TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENJUALAN ORGAN TUBUH MILIK PRIBADI

Ida Ayu Trisila Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana Email: [email protected]

I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana Email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui hak seseorang terhadap tubuhnya yang dalam konteks ini yaitu untuk menjual organ tubuhnya sendiri beserta tinjauan yuridis mengenai penjualan organ tersebut, sehingga diketahui apakah tindakan tersebut benar atau tidak secara hukum. Metode penelitian hukum normatif yaitu metode yang digunakan dalam tulisan ini, serta menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka yang dilakukan terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan selain daripada hukum yang berhubungan dengan penelitian hukum ini. Diketahui bahwa hak kepemilikan atas tubuh tidaklah sama dengan konsep hak kebendaan. Penjualan organ tubuh milik pribadi merupakan tindak pidana berdasarkan pada Pasal 65 dan Pasal 192 UU No. 36 Tahun 2009, Permenkes No. 38 Tahun 2016, serta PP No. 18 Tahun 1981.

Kata kunci: Organ Tubuh, Hak Kepemilikan, Perdagangan.

ABSTRACT

The purpose of the writing of this journal is to find out the ownership rights of person to his body, which in this context is to sell his own organs along with the juridical review of the trading of organs, so that it is known whether the action is legally correct or not. Normative legal research method is the writing method that The Writer used, and using statute approach and conceptual approach. The data collection technique in this writing are carried out by literature study of legal materials, both primary legal materials, secondary legal materials and non-legal materials related to this legal research. It noted that the ownership rights of body is different with the concept of material rights. The sale of privately owned organs is a criminal offense based on Article 65 and Article 192 of Law No. 36 of 2009, Minister of Health Regulation No. 38 of 2016, as well as Government Regulation No. 18 of 1981.

Key notes: Organs, Ownership Rights, Trading.

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.   Latar Belakang

Salah satu makhluk Tuhan yang bisa dikatakan sempurna yaitu manusia. Kesempurnaan ini didasarkan atas pemberian Tuhan sendiri yang mana tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya, yaitu pikiran yang dapat dikendalikan sendiri. Dengan anugerah tersebut, kita manusia dapat bertahan hidup dan berkembang sebagaimana sekarang dari zaman ke zaman. Dengan buah pikiran para manusia, dunia bisa mengalami kemajuan yang signifikan jika dilihat perkembangannya tiap zaman.

Setiap manusia pastinya memiliki hak untuk hidup serta memertahankan hidup dan kehidupan yang dimilikinya, begitulah yang tercantum pada Pasal 28A Undang-Undang Dasar NRI 1945. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka setiap orang berhak untuk hidup dengan “sehat” dan memiliki kehidupan yang sejahtera. Pemerintah turut aktif dalam upaya pemeliharaan kesehatan masyarakat, serta melakukan pengaturan di bidang kesehatan.

Dewasa ini banyak sekali kebutuhan masyarakat guna mempertahankan hidupnya, salah satunya yaitu kebutuhan terhadap pengobatan yang diperlukan. Semakin kemari, perkembangan di dunia kesehatan semakin pesat bergantung dari perkembangan kebutuhan manusia. Penyakit-penyakit baru bermunculan dan pakar kesehatan sesuai kode etik dunia kesehatan haruslah gencar menemukan jalan dari setiap masalah kesehatan yang timbul. Dengan begitu, semakin banyaklah teknologi di dunia kesehatan saat ini sesuai dengan penemuan-penemuan yang berhasil dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Kebutuhan terhadap pengobatan penyakit tidak hanya obat-obatan namun juga alat-alat kesehatan yang semakin canggih, teknik penanganan yang terus berkembang, dan juga termasuk organ tubuh tertentu bagi beberapa penyakit. Organ tubuh tertentu bisa didapatkan dengan donor organ yang diberikan oleh orang lain yang pada awalnya lazim diberikan oleh orang dengan ikatan keluarga yang dekat.

