GRATIFIKASI SEKSUAL SEBAGAI BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI

Clement Hoposdo Ompusunggu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected],

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini bertujuan untuk dapat mengetahui apakah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan mengetahui teknik pembuktian kesalahan penerima hadiah kesenangan berupa layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dipakai merupakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual karena menggunakan pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Berpedoman pada penjelasan pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kata “fasilitas lainnya” dapat diartikan secara luas, sehingga layanan seksual dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Namun demikian, harus pula memenuhi unsur-unsur Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Teknik/cara untuk membuktikan kesalahan penerima gratifikasi seksual adalah dengan membuktikan terpenuhi atau tidaknya keseluruhan unsur-unsur Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik berimbang, yang mana baik jaksa maupun terdakwa dibebani pembuktian tentang benar atau tidak gratifikasi seksual telah diberikan/ disediakan, benar atau tidak terdakwa yang telah menerima, benar atau tidak gratifikasi seksual tersebut adalah gratifikasi sesuai yang dimaksud Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, benar atau tidak gratifikasi seksual yang diterima tersebut berhubungan dengan jabatannya/berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Adapun alat- alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan penerima gratifikasi seksual adalah alat-alat bukti yang secara limitatif diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa dan alat-alat bukti petunjuk yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Kata Kunci: Gratifikasi, Seksual, Tindak Pidana Korupsi.

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze whether civil servants or state administrators who receive gifts in the form of sexual services can be categorized as a crime of gratification and to know the technique of proving wrongdoing in the form of sexual services as a crime of gratification. This study uses normative legal research methods. The approach used is a statutory approach and a conceptual approach because it uses the views of scholars or legal doctrines. The results of this study indicate that based on the explanation of article 12 B of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption, the word "other facilities" can be interpreted broadly, so that sexual services can be categorized as gratification. However, it must also comply with the elements of Article 12 B of Law No. 20 of 2001. The technique / method to prove the wrongdoing of a recipient of sexual gratification is to prove whether or not all the elements of Article 12 B of Law No. 20 of 2001 by using an inversely balanced proof system, in which both the prosecutor and the defendant are burdened with proving whether or not sexual gratification has been given / provided, whether or not the accused who has accepted, is true or not sexual gratification is

gratification. as referred to in Article 12 B of Law No. 20 of 2001, whether or not the sexual gratuities received are related to their position / contrary to their obligations and duties. Evidence that can be used to prove the mistake of a recipient of sexual gratification is evidence which is limitatively regulated in the provisions of Article 184 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code, namely witness statements, expert statements, letters, instructions, statements of the accused and tools. evidence of guidance as stipulated in the Corruption Crime Law.

Keywords: Gratification, Sexual, Corruption Crime.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar belakang

Korupsi merupakan tindak pidana yang sangat serius sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena dampak yang ditimbulkannya tidak hanya merugikan keuangan Negara, menganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan nilai-nilai kepastian hukum, keadilan, etika, demokrasi, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.1

Istilah “gratifikasi” menjadi bagian yang baru dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu tindak pidana korupsi yang sering dilakukan adalah gratifkasi dan gratifikasi yang belakangan banyak berkembang adalah gratifikasi seksual. Pemberian yang bertujuan untuk sebagai ungkapan rasa terimakasih dan kasih sayang saja tentunya tidaklah dilarang, akan tetapi apabila perbuatan memberikan hadiah tersebut dilakukan dengan tujuan dan maksud tertentu seperti untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian tersebut tidaklah dibenarkan karena dilandasi oleh keinginan dan iktikad tidak baik dalam hal ini untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya.2

Mengenai tindak pidana gratfikasi tercantum dalam Pasal 12 huruf b Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi berbunyi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Kegiatan memberikan sesuatu kepada orang lain dalam bentuk apapun merupakan tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri kegiatan ini sudah lumrah terjadi dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sosial, dimana pemberian hadiah ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah memberikan bantuan. Kegiatan memberikan “sesuatu” kepada pejabat dan penyelenggara negara yang dilatarbelakangi maksud-maksud tertentu apabila tidak dicegah dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, apapun bentuk dan berapapun nilai

gratifikasi yang diterima seorang penyelenggara Negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/ kewenangan yang dimiliki, maka haruslah ditindak secara tegas.3

Gratifikasi menjadi unsur penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada penyelenggara negara, pegawai negeri dan masyarakat, seperti apa yang dimaksud dengan gratifikasi dan apakah gratifikasi sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat ataukah setiap gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, lalu bagaimana saja bentuk gratifikasi yang dilarang maupun yang diperbolehkan. Semua itu merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sering dijumpai dalam setiap persoalan menyangkut gratifikasi.

