ALASAN PENGHAPUS PIDANA KORPORASI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Made Adi Prananta Yoga, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]

Ida Bagus Surya Dharma Jaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan pembuatan tulisan ini adalah untuk mengetahui regulasi alasan penghapus pidana korporasi pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, serta untuk mempelajari urgensi alasan penghapus pidana korporasi dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Penulis menggunakan metode yaitu penelitian hukum normatif berupa pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep. Hasil penulisan yaitu dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini belum mengatur secara tegas perihal alasan penghapus pidana korporasi. Pengaturan mengenai alasan penghapus pidana baru akan diatur dalam RKUHP, mengenai alasan pembenar yang dimiliki oleh perseorangan yang memiliki hubungan dengan korporasi dapat digunakan pula oleh korporasi dalam kasus yang sama. Syarat-syarat kesalahan korporasi dapat ditemukan pada PERMA No.13/2016, namun aturan tersebut hanya sebatas sebagai penilaian hakim, dan tidak diatur secara tegas sebagai alasan penghapus pidana jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi. Urgensi pengaturan alasan penghapus pidana korporasi antara lain: sebagai legalitas alasan penghapus pidana untuk dapat digunakan oleh korporasi sebagai bentuk pembelaan dalam pertanggungjawaban pidana di pengadilan, dan sebagai persamaan di muka hukum bagi korporasi untuk memiliki alasan-alasan penghapus pidana sebagaimana subjek hukum perseorangan.

Kata Kunci: Alasan Penghapus Pidana, Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana

ABSTRACT

The purpose of this research is: to find out about regulations regarding the excuse of crime justification for corporations in the laws and regulations of Indonesia, also to find about urgency of the excuse of crime justification for corporations in corporate criminal liability. The used methods of this research are normative legal research by statutory approach, and concepts approach. The results of this research show the current laws and regulations in Indonesia do not explicitly regulate the excuse of crime justification for corporations. Regulations regarding the excuses of crime justification crimes will be regulated in the draft of criminal law code, regarding the justification excuses that are owned by individuals who related with the corporation which also can be used by the corporation in the same crime case. The conditions for corporate’s blameworthiness can be found in Supreme Court Regulations No.13 / 2016, however, these rules are only limited to judges’ judgment, and are not explicitly regulated as a reason for eliminating crime if these conditions are not met. The urgencies of regulating the excuse of crime justification for corporations are: as legality of reasons for eradicating criminal offenses that can be used by corporations as a form of defense in criminal liability in court, and as equality before the law for corporations to have reasons for eradicating crimes as subject to individual law has the excuse of crime justification.

Key words: Excuse of Crime Justification, Corporation, Criminal Liability.

  • I.    Pendahuluan

    1.1 . Latar Belakang

Bagaimana mungkin korporasi, sebuah benda mati dapat menjadi subjek hukum dan dimintai pertanggungjawaban pidana? Pertanyaan tersebut merupakan persoalan bagi hukum pidana Indonesia di masa lalu, dimana hukum pidana hanya menjadikan manusia (natuurlijk person) sebagai subjek hukumnya. Pemikiran ini dilatar belakangi oleh adagium “actus non facit reum, nisi mens sit rea”, yaitu suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali pikirannya memiliki niat jahat.1 Korporasi yang merupakan sebuah badan hukum (recht person) tidak memiliki jiwa dan pikiran sendiri, berpatokan dengan adagium tersebut, maka korporasi tidak mungkin melakukan kesalahan dan tidak dapat dipidana (nulla poena sine culpa).2

Seiring berjalannya perkembangan hukum di Indonesia, teori pemidanaan korporasi sudah bisa diterima dalam hukum pidana Indonesia. Pergeseran paradigma pemidanaan bagi korporasi mulai diterima dengan didukungnya beberapa teori/doktrin yang melakukan penyimpangan terhadap asas kesalahan untuk dapat menjerat korporasi sebagai subjek tindak pidana. Teori tersebut diantaranya: “strict liability theory”, “vicarious liability theory”, “identification theory”, dan, “aggregation theory”.3 Muladi mengemukakan alasan-alasan yang membenarkan korporasi dapat diakui sebagai subjek tindak pidana, antara lain:4 pertama, dari falsafah integralistik yaitu segala sesuatunya dinilai dengan dasar keseimbangan antara kepentingan milik individu perseorangan serta kepentingan milik sosial; kedua, dari asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945; ketiga, untuk menghapus adanya kesuksesan tanpa adanya aturan (anomie of success); keempat, menjamin adanya perlindungan konsumen; kelima, untuk perkembangan teknologi.

Penerimaan korporasi ditandai dengan perluasan subjek-subjek tindak pidana pada undang-undang pidana khusus di luar dari KUHP, yang semula hanya terbatas pada manusia menjadi bertambahnya korporasi sebagai subjek tambahan dari tindak pidana. Korporasi pun akhirnya bisa dibebankan pertanggungjawaban pidana menurut undang-undang tindak pidana khusus Indonesia. Selain itu, RKUHP yang akan mengganti KUHP Indonesia yang sekarang juga sudah menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidananya, yang dapat dilihat dalam Pasal 45 RKUHP.5

Subjek tindak pidana untuk kemudian dapat dijatuhi pemidanaan (punishment) harus memenuhi rumusan-rumusan yaitu: perbuatan pidana (criminal act), dan

kesalahan (schuld).6 Rumusan tersebut kemudian terbagi menjadi beberapa unsur-unsur, yaitu:7 perbuatan pidana yang terbagi menjadi kelakuan dan akibat, melawan hukum, memenuhi rumusan dari undang-undang, tidak adanya alasan pembenar; kemudian, kesalahan yang meliputi kemampuan bertanggungjawab, hubungan antara sikap batin dengan perbuatan si pelaku (kesengajaan atau kealpaan), dan tidak adanya alasan yang dapat menghapuskan kesalahan atau pertanggungjawaban pidana pelaku (alasan pemaaf). Unsur-unsur tersebut bersifat kumulatif, yaitu harus terpenuhi seluruhnya untuk akhirnya seseorang dapat dikenakan pemidanaan.

