi PNS.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan bahan pustaka yang terdiri dari sumber hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan. Sumber hukum sekunder meliputi buku hukum, jurnal, dan pendapat para ahli hukum. Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini memanfaatkan studi kepustakaan, yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan maupun bahan hukum yang sesuai dengan obyek yang akan diteliti. Teknik analisis bahan yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif dalam konteks penelitian ini berupa penggambaran atau penguraian apa adanya terhadap suatu kondisi hukum mengenai ambiguitas pengaturan netralitas ASN dalam Pasal 9 ayat (2) UU ASN dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN serta menguraikan implikasi hukum yang terjadi atas adanya pembatasan hak politik bagi PNS di Indonesia.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Pengaturan Netralitas Pegawai Negeri Sipil di Indonesia

Keikutsertaan PNS dalam keanggotaan dan kepengurusan partai politik menimbulkan beragam perdebatan. Tuntutan agar PNS dapat bersikap netral dalam partai politik semakin lantang didengungkan. Tuntutan tersebut adalah hal yang wajar mengingat selama masa Orde Baru, Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) berperan sebagai mesin politik Golkar, dimana sebagian besar keanggotaa partai tersebut adalah PNS.5 Tentunya, keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh produk hukum yang berlaku pada masa pemerintahan itu. Sehingga, dalam rangka memperbaiki dan mencegah keadaan tersebut, mengutip pemikiran Soewoto, pemerintah dalam tugasnya perlu menciptakan suatu produk hukum atau peraturan baru berkaitan dengan kenetralan PNS dalam birokrasi sehingga angka kontiribusi PNS dalam memenangkan suatu golongan atau partai politik yang tidak terkontrol dapat dicegah, mengingat peraturan sebelumnya tidaklah memberikan dampak yang begitu besar. Berhubungan dengan hal tersebut, berbagai jenis peraturan telah disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dan lembaga legislatif, dengan tujuan yang tidak lain adalah guna menciptakan situasi birokrasi yang netral dan tidak memihak dalam hal kegiatan politik.

Peraturan tersebut disusun secara hierarkis dimulai dari produk undang-undang hingga peraturan pemerintah.

Berkaitan dengan keterlibatan serta kepengurusan PNS di dalam aktivitas politik, pada zaman reformasi, permasalahan tersebut diatur dalam PP No. 5/1999 tentang PNS Yang Menjadi Anggota Partai Politik, akan tetapi seiring dengan perkembangan pemerintahan di Indonesia, PP tersebut telah diubah dan juga disesuaikan ke dalam PP No. 37/2004 tentang Larangan PNS Menjadi Anggota Partai Politik yang berlaku hingga saat ini. Peraturan tersebut dibuat dengan sasaran utama agar PNS mampu bersikap netral dan tidak menunjukkan keberpihakan dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat. Esensi dari makna prinsip netralitas yang termaktub dalam PP ialah bahwa PNS selaku aparat birokrasi memiliki tugas utama melakukan pelayanan kepada publik secara menyeluruh, menjunjung tinggi kompetensi dan kredibilitas yang ada dengan tidak menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan praktis partai politik tertentu. Sehingga, untuk mempertegas adanya larangan keterlibatan PNS dalam aktivitas politik tersebut, di dalam ketentuan Pasal 2 PP No. 37/2004 ditegaskan mengenai adanya ancaman pemberhentian jabatan bagi anggota PNS yang menjadi pengurus dalam sebuah partai politik. Mencermati adanya kemungkinan akan keterlibatan anggota PNS untuk terjun dan beralih dari fungsi pelayanan pemerintahan ke dalam aktivitas politik, maka dari itu, dalam ketentuan PP No. 37/2004 pula juga mengatur secara jelas tentang pemberhentian bagi anggota PNS yang berkeinginan untuk terlibat dalam kepengurusan partai politik baik secara hormat maupun tidak hormat. PP ini mengatur secara pokok mengenai prosedur pengunduran diri serta pemberhentian anggota PNS yang bersangkutan.

