KEABSAHAN KONTRAK PERDAGANGAN SECARA ELEKTRONIK: PERSPEKTIF UU ITE

Kadek Lilyani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Nyoman Bagiastra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah wujud Pemerintah Indonesia untuk merespon sistem perdagangan elektronik (UU ITE). Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami keabsahan kontrak perdagangan secara elektronik ditinjau dari UU ITE serta mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh kontrak perdagangan elektronik. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Konsep yang ditawarkan adalah melakukan perubahan atas UU ITE dan memasukkan pengaturan keabsahan kontrak elektronik secara tegas dan jelas. Alternatif terhadap pengaturan keabsahan kontrak elektronik dalam UU ITE. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami keabsahan kontrak perdagangan secara elektronik ditinjau dari UU ITE serta mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh kontrak perdagangan elektronik.. Metode Penelitian Hukum Normatif dapat di lakukan dengan cara pada sumber-sumber bahan hukum dan UU ITE yang ada kaitannya dengan penelitian ini. adalah suatau pendekatan yang di lakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE telah mengatur persoalan kontrak elektronik namun secara yuridis terdapat kendala bahwa persyaratan dari kontrak elektronik tersebut tidak dijelaskan dan diuraikan secara detail, padahal keberadaan sebuah persyaratan dalam membuat sebuah kontrak elektronik tersebut sangat diperlukan selain demi tertib dan ketaatan pada hukum, juga demi menjamin hak-hak para pihak jika terjadi wanprestasi.

Kata Kunci: keabsyahan, kontrak elektronik

ABSTRACT

The promulgation of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions is a manifestation of the Indonesian Government's response to the electronic trading system. This writing aims to find out and understand the validity of electronic trading contracts in terms of the ITE Law and to find out the consequences caused by electronic trading contracts. The research method used in this paper is a normative legal research method with a statutory and conceptual approach. The concept offered is to make changes to the ITE Law and include regulations on the validity of electronic contracts in a firm and clear manner. An alternative to the regulation of the validity of electronic contracts in the ITE Law. This writing aims to find out and understand the validity of electronic trading contracts in terms of the ITE Law and find out the consequences caused by electronic trading contracts. this. is an approach taken to various legal rules related to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. The ITE Law has regulated the issue of electronic contracts but juridically there are obstacles that the requirements of the electronic contract are not explained and described in detail, even though the existence of a

requirement in making an electronic contract is very necessary in addition to order and compliance with the law, also to guarantee the rights rights of the parties in the event of default.

Keywords: legality, electronic contract

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari beraneka ragam penduduk. Kebutuhan manusia semakin meningkat dan semakin berkembang disetiap waktu. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut masyarakat selalu melakukan transaksi untuk mendapatkan sesuatu barang yang menjadi kebutuhan dalam masyarakat. Perkembangan zaman yang disebut dengan era globalisasi di manfaatkan beberapa pelaku usaha mencoba memasarkan produk atau barang mereka dengan mempergunakan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk- bentuk perbuatan hukum baru. Kemajuan teknologi dalam bidang perdagangan dapat dilihat dengan adanya electronic contract yang selanjutnya disebut e-contract yang merupakan kontrak- kontrak perdagangan yang dibuat secara elektronik. Dibandingkan dengan kontrak perdagangan yang dibuat secara konvensional (dibuat dengan bertemu langsung atau bertatap muka) yang pengaturan hukumnya sudah jelas, e-contract di Indonesia masih merupakan hal yang sangat baru dan oleh karenanya masih perlu dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut mengenai keabsahannya.