Salah satu unsur yang penulis ingin beri sorotan adalah unsur tidak adanya alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar, dan alasan pemaaf terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini karena alasan penghapus pidana adalah sebuah unsur penting yang mampu meniadakan suatu pidana pada seseorang. Alasan pembenar dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan seseorang menjadi perbuatan patut dan benar yang tidak melawan hukum.8 Alasan pemaaf menghapus kesalahan seseorang, dimana perbuatannya tetap memiliki sifat melawan hukum, namun tak dapat dipidana karena tidak terdapat kesalahan.9 Sehingga, untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang dipidana harus diperhatikan apakah seseorang tersebut memiliki atau tidak memiliki suatu alasan penghapus pidana.

Alasan penghapus pidana di Indonesia dapat ditemukan secara tertulis dalam Bab III KUHP. KUHP mengatur tujuh dasar bentuk alasan yang dapat menyebabkan si pembuat pidana tidak dapat dipidana, antara lain:10 ketidak mampuan bertanggung jawab akibat gangguan dari dalam diri si pembuat; daya paksa; pembelaan terpaksa/darurat; pembelaan terpaksa yang melampaui batas; melaksanakan peraturan dalam undang-undang; melaksanakan perintah jabatan yang sah; melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik. Schaffmeister mengemukakan bahwa tujuh alasan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok;11 alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) yaitu ketidak mampuan bertanggung jawab, pembelaan terpaksa melampaui batas, melaksanakan perintah jabatan tidak sah dengan itikad baik, yang kesemuanya melekat pada diri orang dan bersifat subjektif; daya paksa, pembelaan darurat, melaksanakan peraturan dalam undang-undang, melaksanakan peraturan dalam undang-undang, melaksanakan perintah jabatan yang sah, termasuk alasan pembenar (rechtsvaardingingsgronden) yang melekat pada hal di luar diri dan perbuatan orang serta bersifat objektif.

Bagaimana jadinya ketika korporasi yang melakukan tindak pidana dan dituntut pemidanaan? Apakah korporasi juga memiliki alasan-alasan penghapus pidana? Jika dikaitkan rumusan perbuatan pidana dan kesalahan dengan teori pertanggungjawaban pidana korporasi, maka sejatinya terdapat unsur yang tidak terpenuhi. Unsur tersebut

adalah tiada alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar. Kedua unsur tersebut merupakan alasan penghapus pidana sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya hanya berlaku untuk subjek hukum pidana berupa manusia (natuurlijk person).

Pada ius constitutum Indonesia, aturan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi diatur pada peraturan perundang-undangan khusus di luar dari KUHP yang berfokus pada unsur perbuatan dari korporasi maupun pengurusnya yang melawan hukum. KUHP sendiri tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana untuk korporasi apalagi mengenai alasan penghapus pidananya. Lantas bagaimana regulasi alasan penghapus pidana korporasi apakah ada dalam peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP?

Selanjutnya pada ius constituendum, RKUHP yang sudah melakukan regulasi terhadap korporasi mengatur dalam Pasal 50 RKUHP mengenai alasan pembenar yang bisa digunakan oleh korporasi adalah alasan pembenar yang juga digunakan oleh seorang yang merupakan pemegang kendali dari korporasi. Penulis melihat regulasi alasan penghapus pidana bagi korporasi pada RKUHP ini menganut model pertanggungjawaban korporasi berupa identification theory dan vicarious liability theory. Hal ini dikarenakan dasar penerapan alasan pembenar untuk korporasi masih dilimpahkan kepada pengurus atau pemegang kendali korporasi (directing mind) sebagai actus reus dari korporasi.12 Namun, apakah rumusan alasan pembenar dalam RKUHP tersebut sudah cukup sebagai sebuah alasan penghapus pidana bagi korporasi?

Berangkat dari pertanyaan dan permasalahan tersebut, penulis mengangkat judul yaitu “Alasan Penghapus Pidana Korporasi Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji mengenai regulasi alasan penghapus pidana bagi korporasi di Indonesia baik dalam ius constitutum serta dalam ius constituendum, untuk mengetahui apakah sudah terdapat regulasi mengenai alasan penghapus pidana bagi korporasi baik berupa alasan pemaaf dan alasan pembenar atau terdapat kekosongan norma pada ius contitutum. Selain itu, penulis juga akan mengkaji bagaimana urgensi alasan penghapus pidana dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, yang berhubungan dengan dampak pengimplementasiannya pada proses penegakkan tindak pidana korporasi.

Penelitian mengenai alasan penghapus pidana bagi korporasi belum dilakukan secara spesifik, dan masih sebatas penelitian terpisah antara alasan penghapus pidana sendiri pada subjek hukum perseorangan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi terendiri. Penulisan karya ilmiah yang menyerupai dengan tulisan ini adalah jurnal ilmiah dengan judul “Urgensi Pengaturan Kejahatan Korporasi dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Menurut RKHUP” oleh Ikka Puspitasari dan Erdiana Devintawati. Penulisan tersebut hanya membahas seputar bagaimana tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi diminta pertanggungjawabannya menurut RKUHP Indonesia, dan bagaimana formulasi pemidanaan terhadap korporasi tersebut di masa mendatang.13 Selain itu, penulis juga menemukan penulisan ilmiah dengan judul “Kebijakan Formulasi Alasan Penghapus Pidana dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” oleh Budi Nugraha yang berfokus pada apakah formulasi alasan penghapus pidana Indonesia saat ini sudah menunjuang atau belum dalam

proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia, dan bagaimana formulasi yang sesuai tersebut dapat dilakukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana di masa mendatang.14 Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, penulis melakukan penelitian dalam tulisan ini untuk menjawab mengenai aspek kajian terhadap alasan penghapus pidana korporasi di masa kini, dan di masa mendatang.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Adapun permasahalan yang dikaji dalam artikel ini yaitu:

