Akibat Hukum adanya Perpindahan Agama oleh Anak sebagai Ahli Waris dalam Perspektif Hukum Waris Adat Bali

I Gede Putu Putra Wibawa, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail : [email protected]

I Gusti Ngurah Dharma Laksana , Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penulis melakukan kajian ini dengan tujuan untuk mengetahui kedudukan hak dan kewajiban anak sebagai ahli waris berdasarkan hukum waris adat Bali serta akibat hukum atas perpindahan agama yang dilakukan anak sebagai ahli waris dalam perspektif hukum waris adat Bali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatf dengan menggunakan studi kepustakaan serta pendekatan konsep hukum yang terkait dengan hukum waris adat Bali dan peraturan perundang-undangan. Adapun hasil studi menunjukkan bahwa dalam hukum adat waris Bali sangatlah erat dengan keyakinan memeluk agama hindu karena dalam mewarisi warisan dari pewaris ahli waris tidak hanya mendapat kekayaan berwujud materi tetapi juga suatu kewajiban yang akan diemban hingga ahli waris meninggal dunia dan mewarisi pada keturunan selanjutnya. Hal ini tidak akan dapat terlaksana ketika ahli waris melakukan perpindahan agama karena tidak lagi dapat menjalankan kewajiban sesuai dengan agama yang dianut pewaris.

Kata Kunci: Akibat Hukum, Pindah Agama, Ahli Waris, Hukum Adat Waris

ABSTRACT

The author conducted this study with the aim of knowing the position of children's rights and obligations as heirs based on Balinese customary inheritance law and the legal consequences of religious conversions carried out by children as heirs in the perspective of Balinese customary inheritance law. This study uses normative legal research with the study results indicate that the customary law of inheritance Bali very closely with the beliefs embraced Hinduism as the inhserited legacy of the heir to the heir not only got a wealth of tangible material but also a liability to be borne by the heir dies and inherit to the next generation. This will not be done when the heirs do conversions because no longer perform the duties in accordance with the religion professed heir.

Keywords: Legal Consequences, Religious Changed, Heirs, Traditional Inheritance Law

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Secara nasional, dalam tatanan konstitusi telah memberikan ruang bagi warga negaranya untuk memeluk agama dan mempercayai suatu kepercayaan yang tunduk pada ketuhanan yang maha esa sebagaimana sila 1 Pancasila. Negara Indonesia yang majemuk akan keberagaman memberikan ruang yang luas untuk warganya dapat menjalani kehidupan berdasarkan agama dan kepercayaan yang dianut karena kepercayaan adalah hal yang sangat privat.1 Menilik kembali pada salah satu bukti bahwa Negara Indonesia arif dalam menyikapi keberagaman dan kebebasan memeluk kepercayaan yakni dengan dikeluarkannya produk hukum seperti Ketetapan No.II/MPR/1978 Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) yang dengan terang pada pokoknya menjelaskan bahwasanya agama beserta kebebasannya adalah suatu hal yang sangat vital dan merupakan asasi mendasar fundamental di antara hak asasi manusia yang lainnya karena menilik pada kebebasan beragama maka berbicara pula pada sumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang langsung memberkati pemeluknya dan orang orang yang mempercayainya dan bukan merupakan suatu ketetapan , paksaan ataupun keputusan dari negara atau golongan sebagai sebuah pemberian.2 Adanya ruang kebebasan inilah yang menjadikan agama pemeluknya dapat berubah dari satu agama dan kepercayaan lainnya. Indonesia majemuk akan suku budaya serta adat istiadat yang berbeda beda diberbagai daerah. Pengaturan dalam konstitusi menjamin keberagaman masyarakat untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Peran negara untuk itu juga dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”.