Donor organ merupakan tindakan yang memakan banyak biaya karena resiko yang ditimbulkan dan juga terbatasnya ketersediaan organ tubuh. Kebutuhan yang banyak akan organ tubuh dan terbatasnya donor organ yang tersedia atau pendonor yang sedikit menjadikan organ tubuh malah marak dijadikan barang dagangan. Sekarang ini marak adanya penjualan terhadap organ-organ tubuh tertentu, yang mana organ tersebut dibanderol dengan harga yang fantastis. Walaupun harganya sangat mahal, namun demi kebutuhan maka banyak orang yang mau membeli organ tersebut daripada harus menunggu donor organ yang memakan waktu lama. Karena mahalnya harga pasar dari organ tubuh, maka banyak oknum yang tertarik di bisnis penjualan organ tubuh manusia, yang mana dalam mendapatkannya tak jarang dilakukan dengan upaya kejahatan, seperti penculikan dan penjualan manusia untuk diambil organnya. Hal ini tentu saja dapat dikatakan sebagai tindakan terlarang yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang karena merampas hak hidup seseorang. Namun bagaimana jika kasusnya yaitu seseorang yang menjual organ tubuhnya sendiri berdasarkan kemauan orang tersebut, misalnya ingin menjual ginjal demi mendapatkan uang? Mengingat bahwa setiap manusia memiliki hak kepemilikan atas tubuhnya sendiri, namun peraturan pidana melarang penjualan orang maupun organ tubuh. Hal peraturan tentang penjualan organ terlalu umum mengatur penjualan organ namun tidak membahas terkait kepemilikan organ berpotensi menimbulkan kekaburan norma, sehingga perlu penguraian yuridis tentang penjualan organ milik pribadi. Hal ini akan dibahas tinjauan yuridisnya dalam tulisan ini.

Topik yang diangkat oleh penulis dalam karya tulis ini adalah topik yang lahir dari buah pikiran penulis sendiri, namun terdapat beberapa karya yang membahas topik serupa. Berikut adalah beberapa tulisan dengan topik yang serupa dan jabaran perbedaannya dengan tulisan ini:

  • 1)    “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia” oleh Adhyaksa Mahasena, Jurnal Magister Hukum Udayana Vol.7 No.1 Mei 2018

Tulisan ini terfokus membahas mengenai pertanggungjawaban pidana yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana penjualan organ tubuh manusia, dengan rumusan masalah yakni mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan perdagangan organ tubuh manusia dari perspektif hukum positif di Indonesia dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan perdagangan organ tubuh manusia dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia (ius constituendum).

Hal tersebut memberikan perbedaan dengan tulisan ini, yaitu bahwa tulisan tersebut membahas secara umum mengenai hukum pertanggungjawaban bagi pelakunya baik menurut ius constitutum maupun ius constituendum-nya. Sedangkan tulisan ini secara khusus membahas mengenai tinjauan yuridis penjualan organ tubuh manusia yang dilakukan oleh pemilik organ tubuh itu sendiri, secara jika ditelaah artinya dalam penjualan organ tubuh tersebut terdapat sarat makna hak kepemilikan atas barang dagangannya.

  • 2)    “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Donor Transplantasi Organ Tubuh Manusia Yang Bersifat Komersil Dikaitkan Dengan Hak Seseorang Atas Tubuhnya (The Right of Self-Determination)” oleh Bambang Wibisono, Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan, 2020;6(2):65-9, Universitas Swadaya Gunung Jati.

Di antara semua tulisan dengan topik serupa, tulisan Bambang Wibisono ini adalah tulisan dengan pembahasan yang paling “mirip” dengan tulisan ini, namun penulis melihat sedikit perbedaannya yakni tulisan tersebut terdiri atas 1 (satu) permasalahan saja yang mencakup seluruh pembahasan topiknya yang digabungkan menjadi satu, sedangkan tulisan ini terdiri dari 2 (dua) rumusan masalah, yaitu keseluruhan topik pembahasannya dibagi menjadi dua sub pembahasan, sehingga pembahasannya menjadi lebih runtut.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Atas latar belakang yang telah dijabarkan penulis diatas didapatkan sejumlah permasalahan yang dapat diangkat, yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana konsep hak seseorang dalam penjualan organ tubuhnya sendiri?