Kegiatan jual beli barang barang atau jasa pada awalnya hanya dilakukan dengan bertemu langsung atau bertatap muka antara pihak pembeli dan penjual disebut dengan Perdagangan1. Internet sebagai media perdagangan terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan karena berbagai manfaat yang didapat oleh perusahaan maupun konsumen dengan melakukan transaksi melalui internet. Di Indonesia telah mulai penggunaannya oleh beberapa perusahaan yaitu ecommerce atau yang lebih dikenal dengan E-Commerce. Ecommerce pada dasarnya merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. E-commerce tidak hanya memberikan kemudahan bagi konsumen, namun perkembangan ini memudahkan produsen dalam memasarkan produk yang berpengaruh pada penghematan biaya dan waktu. Pelaksanaan jual beli secara online dalam prakteknya menimbulkan beberapa permasalahan misalnya pembeli yang seharusnya bertanggung jawab untuk membayar sejumlah harga dari produk jasa yang dibelinya tapi tidak melakukan pembayaran. Bagi pihak yang tidak

melakukan tanggung jawab sesuai dengan perjanjian yang disepakati dapat digugat oleh pihak yang merasa dirugikan untuk mendapat ganti rugi. Pentingnya permasalahan hukum di bidang E-commerce adalah terutama dalam memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi internet. Oleh karena itu pada tahun 2008 indonesia mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur transaksi internet yaitu Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik selanjutnya disingkat dengan UU ITE.

Namun demikian kemunculan UU ITE, secara substansial belum secara tegas memberikan pengaturan mengenai keabsyahan atau syarat sahnya kontrak elektronik. Meskipun UU ITE telah mengatur persoalan kontrak elektronik namun secara yuridis terdapat kendala bahwa persyaratan dari kontrak elektronik tersebut tidak dijelaskan dan diuraikan secara detail, padahal keberadaan sebuah persyaratan dalam membuat sebuah kontrak elektronik tersebut sangat diperlukan selain demi tertib dan ketaatan pada hukum, juga demi menjamin hak-hak para pihak jika terjadi wanprestasi. Dalam setiap kesepakatan, kontrak menjadi sesuatu yang sangat penting bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karenanya kontrak ini merupakan hal yang sangat penting dalam terwujudnya suatu perjanjian.

Sehubungan dengan keabsahan kontrak elektronik, namun nyatanya ketentuan-ketentuan tersebut tidak secara tegas diatur dalam UU ITE. Hal inilah yang menjadi problematika yuridis-teoritis. Problematika-problematika tertentu pasti muncul sebagai dampak dari perkembangan jaman, tidak terkecuali dengan perkembangan mulai bergesernya jaman perdagangan konvensional menjadi sistem perdagangan/transaksi elektronik. Salah satu problematika yang muncul dari sistem transaksi elektronik ini adalah persoalan keabsahan dari sistem transaksi tersebut2. Keabsahan yang dimaksud disini adalah keabsahan perjanjian perdagangan atau kontrak perdagangan yang dibuat melalui sistem elektronik. Sudah menjadi kebiasaan jika setiap kesepakatan-kesepakatan transaksi perdagangan selalu dituangkan dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Mengacu kepada teori perdata pada umumnya, sebuah transaksi adalah perbuatan hukum yang melibatkan dua belah pihak yang saling membutuhkan dalam hal yang memiliki nilai ekonomis tertentu, dan biasanya direalisasikan melalui sebuah perikatan yang disebut dengan sebuah istilah kontrak3, karena kontrak sendiri berfungsi untuk mengamankan sebuah transaksi4.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalan yaitu

  • 1.    Bagaimana keabsyahan kontrak Perdagangan secara Elektronik?

  • 2.    Bagaimana upaya hukum yang dilakukan jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak perdagangan secara elektronik?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami keabsahan kontrak perdagangan secara elektronik ditinjau dari UU ITE serta mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh kontrak perdagangan elektronik.

  • II.    METODE PENELITIAN

Penulisan jurnal ini menggunakan medote penelitian Hukum Normatif. Metode Penelitian Hukum Normatif dapat di lakukan dengan cara pada sumber-sumber bahan hukum dan UU ITE yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Tahapan- tahapan untuk menganalisis bahan data dan sumber data dalam penulisan jurnal yang terdiri dari:

  • a.    Data Primer adalah adalah bahan hukum yang di peroleh dari UU ITE dengan permasalahan dalam hal keabsahan kontrak perdagangan secara elektronik di tinjau dari UU ITE, dengan cara mentelaah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di samping itu data sekunder yang di gunakan juga bersumber dari literature lain seperti buku, jurnal atapun website.