Pengaturan tindak pidana gratifikasi dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tercantum dalam Pasal 12 B yang berbunyi:

  • 1.    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

  • a.    Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

  • b.    Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

  • 2.    Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).4

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Sebagai contoh kasus yang belum lama ini sehingga muncul istilah “gratifikasi seks” yang dianggap sebagai bagian dari rangkaian tindak pidana korupsi adalah dugaan yang menjerat Ahamad Fathonah selaku orang terdekat presiden PKS Lutfhi Hasan Ishak, pada saat di laksanakannya Operasi Tangkap Tangan oleh KPK tertangkap basah tengah berduaan di dalam kamar hotel Le Meriden dengan mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta bernama Mariana Suciono (19) dan ditemukan uang sebagai imbalan sebesar Rp 10.000.000,-sebagai escort lady. Dalam

kasus demikian ini masih sulit diidentifikasi karena masih lemahnya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi mengenai gratifikasi seks. Kasus serupa juga diduga menyandung hakim Styabudi Tejocahyono, hal itu terungkap setelah adanya pemeriksaan terhadap pengusaha Toko Hutagalung selaku pemberi suap. Toto menuturkan bahwa hakim Styabudi meminta jatah wanita setiap hari kamis atau jumat.5

Berkaitan dengan hal diatas, penulis ingin mengkaji melalui tulisan dengan judul “GRATIFIKASI SEKSUAL SEBAGAI BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI.” Sebelumnya terdapat 2 penelitian yang berjudul “PENYUAPAN SEBAGAI BENTUK GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI” yang ditulis oleh I Gusti Agung Satria Wedantha dan “GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI” yang ditulis oleh Ida Ayu Dwi Wirautami. Penelitian pertama hanya menjabarkan mengenai gratifikasi yang dapat tergolong tindak pidana korupsi suap dan pencegahan gratifikasi agar tidak tergolong tindak pidana korupsi suap dan penelitian kedua menjabarkan bagaimana sebaiknya gratifikasi seksual diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, sedangkan penulis disini mengkaji apakah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan bagaimanakah sistem pembuktian dalam tindak pidana gratifikasi layanan seksual.

Oleh karena itu terkait permasalahan yang telah dipaparkan diatas, penulis merasakan bahwa penelitian yang berjudul “Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi,” urgent dan menarik untuk diteliti. Mengingat yang tertuang dalam paparan di atas makin memperkuat ide untuk segera disusunnya draft peraturan perundang-undangan tentang pembetantasan tindak pidana gratifikasi seksual yang melibatkan beberapa pejabat atau penyelanggara negara, sedangkan di sisi lain, adapula yang berpendapat masih perlunya kajian mendalam mengenai perbedaan secara teoritis antara tindak pidana suap dengan tindak pidana gratifikasi seksual dari berbagai aspek, apabila perbedaan tersebut di atur dengan instrumen perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang baik tentunya hanya akan dapat diberlakukan apabila dilandasi dengan Naskah Akademik yang memadai sebagai landasan untuk menjustifikasi peraturan perundang-undangan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi?

  • 2.    Bagaimanakah sistem pembuktian dalam tindak pidana gratifikasi layanan seksual?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi sekaligus mengkaji terkait pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi, dan sistem pembuktian tindak pidana gratifikasi layanan seksual.