  • 2.    Bagaimana tinjauan yuridis terhadap penjualan organ tubuh milik pribadi?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan daripada penulis dalam membuat tulisan ini yaitu guna mengetahui hak seseorang terhadap tubuhnya yang dalam konteks ini yaitu untuk menjual organ tubuhnya sendiri beserta tinjauan yuridis mengenai penjualan organ tersebut, sehingga dengan begitu maka masyarakat dapat mengetahui bahwa penjualan organ tubuh dengan keinginan sendiri merupakan tindakan yang benar atau tidak, serta dapat memperbaiki pola pikirnya terhadap hak milik atas tubuh.

  • II.    METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan penulis pada tulisan ini yakni metode penelitian hukum “normatif” karena potensi adanya kekaburan norma dalam permasalahan ini. Metode yang juga disebut metode doktrinal ini yaitu meletakkan hukum sebagaimana sebuah bangunan sistem norma1. Lebih spesifiknya, penelitian ini mengunakan “penelitian deskriptif normatif”, yakini penelitian ini hanya mendeskripsikan jawaban dari permasalahan yang ada berdasarkan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan. Penelitian tulisan ini yakni mengunakan “pendekatan perundang-undangan” (statute approach) dan “pendekatan konseptual” (conseptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah, membedah peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan pada penjualan organ tubuh. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan melihat pandangan, pendapat, doktrin-doktrin, yang berkembang baik dalam dunia hukum dan kesehatan2. Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan selain daripada bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian hukum ini.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 3.1.    Hak Manusia Terhadap Penjualan Organ Tubuhnya Sendiri

Definisi hak dapat disaring dari pendapat beberapa ahli, salah satunya yaitu pengertian hak menurut pendapat Peter Mahmud adalah sebuah hal yang terdapat dalam diri manusia baik secara fisik maupun aspek eksistensialnya3. Dengan begitu maka hak dikatakan sebagai wujud dari eksistensi manusia yang tidak terpisahkan. Satjipto Rahardjo memberi penegasan bahwa pengertian hak itu adalah kekuasaan untuk bertindak demi memenuhi kepentingan4. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dipahami bahwa hak adalah suatu kuasa atau kemampuan untuk seseorang bisa melakukan sesuatu terhadap diri sendiri, karena dianggap bahwa diri sendirilah yang tau tentang apa yang baik baginya.

Pada negara dengan sistem hukum “common law”, konsep “hak atas tubuh” telah ada sejak jaman pengadilan gereja (church’s court) bahwa setelah kematian seseorang, jiwanya dikatakan akan melanjutkan ke dunia berikutnya, yang kemudian diadopsi oleh The Common Law bahwa tiada wewenang untuk mengadili seseorang setelah ia meninggal. Dari pandangan inilah common law berpandangan bahwa tidak ada hak yang dapat diberikan dalam bagian tubuh manusia. Namun bagi Griggs L., sebaliknya common law system malah menenggelamkan perbedaan yang krusial antara “ownership

atau “possession5. Dengan begitu maka muncul perkembangan pemikiran mengenai hak yaitu:

  • 1.    Konsep hak sebagai ownership

Konsep ini berarti pemegang hak memiliki kekuasaan yang kuat terhadap objek haknya. Jika dihubungkan dengan hak kepemilikan tubuh, maka terdapat hubungan kepemilikan antara seseorang dengan tubuhnya. Pada hubungan tersebut berlakulah segala ketentuan hukum mengenai kebendaan pada hukum perdata. Pemahaman ini akan menimbulkan hak kepemilikan yang sangat bebas (tak terbatas) atas tubuh sehingga dapat dilakukan tanpa menghiraukan nilai moralitas.

  • 2.    Konsep hak sebagai possession

Konsep ini berarti bahwa pemegang hak memiliki kekuasaan yang terbatas, dengan maksud untuk menguasai dan menggunakannya saja. Jadi apa yang ada dalam tubuh tidak dapat diperjualbelikan atau melakukan perbuatan hukum selayaknya seorang pemilik. Pemahaman hak dengan konsep “possession” ini sesungguhnya dapat dipahami sebagai salah satu bentuk dari perlindungan hak asasi manusia yang bersifat general, melihat kondisi masyarakat yang masih rendah kesadaran atas kesehatannya.

