TANGGUNG JAWAB PENJUAL PRODUK INDUSTRI RUMAHAN TANPA PENCANTUMAN TANGGAL KADALUWARSA DI MINI MARKET KABUPATEN

BADUNG

Kade Junaedi Mahendra Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

R.A. Retno Murni, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha penjual produk tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa di mini market Kabupaten Badung dan untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang bersumber dari data primer ataupun data sekunder. Data yang diperoleh menggunakan teknik wawancara dan teknik dokumentasi. Menggunakan analisis data secara kulitatif yang selanjutnya disajikan secara deskrptif kualitatif. Hasil dari pembahasan penelitian ini ialah tanggung jawab pelaku usaha penjual produk tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa di mini market Kabupaten Badung ialah memberikan tanggung jawab kepada konsumen yang dirugikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Faktor yang menghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen ialah faktor itikad baik dari para pihak pelaku usaha dan konsumen, faktor anggaran, dan faktor sumber daya manusia.

Kata Kunci : Tanggung Jawab, Industri Rumahan, Kadaluwarsa, Mini Market

ABSTRACT

This study aims to determine the responsibilities of business actors selling products without including an expiration date in the mini markets of Badung Regency and to determine the factors that hinder the Consumer Dispute Resolution Agency in resolving consumer disputes. The research method used is empirical legal research which is sourced from primary data or secondary data. The data obtained using interview techniques and documentation techniques. Using qualitative data analysis which is then presented descriptively qualitatively. The result of the discussion of this research is that the responsibility of business actors who sell products without including an expiration date in the mini market of Badung Regency is to give responsibility to consumers who are disadvantaged in accordance with statutory regulations. The factors that hinder the Consumer Dispute Resolution Board in resolving consumer disputes are the factors of good faith from the business actors and consumers, the budget factor, and the human resource factor.

Keywords: Responsibility, Home Industry, Expired, Mini Market

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Suatau perkembangan baru yang ada di masyarakat Indonesia sekarang, semakin meningkat pada perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen

bersamaan dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen .1

Penumbuh-kembangan ekonomi nasional dalam bidang industry dan pangan atau perdagangan kini menimbulkan bermacam ragam barang maupun jasa yang bisa dikonsumsi manusia. Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi-tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang setinggi-tingginya itu, para produsen atau pelaku usaha harus bersaing antar sesama mereka dengan perilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan konsumen.2

Perkembangan mini market di Kabupaten Badung karena kebutuhan manusia dan perkembangan ekonomi yang semakin meningkat terutama pada sektor pariwisatanya mengakibatkan gaya hidup yang modern yang lebih memilih berbelanja di mini market dikarenakan pula selain lebih nyaman barang-barang yang di jual di mini market relatif lebih murah dan pelayanan yang lebih baik. Hal tersebut juga diharapkan barang yang dijual di mini market diharapkan memiliki kelayakan produksi yang sangat baik. Dikutip dari halam Bisnis.com, diperkirakan jumlah mini market yang beroperasi baik resmi maupun ilegal ditaksir lebih dari 1.000 unit.3 Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Kabupaten Badung sebagai daerah terpadat kedua di Provinsi Bali, memiliki jumlah penduduk 672 ribu jiwa pada tahun 2020. Sisi positif dari kepadatan penduduk salah satunya adalah meningkatkan daya saing antar penduduk, memicu kreativitas dan inovasi, dalam pembangunan perekonomian. Jumlah penduduk yang semakin pesat tersebut mengakibatkan meningkatnya pula kebutuhan primer manusia, ini terbukti dengan maraknya persaingan tempat belanja atau mini market yang selalu ramai dan bertahan serta juga menghiasi tatanan kota ataupun desa.