Di era sekarang, permasalahan netralitas PNS cenderung dan riskan terjadi pada masa Pemilu dan Pilkada, fenomena tersebut bukanlah hal yang asing terjadi dalam dunia politik dan birokrasi Indonesia. Berangkat dari disahkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia, kini pemilihan pejabat pemerintahan dilaksanakan secara langsung sehingga memicu meningkatnya angka pelanggaran terhadap prinsip netralitas di kalangan birokrasi.6 Melalui pilkada secara tak langsung, netralitas birokrasi relatif terjamin, karena dalam proses pelaksanaannya tentu saja tidak memerlukan tim sukses yang beranggotakan aparatur negara seperti PNS. Upaya dalam mewujudkan netralitas dalam birokrasi harus diusahakan di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf c UU Pemda, yang menjadi tugas pokok seorang kepala daerah adalah salah satunya mengembangkan kehidupan demokrasi di kehidupan masyarakat. Bentuk implementasi dari pasal tersebut salah satunya adalah dengan tidak memobilisasi aparatur negara termasuk PNS untuk berpihak dalam kubu politik dan kemenangan partai tertentu.

Usaha pemerintah lainnya untuk mewujudkan jiwa netralitas PNS agar tidak terbawa dalam pengaruh dan keterjalinan politik serta membatasi aktivitas politik di lingkungan birokrasi adalah dengan menerbitkan regulasi berupa Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menggantikan kedudukan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Mengutip pandangan Ismail Nurdin, Indonesia sebagai negara demokratis yang mengutamakan adanya kedaulatan, tidaklah melibatkan aparat pemerintah dalam kehidupan politik, PNS selaku tenaga pelayanan publik wajib menjunjung tinggi netralitas dalam menjalankan

profesinya.7 Pengaturan mengenai asas netralitas secara tegas dalam regulasi ini termaktub dalam Pasal 2 huruf f yang menentukan, salah satu prinsip yang mendasari penyelenggaran Kebijakan dan Manajemen ASN adalah “asas netralitas”. Di dalam bagian Penjelasan diuraikan bahwa, asas netralitas merupakan keadaan dimana aparatur birokrasi tidaklah menaruh keberpihakan dalam bentuk apapun dan kepada kepentingan siapapun. Pasal 9 ayat (2) UU ASN juga menentukan bahwa, pegawai ASN mesti terbebas dari impresi dan campur tangan suatu golongan dan partai politik, dengan tujuan utama mencegah sikap diskriminatif dalam melayani kebutuhan masyarakat yang bersifat administratif.

Dalam Bab II UU ASN juga mengatur mengenai kode etik dan nilai dasar dari perilaku seorang PNS yang wajib menjalankan asas netralitas. Ketentuan yang dikeluarkan dalam UU ASN ini mempertegas pula aturan yang telah tercantum dalam Pasal 4 PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, bagian tersebut menegaskan mengenai larangan PNS untuk terjun dalam ranah politik dan menunjukkan keberpihakan dan dukungan terhadap calon tertentu dengan cara-cara seperti, ikut serta dalam pelaksanaan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara serta lambang/identitas partai maupun PNS, mengarahkan PNS lain sebgai partisipan kampanye, dan juga melangsungkan segala jenis aktivitas yang menjurus kepada keberpihakan bagi calon pemangku jabatan yang menjadi peserta dalam ajang pemilihan.

Pada dasarnya, PNS selaku aparat birokrasi yang mengabdi pada instansi pemerintahan mempunyai hubungan hukum dengan negara yang pada akhirnya menimbulkan sebuah implikasi dimana PNS wajib bersikap loyal kepada pemerintah dengan cara mentaati berbagai regulasi atau peraturan perumdangan yang berlaku. Seharusnya birokrasi dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan politik, sehingga pelayanan kepada masyarakat bersifat netral, tidak memihak, dan obyektif. Munculnya sikap keberpihakan dari aparatur negara menimbulkan korupsi politik dimana penyelenggaraan pilkada tidak lagi didasari oleh asas demokrasi melainkan tindakan yang tidak terpuji. Hadirnya sistem pemilihan secara langsung, telah memberikan dampak terhadap buadaya pemerintahan, secara khusus adalah lahirnya relasi di antara lingkup administrasi/birokrasi dengan politik yang pada akhirnya berimbas pada netralitas birokrasi itu sendiri. Jika aparat birokrasi dapat menjaga netralitas dalam pelaksanaan fungsinya, maka rakyat secara keseluruhan dapat terlayani secara baik dan profesional. Birokrasi yang netral tidak mengutamakan dan memihak kepada kepentingan kelompok rakyat tertentu. Bilamana ditemukan suatu pelanggaran disiplin dan kode etik oleh anggota PNS, maka sesuai ketentuan yang tercantum dalam peraturan undang-undang, PNS yang bersangkutan akan dikenakan hukuman sanksi. Berdasarkan hal tersebut, penting untuk mengkaji pengaturan netralitas PNS di Indonesia mengingat kondisi sistem demokrasi di Indonesia yang terus berkembang dan intervensi politik tidak cukup bila hanya diukur dari keterlibatan PNS sebagai pengurus partai politik. Pemerintah perlu merasionalisasikan pembatasan peran PNS dalam peraturan perundang-undangan guna menjamin pembangunan hukum yang demokratis. Standarnya adalah terlepasnya segala bentuk kegiatan politik praktis, termasuk dicabutnya hak pilih dan dipilih sebagai pejabat negara.8

