PROSES HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN

A A Ngurah Bagus Pradhana Ningrat , Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]

Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimana proses hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana kekerasan. Untuk mengetahui bagaimana proses hukum tersebut dilakukan penelitiian dengan menggunakan penelitian hukum normatif, pendekatan undang-undang, dengan menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder dengan melakukan teknik studi dokumen. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah anak yang melakukan tindak pidana kekerasan akan diproses oleh hukum berdasarkan peraturan yang mengatur tentang anak dan penjatuhan hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan adalah berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kata kunci : pidana anak, tindak pidana anak, sistem peradilan anak

ABSTRACT

The purpose of this paper is to find out how the legal process for children who commit violent crimes. To find out how the legal process is carried out, research is carried out using normative legal research, legal approaches, primary and secondary legal sources by using document study techniques. The results of the research conducted are children who commit violent crimes will be processed by law based on regulations governing children and the sentencing of children who commit violent crimes is based on Law no. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System and Law no. 35 of 2014 concerning Amendments to Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection.

Keywords: juvenile crime, juvenile crime, juvenile justice system

  • I.     Pendahuluan

    1.1.   Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang besar. Membangun bangsa yang besar tentu dibutuhkan masyarakat yang pintar dan berbudi baik. Oleh karena itu pendidikan dan budi yang baik sudah seharusnya diterapkan sejak dini pada anak-anak bangsa.

Anak adalah salah satu aset untuk memajukan bangsa, namun berkembangnya jaman membuat karakter anak semakin memprihatinkan. Tidak sedikit kasus anak sebagai pelaku tindak kejahatan di era globalisasi ini. Tingkat kenakalan anak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun disebabkan oleh beberapa faktor. Bahkan

diketahui, sejak tahun 2011 hingga 2015 terdapat total 6.147 anak berhadapan dengan hukum dan yang paling terbanyak adalah di tahun 2014 yakni sebanyak 2.208 anak.1

Beberapa faktor yang menjadi penyebab kenakalan anak sehingga berhadapan dengan hukum adalah seperti kurangnya perhatian orang tua, keadaan yang mengharuskan anak memenuhi kebutuhan hidup, dan anak yang sedang mengalami pencarian jati diri. Kurangnya perhatian orang tua terkadang membuat anak kurang perhatian. Hal ini menyebabkan anak mencari perhatian di luar lingkungan keluarga. Penyebab ini seringkali mengakibatkan anak melakukan kenakalan yang bisa merugikan dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Begitu juga dengan keadaan yang menyebabkan anak harus memenuhi kebutuhan hidupnya pun menjadi salah satu alasan mengapa anak terlibat dalam beberapa kasus kenakalan anak, seperti melakukan kekerasan.

Kurangnya perhatian dan rasa kasih sayang terhadap anak merupakan faktor pendukung yang sangat kuat anak bisa melakukan kekerasan di luar atau masuk kedalam perkumpulan remaja yang seringkali meresahkan masyarakat. Anak yang telah masuk kedalam perkumpulan atau kelompok yang meresahkan masyarakat dengan berperilaku kriminal dan seringkali terlibat dalam tawuran.

Seorang Kriminolog Universitas Padjajaran, yaitu Yesmi Anwar, mengatakan bahwa terdapat tiga hal yang menyebabkan anak melakukan tindak kekerasan, yaitu hedonis, anomi, dan imitasi.2 Hedonis menyebabkan anak memandang segala sesuatunya berorientasi ke benda atau materi. Penyebab lain yaitu anomi, yang merupakan suatu kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Kenyataan yang terjadi ialah kondisi ekonomi orang tua yang serba kekurangan sementara harapan anak terkait keinginan agar tidak dilecehkan tergolong tinggi. Penyebab terakhir adalah imitasi. Imitasi sendiri merupakan tindakan menirukan apa yang dilihat dan dicontohkan di lingkungannya.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Jadi seseorang dikatakan masih anak-anak apabila masih umurnya dibawah 18 (delapan belas) tahun.

Kasus-kasus yang berkembang saat ini di tengah masyarakat tentang tindakan kekerasan yang pelakunya adalah anak dibawah umur menunjukan adanya kesalahan dalam proses perkembangan anak pada saat ini. Kasus-kasus anak tersebut kemudian dibawa ke ranah hukum dan diproses sesuai peraturan yang berlaku. Seperti tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, peradilan anak diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997. Bahkan sebelumnya, setiap anak yang melakukan perbuatan pidana dikenakan proses hukum yang sama dengan proses hukum orang dewasa.

Penjatuhan sanksi terhadap anak tentunya berbeda dengan orang dewasa. Perbedaan tersebut dikarenakan faktor anak yang belum dewasa dan masih dipikirkan kondisi psikologinya dan perbedaan tersebut menjadi pertimbangan Negara Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan, maka akan dilakukan penelitian yang berjudul “Proses Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Kekerasan”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah prosedur hukum dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak ?