Produk yang dihasilkan oleh industri rumahan yang meliputi salah satunya ialah makanan ringan. Makanan-makanan ringan yang diproduksi tersebut tentunya harus sesuai pada standar dan syarat kesehatan, jika tidak maka berbagai penyakit pun akan muncul ke konsumen jika mengkonsumsi produk tersebut. Jadi makanan yang tidak memiliki standar persyaratan kesehatan dan juga akan membahayakan kesehatan konsumen apabila makanan tersebut diedarkan. Produsen atau pelaku usaha memiliki tugas maupun kewajiban untuk ikut serta dalam upaya mencpitakan usaha sehat yang menunjang terhadap pembangunan perekonomian nasional.4

Makanan ringan yang diproduksi oleh industri rumahan yang banyak diperjualkan mini market, sebagian dari produk tersebut tidak berisikan tanggal kadaluwarsa. Kadaluwarsa adalah kondisi suatu produk yang dapat dikatakan tidak layak untuk dikonsumsi dikarenakan sudah melewati batas waktu dari waktu layak

konsumsi. 5Jika produk tersebut dikonsumsi dalam keadaan sudah melewati batas waktu, maka tentunya konsumen merasa sangat dirugikan. Pencantuman tanggal, bulan, dan tahun pada label kemasan yang bertujuan untuk memberi informasi masa kadaluarsa pada produk tersebut menjelaskan kepada konsumen mengenai produk yang akan dikonsumsi. Pemberian tanggal kadaluarsa terhadap suatu produk makanan, konsumen akan memperoleh informasi yang jelas akan dapat juga si penjual maupun distributor mengatur stok barang yang akan dijual.6 Meskipun sebagian konsumen saat pembelian produk makanan hampir tidak pernah atau jarang memperhatikan tanggal kadaluwarsa yang tercantum pada kemasan adalah hal yang sangat penting karena berhubungan terhadap kwalitas produk.7

Dalam rangka menghindari munculnya kerugian pada konsumen terhadap produk tanpa pencantuman tanggal kadaluarsa, maka peraturan perundang-undangan mengatur mengenai ketentuan larangan pemasaran produk tanpa tanggal kadaluwarsa yang termuat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/ atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

Ketika terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif diluar pengadilan yang diberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen baik bersekala kecil maupun bersifat sederhana. 8Kemudian dalam menyelesaikan sengeta konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang mejujuk ke Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan “penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besamya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.” Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yakni pengadilan yang dibuat khusus untuk melindungi konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen, diharapkan bisa menyelesaikan perkara supaya perkara berjalan lancar dan sedikit biaya.

State of the art penelitian ini diambil dari contoh penelitian terdahulu sebagai panduan ataupun contoh untuk penelitian yang dilakukan saat ini. Contoh yang diambil dari jurnal yang berjudul "Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Kemasan Tanpa Tanggal Kadaluarsa" karya dari I. Gede Eggy Bintang Pratama, dan I.

Ketut Sudjana, jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam jurnal tersebut membahas mengenai Pengaturan Tanggal Kadaluarsa Pada Makanan Kemasan Di Indonesia dan Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Konsumen Akibat Kerugian Yang Diderita. Penelitian pada jurnal tersebut menggunakan penelitian hukum normatif, kemudia dari pembahasan tersebut penulis mencoba untuk mengembangkan menjadi penelitian hukum empiris yang membahas tanggung jawab pelaku usaha penjual produk tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa di mini market Kabupaten Badung dan faktor-faktor yang menghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Contoh penelitian selanjutnya yakni jurnal yang berjudul “Pelaksanaan Kewajiban Pencantuman Tanggal Kadaluarsa Produk Makanan Rumahan Di Obyek Wisata Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar” karya dari I Putu Dika Pratama Putra dan I Made Dedy Priyanto, jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana. Pada penelitian tersebut lokasi penelitian yang diambil adalah di Obyek Wisata Pura Tirta Empul sedangkan pada jurnal ini lokasi penelitian yang dilakukan adalah di mini market Kabupaten Badung. Kemudian pada jurnal tersebut tidak dijelskan mengenai tanggung jawab yang akan diberikan kepada konsumen jika konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produknya, sedangkan pada jurnal ini pelaku usaha menjelaskan siap memberikan ganti kerugian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada juga yang mampu memberikan ganti rugi yang setara dengan harga produknya.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas, maka dapat di uraikan permasalahan sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha penjual produk tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa di mini market Kabupaten Badung?