Adat istiadat tersebut kemudian bertalian erat dengan hukum adat yang dianut dimasing masing daerah tersebut.3 Sehingga ketika berbicara mengenai hukum adat sangatlah kompleks karena tidak hanya mengatur satu aspek tertentu tetapi beberapa aspek yang saling bertalian dan berkaitan. Salah satunya bahwa hukum adat yang dianut akan berpengaruh pada hukum adat waris yang juga menurun dari sistem kekeluargaan yang dianut. Mengenal lebih jauh hukum adat waris yang dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan, maka Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal yang menempatkan garis keturunan laki laki sebagai idealnya yang memegang hak sebagai ahli waris. Waris dalam tatanan hukum adat Bali tidaklah sekadar pada hak atas materi dari pewaris tetapi juga untuk seterusnya mengemban kewajiban kewajiban yang ditinggalkan pewaris setelah meninggal dunia.4 Pada saat menjalankan kewajibannya

sebagai masyarakat adat disebuah wilayah tertentu, maka tidak terlepas pula dari agama yang dianut oleh masyarakat adat tersebut.5

Unifikasi hukum yakni suatu usaha yang bertujuan untuk mencapai suatu peningkatan dalam pembinaan hukum nasional, namun tidak semua aspek aspek dapat diakomodir dengan baik dan mendapat sinkronisasi dengan baik berkaitan dengan kaitannya hukum adat serta hukum nasional. Salah satunya yakni dalam hukum waris, pada perspektif hukum waris nasional melekat pada sifat keperdataan seseorang sehingga hak mewaris akan selalu ada selama dikehendaki oleh pewaris. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adat masih mendominasi perkembangan kewarisan yang meliputi masyarakat hukum adat. Terdapat sifat yang saling linier berkaitan antara suatu ikatan perkawinan dan agamanya serta bagaimana kelak anak ataupun keluarga yang terbentuk dari ikatan perkawinan tersebut akan menganut system pewarisan karena adanya prinsip kuat antara hukum adat waris dengan prinsip keturunan yang berlaku dimasyarakat adat.6 Merujuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) pada Pasal 2 yang mengatur sahnya suatu perkawinan berlandas pada agama dan kepercayaan masing-masing, namun tidak memberikan ruang legalitas atas perkawinan beda agama sehingga menyebabkan timbul pilihan untuk menentukan satu agama yang diyakini saat menjalin rumah tangga. Keluarga yang terbentuk oleh ikatan perkawinan kemudian akan dikaruniai anak yang memiliki hak serta kewajiban dalam hal mewarisi harta kekayaan ataupun kewajiban kewajiban lain yang diturunkan oleh pewaris. Dalam aspek adat, hukum waris adat yakni suatu kaidah kaidah hukum yang mengakomodir aturan tentang harta peninggalan ataupun hal hal yang diwariskan atau diteruskan, dibagi atau dipindah alihkan oleh pewaris dari generasi ke generasi.7

Proses pewarisan tidak akan bisa berlangsung ketika salah satu dari unsur tersebut tidak ada sehingga tiga unsur ini harus dipenuhi karena sangat penting dan saling berkaitan. Pada proses pewarisan terdapat kasus dimana ahli waris melakukan perpindahan agama yang pada awalnya menganut agama Hindu kemudian beralih karena suatu perkawinan ataupun perubahan kepercayaan menjadi agama lain yang berakibat pada timbulnya persoalan terhadap harta warisan dari pewaris yang diberikan oleh orang tua yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat adat terhadap hak dan kewajiban dari ahli waris yang berhubungan dengan keagamaan dan adat. Perihal hukum adat waris, maka tidaklah hanya mencangkup harta warisan tetapi juga mengemban berbagai ikatan dengan masyarakat adatnya yang tentunya tidak akan terlepas dari kepercayaan yang dianut, namun disisi lain kepercayaan atas satu agama merupakan hak dari warga negara. Kedua hal tersebut saling bersinggungan dikarenakan dalam hukum adat mengenal berbagai kewajiban bermasyarakat adat atau yang biasa dikenal dengan istilah menyama braya yang akan diteruskan aktivitasnya oleh

ahli waris.8 Hal ini pula yang mempengaruhi fungsi dari adanya suatu pewarisan dalam hukum adat Bali karena utamanya dalam objek pewarisan tidak hanya berkaitan dengan emas atau uang tetapi juga dapat pula semata mata sebagai penerus dalam menjaga harga warisan leluhur, melestarikan dan mengembangkan peninggalan tersebut agar tidak hilang. Dalam hukum adat Bali, pewarisan harus mempunyai syarat bahwa pewaris beragama Hindu dan ahli waris adalah anak laki-laki dan beragama Hindu. Dengan sistem patrilineal dianut masyarakat Bali tentunya anak laki-laki berhak atas warisan yang diberikan dari Pewaris, selama ahli waris sebagai penerus keturunan pewaris atau orang tua.