  • 1.    Bagaimana regulasi alasan penghapus pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana urgensi alasan penghapus pidana korporasi dalam pertanggungjawaban pidana korporasi?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulis dalam melakukan penulisan ini terdapat dua tujuan. Pertama, untuk mengetahui bagaimana regulasi mengenai alasan penghapus pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedua, adalah untuk mengetahui bagaimana urgensi alasan penghapus pidana korporasi dalam pertanggungjawaban pidana korporasi.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam pembuatan jurnal ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang memfokuskan pengkajian dalam penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang ada.15 Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam jurnal ilmiah ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Statute approach merupakan jenis pendekatan penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang berisi aturan hukum yang nantinya akan menjadi fokus dalam penelitian.16 Aturan tersebut adalah yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi. Conceptual approach sendiri merupakan pendekatan yang melakukan penggabungan atas dua hal yang diabstraksi untuk memunculkan ciri khas dan diintegrasi untuk menghasilkan pemikiran yang khas.17 Sumber bahan hukum yang penulis gunakan dalam jurnal ilmiah ini berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, dimana penulis menggunakan bahan berupa Undang-Undang, KUHP serta RKUHP yang berisi materi tentang alasan penghapus pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan berupa bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks hukum, jurnal-jurnal hukum, dan pendapat sarjana, yang berkaitan dengan alasan penghapus pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Penulis mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan (library research)

dengan mengumpulkan bahan hukum primer dan sekunder untuk menemukan rujukan teori dan permasalahan dalam topik. Selain itu, penulis juga mengunduh literatur berupa jurnal-jurnal hukum di internet sebagai referensi penunjang dalam penulisan topi. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif dalam penelitian hukum normatif ini, dimana bahan-bahan hukum tersebut penulis pelajari untuk dapat memberikan gambaran tentang topik yang penulis bahas yang nantinya akan membantu penulis untuk membuat kesimpulan dari permalasahan dalam topik penelitian.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Regulasi Alasan Penghapus Pidana Korporasi dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Alasan penghapus pidana adalah sebuah unsur yang mampu menyebabkan si pelaku pidana tidak dipidana. Indonesia telah mengatur alasan-alasan penghapus pidana umum yang dapat ditemukan dalam KUHP. Dalam KUHP, terdapat tujuh alasan si pembuat tidak dapat dipidana, antara lain:18

  • 1.    Pasal 44 ayat (1) KUHP, adanya ketidakmampuan bertanggung jawab akibat gangguan dalam diri si pembuat atau ontoerekeningsvatbaarheid;

  • 2.    Pasal 48 KUHP, adanya overmacht atau daya paksa;

  • 3.    Pasal 49 ayat (1) KUHP, adanya pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa (noodweer);

  • 4.    Pasal 49 ayat (2) KUHP, adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces);

  • 5.    Pasal 50 KUHP, melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan;

  • 6.    Pasal 51 ayat (1) KUHP, menjalankan perintah jabatan dari atasan;

  • 7.    Pasal 51 ayat (2) KUHP, menjalankan perintah jabatan yang tidak sah/berwenang tapi dengan itikad baik.

Alasan-alasan di atas kemudian terbagi dalam dua kelompok, yakni alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf merupakan alasan-alasan untuk menghapus kesalahan dalam diri si pembuat, sehingga ia tidak dapat dipidana meski perbuatan yang dilakukannya tetap memiliki sifat melawan hukum.19 Lain halnya alasan pembenar, alasan pembenar merupakan alasan-alasan untuk menghapus unsur melawan hukum dalam diri si pembuat, walaupun perbuatan yang dibuat sudah memenuhi rumusan pada undang-undang sehingga perbuatan tersebut dianggap benar.20 Pembagian alasan pemaaf dan alasan pembenar terpisah menjadi:21 alasan pemaaf termasuk di dalamnya adalah ketidak mampuan bertanggungjawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, melaksanakan perintah jabatan tidak sah dengan itikad baik; alasan pembenar termasuk di dalamnya yaitu daya paksa atau overmacht, pembelaan terpaksa, melaksanakan ketentuan dalam undang-undang, serta menjalankan perintah jabatan dari atasan.

Selain di KUHP, alasan penghapus pidana terdapat pada perundang-undangan khusus selain KUHP. Pertama, dalam Pasal 21 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (disingkat UU SPPA) yang pada intinya mengatur bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun yang melakukan atau didugakan melakukan perbuatan pidana akan dikembalikan kepada orang tuanya atau diikutsertakan dalam program pembinaan di instansi sosial.22 Kedua, dalam Pasal 12C Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (disingkat UU TIPIKOR) yang pada intinya mengatur yaitu apabila penerima gratifikasi melakukan pelaporan penerimaan gratifikasi kepada KPK maka ketentuan pidana gratifikasi tidak berlaku kepada penerima tersebut.23

Sejauh temuan penulis, alasan-alasan penghapus pidana di atas yang tercantum dalam KUHP serta di luar KUHP merupakan alasan penghapus pidana untuk subjek hukum manusia. Lantas bagaimana dengan alasan penghapus pidana bagi korporasi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia? Apakah hukum Indonesia sudah mengaturnya atau belum? Sebagaimana kita ketahui, pertanggungjawaban korporasi belum diatur dalam KUHP dan masih diatur pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Sehingga, KUHP Indonesia saat ini juga belum mengatur alasan penghapus pidana secara spesifik bagi subjek hukum berupa badan hukum atau korporasi.