  • 3.2.    Implikasi Hukum Atas Pembatasan Hak Politik Bagi Pegawai Negeri Sipil

Di Indonesia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, telah mengatur secara hierarki pengaturan tentang asas netralitas PNS. Selain pengaturannya, terdapat pula Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyangkut tentang prinsip netralitas PNS dalam Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah, yakni Putusan MK No. 41/PUU-XII/2014 serta Putusan MK No. 46/PUU-XIII/2015. Di dalam Putusan MK No. 41/PUU-XII/2014 diadakan pengujian terhadap beberapa ketentuan dalam UU ASN, pasal yang diuji yaitu Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3). Dalam ketentuan tersebut menentukan bahwa aparat sipil yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS ‘sejak mendaftar sebagai calon’. Ketentuan yang menuai kritik dan dianggap menjadi pokok permasalahan dalam Putusan MK tersebut adalah ketentuan dimana PNS dapat mengundurkan diri dari jabatannya sejak ia diangkat sebagai calon peserta pemilihan. Pemilihan waktu ‘sejak diangkat menjadi calon’ oleh MK inilah yang kemudian menimbulkan disharmoni dengan asas netralitas bagi PNS. Di sisi lainnya, Putusan MK No. 46/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 7 huruf t UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota.” Sehingga, amar putusan yang mengandung nilai inkonstitusional bersyarat ini menghasilkan norma hukum baru terkait Pasal 7 huruf t yakni dari yang semula pengunduran diri bagi PNS disyaratkan ketika “mendaftarkan diri menjadi calon” menjadi “sejak PNS bersangkutan ditetapkan memenuhi persyaratan menjadi calon”.

Berdasarkan hal tersebut maka, makna netralitas PNS dapat dikatakan tidak relevan digunakan, karena seharusnya makna netral berarti bebasnya PNS dari keterjalinan serta keberpihakan politik. Selain PNS, aparat negara lainnya yakni POLRI dan TNI juga dibatasi secara tegas untuk terjun ke dalam ranah politik. Namun, terdapat perbedaan yang kontras dimana PNS masih diberikan kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam melakukan pemilihan dan juga memiliki kesempatan dipilih untuk menjadi pemangku jabatan dan kekuasaan. Sehingga hal tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian hukum terkait hak politik bagi PNS. Keterlibatan PNS untuk turut serta dalam kepengurusan politik menjadi tanda tanya besar bagi eksistensi asas netralitas sebagaimana digaungkan dalam peraturan yang telah disahkan oleh pemerintah. Dalam pelaksanaannya, asas netralitas ini kemudian menciptakan implikasi hukum bagi ASN dan insititusinya. Implikasi hukum di sini diartikan sebagai akibat hukum yang muncul sebagai dampak dari suatu peristiwa hukum.

Tedi Sudrajat mengemukakan bahwa, jika implikasi hukum ini dihubungan dengan adanya pembatasan hak politik dalam birokrasi, maka akan bermakna sebagai berikut:

  • 1.    Terdapat aturan yang melarang penggunaan sebagian peranan politik yang diberikan kepada PNS. Makna larangan bagi PNS untuk ikut serta dalam kegiatan politik adalah bagian dari apa yang kita kenal dengan kaidah hukum. Dalam konteks ini, kaidah hukum ialah (het bevel) di mana perintah tersebut kemudian

memunculkan makna larangan (verbod) sebagai kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu. Mencermati hal tersebut, logika hubungan antara perintah dengan larangan di atas bermakna bahwa, setiap PNS dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, diberikan perintah oleh negara untuk semaksimal mungkin memberi pelayanan publik yang profesional dan merata kepada masyarakat dengan mengutamakan kompetensi dan kredibilitas yang ada. Demi berjalannya tugas pelayanan tersebut, pemerintah memberikan berbagai larangan, salah satunya ialah larangan PNS untuk terlibat aktif dalam seluruh kegiatan politik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dilakukan demi menjaga netralitas PNS, sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) UU ASN yang menentukan bahwa, pegawai ASN wajib terlepas dari keberpihakan semua golongan dan partai politik, dengan tujuan mencegah sikap intoleran atau membeda-bedakan dalam memberikan bantuan serta pelayanan kepada publik.