  • b.    Data Sekunder yang digunakan adalah buku-buku penunjang yang berkaitan dengan kontrak elektronik. Bahan-bahan hukum tersebut dianalisa dengan teknik deskriptif untuk menentukan hasil akhir dalam studi ini

Jenis pendekatan dalam penulisan jurnal ini menggunakan pendekatan perundang- undangan adalah suatau pendekatan yang di lakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

  • III.   HASIL DAN PEMBAHASAN

  • 3.1   Keabsahan kontrak perdagangan secara elektronik

Definisi perdagangan elektronik, meskipun keduanya memuat definisi transaksi elektronik. Berbagai definisi yang berbeda juga dirumuskan oleh para ahli hukum tentang e-commerce. Salah satu definisi yang menarik dan punya cakupan luas adalah definisi yang diberikan oleh Ford Warwick dan Michael S. Baum. Menurut mereka, perdagangan elektronik adalah segala transaksi bisnis yang dilakukan secara automasi elektronis dan mencakup bidang yang luas, mulai dari pemesanan barang melalui surat elektronik (e-mail) maupun berbelanja di toko online5. Penggunaan internet dipilih oleh kebanyakan orang sekarang ini karena kemudahan-kemudahan yang dimiliki jaringan internet:

  • a.    Internet sebagai jaringan publik yang sangat besar, layaknya yang dimiliki suatu jaringan publik elektronik, yaitu murah, cepat dan kemudahan akses.

  • b.    Menggunakan data elektronik sebagai media penyimpanan pesan atau data sehingga dapat dilakukan pengiriman dan penerimaan informasi secara mudah dan singkat, baik dalam bentuk data elektronik, analog, maupun digital.6

Kontrak elektronik juga harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional, dimana mengikat para pihak sebagaimana pasal 18 ayat 1 UU ITE yang menyebutkan bahwa “transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak”7. Ada juga permasalahan apabila jika dilihat dari sistem hukum perdata, dimana sahnya jual beli melalui internet masih belum dapat dikatakan sah dalam salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu kecakapan para pihak dalam melakukan transaksi jual beli8. Berdasarkan kajian tersebut yang akan diteliti adalah yang berkaitan dengan relevansi peraturan perundang-undangan yang sudah ada dengan kebutuhan akan peraturan dalam transaksi jual beli melalui internet.

Transaksi elektronik sebagai pencetus munculnya sebuah kontrak elektronik adalah merupakan fenomena baru yang tidak dapat terlepas dari hukum karena transaksi elektronik juga memiliki aspek hukum kontrak atau perjanjian. Keberadaan sebuah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pedagang adalah menjadi salah satu poin terpenting dalam perdagangan, sebagaimana pandangan umum memahami sebuah prinsip bahwa kontrak atau perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya9. Banyak pakar hukum kontrak menerangkan bahwasannya transaksi jual-beli yang dilakukan melalui media elektronik (e commerce) pada dasarnya merupakan transaksi jual beli yang memiliki prinsip dasar sama dengan transaksi jual-beli konvensional. Seperti halnya transaksi jual-beli konvensional, transaksi e -commerce juga terdiri dari tahapan penawaran dan penerimaan, mengikatkan diri dalam perikatan, dan sebagainya10.

Untuk mencapai keberhasilan dalam sebuah transaksi tentu saja para pihak tidak luput harus memperhatikan aspek kontrak yang dijadikan sebagai landasan agar arah dan tujuan dari transaksi tersebut terkawal dengan baik, untuk mengukur apakah sebuah kontrak tersebut telah mengawal dan melindungi transaksi dengan baik, tentu saja dibutuhkan sebuah kontrak yang

sah dimata hukum11. Adapun persoalan kontrak atau perjanjian di Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada ketentuan-ketentuan KUH Perdata, dimana syarat-syarat sahnya sebuah kontrak sesuai dengan Pasal 1320 KHPerdata diperlukan empat syarat, yaitu:

  • a.    sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

  • b.    kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

  • c.    suatu hal tertentu.