KUHP pada peraturan di luarnya, terdapat undang-undang yang mengatur korporasi menjadi subjek hukum pidana. Contoh undang-undang tersebut antara lain:24 UU Penimbunan Barang, UU TIPIKOR, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Narkotika, dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Umumnya undang-undang tadi baru mengakomodasi pengakuan korporasi sebagai subjek hukum di dalamnya, namun ada beberapa yang telah mengatur mengenai syarat-syarat pertanggungjawaban pidana suatu korporasi serta menyiratkan menganut ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi tertentu.

Penulis akan menjabarkan beberapa undang-undang yang telah mengatur syarat-syarat pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam muatan pasal-pasalnya. Pertama, UU TPPO No.21/2007. Pasal 13 UU TPPO mengatur syarat bagaimana suatu perbuatan pidana perdagangan orang bisa dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Syarat tersebut antara lain:25

  • 1.    Perbuatan pidana a quo dilaksanakan oleh seseorang yang berbuat untuk dan/atau atas nama dari korporasi, sehingga dapat dikatakan merupakan seorang directing mind korporasi;

  • 2.    Tindak pidana a quo dilakukan demi kepentingan dari korporasi, dengan kata lain memberikan keuntungan kepada korporasi baik secara materiel maupun imateriel;

  • 3.    Orang yang melakukan perbuatan pidana a quo mempunyai keterkaitan kerja maupun keterkaitan lain yang dalam ini adalah hubungan hukum;

  • 4.    Orang tersebut bertindak dalam lingkungan korporasi atau intra vires;

  • 5.    Orang yang bertindak bisa melakukannya baik sendiri maupun bersama orang lain.

Pada UU TPPO ini, penulis hanya menemukan syarat-syarat pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Undang-undang tersebut belum memuat adanya pengaturan tentang alasan penghapus pidana bagi korporasi yang melakukan perdagangan orang.

Kedua, UU TIPIKOR pada Pasal 20 mengatur syarat suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya yaitu:26

  • 1.    Tindak pidana a quo dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki keterkaitan pekerjaan serta hubungan lain;

  • 2.    Melakukan tindakan dalam lingkup korporasi atau intra vires.

Pada UU TIPIKOR, penulis juga tidak menemui pengaturan spesifik mengenai alasan penghapus pidana korporasi yang melakukan korupsi. Seperti sebelumnya, undang-undang ini masih hanya mengatur tentang syarat-syarat pertanggungjawaban pidana oleh korporasi.

Ketiga, UU TPPU pada Pasal 6 menyebutkan beberapa syarat agar dapat dijatuhkannya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, antara lain:27

  • 1.    Perbuatan pidana a quo diperintahkan oleh personel pengendali korporasi;

  • 2.    Perbuatan pidana a quo dilaksanakan untuk memenuhi maksud dan tujuan korporasi;

  • 3.    Perbuatan pidana a quo dilaksanakan sesuai tugas dan fungsi dari sipelaku atau pemberi perintah, juga dapat diartikan sebagai intra vires;

  • 4.    Perbuatan pidana a quo dilaksanakan karena memiliki maksud agar dapat memberikan keuntungan kepada korporasi.

Penulis juga menemukan bahwa dalam UU TPPU tidak mengatur secara rinci pengaturan alasan penghapus pidana bagi korporasi yang melakukan pencucian uang. Undang-undang di atas menunjukkan bahwa saat ini Indonesia masih belum mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf serta alasan pembenar bagi korporasi.

Selain peraturan perundang-undangan, Indonesia juga memiliki peraturan yang mengatur tentang pedoman bagi hakim untuk dapat menangani perkara pidana yang melibatkan korporasi sebagai pelaku. Peraturan tersebut adalah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi atau biasa disingkat PERMA 13/16. Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 juga mengatur syarat-syarat untuk dapat menilai kesalahan korporasi agar dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, antara lain:28 “1) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi; 2) korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau 3) korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana”. PERMA in juga tidak ditemukan pengaturan spesifik tentang alasan penghapus pidana bagi korporasi yang dinyatakan secara jelas. Namun, terdapat hal menarik yang perlu digaris bawahi dalam ketentuan PERMA di atas. Hal tersebut adalah adanya beberapa perbuatan aktif yang dapat korporasi lakukan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana, yaitu: korporasi dapat bertindak untuk tidak

membiarkan tindak pidana terjadi; korporasi dapat melakukan tindakan untuk mencegah personilnya berbuat tindak pidana atau memastikan agar personilnya selalu menaati hukum dalam menjalankan tugasnya. Dua hal tersebut sejatinya adalah bentuk kesalahan korporasi, namun jika dicermati lebih dalam, bentuk kesalahan tersebut jika secara aktif dilakukan oleh korporasi sebagai langkah menghentikan tindak pidana maka akan menghapuskan kesalahan dari korporasi.

Langkah korporasi dalam menghentikan perbuatan-perbuatan pidana dapat berupa: korporasi segera melaksanakan langkah-langkah hukum yang wajib untuk menghentikan atau melaporkan perbuatan pidana tersebut; atau korporasi melakukan upaya pencegahan baik secara umum atau khusus, umum dapat berupa membangun kepatuhan hukum personilnya, khusus dapat berupa pencegahan terhadap tindak pidana tertentu dalam korporasi.29 Maka secara tersirat, bentuk kesalahan korporasi dalam PERMA a quo sebenarnya dapat menjadi alasan penghapus pidana bagi korporasi yang telah secara aktif melakukan upaya pencegahan dan pelarangan tindak pidana oleh personil korporasi. Jika dilihat dari segi pengaturannya dalam PERMA, langkah-langkah di atas apabila dilakukan dapat menghapus kesalahan dari korporasi. Secara teori, apabila terdapat sebuah alasan yang dapat menghapuskan kesalahan sipembuat, maka dapat dikatakan hal tersebut merupakan sebuah alasan pemaaf.30 Sehingga perbuatan aktif yang berlawanan dengan Pasal 4 ayat (2) huruf b, serta huruf c PERMA 13/16 menyiratkan dapat menjadi sebuah alasan pemaaf yang merupakan alasan penghapus pidana bagi korporasi. Namun, akibat kekosongan norma yang menyatakan secara tegas bahwa langkah-langkah tersebut adalah termasuk alasan penghapus pidana dalam PERMA 13/16 tersebut, maka juga terjadi kekaburan norma jika langkah-langkah tersebut dapat dianggap sebagai alasan pemaaf bagi korporasi atau tidak.