  • 2.    Terdapat suatu penghormatan bagi sebagian peranan politik yang diberikan pemerintah kepada PNS. Implikasi kedua ini berupa adanya pemberian hak pilih bagi PNS dalam Pemilihan Umum, adanya pemberian hak untuk menjadi peserta kampanye di luar kegiatan dan jabatan pemerintahan, serta adanya pemberian hak untuk dipilih dalam proses pemilihan Pejabat Negara. Mencermati hal tersebut, dalam menjalankan tugasnya, tentu PNS tidak dapat terlepas dari pengaruh politik. Dalam lingkup birokrasi, selalu saja ada golongan politik atau kelompok dengan kepentingan tertentu yang berkeinginan besar mempengaruhi pemerintah dengan tujuan mewujudkan apa yang menjadi kepentingan golongannya, tanpa mementingan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Berlandaskan atas kedua implikasi hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembatasan hak politik bagi PNS masih bersifat ambigu atau multitafsir. Di satu sisi, PNS tidak boleh menempatkan diri terhadap posisi golongan dan partai politik tertentu, di sisi lain, ranah politik bukanlah hal yang netral karena setiap PNS masih diberikan hak untuk memilih dan juga dipilih dalam konteks politik. Sehingga, keadaan tersebut menciptakan standar ganda terhadap kedudukan PNS yang kondisinya kian buruk mengingat angka ketidaknetralan PNS meningkat secara dinamis. Mencermati hal tersebut, maka makna netral selayaknya diuraikan Pasal 2 huruf f UU ASN masih belum cukup jelas maknanya. Begitu pula dalam bagian penjelasan yang tidak memberikan batasan dan kriteria yang jelas terhadap esensi dari asas netralitas.

Terhadap 2 (dua) persoalan tersebut, maka netralitas PNS dalam kegiatan politik sesuai dengan pemikiran Woodrow Wilson yang mengemukakan tentang adanya pertentangan antara lingkup administrasi dan politik. Berdasarkan pemikirannya, admnistrasi negara dan politik berada dalam lingkupan yang berbeda. Fungsi utama dari aparatur birokrasi seperti PNS adalah menjalankan apa yang menjadi keputusan politik tanpa harus ikut serta dalam pembuatan kebijaksanaan tersebut.9 Hal tersebut memiliki keterkaitan pula dengan pemikiran Frank Goodnow yang menegaskan adanya perbedaan kontras diantara fungsi admnistrasi dengan fungsi politik dalam hal mengimplementasikan dan merumuskan suatu kebijakan.

Mengutip pandangan James H. Svara, upaya yang harus dilakukan untuk menetralisir hubungan antara kegiatan politik dan pegawai ASN adalah dengan melakukan komitmen dan bentuk pengawasan, beberapa diantaranya: 10

  • a)    Pegawai ASN harus dapat mendukung penuh hukum yang berlaku serta menghormati adanya supremasi politik;

  • b)    Pegawai ASN bertanggung jawab terhadap tugas pelayanan publik kepada masyarakat dan mendukung penuh proses demokrasi;

  • c)    Pejabat terpilih menghormati penuh setiap kontribusi ASN dan mengutamakan integritas dalam proses administratif.

Apabila pandangan tersebut di atas dikaitkan dengan prinsip netralitas dan tugas pemerintahan serta pelayanan yang dimiliki oleh PNS selaku aparat negara, maka jelas dinyatakan bahwa PNS harus mampu memiliki sikap apolitic, yakni berfokus terhadap apa yang menjadi kewajibannya dalam menjalankan fungsi pelayanan terhadap publik, mengutamakan kredibiltas dan kompetensi, tanpa memperhitungkan kekuasaan politik.