  • 2.    Apakah faktor yang membuat anak yang melakukan tindak pidana kekerasan bisa disidangkan di pengadilan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses hukum dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak kemudian untuk mengetahui bagaimanakah prosedur hukum dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak dan juga untuk mengetahui faktor yang membuat anak yang melakukan tindak pidana kekerasan bisa disidangkan di pengadilan.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yang dilakukan dengan pendekatan undang-undang, dengan menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder, serta teknik studi dokumen. Pendekatan undang-undang dilakukan agar mengetahui apakah pasal yang dimaksud tersebut benar-benar telah mengenai isi dari permasalahan yang diangkat, sehingga bisa dilakukan pembahasan yang tepat dan jelas.3

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Prosedur Hukum Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak

Anak yang melanggar hukum dengan melakukan tindak pidana kekerasan dalam hal ini untuk menanganinya adalah berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dalam prosedur peradilanya di awali dengan prosedur penyidikan4.

Tujuan prosedur penyidikan adalah melakukan pencarian dan pengumpulan berbagai fakta atau alat bukti yang dilakukan oleh pejabat penyidik guna menjadikan penerang atau menjelaskan sebuah tindakan pidana yang dipakai sebagai pencarian sekaligus penemuan tersangka atau pelaku tindak pidananya5.

Adapun berbagai tahapan penyidikan adalah :

  • 1.    Penangkapan dan Penahanan

Guna kepentingan penyidikan, diperlukan penangkapan terhadap anak selama 24 jam. Setelah ditangkap, dilakukan penahanan sebagai kepentingan memeriksa, dengan tujuan mencegah tersangka kabur, penghilangan barang bukti atau perbuatannya tidak diulangi lagi.

  • 2.    Penuntutan

Jadwal penuntutan terhadap pidana anak dilakukan pelimpahan kasus anak kepada pengadilan sesuai permohonan agar dapat dilaksanakan pemeriksaan dan putusan oleh hakim pada proses persidangan. Pada tahap dakwaan, pemeriksa publik bertanggung jawab untuk mendapatkan dan memeriksa dokumentasi kasus analitik yang didapat. Melakukan pra-dakwaan jika terdapat kekurangan pada tahap pemeriksaan berdasarkan pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP..

  • 3.    Persidangan

Dalam peradilan anak dilakukan dengan hakim sendiri sebagaimana yang ditunjukkan oleh substansi pasal 11 ayat (1) undang-undang tentang peradilan remaja yang menggunakan strategi pendahuluan tertutup. Teknik ini dilatarbelakangi agar penyisihan bisa segera diselesaikan agar anak menyadari kesalahan atas perbuatan yang salah Kasus pidana yang disidangkan oleh otoritas yang ditunjuk sendiri adalah kasus dengan perintah lima tahun atau di bawahnya dengan menggunakan bukti sederhana. Dalam hal hukuman penjara lebih dari lima tahun penahanan dan verifikasi selesai, sesuai Pasal 11 ayat (2) undang-undang pengadilan, perkara tersebut akan diperiksa dengan hakim 6

Hak-hak anak dalam proses peradilan pidana adalah :

  • 1.    Proses penyidikan

  • a.    hak untuk mendapat surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim (pasal 21 ayat 2 KUHAP);

  • b.    hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim (pasal 21 ayat 3 KUHAP);

  • c.    hak untuk menerima ganti kerugian (pasal 30 KUHAP); Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan penyidik (pasal 50 ayat 1 jo pasal 122 KUHAP);

  • d.    hak untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (pasal 29 ayat 7 KUHAP);

  • e.    hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan diadili (pasal 50 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP);

  • f.    hak meminta penjelasan (pasal 54 KUHAP);

  • g.    hak untuk mendapatkan bantuan hukum (pasal 54 KUHAP);

  • h.    hak untuk menghubungi dan meminta kunjungan dokter pribadi (pasal 58 KUHAP);

  • i.    hak untuk diberitahukan tentang penahanan terhadap dirinya (pasal 59 KUHAP);

  • j.    hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga yang mempunyai hubungan kekeluargaan (pasal 60 KUHAP);

  • k.    hak untuk menerima atau mengirim surat kepada penasihat hukum dan sanak keluarganya (pasal 62 ayat 1 KUHAP);

  • l.    hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan(pasal 63 KUHAP);

  • m.    hak untuk meminta turunan berita acara pemeriksaan (pasal 72 KUHAP);

  • n.    hak untuk meminta pemeriksaan yang sah atau setidaknya penangkapan dan penahanan (pasal 79 dan pasal 124 KUHAP);

  • o.    hak untuk mengajukan keberatan atas penahanan dan jenis penahanan (pasal 123 ayat 1 KUHAP).