  • II.    Metode Penelitian

Metode dalam penelitian jurnal ilmiah ini menggunakan metode kepustakaan atau sering disebut dengan metode penelitian normative, yaitu menelaah peraturan yang terkait dengan pokok bahasan sesuai dengan yang disampaikan. Melalui 2 pendekatan yaitu: Pertama, pendekatan secara konseptual yang merujuk pada konsep, pendapat dan pandangan para ahli ilmu hukum (doktrin) terkait permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini, dan yang Kedua, pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah beberapa peraturan peraturan perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas seperti UUD NRI 1945, KUHP, UU HAM dan UU Tipikor. Pengumpulan bahan dilakukan dengan metode studi pustaka yaitu dengan membaca dan menganalisis, kemudian mengutip bahan-bahan dari beberapa jurnal ilmiah, buku ataupun literatur lain yang berkaitan dengan bahasan disertai oleh pengolahan bahan secara metode analisis deskriptif yaitu dengan cara menguraikan fenomena atau peristiwa hukum yang dirasakan oleh masyarakat sendiri. Serta beberapa perundang-undangan lainnya yang dijadikan bahan dalam hukum primer adalah UUD NRI 1945, UU TIPIKOR sampai dengan perubahannya, dan UU HAM. Tidak hanya itu beberapa bahan hukum sekunder yang digunakan juga meliputi jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan rumusan masalah, buku-buku maupun literatur yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan sebagai penunjang dalam penulisan junal ilmiah ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Pegawai Negeri Atau Penyelenggara Negara Yang Menerima Hadiah Berupa Layanan Seksual Dapat Dikategorikan Sebagai Tindak Pidana Gratifikasi

  • 1)    Pengaturan Gratifikasi sebagai Salah Satu Tindak Pidana Korupsi.

  • A.    Pengertian gratifikasi

Penjelasan pada Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

  • B.    Pengaturan Tindak Pidana Gratifikasi

  • a.    Landasan Filosofis

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa maksud diadakannya penyisipan pasal 12 B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menghilangkan rasa ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.

  • b.    Landasan Sosiologis

Pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat / pegawai negeri dengan sipemberi. Melihat kondisi tersebut yang nyata dalam masyarakat, dan telah menjadi masalah sosial, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, dipandang perlu diatur mengenai gratifikasi tersebut. Di mana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pengaturan mengenai gratifikasi belum ada.

  • c.    Landasan Yuridis

Salah satu hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan Pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B dan Pasal 12 C. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk pertama kali diperkenalkan satu tindak pidana korupsi yang baru yang sebelumnya sudah ada terselip dalam pasal-pasal tindak pidana korupsi suap yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tapi tidak ada disebutkan dengan rinci dan jelas.

  • C.    Kategori Gratifikasi.

  • a.    Gratifikasi yang Dianggap Suap.

Gratifikasi yang diterima Pegawai Negeri Sipil atau penyelengara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

  • b.    Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap

Gratifikasi yang diterima Pegawai Negeri Sipil atau penyelengara negara yang tidak berhubungan dengan jabatannya dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Gratifikasi yang tidak dianggap suap dapat dibagi menjadi 2 (dua) sub kategori yaitu:

  • a)    Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Terkait dengan Kedinasan

  • b)    Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak Terkait dengan Kedinasan

  • 2)    Layanan seksual sebagai bentuk gratifikasi

  • A.    Penafsiran Ekstensif

Metode penafsiran pertama yang dapat diterapkan oleh aparat penegak hukum dalam mengatasi kasus gratifikasi seksual adalah metode penafsiran ekstensif atau menafsirkan dengan memperluas makna teks undang-undang tersebut. Dalam menafsirkan Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, aparat penegak hukum dapat memperluas arti kata dalam undang-undang tersebut. Penjelasan Pasal 12 B yang menggambarkan pengertian dari gratifikasi menyatakan bahwa; “yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,

perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik.”6

Apabila diperhatikan dalam rumusan penjelasan Pasal 12 B tersebut pengertian gratifikasi hanya terletak dalam kalimat ”yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas.” Sedangkan kalimat berikutnya menjelaskan tentang bentuk-bentuk pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Rumusan penjelasan Pasal 12 B yang dapat diperluas maknanya agar dapat menyentuh makna pemberian dalam bentuk jasa pelayanan seksual yaitu kata “dan fasilitas lainnya”. Kata fasilitas itu sendiri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi kemudahan.