R. Dierkens berpendapat bahwa jenazah yaitu benda bergerak yang juga merupakan benda yang tak memiliki nyawa namun tidak dimasukkan ke dalam kategori kebendaan pada umumnya6. Sari Mandiana menegaskan bahwa walaupun hak terhadap dirinya sendiri dimiliki manusia namun tubuh manusia tidak dapat diperlakukan sebagaimana sebuah benda selayaknya yang diatur dalam hukum benda, karena nyawa serta tubuh adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan7. Dari pemahaman tersebut, selayaknya konsep hak manusia atas tubuh dan bagian miliknya harus dikembalikan pada pemahaman konsep nilai-nilai kemanusiaan. Konsep kemanusiaan dalam hak atas tubuh menekankan bahwa manusia memiliki nilai, yaitu nilai moriil, yang menghargai jiwa dan raganya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Konsep tubuh sebagai benda memiliki hakikat merendahkan harkat dan martabat manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan memiliki derajat yang jauh lebih tinggi daripada benda. Hak atas tubuh sendiri dalam konsep kemanusiaan berarti juga memunculkan sebuah konsekuensi dari orang tersebut untuk memelihara dan mengusahakan kesehatan yang terbaik untuk tubuhnya. Hakikat nilai kemanusiaan didasarkan pada sila kedua Pancasila.

Donor organ merupakan suatu tindakan yang mana seseorang (pendonor) memberikan, menguasakan, mendonorkan organ yang ada pada tubuhnya pada orang

lain, baik ketika seseorang tersebut masih hidup maupun sudah meninggal.8 Pemberian organ tubuh kepada orang yang membutuhkan seharusnya merupakan bentuk dari pelaksanaan konsep kemanusiaan atau mendonorkan organ atas dasar rasa kemanusiaan. Broto Wasisto menyebutkan bahwa: peraturan serta kode etik kedokteran di berbagai belahan dunia relatif serupa yakni mengatur bahwa donor organ dilakukan secara suka dan rela atas dasar kemanusiaan disertakan dengan keinginan-keinginan baik.9 Pemberian organ tubuh kepada orang lain seharusnya tidaklah dilakukan dengan tujuan komersial, karena ini sudah jelas bertentangan dengan konsep nilai kemanusiaan.

Penjualan organ tubuh termasuk daripada perdagangan orang. Sebagaimana perdagangan orang yaitu merupakan tindakan seperti pengiriman, pemindahan, perekrutan, penerimaan atau penampungan seseorang dengan ancaman atau kekerasan atau bentu pemaksaan lainnya untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi di sini termasuk juga pengambilan organ tubuh.10

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentu tidaklah secara eksplisit mengatur tentang hak atas tubuh.11 KUHP hanya mengatur mengenai hubungan antara orang dengan orang lain yang menjadi korban. Namun bukan berarti hukum pidana tidak sama sekali mengatur pembatasan hak atas tubuh. Contohnya yaitu aturan tentang Kawasan Bebas Rokok, seperti Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang melarang seseorang untuk melakukan kegiatan merokok di wilayah tertentu yang termasuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Larangan tersebut merupakan suatu bentuk pembatasan terhadap hak yang dimiliki manusia terhadap tubuhnya untuk merokok (dalam konteks ini yaitu kesehatannya). Ini merupakan bukti bahwa hak seseorang terhadap tubuhnya memiliki suatu batas dan merupakan sebuah bukti penerapan daripada konsep hak sebagai “possession”.

Penjabaran tersebut di atas menunjukkan bahwa konsep hak seseorang dalam penjualan organ tubuh miliknya tidak dapat dipersamakan selayaknya hak kepemilikan dalam konsep keperdataan. Hal ini dikarenakan organ tubuh manusia tidak dapat dikategorikan selayaknya benda dalam hukum benda di bidang perdata. Ada konsep kemanusiaan menyangkut hal ini, sehingga hak kepemilikan manusia terhadap tubuhnya sendiri memiliki suatu keterbatasan.