  • d.    suatu sebab yang halal.

Tidak terpenuhinya salah satu persyaratan tersebut di atas membawa konsekuensi bagi pelaksanaan kontrak tersebut, sebuah kontrak dapat dibatalkan jika persyaratan mengenai kesepakatan dan kecakapan para pihak tidak dipenuhi. Batal demi hukum jika obyek dari sebuah kontrak tidak ada dan juga penyebab kontrak dari kontrak tersebut ternyata adalah merupakan sesuatu yang tidak halal. Mengingat adanya kesamaan dalam transaksi yang terjadi di Indonesia baik yang dilaksanakan dengan elektronik maupun konvensional, maka diantara keduanya terdapat sebuah penghubung yakni persyaratan kedua kontrak tersebut semestinya diikat dengan persyaratan kontrak yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan memiliki konsekuensi yang sama, namun jika dicermati kedalam UU ITE tidak ada satu pasal pun yang mengatur dengan jelas mengenai persyaratan kontrak elektronik yang terinspirasi dan atau penerapan dari persyaratan kontrak dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Untuk mengukur keberadaan ada atau tidaknya kesepakatan dalam transaksi elektronik dapat dilakukan dengan pengaksesan suatu tawaran melalui internet, atau bisa diterjemahkan sebagai penerimaan atau menyepakati sebuah hubungan hukum, sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Sukarmi bahwa hubungan hukum atau transaksi elektronik dituangkan dalam kontrak baku dengan prinsip take it or leave it.12 dimana tawaran dan segala macam persyaratan dari kontrak dicantumkan dalam proses penawaran dan jika ada pihak yang tertarik untuk menjalin hubungan hukum tersebut maka dapat langsung mengakses dan menyetujui penawaran tersebut, tidak dipermasalahkan bagaimanapun para pihak menyepakati transaksi tersebut karena sebuah kesepakatan bisa saja terjadi dengan adanya kesamaan kehendak dari kedua belah pihak.

Dalam perdagangan elektronik, suatu kontrak yang ditimbul bukan hanya sabatas diatas kertas melainkan dilakukan secara digital atau yang dikenal degan e-contract13. Perdaganga elektronik yaitu seluruh informasi dimuat dan bentuk seluruh data yang para pihak dengan berkenaan tersebut pada perjanjian e-contract timbul karena teknologi dengan ditawarkan jasa atau

barang14.Menurut penjelasan UU ITE pasal 1 angka 17 menyebutkan bahwa “kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik”. Menurut Johannes Gunawan, kontrak elektronik adalah “kontrak baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara digital melalui situs internet (website) secara sepihak oleh peembuat kontrak (dalam hal ini pelaku usaha), untuk ditutup secara digital pula oleh penutup kontrak.

Selanjutnya mengenai sistem elektronik disebutkan “serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirim, dan atau menyebarkan informasi elektronik (Pasal 1 angka 9 UU ITE), pada hakeketnya, kontrak elektronik ini adalah “perjanjian yang disepakati para pihak yang membuatnya hanya medium atau sarannya sangat berbeda, menggunakan sistem elektronik.” Kontrak elektronik (econtract) merupakan “suatu bentuk transaksi elektronik yang diatur dalam pasal 17 ayat 1 jo. Pasal 18 ayat 1 Bab V UU ITE”, pada hakikatnya, kontrak elektronik ini adalah “perjanjian yang disepakati para pihak yang membuatnya hanya medium atau sarannya sangat berbeda, menggunakan sistem elektronik”. Kontak elektronik (e- contract) merupakan “suatu bentuk transaksi elektronik yang diatur dalam pasal 17 ayat 1 jo. Pasal 18 ayat 1 Bab V UU ITE “. Berdasarkan pengertian dari perikatan tersebut diatas, maka dapat dicantumkan unsur- unsur dalam suatu perjanjian atau kontrak adalah sebagai berikut:

  • a.    Hubungan hukum merupakan suatu hubungan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang tercipta dikarenakan adanya perbuatan dari subjek hukum itulah yang menimbulkan/melahirkan suatau hak dan kewajiban bagi para pihak di dalam suatu kontrak.