  • 2.    Proses Penuntutan

Hak anak dalam proses penuntutan adalah :

  • a.    menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan;

  • b.    membuat dakwaan yang dimengerti anak secepatnya akan melimpahkan perkara ke pengadilan;

  • c.    melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi;

  • d.    hak untuk mendapat keringanan masa/waktu penahanan;

  • e.    hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan rutan mnenjadi tahanan rumah atau kota;

  • f.    hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara;

  • g.    hak untuk mendapat fasilitas dalam rangka pemeriksaan dan penuntutan;

  • h.    hak untuk didampingi penasihat hukum.7

  • 3.    Proses Persidangan

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah :8

  • a.    berhak memperoleh bantuan hukum;

  • b.    berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum;

  • c.    berhak segera diadili oleh Pengadilan;

  • d.    berhak mengetahui apa yang disangkakan kepadanya pada awal pemeriksaan;

  • e.    berhak mengetahui apa yang disangkakan kepadanya dalam bahasa yang dimengerti olehnya;

  • f.    berhak memberikan keterangan secara bebas di hadapan hakim.

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan ditinjau dari Undang-Undang Sistem Peradilan Anak adalah proses hukum yang dijalani oleh anak haruslah berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, memperhatikan perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkannya kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejahteraan sosial sebagaimana Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun.9

  • 3.2.    Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana Kekerasan dan Disidangkan di Pengadilan

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah seorang anak yang sedang terlibat dengan masalah hukum atau sebagai pelaku tindak pidana, sementara anak tersebut belum dianggap mampu untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya, mengingat usianya yang belum dewasa dan sedang bertumbuh berkembang.10

Faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana kekerasan diantaranya adalah :11

  • 1.    Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kenakalan oleh anak, sehingga berujung melakukan tindak pidana kekerasan merupakan aspek kepribadian yang berasal dari dalam diri anak seperti konsep diri yang rendah, penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah. Konsep diri adalah bagaimana individu memandang dirinya sendiri meliputi aspek fisik dan aspek psikologis. Aspek fisik adalah bagaimana individu memandang kondisi tubuh dan penampilannya sendiri. Sedangkan aspek psikologi adalah bagaimana individu tersebut memandang kemampuan-kemampuan dirinya, harga diri serta rasa percaya diri dari individu tersebut.

  • 2.    Faktor lingkungan

Kurangnya pengawasan dari orang tua. Saat ini kurangnya pengawasan dari orang tua membuat anak-anak bebas seorang diri sehingga memberi kesempatan bagi anak untuk berbuat semena-mena seperti bergaul di tempat atau kelompok yang salah.

  • 3.    Faktor Pendidikan

Pendidikan juga berpengaruh terhadap terjadinya Anak melakukan Tindak Kriminal, dimana tingkat pendidikan pelaku rata-rata hanya tamat sekolah dasar. Faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap Anak melakukan Tindak Kriminal.

Ketiga faktor tersebut dalam proses hukum yang dialami oleh anak yang melakukan tindak pidana kekerasan setelah melewati tahap penyidikan, penuntutan akan memasuki tahap persidangan. Tahap persidangan anak akan digelar secara tertutup mengingat yang dihadirkan di hadapan persidangan adalah anak sebagai pelaku tindak pidana, juga menjaga kondisi mental anak sehingga tidak mengalami trauma yeng berlebih.

  • IV. Kesimpulan

Prosedur hukum dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak adalah melalui penyidikan, penuntutan dan persidangan. Proses hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah proses hukum yang dijalani oleh anak haruslah berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, memperhatikan perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Faktor penyebab anak melakukan tindak pidana kekerasan adalah faktor internal yaitu diri sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan dan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Djamil, Nasir, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Tinduk, Martini, Made, Ni, Supatmi, Sri, Mamik, & Purnianti, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia

Zainuddin Ali: Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2016

Jurnal Ilmiah :

Ariani, Nevey Varida. "Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dalam upaya melindungi kepentingan anak." Jurnal Media Hukum 21, no. 1 (2014)

Hambali, Azwad Rachmat. "Penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana." Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13, no. 1 (2019)

Ni Putu Yulita Damar Putri. (2020). Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Volume 09 Nomor 08, Jurnal Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, and Ni Made Martini Tinduk. Analisa situasi sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system) di Indonesia. Unicef Indonesia, 2002

Putra, I. Made Ardian Prima. “Pidana Pengawasan Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia”.Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum

Ramadhani, Gita Santika, and Purwoto Barda Nawawi Arief. "Sistem Pidana dan Tindakan “Double Track System” Dalam Hukum Pidana di Indonesia." Diponegoro Law Journal 1, no. 4 (2012)

Zai, Ariyunus, and Taufik Siregar. "Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Anak (Studi pada Wilayah Hukum Polres Nias)." Jurnal Mercatoria 4, no. 2 (2011)

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981

Undang-Undang Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012, Nomor 153

Undang-Undang Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606

Internet :

Liputan6, Ini Dia Penyebab Kenapa Anak Bisa Melakukan Kekerasan, liputan6.com/health/read/2308127/ini-dia-penyebab-anak- melakukan-kekerasan, 19 Maret 2017.

Suyono, DIY Darurat Kekerasan Pelajar, Hilangnya Aset Kebangkitan Negeri, www.jualkaosmuslimgaul.com/2016/12/diy-darurat-kekerasan-pelajar-hilangnya-aset-kebangkitan-negeri.html, 4 Juni 2017.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 7 Tahun 2021, hlm.511-519

519