  • 3.2.    Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Organ Tubuh Milik Pribadi

Berdasarkan penjabaran pada Pembahasan 1, dikatakan bahwa hak kepemilikan terhadap tubuh dan bagiannya tidak dapat dianggap sama seperti halnya hak kebendaan. Tubuh dan nyawa merupakan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan. Hak atas tubuh dianggap sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pemeliharaannya. Tanggung jawab terhadap tubuh dipandang perlu dilakukan karena demi menerapkan

nilai materiil dan moral bahwa manusia sejatinya adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna. Dengan begitu maka konsep hak atas kepemilikan tubuh tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar terhadap dilakukannya tindakan penjualan organ tubuh.

Pemberian organ tubuh pribadi kepada orang yang memerlukan dipandang seharusnya dilakukan dengan berdasarkan pada rasa kemanusiaan orang tersebut, yaitu dengan tulus ingin membantu pihak yang akan didonorkan. Manusia tetap memiliki hak atas tubuhnya, namun hak tersebut bukan untuk disalahgunakan dengan seenaknya menperjualbelikan organ tubuhnya sendiri. Hak kepemilikan tersebut dipergunakan dalam rangka pemenuhan hak-hak pribadi orang yang bersangkutan, yang mana berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan orang tersebut. Namun pemenuhan yang dimaksud bukannya jenis pemenuhan seperti contoh ingin menjual ginjal demi kebutuhan ekonomi, namun bagaimana orang tersebut melindungi dirinya dan tubuhnya dengan baik.

Dengan tidak berlakunya konsep hak atas tubuh sendiri dalam hal penjualan organ tubuh, maka dapat dikatakan bahwa pemberian organ tubuh milik pribadi dengan tujuan komersial sama dilarangnya dengan penjualan organ tubuh yang bersifat ilegal. Sehingga secara yuridis pengaturan mengenai pelarangan penjualan organ tubuh merupakan larangan yang bersifat universal, dalam artian berlaku bagi segala bentuk dan motif tentang penjualan bagian tubuh.

Hukum Kesehatan Indonesia dalam praktiknya mengikuti dua metode hukum, seperti sistem Eropa Kontinental dan juga sistem Anglo Saxon, yang disesuaikan dengan keadaan agama, sosial budaya dan falsafah bangsa Indonesia.12 Kemudian lahirlah aturan-aturan yang mengatur mengenai kesehatan di Indonesia yang digunakan hingga saat ini. Pada dasarnya hukum pidana “melarang” komersialisasi organ tubuh manusia.13 Larangan tersebut guna menjamin organ tubuh manusia memang dimaksudkan untuk penyembuhan penyakit, yang artinya hukum Indonesia keras melarang transplantasi organ tanpa maksud dan musabab yang jelas.14 Transplantasi organ tubuh manusia memang sudah diliindungi oleh bebrapa peraturan perundang-undangan di Indonesia (khususnya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), namun dalam UU Kesehatan belum diatur secara terperinci mengenai tata cara untuk mendapatkan organ yang dapat digunakan untuk transplantasi tersebut.15 Dengan

begitu sejatinya banyak kemungkinan cara untuk mendapatkan organ tubuh yang akan ditransplantasikan, namun satu hal yang dapat dipastikan adalah dalam perolehan organ tubuh tersebut tidak diperbolehkan adanya unsur ‘komersil’. Hal mengenai penjualan organ tubuh telah diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mana mengatakan bahwa transplantasi organ hanya dilakukan dengan tujuan kemanusiaan, dan organ/jaringan tubuh dilarang untuk diperjualbelikan. Pelaku tindakan penjualan organ sebagaimana yang dimaksud pada pasal tersebut dapat dipidana sebagaimana Pasal 192 UU No. 36 Tahun 2009, yaitu pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda dengan jumlah maksimal satu milyar rupiah.