  • b.    Adanya subjek hukum memiliki arti pendukung hak dan kewajiban, subjek hukum di dalam suatau perjanjian atau kontrak termasuk subjek hukum yang diatur atau tunduk terhadap aturan- aturan di dalam BW. Sebagaimana Hukum Perdata di Indonesia telah mengkualifikasikan bahwa subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia (individu/ kelompok) dan bahan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa yang dapat membuat suatu perjanjian atau kontrak di Indonesia bukan hanya manusia secara individual atau kolektif, tetapi juga badan hukum atau retchpersoon (Yayasan, Koperasi, dan Perseroan Terbatas).

  • c.    Adanya prestasi pengertian prestasi menurut Pasal 1234 BW yaitu terdiri atas untuk memberi sesuatu untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu. Apabila subjek hukum yang membuat perjanjian atau kontrak tidak melaksanakan prestasi sebagaimana telah tertuang dalam kontrak tidak melaksanakan prestasi sebagaimana telah tertuang dalam kontrak maka subjek hukum tersebut dikatakan wanprestasi.

  • d.    Bersangkutan dengan harta kekayaan Pada umumnya kesepakataan yang telah dicapai antara 2 atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak dan kemudian ditandatangani oleh para pihak, maka kontrak tersebut dinamakan kontrak bisnis, kontrak dagang.

Perjanjian e-commerce atau perjanjian perdagangan elektronik memanglah sangat berbeda dengan perjanjian perdagangan secara langsung, yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di mana terjadi pertemuan secara langsung atau face to face antara penjual dengan pembelinya. Sedangkan dalam e-commerce (perdagangan elektronik) tidak terjadi pertemuan secara langsung atau face to face antara penjual dengan pembeli untuk melakukan perjanjian perdagangan atau transaksi bisnis melainkan cukup dengan mengklik saja maka terjadilah perjanjian

  • 3.2 Upaya hukum yang dilakukan jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan kontrak perdagangan secara elektronik.

Di dalam setiap pekerjaan selalu ada 2 (dua) macam subyek hukum, yang masing-masing subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuatnya15. Subyek hukum dalam jual beli secara online adalah penjual (produsen) dan pembeli (konsumen)16. Para pihak dala jual beli secara online melakukan transaksi perdagangan melalui teknologi informasi berupa internet sehingga melahirkan perjanjian17. Upaya hukum yang dapat ditempuh bagi pedagangan dalam sengketa jual beli online adalah melalui dua jalur yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur Litigasi atau melalui proses pengadilan, pembeli atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan aturan Pasal 38 ayat 1 UU ITE yang diatur dalam pasal 39 ayat 2 UU ITE.

Pelaksanaan perjanjian pada umumnya (perjanjian konvensional)18dalam kenyataannya tidak terlepas dari berbagai permasalahan atau sengketa yang ada, demikian juga halnya pelaksanaan perjanjian perdagangan melalui internet (ecommerce). Tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaan sering terjadi tidak terpenuhinya isi perjanjian atau sering dikenal dengan wanprestasi atau masalah, bagaimana penyelesaian sengketa tersebut. Apabila salah satu subyek tidak melaksanakan apa yang semestinya dilakukan sesuai dengan dalam perjanjian maka perbuatan tersebut dikatakan wanprestasi. Wanprestasi memiliki empat macam, yaitu:

  • a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

  • b.    Melaksanakan apa yang di janjikan tetapi terlambat.