Adapun state of art dalam penulisan ini jika dibandingkan dengan penulisan terdahulu oleh I Gusti Ngurah Bayu Krisna dengan judul “Kedudukan Ahli Waris Beralih Agama Terhadap Harta Warisan Orang Tua Menurut Hukum Waris Adat Bali” menilik pada pembahasan yang mengulas alasan dari peralihan agama yang dapat memungkinkan ahli waris dapat mewaris walapun telah berpindah agama. Selain itu adapun penelitian oleh I Gede Budi Artha dengan judul “Upaya Bagi Ahli Waris Yang Kehilangan Hak Sebagai Ahli Waris Karena Berpindah Agama Menurut Hukum Waris Adat Bali” pokok bahasan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui adanya upaya bagi ahli waris yang kehilangan hak sebagai ahli waris karena berpindah agama menurut hukum waris adat Bali. Kedua penelitian tersebut dilangsungkan secara umum untuk menguraikan konsekuensi perpindahan agama dalam perspektif hukum waris adat Bali, namun lain hal pada penelitian ini yang mengkhusus pada pembahasan terhadap akibat hukum hak dan kewajiban yang melekat dari anak yang melangsungkan perpindahan agama.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kedudukan hak dan kewajiban anak sebagai ahli waris berdasarkan hukum waris adat Bali?

  • 2.    Bagaimana akibat hukum atas perpindahan agama yang dilakukan anak sebagai ahli waris dalam perspektif hukum waris adat Bali?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui kedudukan hak dan kewajiban anak sebagai ahli waris berdasarkan hukum waris adat di Bali

  • 2.    Untuk mengetahui akibat hukum atas perpindahan agama yang dilakukan anak sebagai ahli waris dalam perspektif hukum waris adat di Bali

II    Metode Penelitian

Penelitian ini berlandas pada penelitian normatif yang mengkaji dari aspek studi kepustakaan. Pendekatan perundang-undangan, serta pendekatan konsep hukum dipergunakan pada penelitian ini. Adapun digunakan bahan hukum perundangn-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai bahan hukum primer dan jurnal hukum adat waris terkait dan kamus hukum sebagai bahan hukum sekunder. Serta pada teknik penelusuran bahan

hukum yang dipakai adalah teknik studi terhadap dokumen–dokumen yang ada serta analisis kajiannya merupakan analisis kualitatif.9

  • III.    PEMBAHASAN

    • 2.1    Kedudukan Hak dan Kewajiban Anak Sebagai Ahli Waris Berdasarkan Hukum Waris Adat Bali

Hukum adat yakni suatu system yang non-statutair digagas oleh Scnouck Hurgonje pada saat masa penjajahan Belanda dan ekspansinya di Hindia Belanda. Hukum ini meliputi pula hukum yang lahir dan terbentuk dari keputusan keputusan hakim dan berisikan asas asas hukum yang berakar pada kebudayaan tradisional yang bersifat local.10 Eksistensi hukum adat tidak lepas dari adanya unsur agama, terkhusus pada agama hindu di Bali yang sangat erat kaitannya dengan hukum adat Bali. Hazairin mengungkapkan bahwa terisolasinya Pulau Bali dapat menjadi indikasi bahwa adanya hal tersebut akan secara alamiah membentuk suatu sentralisasi pengaruh atau dalam kata lain terdapat satu pengaruh yang kuat dan erat yang menyebar ke berbagai penjuru dan menjiwai hukum adatnya. Sejalan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto juga mengungkapkan bahwa persekutuan hukum yang territorial adalah cerminan dari desa adat Bali dimana dalam hal ini persekutuan tersebut akan bersama sama mempunya kewajiban dan tujuan bersama.11 Sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut oleh hukum adat di Bali juga tidak terlepas dari kedudukan garis keturunan laki laki yang mengemban kedudukan purusa untuk meneruskan garis keturunan dan mengemban hak serta kewajiban.12 Kedudukan anak dalam kepercayaan hukum adat di Bali sangatlah kuat dengan spiritualitas, yakni bahwa dapat dipercayai adanya anak ditengah tengah suatu perkawinan akan dapat memberikan harapan akan tertebusnya dosa dosa yang ada dari leluhur mereka atau dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah nyupa. Sehingga tidak dapat kemudian dipisahkan antara hubungan anak dengan faktor niskala yang menjembatani serangkaian hukum adat di Bali. 13