Selain pertimbangan bahwa hak kepemilikan yang tidak berlaku pada tubuh manusia, larangan terhadap penjualan organ tubuh pribadi juga tercermin pada Pasal 192 UU Kesehatan. Berikut adalah unsur-unsur Pasal 192:

  • 1)    Setiap orang

  • 2)    Dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh

  • 3)    Dengan dalih apapun

Berdasarkan unsur pasal tersebut, Pasal 192 dapat dikenakan kepada ‘siapa saja’ yang ‘dengan sengaja’ memperjualbelikan/memperdagangkan organ atau jaringan tubuh, yang mana pada unsur kedua tidak terdapat keterangan bahwa yang diperjualbelikan adalah organ milik siapa. Dengan tidak dibubuhinya keterangan seperti itu dan sejenisnya, maka maksud dari memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh itu adalah memperjualbelikan organ tubuh milik siapa saja, baik milik orang lain maupun milik sendiri, dengan persetujuan maupun tidak.

Selain pada UU Kesehatan, pengaturan yang merujuk pada larangan terhadap penjualan organ juga terdapat pada peraturan turunan dari UU Kesehatan, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ. Pasal 13 ayat (1) memiliki unsur sebagai berikut: 1) Setiap orang

  • 2)    Dapat menjadi pendonor

  • 3)    Secara sukarela tanpa meminta imbalan

Terlihat pada unsur ketiga dicantumkan dengan sangat jelas bahwa pemberian organ tubuh harus dilakukan dengan tanpa meminta imbalan, yang artinya pendonoran organ tidak boleh dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan/komersil.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia juga mengatur larangan penjualan organ tubuh dan jaringan tubuh manusia, yaitu melalui Pasal 16, dengan unsur pasal:

  • 1)    Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia

  • 2)    Tidak berhak

  • 3)    Atas suatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi

Terlihat di sini bahwa ‘pendonor’ maupun ‘keluarga pendonor’ tidak diperbolehkan meminta imbalan atas organ tubuh yang ditransplantasikan, walaupun terdapat kasus pendonor meninggal dunia.

Pasal selanjutnya yaitu Pasal 17 yang sangat jelas menyebutkan:

  • 1)    Dilarang memperjual-belikan

  • 2)    Alat dan atau jaringan tubuh manusia

Pasal tersebut sangat jelas terlihat mengatur larangan komersialisasi organ dan jaringan tubuh manusia.

Pada Pasal 65 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan bahwa donor organ haruslah berdasarkan consent dari pendonor dan/atau ahli waris atau keluarga pendonor. Mungkin masih masuk akal untuk pendonor yang akan mendonorkan organ miliknya sendiri, namun untuk para oknum yang menjual organ milik orang lain yang apalagi didapat dengan cara yang tidak baik tentunya tindakan tersebut adalah ilegal. Penjualan organ tubuh yang dilakukan secara ilegal merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).16

Peraturan-peraturan tersebut sudah merupakan dasar yang kuat bahwa masyarakat tidak boleh melakukan penjualan organ tubuh baik milik pribadi atau milik orang lain apalagi yang didapatkan dengan cara kejahatan. Perlu diketahui bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tidak terdapat aturan mengenai transplantasi organ, melainkan langsung diatur pada peraturan setingkat undang-undang. Hal ini dapat berarti bahwa peraturan mengenai transplantasi organ merupakan peraturan pidana khusus. Perundang-undangan pidana umum adalah “KUHP” dan seluruh peraturan yang mengubah atau menambah isi KUHP, sedang perundang-undangan pidana khusus adalah “peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP” dan peraturan yang berhubungan dengan KUHP.