Penulis mencermati dalam beberapa peraturan dalam ius constitutum Indonesia yang telah penulis sebutkan di atas, tidak dapat ditemukan ketentuan yang secara spesifik menyatakan bahwa terdapat alasan penghapus pidana korporasi. Ketentuan di atas sebagian besar hanya telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidananya, serta mengatur ketentuana persyaratan untuk sebuah korporasi dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Meskipun begitu, terdapat ketentuan dalam PERMA 13/16 yang dapat digunakan sebagai alasan pemaaf bagi korporasi, sayangnya ketentuan tersebut tidak dapat diakui karena belum tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun saat ini. Lalu, bagaimana dengan ius constituendum Indonesia terkait alasan penghapus pidana korporasi?

RKUHP adalah ius constituendum yang merupakan rancangan terhadap pembaharuan KUHP Indonesia. Dalam RKUHP sudah mengakui korporasi menjadi subjek tindak pidana sebagaimana telah diatur pada Pasal 45 RKUHP.31 Pada Pasal 50 RKUHP telah mengatur tentang alasan pembenar bagi korporasi, yang pada intinya menyatakan bahwa, “alasan pembenar yang diajukan oleh pengurus fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat korporasi dapat diajukan pula oleh korporasi sepanjang alasan pembenar tersebut berhubungan secara langsung dengan tindak pidana yang didakwakan kepada korporasi”.32 Secara jelas dapat dilihat

bahwa dalam ius constituendum Indonesia telah mengatur salah satu alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar bagi korporasi, meskipun dalam pengaturannya alasan pembenar tersebut masih menitikberatkan perbuatan dan alasan pembenar kepada sosok subjek hukum manusia yang memiliki hubungan kerja dengan korporasi. Dalam aturan alasan pembenar tersebut jelas terlihat arah pembuat undang-undang untuk menerapkan model pertanggungjawaban korporasi yaitu identification theory dan vicarious liability. Kedua teori ini menganut paham bahwa korporasi dipertanggungjawabkan perbuatan pidananya karena adanya actus reus dari orangorang dalam korporasi, baik perbuatan pidana tersebut diidentifikasi sebagai perbuatan korporasi (identification theory) maupun personil yang berbuat korporasi yang bertanggungjawab (vicarious liability theory).33 Sehingga dapat diartikan perbuatan pidana personil korporasi juga dianggap sebagai perbuatan pidana oleh korporasi, begitupula berlaku terhadap alasan pembenarnya.

Berdasarkan ketentuan peraturan-peraturan di atas, penulis menemukan bahwa dalam ius constitutum Indonesia belum mengatur secara tegas alasan penghapus pidana korporasi baik berupa alasan pembenar serta alasan pemaaf, sedangkan pada ius constituendum Indonesia telah mengatur secara tegas salah satu bentuk alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar bagi korporasi. Meskipun pada ius constitutum yaitu pada Pasal 4 ayat (2) huruf b, serta huruf c PERMA 13/16 terdapat ketentuan yang secara tersirat dapat menjadi alasan pemaaf yang menghapus kesalahan korporasi atas perbuatan personilnya, hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum yang pasti bagi korporasi karena tidak dinyatakan secara tegas sebagai sebuah alasan pemaaf korporasi. Kemudian, alasan pembenar dalam Pasal 50 RKUHP juga belum dapat dijadikan dasar hukum untuk saat ini karena masih belum disahkan menjadi peraturan yang berlaku.

  • 3.2 Urgensi Alasan Penghapus Pidana Korporasi dalam Pertanggungjawaban

    Pidana Korporasi

Masyarakat Sebagaimana telah penulis bahas pada bagian 3.1., pengaturan yang tegas mengenai alasan penghapus pidana korporasi dalam hukum positif Indonesia saat ini masih belum ada pada KUHP (lex generalis) maupun undang-undang di luar KUHP (lex specialis). Kekosongan pengaturan tersebut jelas melanggar asas equality before the law atau persamaan di depan hukum dan asas legalitas, karena korporasi tidak memiliki dasar hukum yang pasti dan kesempatan yang sama untuk membela diri ketika berada di muka pengadilan dalam hal mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya sebagaimana halnya bagi subjek hukum natuurlijk person. Pengaturan alasan penghapus pidana korporasi memiliki urgensi dalam dua aspek yakni: pertama, sebagai asas legalitas terhadap alasan penghapus pidana yang dapat digunakan oleh korporasi dalam proses pertanggungjawaban pidana korporasi di pengadilan; kedua, sebagai kesempatan yang sama bagi korporasi untuk melakukan pembelaan diri seperti halnya subjek hukum perseorangan. Meskipun telah terdapat pengaturan dalam RKUHP bahwa alasan pembenar untuk perseorangan dapat berlaku untuk korporasi, namun status RKUHP belum diundangkan dan tidak dapat menjadi dasar hukum materiil.