Dengan definisi yang demikian “fasilitas lainnya” disini apabila diartikan secara luas yaitu sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memperlancar atau mempermudah dalam mencapai sebuah maksud atau tujuan. Memperhatikan hal tersebut maka pelayanan seksual yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud dan tujuan sebagai hadiah untuk memperlancar dan mempermudah suatu hal tertentu dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk gratifikasi yang dimaksudkan dalam Pasal 12 B.

Sebagai pengecualian dalam hukum pidana, ada dua pandangan mengenai interpretasi ekstensif yaitu pihak yang menganggap antara interpretasi ekstensif dengan analogi tidak ada perbedaan, maka dari itu interpretasi ekstensif juga dilarang digunakan untuk perkara pidana karena melanggar asas legalitas. Pihak lain menganggap antara dua interpretasi dimaksud berbeda, maka dari itu penggunaan interpretasi ekstensif ini dalam perkara pidana tidaklah dilarang.

  • B.    Penafsiran Historis

Metode penafsiran kedua yang dapat digunakan aparat penegak hukum dalam menangani kasus gratifikasi seksual adalah dengan menggunakan metode penafsiran historis yaitu dengan cara menafsirkan suatu norma atau unsur norma dalam suatu peraturan perundang-undangan, yang didasarkan pada sejarah ketika peraturan perundang-undangan itu disusun, dibicarakan di tingkat badan-badan pembentuk peraturan perundang-undangan.

Menafsirkan gratifikasi seksual dengan menggunakan metode penafsiran historis, penegak hukum harus meneliti makna ketentuan undang-undang ini dengan meneliti sejarah baik itu sejarah dibentuknya undang-undang ini. Sebelum dibentuk dan berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah beberapa kali dibentuk dan diberlakukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Formulasi peraturan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami proses yang panjang, sudah beberapa kali peraturan ini diubah, dicabut, bahkan diganti. Hal ini dapat dimengerti karena di satu pihak perkembangan masyarakat demikian cepat dan modus operandi tindak pidana korupsi makin canggih dan variatif sedangkan di

pihak lain perkembangan hukum (law in book) relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat.7

Waktu seluruh Negara Republik Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang atas dasar Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No prt/peperpu/013/1958 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang pusat/Kepala Staf Angkatan laut tanggal 17 April 1958 Nomor prt/Z/I/7.13 Oleh karena peraturan penguasa perang pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, maka pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa peraturan penguasa perang pusat yang dimaksud perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-Undang. Dengan adanya keadaan yang mendesak dan perlunya diatur dengan segera tindak pidana korupsi, maka atas dasar Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950, penggantian peraturan penguasa perang pusat tersebut ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yaitu dengan Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam penerapannya ternyata Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan sehingga terpaksa diganti lagi dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah lebih dari dua dasawarsa berlaku, ternyata Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, apalagi dengan terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan penyelenggara negara dengan pengusaha.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kemudian MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu menetapkan Tap MPR No. XI/ MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.8

Atas dasar TAP MPR No XI /MPR/1998 ini, kemudian ditetapkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 1999, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 140. Adapun Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, kemudian diadakan perubahan terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tersebut dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 134 yang mulai berlaku tanggal 21 November 2001.

  • C.    Penafsiran Komparatif

Metode penafsiran yang ketiga yaitu dengan menggunakan metode penafsiran komparatif. Aparat penegak hukum dalam menafsirkan gratifikasi seksual ke dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan perbandingan dengan sistem hukum negara lain yang telah menjatuhkan hukuman bagi para pelaku gratifikasi seksual. Dalam memperluas makna gratifikasi tersebut hakim berpatokan pada kalimat “dalam bentuk apapun, baik bergerak atau tidak”. Sehingga gratifikasi seksual dapat dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi.

Selain itu hakim berlandaskan kepada sistem hukum common law yang dianut oleh Singapura. Common law adalah sistem hukum yang bersumber pada kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi dalam memecahkan suatu masalah atau kasus-kasus tertentu bersumber dari hukum tidak tertulis yang kemudian dikembangkan dan di unifikasi dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent.