Terkhusus pada pertalian adat di Bali mengacu pada sistem kepurusaan yang menempatkan anak laki laki sebagai penerus garis keturunan dan mengemban sepenuhnya kewajiban kewajiban dari pewaris , hal ini dapat disetarakan pula jika anak perempuan kemudian berstatus adat sebagai anak laki laki atau yang dapat disebut sebagai sentana rajeg , sedangkan suaminya akan berstatus sentana nyeburin.14

Adapun dikenal dalam sistem waris di Bali terdapat wujud wujud dari harta tersebut yakni : 15

  • 1.    Harta pusaka:

  • a.    Harta pusaka yang tidak dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang mempunyai nilai magis religius. Contoh : keris yang bertuah dan lain-lain.

  • b.    Harta pusaka yang dapat dibagi-bagi ialah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis religius. Contoh : sawah, ladang dan lain-lain.

  • 2.    Harta bawaan : Yaitu harta yang dibawa oleh mempelai wanita maupun pria ke dalam perkawinan.

  • 3.    Harta perkawinan : Yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan (guna kaya).

Selain itu, dalam kedudukannya sebagai ahli waris terdapat pembagian dan pembatasan yang diuraikan sebagai berikut :

  • a.    Setiap laki-laki dalam hubungan purusa selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan.

  • b.    Setiap sentana rajeg selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan. Anak yang dikatakan sebagai ahli waris adalah anak kandung dan anak angkat. Anak kandung pada prinsipnya mempunyai hak penuh terhadap harta warisan orang tuanya. Anak kandung disini adalah anak kandung laki-laki yakni anak yang lahir dari perkawinan sah orang tuanya.16

Dalam hukum adat waris di Bali, bentuk dari hak dan kewajiban yang diterima lebih luas cangkupannya, hal ini dikarenakan bentuk hak tidak hanya sebatas pada haknya dalam penguasaan harta kekayaan tetapi juga diimbangi dengan kewajibannya untuk menjaga harta tersebut serta mengemban kewajiban adat istiadat seperti kegiatan gotong royong serta upacara keagamaan lainnya yang sebelumnya dijalankan oleh pewaris dan kini berpindah pada ahli waris bersamaan kedudukannya sebagai pengganti dari pewaris, selain itu juga meneruskan silsilah dan garis keturunan ,meneruskan tradisi dan adat istiadat yang dipercayai keluarga serta melakukan ayah ayahan banjar ataupun sanggah, melakukan pitra yadnya pada keluarga yang telah meninggal sebagai bentuk penerusan kewajiban yadnya bagi hubungan keluarga dalam lingkup niskala, melunasi pembayaran utang pewaris, bentuk hutang dapat pula berupa iuran turun temurun atau yang biasa disebut peturunan sanggah yang akan dikenakan oleh garis keturunan laki laki yang bertujuan melanjutkan silaturhami dalam lingkup adat. Kewajiban kewajiban tersebut sangatlah erat dengan unsur keagamaan yang akan hanya dapat dilakukan ketika ahli waris bersamaan keyakinannya terhadap agama yang dianut keluarga pewaris. Sehingga ketika suatu perubahan status keagamaan terjadi oleh ahli waris maka hak dan kewajiban yang diembannya pun turut berubah kedudukannya.