  • 2.    Apa faktor-faktor yang menghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ilmiah bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha penjual produk tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa di mini market Kabupaten Badung, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian hukum empiris yang dimana untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi pada masyarakat atau lapangan. Kesenjangan yang diartikan adalah antara norma dengan kenyataan yang mengalami kesenjangan di lapangan. Metode penelitian ini dipilih dikarenakan untuk mengetahui keadaan yang secara langsung kenyataan di lapangan khususnya mengenai tanggung jawab penjualan produk industri rumahan tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa di mini market kabupaten badung yang kemudian ditarik suatu kajian apakah hukum akan bekerja efektif atau telah berjalan efektif. Dalam penulisan jurnal ilmiah ini, penulis menggunakan dua sumber yakni yang pertama sumber data primer yang diperoleh dengan cara melakukan teknik wawancara dengan pelaku usaha dan teknik dokumentasi. Kemudian yang kedua,

sumber data sekunder diperoleh melalui internet, literatur, buku, dan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Tanggung Jawab Pelaku Usaha Penjual Produk Tanpa Pencantuman Tanggal

Kadaluwarsa Di Mini Market Kabupaten Badung

Undang-undang yang secara umum sudah memberikan kebebasan membuat dan mengadakan perjanjian maupun pelaksanaan kontrak selama unsur-unsur dari perjanjian maupun kontrak telah terpenuhi oleh kedua pihak. Prinsip tanggung jawab dari pelaku usaha dalam jual beli harus berdasarkan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault), prinsip praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability), prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability), prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), dan prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).9

Menurut Peter Salim tanggung jawab memiliki pengertian yang dikelompokkan menjadi tiga dalam arti Accountability, Responsibility, dan Liability. Tanggung jawab dalm arti Accountability biasanya berkaitan dengan keuangan, pembukuan ataupun pembayaran yang dapat diartikan sebagai kepercayaan. Tanggung jawab dalam arti Responsibility dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi dengan cara ikut memikul beban akibat dari suatu perbuatannya. Selanjutnya tanggung jawab dalam arti Liability berarti menanggung segala sesuatu kerugian yang timbul akibat perbuatannya sendiri ataupun perbuatan orang lain yang melakukannya untuk dan atas namanya.10 Hubungan hukum timbul akibat adanya pertanggung jawaban hukum, pelaku usaha dan konsumen merupakan dua pihak yang saling berkaitan dengan maksud memerlukan dan membutuhkan, pelaku usaha perlu untuk menjual barang dan/atau jasanya kepada pihak konsumen, dilain hal konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, sehingga kedua belah pihak memperoleh manfaat dan keuntungan, namun realitanya konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang bertindak curang ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan konsumen akan adanya hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha. Produk pangan olahan kemasan yang diproduksi dan diperdagangkan oleh pelaku usaha harus memiliki izin edar. Apabila produk pangan olahan kemasan tidak memiliki izin edar hal itu dianggap melanggar hukum karena dapat dipastikan produk tersebut belum sesuai standar mutu yang dipersyaratkan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.11

Pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yakni “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau hadan usaha, haik yang berbentuk hadan hukum maupun hukan hadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan keglatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, hak sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai hidang

ekonomi.” Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi dengan berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha. Pelaku usaha yang dimaksudkan dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.12