Penegak hukum di Indonesia dapat melakukan penafsiran komparatif dengan membandingkan sistem hukum di Indonesia dengan sistem hukum yang diterapkan di Singapura yang telah berhasil menjerat pelaku gratifikasi seksual. Penafsiran ini bertujuan agar aparat penegak hukum mendapatkan jawaban yang tepat mengenai langkah apa yang mesti diambil untuk mencegah dan memberantas tindak pidana gratifikasi seksual.9

Jadi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi apabila diperhatikan dalam rumusan penjelasan pasal 12 B yang dapat diperluas maknanya agar dapat menyentuh makna pemberian dalam bentuk jasa pelayanan seksual yaitu kata “dan fasilitas lainnya” disini apabila diartikan secara luas yaitu sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memperlancar atau mempermudah dalam mencapai sebuah maksud dan tujuan.

  • 3.2.    Sistem Pembuktian Dalam Tindak Pidana Gratifikasi Layanan Seksual.

  • 1)    Sistem Pembuktian dalam Hukum Pidana

Dalam rangka menerapkan pembuktian, hakim lalu bertolak pada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadili. Maka berdasarkan sistem pembuktian pada umumnya dikenal ada tiga teori sistem pembuktian, yakni:10

  • a.    Sistem Pembuktian Menurut Undang- Undang Secara Positif (Postief Wettelijke Bewijs Theorie).

Sistem pembuktian menurut undang- undang secara positif tergantung pada alat- alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Konkret nya,

Undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakan nya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.

  • b.    Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim.

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Conviction Intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk yaitu Conviction Intime dan Conviction Raisonce.

  • c.    Sistem Pembuktian Menurut Undang- Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).

Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan di dukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

Setelah mendapatkan gambaran tentang bagaimana sistem pembuktian pada umum- nya maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi sebagai berikut:11

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

  • 2)    Sistem Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya, sistem pembuktiannya sama dengan memberlakukan pasal 183, khususnya bagi hakim dalam alat-alat bukti. Standar yang harus diturut untuk menyatakan terbukti nya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan pasal 183. Ini merupakan ketentuan asas pokok atau fondasi hukum pembuktian acara pidana, yang tidak dengan mudah di simpangi oleh hukum pembuktian acara pidana khusus. Jadi, sungguh berbeda dengan apa yang sering didengar, bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik. Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian terbalik.

Di dalam sistem pembebanan pembuktian yang khusus dan lain dari hukum pembuktian umum, di samping membuat ketentuan pihak mana (jaksa penuntut umum atau terdakwa) yang dibebani untuk membuktikan, memuat pula berbagai ketentuan, antara lain:

  • a.    Tentang tindak pidana atau dalam hal mana berlakunya beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau penasihat hukum atau keduanya. Misalnya, beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau terdakwa dalam hal korupsi suap menerima gratifikasi, jika nilainya Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) atau lebih ada pada terdakwa, dan bila kurang Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) beban pembuktian ada pada jaksa penuntut umum (Pasal 12 B).

  • b.    Tentang kepentingan apa beban itu diberikan pada satu pihak. Seperti pada sistem terbalik, untuk membuktikan mengenai harta benda yang belum didakwakan, terdakwa wajib membuktikan bukan hasil korupsi, ditujukan untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana perampasan barang terhadap harta yang belum didakwakan (Pasal 38 B). Berhasil atau tidaknya bergantung kepada terdakwa membuktikan tentang sumber harta benda yang belum didakwakan tersebut.

  • c.    Walaupun hanya sedikit, hukum pembuktian khusus korupsi juga memuat tentang cara membuktikan. Seperti pada sistem pembuktian semi terbalik mengenai harta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara korupsi yang didakwakan. Dilakukan terdakwa dengan cara terdakwa membuktikan bahwa kenyataannya, kekayaan istri atau suami atau anaknya sesuai dengan sumber penghasilannya atau sumber tambahan kekayaan itu (Pasal 37 A ayat 2). Atau dalam hal terdakwa membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah bukan hasil korupsi dilakukan dalam pembelaannya (Pasal 38 B ayat 4).