  • 2.2 Akibat Hukum Atas Perpindahan Agama Yang Dilakukan Anak Sebagai Ahli Waris Dalam Perspektif Hukum Waris Adat di Bali

Masyarakat hukum adat Bali menurut Gede Panetja berada dalam system kekeluargaan kepurusaan yakni menempatkan anak laki laki sebagai utamanya ahli

wairs sepanjang tidak terjadi pemutusan hak diantara keduanya, adapun kelompok yang masuk kedalam garis keutamaan adalah keturunan dari ahli waris yang kencang kebawah seperti anak kandung laki laki atau anak perempuan yang meningkat statusnya mejadi sentana rajeg dan juga anak angkat atau sentana paperasan. Antara sentana rajeg dan sentana paperasan memiliki kedudukan dan hak yang sama dengan anak kandung jika berkaitan dengan warisan. Perihal suatu posisi dimana golongan ahli waris utama tidak ada, atau tidak memenuhi syarat dari adanya suatu pewarisan maka yang dapat menerima atau masuk kedalam proses pewarisan tersebut adalah golongan keutamaan yang kedua yakni orang tua pewaris jika masih ada. Namun jika diantara kedua tersebut tidak terdapat ahli waris maka akan berpindah pada saudara saudara pewaris yang masuk kedalam kelompok ketiga dengan tetap berlandas pada syarat sebagai ahli waris dalam hukum adat waris di Bali.17 Terjadinya suatu proses penerusan yang dilakukan oleh pihak pihak yang terlibat didalamnya mencangkup harta yang berwujud dan tidak berwujud benda serta keseluruhannya tersebut menyangkut dengan hak dan kewajiban yang lebih luas seperti kewajiban terhadap keagamaan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada proses pewarisan terdapat 3 unsur yang menjadi penentu ada atau tidaknya suatu pewarisan, yang pertama yakni :

  • a.    Pewaris yakni orang yang memiliki harta peninggalan atau harta peninggalan tersebut ada didalam penguasaannya serta memiliki tugas dan kewajiban adat yang diemban semasa hidup yang akan diwariskan pada keturunan selanjutnya . Dalam masyarakat adat di Bali dipercayai bahwa pewaris idealnya jua anak laki laki atau berada dalam satu garis kebapaan, namun jika yang meninggal adalah yang tidak dalam garis kebapaan akan menyebabkan tidaklah terdapat harta yang diwariskan

  • b.    Harta warisan yakni semua harta yang tecangkup didalamnya berupa kewajiban dan hak penguasaan yang beralih kepada ahli waris.

  • c.    Ahli waris yakni orang orang yang dengan kedudukannya berhak atas harta warisan yang ditinggalkan. Pada sistem kepurusaan ahli waris terdiri atas anak laki laki dalam satu garis keturunan selama tidak terputus hanya unuk menerima warisan, serta Adapun sentana rajeg yang selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan. Pada kedudukan anak sebagai ahli waris, terdapat 2 golongan yakni anak kandung dan anak angkat yang bersamaan kedudukannya sebagai ahli waris.

Telah ditentukan dalam hukum adat waris di Bali bahwa syarat syarat timbul dan terjadinya suatu pewarisan yakni :

  • 1.    Antara pewaris dengan ahli warisnya terdapat adanya hubungan darah atau ditentukan menurut hukum, misalnya karena pengangkatan, adopsi dan lain-lainnya.

  • 2.    Agama ahli waris harus sama dengan agama pewaris, atau ahli waris tidak kehilangan haknya, misalnya beralih agama (meninggalkan keluarga), dibuang dari keluarga (mapega), pegat mapianak, meninggalkan dharma dan lain-lainnya.

  • 3.    Diatur oleh hukum materil yang dianutnya kecuali ditentukan lain, misalnya karena tidak dijumpai aturan-aturan itu kemudian dipergunakan penafsiran-penafsiran lain berdasarkan kedudukan dan kewenangan yang diberikan dalam Hukum Adat Bali.18

Dalam adat Bali seorang anak dikatakan tidak berhak mendapatkan warisan karena adanya tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan menurut hukum adat Bali, yaitu:

  • 1.    Anak yang beralih agama

  • 2.    Anak laki-laki yang kawin nyeburin

  • 3.    Seorang anak laki-laki yang meninggalkan kewajiban sebagai seorang anak (dharmaning anak) terhadap orang tuanya.19