  • IV. KESIMPULAN

Berdasarkan oleh apa yang telah dibahas/dijabarkan oleh penulis diatas, maka kesimpulan yang bisa diambil yakni hak kepemilikan atas tubuh tidaklah disamakan dengan hak kebendaan dimana seseorang tidak dapat memperlakukan tubuhnya dengan seenaknya sebagaimana seorang pemilik, namun hak tersebut diterapkan dalam hal agar orang tersebut dapat dengan bebas merawat dan menyejahterakan tubuhnya, dan dengan begitu maka manusia tidak dapat meniagakan organ tubuhnya, pendonoran pun dilakukan dengan atas dasar kemanusiaan. Penjualan organ tubuh milik pribadi dan penjualan organ tubuh orang lain sama-sama merupakan suatu tindak pidana, hal ini didasarkan pada Pasal 65 dan Pasal 192 UU No. 36 Tahun 2009, PerMenKes No. 38 Tahun 2016, serta PP No. 18 Tahun 1981. Masyarakat seyogyanya dapat merubah pola pikir terhadap hak atas kepemilikan oleh tubuh dan bagiannya agar tidak menimbulkan kebingungan dalam bertindak sehingga tidak akan terjadi perbuatan yang melanggar ketentuan pidana. Pemerintah perlu lebih menegakkan ketentuan mengenai transplantasi organ tubuh (baik dari segi perbaikan peraturannya maupun dari segi penegakan oleh aparat hukumnya) agar tidak ada lagi kasus tentang penjualan organ serta perlu melakukan penindaklanjutan terhadap kasus-kasus penjualan organ yang marak di masyarakat mengingat belum ada satupun kasus perniagaan organ yang diproses di pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. IX (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016).

Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).

Retnaningrum, Dwi Hapsari, dkk. Aturan Hukum & Hak Asasi Manusia (Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2014).

Jurnal

Angelika S, Michelle, Yohanes Firmansyah, Yana Sylvana, Hanna Wijaya, “Transplantasi Organ Tubuh Manusia Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia, Jurnal Medika Hutama Vol 02, No 02 Januari 2021 (2020).

Bintoro, Ady, “Memahami Nilai Etika dan Moral Donasi Organ, Jurnal Orientasi Baru Volume 25, Nomor 01 (2016).

Bunga, Dewi, “Politik Hukum Pidana Terhadap Tindakan Transplantasi Organ Tubuh, Jurnal Advokasi FH UNMAS Vol.7 No.1, Denpasar (2017).

Christianto, Hwian. "Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh dalam Transplantasi Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan", Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 23, no. 1 (2011).

Laki, Yesenia Amerelda, “Tindak Pidana Perdagangan Organ Tubuh Manusia Menurut Ketentuan Hukum Positif Indonesia, Jurnal Lex et Societatis, Vol.III/No. 9/Okt/2015 Universitas Sam Ratulangi, Manado (2015).

Lintang, Reggy, “Aspek Hukum Terhadap Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia Untuk Kelangsungan    Hidup,    Jurnal Lex et    Societatis,

Vol.I/No.5/September/2013 Universitas Sam Ratulangi (2013).

Mahasena, Adhyaksa, “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia, Jurnal Magister Hukum Udayana Vol.7 No.1 Mei 2018, Denpasar (2018).

Pasaribu, Merty, “Perdagangan Organ Tubuh Manusia Untuk Tujuan Transplantasi dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal Mahupiki Universitas Sumatera Utara, Medan (2014).

Sakti, Rizky Wira, “Tindak Pidana Transplantasi Organ Tubuh Manusia Ditinjau Dari UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Lex Crimen Vol. VII/No. 10/Des/2018, Universitas Sam Ratulangi (2018).

Suhardin, Yohanes, “Tinjauan Yuridis Mengenai Perdagangan Orang Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 3 (2008).

Wibisono, Bambang, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Donor Transplantasi Organ Tubuh Manusia Yang Bersifat Komersil Dikaitkan Dengan Hak Seseorang Atas Tubuhnya (The Right of Self-Determination)”, Tunas Medika Jurnal Kedokteran & Kesehatan No. 2020;6(2):65-9, Universitas Swadaya Gunung Jati (2020).

Tesis & Disertasi

Permatasari, Winda. "Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak Melalui Diversi", PhD diss., Universitas Muhammadiyah Palembang (2018).

Sibawai, Ahmad, “Jual Beli Organ Tubuh Dalam Pasal 64 UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Menurut Maqaşīd Syarī’ah Jasser Auda”, Tesis Fakultas Hukum Agama Islam Universitas Islam Indonesia (2018).

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 144).

Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ (Berita Negara RI Tahun 2016 No. 1273).

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia (Lembar Negara RI Tahun 1981 No. 23).

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 11 Tahun 2021, hlm.984-994

994