  • d.    Tentang akibat hukum dari apa yang diperoleh dari hasil pembuktian pihak-pihak yang dibebani pembuktian. Seperti hakim akan menyatakan dakwaan sebagai tidak terbukti, dalam hal terdakwa dapat membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 37 ayat 2). Tentu diikuti dengan amar pembebasan (vrijspraak) terdakwa. Atau dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang belum didakwakan bukan hasil korupsi, akibat hukumnya harta benda tersebut dianggap hasil korupsi dan hakim akan memutus barang tersebut dirampas untuk negara (Pasal 38 ayat 2).

Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37 , Pasal 37 A, Pasal 38 B, yang mana menurut ketentuan pasal-pasal tersebut, terdapat tiga sistem pembuktian dalam perkara korupsi yaitu Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie), sistem pembebanan pembuktian terbalik dan sistem pembebanan pembuktian semi terbalik.

  • 3)    Alat-Alat Bukti dalam Hukum Pidana

  • a.    Keterangan saksi

Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana. Sedangkan keteran saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).

  • b.    Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara

pidana guna kepentingan pemeriksaan (pasal 1 angka 28). Berdasarkan pasal ini bahwa ada 2 syarat dari keterangan ahli, ialah:12

  • 1)    Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya.

  • 2)    Bahwa yang diterangkan mengenai keahlian itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang diperiksa.

  • c.    Surat

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergu- nakan sebagai pembuktian. Dengan demiki- an maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

  • d.    Petunjuk

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, petunjuk merupakan gradasi keempat sebagai alat bukti. Esensi alat bukti petunjuk ini diatur ketentuan pasal 188 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  • 1)    Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu gan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

  • 2)    Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diperoleh dari: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

  • 3)    Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap ke- adaan tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecer- matan dan kesamaan berdasarkan hati nuraninya.

Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektifitasnya hakim lebih dominan. Apabila kita membaca dengan teliti mengenai rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam pasal 188 ayat (1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah:13

  • 1)    Unsur pertama, adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;

  • 2)    Unsur kedua, ada dua persesuaian, Ialah bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu dengan yang lain, maupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian, dan atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan.

  • 3)    Unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan (menjadi suatu tanda) dan menunjukkan adanya 2 (dua) hal in casu kejadian,

ialah menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan menunjukkan siapa pembuatnya.

  • 4)    Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 alat bukti, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

  • e. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa (erkentenis) merupakan gradasi kelima dari ketentuan pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP. Apabila diperbandingkan dari segi terminologinya, dengan pengakuan terdakwa (bekentennis) sebagaimana ketentuan pasal 295 sebagaimana diubah dengan pasal 367 HIR, istilah keterangan terdakwa (pasal 184 sebagaimana diubah dengan pasal 189 KUHAP) tampaknya lebih luas maknanya dari pada pengakuan terdakwa karena aspek ini mengandung makna daripada pengakuan terdakwa karena aspek ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah. Dengan demikian, proses dan prosedural pembuktian perkara pidana menurut kitab Undang-Undang hukum acara pidana tidak mengejar dan memaksakan agar terdakwa mengaku. Selanjutnya, terhadap keterangan terdakwa diatur dalam pasal 189 KUHAP, yang berbunyi:

  • 1)    Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

  • 2)    Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

  • 3)    Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan pada dirinya sendiri.

  • 4)    Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.14

Jadi untuk mengenai pembuktian dalam tindak pidana gratifikasi dalam bentuk layanan seks atau perempuan yang merupakan salah satu bagian dari gratifikasi dalam arti luas sesuai Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, penulis berpendapat beban pembuktiannya ada pada terdakwa dan jaksa, dalam arti yang wajib dibuktikan adalah:

  • 1)    Ada atau tidaknya layanan seks yang diterima, baik dalam satu paket dengan barang atau uang maupun secara terpisah atau mengenai gratifikasi seksual apakah terdakwa yang menerimanya atau bukan.

  • 2)    Jika memang benar gratifikasi telah diterima, maka yang wajib dibuktikan adalah apakah gratifikasi seksual tersebut sesuai yang dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

  • 3)    Atau jika benar telah menerima layanan seks sebagai gratifikasi, maka yang wajib dibuktikan adalah apakah gratifikasi seksual yang diterimanya tersebut ada hubungannya dengan jabatannya, berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya atau tidak.