Sistem pengawasan komprehensif atau pengawasan yang bersifat luas dan lengkap dilaksanakan sesuai dengan kewewenangan BPOM yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan pasal 3 huruf d menyatakan bahwa BPOM menyelenggarakan beberapa fungsi yang diantaranya “pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan pengawasan setelah beredar”. Dalam hal ini melaksanakan cakupannya melalui pola pengawasan yaitu dengan melaksanakan program Pre-Market dan Post-Market yang bertujuan untuk mengurangi peredaran produk yang tidak sesuai dengan standar izin edar. Pola pengawasan tersebut tentunya juga bertujuan agar produk olahan makanan yang beredar terjamin mutunya dan mampu bersaing secara sehat.13

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Gusti Agung Gede Mertasana tanggal 16 November 2020 selaku pemilik mini market Ayuraka Toserba mengatakan bahwa dia memperoleh produk makanan industri rumahan yang berupa kripik, kacang-kacangan dan camilan-camilan di pasar tradisional Sibang untuk dijual kembali di mini market miliknya. I Gusti Agung Gede Mertasana mengatakan bahwa dirinya tidak mengetahui akan pentingnya informasi mengenai pemakaian tanggal kadaluwarsa pada produk kemasan dan tidak mengetahui adanya Peraturan Perundang-undangan yang mengatur harus mencantumkan label kadaluwarsa. Di tokonya, sampai saat ini belum ada konsumen yang merasa dirugikan akibat tidak adanya tanggal kadaluwarsa pada produk industri rumahan tersebut.

Selanjutnya I Gusti Agung Gede Mertasana mengatakan mengenai tanggung jawab yang akan diberikan jika seandainya ada konsumen yang merasa dirugikan akibat mengkonsumsi produk tersebut, I Gusti Agung Gede Mertasana siap memberikan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan Peraturan Peundang-Undangan yang berlaku.

Senada dengan pernyataan diatas, menurut Ni Wayan Asri Wirati selaku pemilik toko Modern Mart mengatakan tidak mengetahui terdapat pengaturan yang mengatur mengenai harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada kemasan suatu produk dan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan serta mengakibatkan kegurian maka pemilik siap memberikan kerugian atas produk yang dikonsumsinya. (Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Desember 2020). Selanjutnya menurut Ketut Arta selaku pemilik toko Tri Dasa Mart mengatakan tidak mengetahui terdapat peraturan yang mengatur mengenai harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada kemasan produk dikarenakan pemilik produk makanan yang menaruh produknya pada mini market tersebut yang beranggapan bahwa produk makanan olahan rumah tangga tidak harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa. Selanjutnya Ketut Arta mengatakan produk

yang tidak berisi tanggal kadaluwarsa akan ditarik kembali dalam jangka waktu satu minggu. Tanggng jawab yang akan diberikan kepada konsumen ialah dengan memberikan penggantian produk yang setara dengan produk yang dibelinya. (Wawancara pada tanggal 7 Desember 2020).

Upaya untuk melakukan peningkatan kesadaran hukum dari pelaku usaha ini, sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh pelaku usaha akan tetapi juga memerlukan adanya campur tangan dari pemerintah sepertiadanya pembinaan maupun penyuluhan-penyuluhan hukum yang teraturagar warga masyarakat memahami hukum-hukumtertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi dimana hal tersebut merupakan tugas dari kalangan hukum pada umumnya, khususnya mereka yang mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat.14

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan:

  • (1)    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

  • (2)    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya. atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • (3)    Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

  • (4)    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

  • (5)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Sanksi berdasarkan Pasal 61 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan menyatakan:

  • (2)    Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  • a.    peringatan secara tertulis;

  • b.    larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran;

  • c.    pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;

  • d.    penghentian produksi untuk sementara waktu;

  • e.    pengenaan denda paling tinggi Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah), dan atau;

  • f.    pencabutan izin produksi atau izin usaha.

Sanksi berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan menyatakan:

  • (2)    Tindakan adiminstratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  • a.    Peringatan secara tertulis;

  • b.    Larangan mengedarkan untuk semntara waktu, dan/atau perintah menarik produk pangan dari peredaran;

  • c.    Pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;

  • d.    Pengehntian produksi untuk sementara waktu;

  • e.    Pengenaan denda paling tinggi sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau;

  • f.    Pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga.