  • IV.    Kesimpulan

Pengaturan netralitas PNS di Indonesia disusun secara hierarkis mulai dari produk undang-undang hingga peraturan pemerintah guna menjaga profesionalisme PNS dalam menjalankan fungsi pelayanan publik serta mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power di lingkungan birokrasi. Secara normatif, pengaturan tersebut diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PP No. 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik, dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Adanya pembatasan hak politik bagi PNS menimbulkan implikasi hukum di dalam proses politik. Pertama, tercipta celah hukum dari beberapa peraturan yang kemudian dimanfaatkan oleh PNS untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik suatu golongan atau partai politik tertentu. Kedua, terjadinya ketidakpastian terhadap regulasi dan makna netralitas PNS sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga, keadaan tersebut menciptakan standar ganda terhadap kedudukan PNS dalam birokrasi Indonesia dan makna netralitas PNS dapat dikatakan tidak relevan untuk digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hartini, Sri dkk. Hukum Kepegawaian di Indonesia. (Jakarta, Sinar Grafika, 2010).

MD, Mahfud, Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum: dalam Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia. (Jakarta, Konstitusi Press, 2012).

Nurdin, Ismail. Etika Pemerintahan: Norma, Konsep dan Praktek Etika Pemerintahan Bagi Penyelenggara Pelayanan Pemerintahan. (Yogyakarta, Lintang Rasi Aksara Books, 2017).

Sudrajat, Tedi. Hukum Birokrasi Pemerintahan: Kewenangan & Jabatan. (Jakarta, Sinar Grafika, 2017).

Utomo, Warsito. Administrasi Publik Baru Indonesia; Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006).

Jurnal

Budiono. “Asas Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pemilukada (Studi Penerapan Pasal 2 Huruf F UU RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Netralitas ASN di Kabupaten Tulungagung).” Mizan: Jurnal Ilmu Hukum 8, No. 2 (2019): 129-137.

Hartini, Sri. “Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)” Jurnal Dinamika Hukum 9, No. 3 (2009): 296-305. DOI: 10.20884/1.jdh.2009.9.3.237

Kusuma, Putu Riski Ananda, dan Anak Agung Istri Ari Atu Dewi. “Pengaturan Aparatur Sipil Negara Yang Tidak Netral Dalam Pemilihan Umum Indonesia.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 1 (2018): 1-15.

Mawuntu, Mega M. “Tinjauan Yuridis Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pemilihan Kepala Daerah Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Di Indonesia.” Lex Administratum 5, No.7 (2017).

Miinudin, dan Etry Mike. “Penegakan Sanksi Administrasi Terhadap Aparatur Sipil Negara Yang Melakukan Kejahatan Jabatan Oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Pemerintah Provinsi Bengkulu.” Al Imarah: Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam 3, No. 1 (2018): 46-59. DOI: 10.29300/imr.v3i1.2142

Mokoagow, Stevenril. “Pelanggaran Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah.” Lex Administratum 4, No. 4 (2016).

Svara, James H. “Complexity in Political-Administrative Relations and The Limits Of The Dichotomy Concept.” Administrative Theory & Praxis 28, No. 1 (2006): 121139.

Sudrajat, Tedi dan Karsona, Agus Mulya. “Menyoal Makna Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.” Media Hukum 23, No. 1 (2016): 88-96. DOI: 10.18196/jmh.2015.0070.87-94.

Supraptini, Made Dian, dan I. Gusti Ayu Puspawati. “Analisis Yuridis Kebebasan Berserikat Pegawai Negeri Sipil Dalam Partai Politik.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 2, no. 3 (2014): 1-5.

Sutrisno. “Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 26, No. 3 (2019): 522-544. DOI: 0.20885/iustum.vol26.iss3.art5

Wahyuni, Tri, dan Ricky Noor Permadi. “Penguatan Kode Etik Organisasi Dalam Mewujudkan Netralitas ASN.” Jurnal Administrasi Publik 14, No. 2 (2018): 151162.

Watunglawar, Matias Neis. “Perwujudan Asas Netralitas Birokrasi Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.” Fairness and Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 15, No. 1 (2017): 70-88. DOI: 10.32528/faj.v15i1.2079

Wulandari, Novrida, dan Adianto Adianto. “Kinerja Komisi Aparatur Sipil Negara Sebagai Lembaga Pengawas Netralitas Aparatur Sipil Negara.” Jurnal Humaniora: Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan Hukum 4, No. 1 (2020): 166-171. DOI: 10.30601/humaniora.v4i1.601

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Tahun 2014 No. 6, Tambahan Lembaran Negara No. 5494)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 No. 244, Tambahan Lembaran Negara No. 5587)

Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2015 No. 57, Tambahan Lembaran Negara No. 5678)

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 128, Tambahan Lembaran Negara No. 4440 )

Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 2010 No. 74, Tambahan Lembaran Negara No. 5135)

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PUU-XII/2014

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIII/2015

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.813-823

823