Dalam menyelesaikan urgensi pengaturan alasan penghapus pidana korporasi tersebut, perlu diperhatikan mengenai ajaran-ajaran pertanggungjawaban pidana

korporasi. Ajaran-ajaran tersebut merupakan dasar pembenar untuk bisa menjatuhkan beban pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Berikut adalah beberapa ajaran-ajaran tersebut:

  • 1.    Ajaran pertanggungjawaban mutlak (strict liability) memiliki paham bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tanpa harus membuktikan kesalahan pada pelakunya. Sehingga penuntut umum dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan mens rea dari pelaku dan hanya cukup membuktikan actus reus saja.34

  • 2.    Ajaran pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) memiliki paham bahwa beban pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang diperbuat oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dapat diambil contoh, pegawai atau pengurus korporasi yang berbuat, korporasi ikut pula bertanggungjawab.35

  • 3.    Ajaran identifikasi (identification theory) adalah ajaran yang memiliki paham bahwa suatu actus reus personil pengendali atau directing mind korporasi dapat diidentifikasi sebagai actus reus korporasi itu sendiri.36 Namun, hal yang perlu diperhatikan dalam ajaran ini adalah perbuatan yang dilakukan directing mind tersebut harus berupa perbuatan intra vires atau dalam lingkup dan tujuan dari korporasi. Jika, perbuatan tersebut di luar lingkup dan tujuan korporasi (ultra vires) maka ajaran identifikasi tidak berlaku.

  • 4.    Ajaran agregasi (aggregation theory) adalah ajaran yang memiliki paham bahwa semua unsur kesalahan (mens rea) serta perbuatan (actus reus) yang berasal dari sejumlah orang dapat dikombinasi sebagai satu kesalahan dan perbuatan yang disematkan kepada korporasi, sehingga korporasi bisa dibebankan pertanggungjawaban tersebut.37

  • 5.    Ajaran Gabungan oleh Sutan Remy, adalah ajaran yang menggabungkan unsur-unsur yang terdapat dalam ajaran-ajaran di atas menjadi satu. Pokok ajaran ini adalah bahwa suatu korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana apabila telah memenuhi beberapa unsur, yaitu: perbuatan yang dilakukan harus merupakan tindak pidana (baik komisi maupun omisi); actus reus dilakukan sendiri atau diperintahkan directing mind korporasi; mens rea ada pada directing mind; tindak pidana tersebut patut memberi keuntungan kepada korporasi; perbuatan pidana dilaksanakan dengan menggunakan korporasi dan menggunakan faktor atau unsur milik korporasi; tindak pidana tersebut adalah intra vires; perbuatan pidana yang diperbuat directing mind korporasi dibuat oleh personel pengendali tersebut dalam rangka pemenuhan tugas dan wewenang jabatan; jika actus reus yang tidak dilaksanakan sendiri oleh pengurus pengendali melainkan oleh pihak-pihak lain harus didasarkan perintah ataupun pemberian kuasa atau disetujui oleh personel

pengendali; personil pengendali korporasi harus terbukti tidak mempunyai alasan-alasan pemaaf ataupun alasan pembenar; terhadap perbuatan pidana yang mengwajibkan terdapatnya unsur actus reus dan mens rea, unsur-unsur tersebut tidak perlu terdapat pada seorang saja namun dapat dimiliki oleh beberapa orang yang terpisah.38

Ajaran-ajaran di atas merupakan dasar mulai bergesernya paradigma bahwa hanya manusialah yang bisa dijadikan subjek hukum pidana dan dibebani pertanggungjawaban pidana menuju pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Ajaran tersebut membantu unsur aparat penegak hukum untuk dapat menentukan siapa yang dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana ketika ada keterlibatan korporasi di dalamnya. Beberapa ahli di Indonesia telah mengemukakan sistem pemidanaan terhadap korporasi. Mardjono Reksodipuro berpendapat bahwa terdapat tiga sistem pemidanaan terhadap korporasi, antara lain:39

  • 1.    Pihak yang mengurus korporasi yang bertindak menjadi pelaku, sekalihus pihak tersebut pula yang bertanggungjawab;

  • 2.    Korporasi yang menjadi pembuat tindak pidana, namun pihak yang mengurus sebagai pihak bertanggungjawab;

  • 3.    Korporasi yang menjadi pelaku serta bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan.

Pendapat di atas menunjukkan bahwa terdapat perbuatan pidana yang dilaksanakan oleh dan untuk korporasi, dalam menuntut dan pemidanaannya dilakukan penjatuhan kepada korporasi saja, korporasi serta pengurus, ataupun hanya pengurusnya.40 Pendapat dari Mardjono Reksodipuro di atas dapat dijumpai dalam rumusan beberapa peraturan perundang-undangan seperti dalam UU TPPU, dan juga pada Pasal 48 RKUHP. Pasal 48 RKUHP sebagaimana sistem menurut Mardjono di atas juga menganut sistem pertanggungjawaban pidana yang penuntutannya dapat dijatuhkan beban terhadap: korporasi sendiri; pengurus sendiri; serta korporasi sekaligus pengurus.

Berlainan dengan pendapat di atas, Sutan Remy mengemukakan pendapat bahwa sistem pemidanaan korporasi hanya ada dua, yaitu:41

  • 1.    Pengurus korporasi (personil pengendali korporasi) saja yang bertanggungjawab atas perbuatan pidana, namun tidak untuk korporasi, karena korporasi tidak memiliki keterlibatan dalam perbuatan pidana dan tidak memenuhi Ajaran Gabungan;

  • 2.    Pengurus maupun korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana karena telah memenuhi semua unsur dalam Ajaran Gabungan.