  • 4.    Seorang anak laki-laki yang dihapus kedudukannya sebagai anak atau diusir dan tidak diakui lagi oleh orang tuanya (pegat mapianak)

Jika merujuk pada ketentuan Hukum Perdata, pada prinsipnya semua ahli waris berhak mewaris, kecuali karena tingkah laku atau perbuatan hukum yang merugikan pewaris sehingga kedudukan ahli waris dapat dibatalkan berdasarkan hukum. Seperti yang termuat dalam KUHPerdata Pasal 838 yang mengatur tentang orang – orang yang tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig) sebagai berikut: 1) Orang yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris; 2) Orang yang dengan keputusan hakim pernah dipermasalahkan menfitnah si pewaris berupa fitnah dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih berat. Dalam hal ini harus ada keputusan hakim yang menyatakan, bahwa yang bersangkutan bersalah karena menfitnah; 3) Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya; 4) Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris. Sejalan dengan pendapat dari I Gede Pudja bahwa adalah tindakan meninggalkan atau beralih agama adalah salah satu cerminan dari tidak taatnya orang tersebut terhadap leluhur sehingga dengan telah berpindahnya agama seseorang, maka haknya sebagai ahli waris dalam prespektif hukum adat waris di Bali menjadi ikut lenyap juga. Hal ini dikarenakan telah lenyap pula kedudukannya dalam masyarakat hukum adat yang terhubung dengan kesamaan dalam menganut kepercayaan dengan beragama Hindu. Perpindahan agama tentu menyebabkan sulitnya ahli waris tersebut akan melaksanakan kewajiban keagamaan yang telah berbeda adatnya. Sejalan dengan uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika berbicara mengenai hukum waris berdasar pada hukum adat di Bali yang erat dengan agama Hindu maka terdapat dua hal sebagai garis besarnya :

  • 1.    Terdiri atas pembagian harta menurut titelnya yang dapat diartikan perubahan titel hukum pada aspek formil

  • 2.    Terdiri atas pembagian harta warisan secara rill

Meninggalnya pewaris menjadi awal dari suatu proses pewarisan, serta menjadi awal dari ditetapkannya ahli waris yang sesuai dengan syarat sebagai ahli waris yang dalam hukum adat di Bali menempatkan anak laki laki dalam hubungan purusa sebagai ahli waris sejauh tidak putusnya hubungan dari pewaris dan ahli waris. Salah satu alasan dari putusnya hubungan kewarisan adalah perpindahan agama yang menurut agama hindu diartikan bahwa :20

“Seseorang tidak akan ada hubungan lagi dengan sanggah kemulan yang berhubungan sangat erat dengan asal-usul penerus harta warisan tersebut. Selain itu orang yang beralih agama tidak lagi mempunyai hubungan dengan Desa Adat dan Kahyangan Tiga yang menentukan kewajiban beragama ke desa atau ke Kahyangan Tiga tersebut”.

Adanya perpindahan agama tersebut meninggalkan pula peralihan atas kepercayaan dan keyakinan dari apa yang dianut oleh keluarga, sehingga untuk meneruskan hubungan garis kekeluargaan secara spiritiual tidak dapat dilaksanakan lagi. Meninggalkan agama bagi masyarakat Bali dianggap telah meninggalkan kewajibannya, sehingga mereka akan menjadi kehilangan hak-haknya dalam kerabat dan keluarga. Meninggalkan agama berarti meninggalkan kewajibannya terhadap dadia sebagai penerus keturunan, serta dianggap keluar dari lingkungan rumah dan Adat dengan menghingkari swadharma sebagai penerus keturunan dan penerus agama.21 Kedudukan seorang anak yang dihapus sebagai ahli waris terhadap hak mewaris dalam waris adat Bali antara lain karena durhaka kepada leluhur atau durhaka kepada orang tua karena berpindah agama. Berpindah keagamaan menurut keyakinan dalam hukum adat Bali diartikan bahwa telah terputus juga hubungan dengan sanggah atau merajan yang erat berkaitan dengan salah satu bagian dari kewajiban ahli waris sebagai penerusnya.

IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Anak sebagai poros utama pewarisan sebagai ahli waris dalam keluarga memberikan pula hak dan kewajiban yang harus diemban dan dilaksanakan, berbeda halnya dengan pewarisan yang pada umumnya merujuk pada harta kekayaan , dalam hukum adat waris di Bali warisan adalah hal yang sangat kompleks diturunkan pada generasi terdahulu berkaitan dengan pengelolaan dan perpidah kuasaan harta kekayaan, kewajiban dalam masyarakat adat atau yang erat disebut menyama braya dan juga ikatan ikatan kewajiban adat lain yang melekat pada ahli waris. Secara umum peristiwa perpindahan agama akan menimbulkan implikasi karena akan memutus pula hubungan sekala dan niskala dari pewaris dan ahli waris. Akibat hukum dengan berpindahnya agama ahli waris yakni ahli waris telah tidak dapat lagi menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya sebagai ahli waris karena kepercayaan yang dianutnya berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Artadi, I. Ketut, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Denpasar, Sumber Mas Bali, 1981

Atmaja, Tjok Gede, Pengantar Hukum Kewarisan Adat Bali, Staff Lembaga Pelayanan Dan Penyuluhan Hukum Cabang Bali , 1981

Garjitha, I. Putu Gede. Hak Mewaris Anak Laki-Laki Tertua Yang Berpindah Agama Menurut Hukum Waris Adat Bali. Phd Diss., Universitas Airlangga, 2016.

Mukti, Fajar, "Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

JURNAL

Adnyani, Ni Ketut Sari. "Sistem Perkawinan Nyentana dalam Kajian Hukum Adat dan Pengaruhnya terhadap Akomodasi Kebijakan Berbasis Gender." Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 6, no. 2 (2017): 168-177.

Asy’ari, Hasyim. "Relasi Negara dan Agama di Indonesia." Jurnal Rechtsvinding (2014): 1-7.

Artatik, I Gusti Ayu Ketut “Implikasi Yuridis Konversi Agama Terhadap Kedudukan Ahli Waris, Vidya Wreta Volume 3 Nomor 1 Tahun 2020,1-18

Dewa Ayu Herlina Dewi, “Kedudukan Ahli Waris yang Berpindah Agama Dalam Harta Waris Menurut Hukum Adat Waris”, Jurnal Preferensi Hukum Vol 1, No 2 September 2020,78-82

Febriawanti, Dinta, and Intan Apriyanti Mansur. "Dinamika Hukum Waris Adat Di Masyarakat Bali Pada Masa Sekarang." Media Iuris 3, no. 2 (2020): 119-132.

Komari, Komari. "Eksistensi Hukum Waris di Indonesia: Antara Adat dan Syariat." Asy-Syari'ah 18, no. 1 (2016): 157-172

Manarisip, Marco. "Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional." Lex Crimen 1, no. 4 (2013):24-40

Nugraha, Gede Cahaya Putra, I. Made Suwitra, and I. Ketut Sukadana. "Kedudukan Anak Sebagai Ahli Waris yang Beralih–Alih Agama Menurut Hukum Waris Adat Bali." Jurnal Konstruksi Hukum 1, no. 1 (2020): 227-231.

Nurmila, Nina. "Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama Dan Pembentukan Budaya." KARSA: Journal Of Social And Islamic Culture 23, No. 1 (2015): 1-16.

Raka, I. Nyoman,I. Ketut Sudarsana. "Konversi Agama: Dampak dan Makna Bagi Masyarakat Pakuseba." Jayapangus Press Books (2018): i-132.

Setyawati, Ni Kadek. "Kedudukan Perempuan Hindu Menurut Hukum Waris Adat Bali Dalam Perspektif Kesetaraan Gender." Jurnal Penelitian Agama Hindu 1, no. 2 (2017): 618-625

Wiryawan, I. Wayan Gde, dkk, "Hukum Adat Bali di Tengah Modernisasi Pembangunan dan arus Budaya Global." Jurnal Bakti Saraswati (JBS) 4, no. 2 (2015):169:179

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019]

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6401]

Jurnal Kertha Negara Vol 10 No 3 Tahun 2022 hlm 237-246

246