Apabila terdakwa dapat membuktikan salah satu dari tiga keadaan tersebut, tanpa melihat dan mempertimbangkan hasil pembuktian jaksa penuntut umum, dalam sistem beban pembuktian terbalik berimbang, maka akibat hukumnya adalah terdakwa tidak akan dijatuhi pidana atau dengan kata lain terdakwa dibebaskan, begitu juga sebaliknya.

  • IV. PENUTUP

Berpedoman pada penjelasan pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kata “fasilitas lainnya” dapat diartikan secara luas, sehingga layanan seksual dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Namun demikian, harus pula memenuhi unsur-unsur Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Teknik/cara untuk membuktikan kesalahan penerima gratifikasi seksual adalah dengan membuktikan terpenuhi atau tidaknya keseluruhan unsur-unsur Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik berimbang, yang mana baik jaksa maupun terdakwa dibebani pembuktian tentang benar atau tidak gratifikasi seksual telah diberikan/ disediakan, benar atau tidak terdakwa yang telah menerima, benar atau tidak gratifikasi seksual tersebut adalah gratifikasi sesuai yang dimaksud Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, benar atau tidak gratifikasi seksual yang diterima tersebut berhubungan dengan jabatannya/berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Adapun alat- alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan penerima gratifikasi seksual adalah alat-alat bukti yang secara limitatif diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa dan alat-alat bukti petunjuk yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007).

Jurnal

Azizah, Amirotul, I Ketut Sandhi Sudarsana, “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Gratifikasi Seks,.” Jurnal Hukum Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali Vol 01 No.4 (2013): 1-11

Wirautami, Ida Ayu Dwi, Anak Agung Sri Utari, “Gratifikasi Seksual Dalam Hubungannya Dengan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana Vol 8 No. 7 (2019): 1-15

Sari, Dewi Novita, “Tindak Pidana Korupsi Dalam Bentuk Gratifikasi Seksual,.” Jurnal Hukum Lex Crimen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Vol II No.3 (2013): 1-11

Akbar, Saiful, “Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi,.” Jurnal Ius Kajian Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum Universitas Matarami Vol. 4 No 3 (2016): 485-500

Wedantha, I Gusti Agung Satria, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, “Penyuapan Sebagai Bentuk Gratifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi,.” Jurnal Hukum Universitas Udayana Vol 4 No.3 (2015): 1-16

Asimin, Izmi Afifurahman K.D, “Alat Bukti Keterangan Terdakwa Dan Kekuatan Pembuktiannya Menurut Pasal 183 KUHAP,.” Jurnal Hukum Lex Crimen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Vol 7 No.1 (2018).

Nugroho, Bastianto, “Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Dalam Putusan Hakim Menurut KUHAP,.” Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Vol 32 No.1 (2017): 1-7

Alamri, Hadi, “Kedudukan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,.” Jurnal Hukum Lex Privatum Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Vol V No.1 (2017): 1-8

Rozi, Fachrul, “SISTEM PEMBUKTIAN DALAM PROSES PERSIDANGAN PADA PERKARA TINDAK PIDANA,.” Jurnal Yuridis UNAJA Fakultas Hukum Universitas Adiwangsa Jambi Vol 1 No.2 (2018): 19-33

Jainah, Zainab Ompu, “PENGATURAN INTERAKSI PROSES PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA,.” Jurnal Keadilan Progresif Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung Vol 9 No.1 (2018): 1-14

Christianto, Hwian, “Batasan dan Perkembangan Penafsiran Ekstensif dalam Hukum Pidana,.”Jurnal Hukum Pamator Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Vol 3 No.2 (2017): 101-113

Website

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt51a72dfed1d6d, Diakses pada tanggal 24 Maret 2021.

http://www.tempo.co/read/news/2013/04/17/063473942/HakimStyabudiDiduga -Menerima- Gratifikasi-Seks diakses pada 25 Maret 2021

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 7 Tahun 2021, hlm.530-544

544