Kedua sistem ini sama-sama mendalilkan, bahwa pengurus korporasi dapat bertindak sebagai pelaku dan dapat bertanggungjawab atas tindakannya tanpa perlu dibebankan kepada korporasi. Sedangkan, perbedaan yang terlihat dari pendapat Sutan Remy

adalah tidak adanya sistem korporasi yang berbuat perbuatan pidana dan korporasi saja yang dimintakan tanggungjawab atas perbuatan pidana. Unsur perbuatan dari pengurus korporasi masih terlihat kental dalam dua sistem yang dikemukakan oleh Sutan Remy, sedangkan dalam sistem Mardjono Reksodipuro kental unsur perbuatan korporasi. Hal ini disebabkan ajaran pertanggungjawaban yang mendasari sistem Sutan Remy tersebut adalah Ajaran Gabungan, dimana pokok ajaran yaitu actus reus juga mens rea suatu korporasi ditentukan dari directing mind koperasi tersebut. Jika kedua unsur pada directing mind korporasi terbukti bersalah maka pertanggungjawaban pidana dapat pula dikenakan kepada korporasi. Namun, pada sistem pertama milik Mardjono dan Sutan Remy terdapat pernyataan bahwa ada kemungkinan pengurus korporasi saja yang bertanggungjawab sedangkan korporasi tidak, karena korporasi tidak terlibat dalam tindak pidana dan tidak memenuhi ajaran Gabungan (sistem Sutan Remy) tersebut. Timbul pertanyaan, kapan suatu korporasi dikatakan tidak terlibat tindak pidana sedangkan actus reus serta mens rea pengendali korporasi terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai ajaran Gabungan milik Sutan Remy untuk menemukan unsur yang kiranya dapat menjadi dasar pembenar korporasi dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pengurus pengendalinya. Jika ditelusuri kembali penjelasan mengenai ajaran Gabungan yang telah penulis jabarkan sebelumnya, maka terdapat unsur-unsur yang mampu menjadi dasar pembebas bagi korporasi atas pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pengurus pengendalinya. Unsur-unsur tersebut antara lain:42

  • a.    Tindak pidana a quo harus memberikan keuntungan atau manfaat kepada korporasi, atau dilaksanakan dengan menggunakan korporasi dengan terlibatnya unsur yang berkaitan terhadap korporasi seperti dibiayai oleh korporasi;

  • b.    Tindak pidana a quo bersifat intra vires yaitu dilaksankan pada ruang lingkup maksud serta tujuan dari korporasi, seperti telah diatur pada Anggaran Dasar milik korporasi;

  • c.    Tindakan pidana yang dilaksankan personil pengendali dari korporasi harus dilaksanakan dalam pemenuhan tugas serta wewenang jabatan personil pengendali sesuai dengan Anggaran Dasar korporasi ataupun surat resmi yang berkaitan dengan jabatannya.

Berdasarkan tiga unsur di atas dan dua sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di atas, maka dapat dinilai ketika perbuatan pidana yang dilaksanakan oleh personel pengendali tersebut tidak memenuhi tiga unsur tersebut maka pertanggungjawaban pidana dapat dibebaskan dari korporasi. Keadaan tersebut sejalan dengan isi Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 tentang syarat kesalahan korporasi. Sehingga, dapat pula dikatakan bahwa dalam hal syarat-syarat kesalahan korporasi pada Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 tidak terpenuhi, hal tersebut dapat menjadi suatu alasan penghapus pidana bagi korporasi sebagai penghapusan unsur kesalahan bagi korporasi yaitu sebagai alasan pemaaf. Namun, kembali pada asas legalitas bahwa Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 tidak diatur secara spesifik sebagai sebuah alasan penghapus pidana

bagi korporasi dan sifat PERMA hanya mengikat untuk hakim. Sehingga, korporasi dalam hal melakukan tindak pidana tidak dapat menggunakan isi aturan PERMA a quo untuk melakukan pembuktian terbalik bahwa korporasi tidak bersalah.

Sistem pemidanaan di atas jika dihubungkan dengan ajaran pertanggungjawaban seperti vicarious liability dan identification theory, terdapat ketidakpastian hukum bagi korporasi. Dua ajaran tersebut otomatis membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi ketika personel pengendali telah terbukti melakukan perbuatan pidana. Namun, ketika personel pengendali tidak terbukti melakukan perbuatan pidana dengan adanya alasan-alasan pembenar yang dimiliki personel pengendali tersebut, lantas bagaimana nasib korporasi, apakah dapat mengajukan pembelaan dengan alasan pembenar yang sama seperti personel pengendalinya? Hal tersebut sebagaimana telah penulis bahas pada bagian 3.1., bahwa pada Pasal 50 RKUHP alasan pembenar yang diajukan personel pengendali korporasi dapat diajukan pula oleh korporasi. Sayangnya, aturan tersebut masih dalam tahap perancangan sehingga penerapannya untuk korporasi belum memiliki asas legalitas.

Skenario hukum menarik akan terjadi ketika personel pengendali korporasi ternyata terbukti bersalah melakukan tindak pidana, jika mengacu pada teori vicarious liability dan identification theory maka secara otomatis pertanggungjawaban pidana dapat dilimpahkan kepada korporasi. Namun, bagaimana jika dalam skenario tadi korporasi dari personel pengendali tersebut tidak memenuhi syarat-syarat kesalahan pada Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16? Dengan tidak adanya pengaturan secara tegas mengenai alasan penghapus pidana bagi korporasi yaitu alasan pembenar serta alasan pemaaf, maka korporasi tidak dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya, ketika personel pengendalinya sudah terbukti bersalah. Dalam permasalahan tersebut, sebenarnya dapat diselesaikan dengan mengatur alasan penghapus pidana bagi korporasi pada peraturan perundang-undangan baik pada KUHP sebagai lex generalis atau pada peraturan perundang-undangan luar KUHP yang merupakan lex specialis. Subjek hukum bisa dipidana, ketika telah terpenuhi syarat-syarat tertentu salah satu syarat tersebut adalah tidak adanya alasan penghapus pidana. Ketika unsur perbuatan pidana dan niat jahat telah terbukti dan telah memenuhi rumusan dalam undang-undang, maka unsur terakhir yang harus dipertimbangkan adalah ada atau tidaknya alasan penghapus pidana.