  • c.    Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

  • d.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Upaya hukum yang dapat ditempuh bagi pedagangan dalam sengketa jual beli online adalah melalui dua jalur yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur Litigasi atau melalui proses pengadilan, pembeli atau pihak yang dirugikan dapat

Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak dapat memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur (Saliman, Abdul R, 2004). Wanprestasi juga berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian (Simanjuntak: 2009).

Wujud Wanprestasi19 :

  • a.    Tidak melaksanakan prestasi sama sekali; Dalam hal ini sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal ini dapat disebabkan karena produsen/konsumentidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.

  • b.    Produsen/konsumenmelaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; Dalam hal ini produsen/konsumenberpikiran sudah melaksanakan prestasinya namun pada kenyataannya yang diterima oleh kreditur tidak sama seperti pikiran penjual/pembeli20.

  • c.    Produsen/konsumenmelaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat); Dalam hal ini produsen/konsumenmelaksanakan prestasinya, objek prestasinya juga benar namun tisak sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dalam Pasal 65 ayat 5 Undang- undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan: “Dalam hal ini terjadi sengketa terkait dengan transaksi dengan melalui sistem elektronik orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dalam menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian lainnya”.

Pasal 66 Undang- undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintahan”.

Undang- undang menyebutkan bahwa perdagangan juga termasuk pada perdagangan melalui Sistem Elektronik. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 4 ayat 1 butir e, menyebutkan bahwa lingkup pengaturan perdagangan meliputi. Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Salah satu terkait Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tertulis pada Bab XVIII Draf mengenai Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang menyebutkan bahwa21 :

Pasal 79 ayat 1: “Dalam hal terjadi sengketa dalam transaksi perdagangan melalui sistem elektronik, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.

Transaksi e-commerce yang dilakukan oleh para pihak yang mempunyai tempat tinggal di Indonesia atau sebagai Warga Negara Indonesia, apabila mereka terlibat sengketa maka harus tunduk pada peraturan-peraturan yang ada di Indonesia. Dalam penyelesaian sengketa perdata di Indonesia mempunyai dua macam penyelesaian, yaitu penyelesaian di luar pengadilan yaitu melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian hukum atau melalui pengadilan. Ketentuan UU No.11 Tahun 2008 tentang informasi & transaksi Elektronik (ITE) juga mengatur tentang penyelesaian sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik (e-commerce) terdapat dalam Pasal 39, yang berbunyi:

  • 1.    Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

  • 2.    Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang APS yang menyatakan bahwa dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.22.

  • IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan diatas diperoleh kesimpulan bahwa keabsahan perdagangan kontrak secara elektronik. Perdagangan elektronik adalah segala transaksi bisnis yang dilakukan secara automasi elektronis dan mencakup bidang yang luas, mulai dari pemesanan barang melalui surat elektronik (e-mail) maupun berbelanja di toko online. UU ITE telah mengatur persoalan kontrak elektronik namun secara yuridis terdapat kendala bahwa persyaratan dari kontrak elektronik tersebut tidak dijelaskan dan diuraikan secara detail, padahal keberadaan sebuah persyaratan dalam membuat sebuah kontrak elektronik tersebut sangat diperlukan selain demi tertib dan ketaatan pada hukum, juga demi menjamin hak-hak para pihak jika terjadi wanprestasi. Penyelesaian sengketa e-commerce yang terjadi di Indonesia terdapat pada Pasal 39 UU No. 11 Tahun 2008 Penyelesaian sengketa dengan cara mengajukan gugatan perdata ke pengadilan berdasarkan HIR/Rbg. Selain itu penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase atau lembaga

penyelesaian sengketa alternatif. Perlindungan hukum transaksi jual beli yang dilakukan melalui jaringan internet secara umum UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Keamanan yang di mana informasi elektronik dalam bentuk tertulis dan dokumen elektronik dapat menjadi alat bukti yang sah, di mana jikalau dikemudian hari terdapat salah satu pihak yang melakukan wan prestasi atau tidak terpenuhinya salah satu kewajiban dapat terselesaikan di persidangan maupun di luar persidangan, dalam hal ini pemerintah harus proaktif dalam mengawasi kontrak perdagangan melalui internet. Perlu diadakan sosialisasi UU ITE kepada masyarakat tentang penyelesaian sengketa e-commerce sehingga masyarakat lebih mengetahui dan memahami apa yang harus dilakukan dalam menyelesaikan masalah atau sengketa yang masyarakat alami dalam perdagangan melalui media internet (ecommerce).