Berdasarkan asas equality before the law, maka sudah seharusnya alasan penghapus pidana juga dimiliki tidak hanya oleh subjek hukum pidana manusia melainkan juga korporasi. Jika dilihat perbandingan pada hukum Belanda, korporasi dapat mengajukan pembelaan berdasarkan alasan penghapus pidana yang juga dimiliki oleh subjek hukum manusia, kecuali alasan kejiwaan sebagaimana diatur dalam hukum pidana Belanda.43 Sehingga dalam peraturan perundang-undangan Indonesia seharusnya dengan segera memasukan aturan secara tegas perihal alasan pemaaf maupun alasan pembenar untuk korporasi agar terdapat kepastian hukum dalam aspek alasan penghapus pidana dalam pertanggungjawaban korporasi. Sebagai alasan pembenar korporasi dapat diterapkan aturan yang mengadopsi aturan pada Pasal 50 RKUHP dalam hal korporasi dipandang sebagai kumpulan manusia sesuai teori

vicarious liability dan identification theory. Dalam hal korporasi dipandang sebagai korporasi itu sendiri maka dalam pertanggungjawaban pidananya dapat melihat syarat-syarat kesalahan pada Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 untuk nantinya dilihat apakah korporasi bersalah atau tidak. Ketika korporasi tidak memenuhi syarat kesalahan tersebut, maka tidak terpenuhinya syarat-syarat kesalahan pada Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 dapat diatur sendiri sebagai sebuah norma alasan penghapus pidana pada sebuah undang-undang agar dapat mengikat semua orang.

  • IV. Kesimpulan

Alasan penghapus pidana sampai saat ini belum mengatur alasan penghapus pidana yang secara tegas diperuntukkan untuk subjek hukum pidana korporasi, dan hanya terdapat syarat kesalahan korporasi pada Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16. Sedangkan, pada ius constituendum yaitu RKUHP telah mengatur alasan pembenar bagi korporasi pada Pasal 50 RKUHP yang belum dapat dijadikan dasar hukum alasan penghapus pidana korporasi. Urgensi pengaturan alasan penghapus pidana korporasi adalah sebagai asas legalitas terhadap alasan penghapus pidana yang dapat digunakan oleh korporasi dalam proses pertanggungjawaban pidananya, dan sebagai kesamaan kesempatan bagi korporasi untuk melakukan pembelaan hukum di pengadilan sebagaimana halnya bagi pelaku perseorangan. Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi dipandang melalui teori vicarious liability dan identification theory, maka ketika personel pengendali korporasi melakukan tindak pidana dan memiliki alasan penghapus pidana pada dirinya, alasan penghapus pidana tersebut dapat digunakan korporasi yang nantinya akan diatur melalui Pasal 50 RKUHP. Untuk korporasi dipandang sebagai korporasi dalam melakukan tindak pidana, ketika korporasi tidak memenuhi syarat kesalahan pada Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16 maka korporasi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Namun, aturan PERMA tersebut hanya sebatas sebagai penilaian hakim, sehingga tidak memiliki asas legalitas sebagai sebuah alasan penghapus pidana korporasi. Hukum Belanda telah mengatur secara tegas bahwa alasan penghapus pidana yang diajukan oleh subjek hukum manusia dapat pula diajukan oleh korporasi. Sehingga, sebaiknya aturan mengenai alasan penghapus pidana korporasi yaitu alasan pembenar dan juga alasan pemaaf dapat segera diatur melalui undang-undang dan memperhatikan isi Pasal 50 RKUHP dan Pasal 4 ayat (2) PERMA 13/16.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang,

Bayumedia, 2008).

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta, Rineka Cipta, 2015).

Sjahdeini, Sutan Remy. Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Seluk-

Beluknya (Jakarta, Kencana, 2017).

Jurnal Ilmiah:

Anjani, Warih. “Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana.” Jurnal Ilmiah WIDYA Yustisia 1, No.2 (2016).

Ardina, Narindri Intan. “Tindakan Perawat Dalam Keadaan Keterbatasan Tertentu Sebagai Alasan Penghapus Pidana”. Jurnal Jurist-Diction 2, No.1 (2019).

Disemadi, Hari Sutra dan Jaya, Nyoman Serikat Putra. “Perkembangan Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana di Indonesia.” Jurnal Hukum Media Bhakti 3, No.2 (2019).

Keulen, B.F. and Gritter, E. “Corporate Criminal Liability in the Netherlands”. Electronic Journal of Comparative Law 14.3 (2010).

Makanoneng, Doddy. “Cacat Kejiwaan Sebagai Alasan Penghapus Pidana”. Jurnal Lex Crimen 5, No.4 (2016).

Nugraha, Budi. “Kebijakan Formulasi Alasan Penghapus Pidana dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.” Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro (2004).

Puspitasari, Ikka dan Devintawati, Erdiana. “Urgensi Pengaturan Kejahatan Korporasi Dalam Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Menurut RKUHP”. Jurnal Kanun 20, No.2 (2018).

Ratomi, Achmad. “Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Suatu Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Menghadapi Arus Globalisasi dan Industri)”. Jurnal Al-Adl 10, No.1 (2018).

Saputra, Rony. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Bentuk Tindak Pidana Korupsi Yang Merugikan Keuangan Negara Terutama Terkait Dengan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK)”. Jurnal Cita Hukum 3, No.2 (2015).

Siswanto, Heni. “Pembangunan Penegakan Hukum Pidana yang Mengefektifkan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korporasi.” FIAT JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum 9, No.1 (2015).

Suhariyanto, Budi. “Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 Dalam Mengatasi Kendala Penanggulangan Tindak Pidana Korporasi”. Jurnal NEGARA HUKUM 9, No.1 (2018).

Zanuardi, Doffi; Navianto, Ismail; Istiqomah, Milda. “Alasan Penghapus Pidana Bagi Korban Yang Melakukan Tindak Pidana Karena Dipaksa Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.” Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum (2015).

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi

Internet:

Rancangan Undang-Undang 2019 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana September

2019,                       HukumOnline.com,                       URL:

https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17797/nprt/481/rancanga n-undang-undang-2019#! diakses pada 10 Juli 2020.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 7 Tahun 2021, hlm.494-510

510