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Hasanuddin Rahmad, 2003, Contract Drafting Seri Ketrapilan Merancang Kontrak Bisnis, Citra Aditya Bkati, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2001, Kontrak Bisnis Internasional, Bahan Kuliah Magister Hukum. Universitas Airlangga, Surabaya.

Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, Jakarta.

Sukarmi, 2008, Kontrak Elektronik Dalam Bayang- baying Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, Bandung.

Jurnal:

Akhmaddhian, Suwari, and Asri Agustiwi, 2016. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Secara Elektronik Di Indonesia.”UNIFIKASI: Jurnal Ilmu Hukum 3.2

Akhmaddhian, Suwarin, and Asri Agustiwin, 2018 “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli secara Elektronik di Indonesia. “UNIFIKASI: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 2

Dewantara, Gde Eka Prasetya, and I. Wayan Novy Purwanto. “Keabsahan Kontrak Perdagangan Secara Elektronik (E-Contact) Ditinjau Dari Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek.”Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8.1:1-13.

Emilda Kuspraningrum, 2011, Keabsahan Kontrak Elektronik Dalam UU ITE di tinjau dari pasal 1320 KUHPerdatabdan UNCITRAL Model Law OnElektronik Commerce, Vol. 7, No. 2, h. 4

Hapsari, Ni Kadek Erna Dwi. And I Dewa Gede Dana Sugama, 2019 “Upaya Mediasi Oleh Jaksa Sebagai Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Wanprestasi Tunggakan Pembayaran Listrik Negara.”Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8.11.

Hetty Hassanah, 2010, Penyelesaian Sengketa Perdagangan Melalui Abitrase secara Elektronik (Abitrase On Line) Berdasarkan Undang- undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesai Sengketa, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 22. No. 01

Indiraharti, Novina Sri. 2016 “Aspek Keabsahan Perjanjian Dalam Hukum (Suatu Perbandingan Antara Indonesia dan Korea Selatan). Jurnal Hukum PRIORIS 4.1

Laumuri, Maria Margaretha Christi Ningrum Blegur, and Ni Made Ari Yuliartini Griadhi.”Keabsahan Tanda Tangan Elektronik (Electronic Signature) Dalam Perdagangan Ditinjau Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.

Mila Nila Kusuma Dewi, Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Jual Beli Online, Jurnal Cahaya Keadilan, Vol. 22.No. 01

Marthavira, I Gusti Agung Ayu Patrecia, and Ida Ayu Sukihana.”Eksistensi Tindakan Reseller Berbasis Online Shop Dalam Transaksi Perdagangan Melalui E-Commerce Di Indonesia.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4.3:1-16.

Manap, Marina Abdul.”Kontrak Elektronik: Isu Dan Penyelesain Undang-Undang.” Journal of Law and Governance 1.1 (2018): 62-76.

Pradnyaswari, Ida Ayu Eka, and I. Ketut Westra. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Menggunakan Jasa E-Commerce.”Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8.5: 758-766.

Pebriarta, I Kadek Ari, and AA Ketut Sukranatha,”Keabsahan Elektronik Dalam Kaitan Dengan Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Oleh Para Pihak.”Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.

Rosalinda Elsina Latumahina, 2015, Aspek- aspek Hukum Dalam Transaksi Perdagangan Secara Elektronik, Jurnal Gema Aktualuta, Vol. 4. No.1

Sasmita, Ni Putu Ayu Bunga, and I. Wayan Novy Purwanto. “Penerapan Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian Jual Beli Online.”Kertha Semaya: Journal ilmu Hukum 8.8: 1138-1147

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 4843.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 7 Tahun 2021, hlm.545-556

556