Sanksi berdasarkan Pasal 71 Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan menyatakan:

Pasal 71

  • (1)    Setiap Orang yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Badan ini dikenai sanksi administratif berupa:

  • a.    penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;

  • b.    penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; dan/atau c. pencabutan izin.

  • (2)    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perlindungan hukum terdiri dari perlindungan preventif dan perlindungan represif. Perlindungan hukum preventif terfokus pada upaya pencegahan, diantaranya menerikan paying hukum terhadap konsumen dengan mengatur pelaku usaha dan menjamin hak konsumen beserta perlindungannya melalui peraturan perundang-undangan. Melaksanakan oprasi mini market secara berkala. Memberikan sosialisasi kepada produsen atau pelaku usaha mengenai perlindungan konsumen serta dampak yang ditimbulkan dari peredaran dan perdagangan makanan kadaluarsa. Memberikan edukasi kepada konsumen untuk berhati-hati dan cermat dalam memilih produk makanan serta selalu memperhatikan batas tanggal kadaluarsa. Perlindungan hukum represif dilakukan berupa upaya penegakan seperti pemberian sanksi administratif, penyitaan, sanksi pemidanaan. Perlindungan hukum represif dapat berupa tanggungjawab produsen dalam hal memberikan ganti kerugian terhadap kerugianyang diderita oleh konsumen akibat dari peredaran dan perdagangan produk makanan kadaluarsa. Jika pelaksanaan ganti kerugian tidak dilakukan oleh produsen ataupun pelaku usaha, maka konsumen dapat melaporkan peaku usaha yang bersangkutan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.15

  • 3.2. Faktor-Faktor Penghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa melalui luar pengadilan.16 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan lembaga yang memeriksa sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak menyelesaikan sengketa konsumen dengan jalan damai, tetapi memeriksa sengketa berdasarkan hukum.Yang berarti, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menjalankan perannya dalam penyelesaian sengketa tetap berpegang teguh pada ketentuan Undang-Undang yang berlaku.17

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diharapkan mampu menjadi senjata bagi para konsumen dalam mencari keadilan, dalam implementasi ternyata masih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan ketentuan hukum yang tidak sesuai dengan sebagaimana yang diharapkan, yaikni untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, sederhana, dan murah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketut Udi Prayudi yang menyatakan kendala-kendala atau faktor penghambat dalam menyelesaikan sengketa konsumen yakni sebagai berikut:

  • a.    Itikad baik dari para pihak (pelaku usaha dan konsumen), biasanya dalam penyelesaian sengketa konsumen itikad baik pihak terutama pelaku usaha biasanya tidak memenuhi panggilan untuk melakukan mediasi meskipun beberapa kali dihubungi oleh pihak Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, jika pihak dari pelaku usaha tidak hadir maka mediasi tidak akan bisa berjalan.

  • b.    Faktor anggaran, biaya oprasional yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga mengakibatkan kurangnya dukungan dari pemerintah menyangkut kesiapan alokasi dari dana APBD yang masih minim hal tersebut mempengaruhi kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dikarenakan terdapat kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memanggil para pihak melalui kepolisian, penyidik,menghadirkan ahli memerlukan dana atau anggaran.

  • c.    Faktor sumber daya manusia, anggota Badan Penyelesaian Sengketa yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. Keterwakilan unsur-unsur tersebut oleh undnag-undang ditujukan untuk menunjukkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama pemerintah maupun masyarakat. Pembagian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kedalam tiga unsur tersebut berkaitan dengan konsep keseimbangan dari para pihak yang bersengketa maupun juga kepentingan pemerintah yang memposisikan diri sebagai pihak yang netral dalam mengambil kebijakan atau keputusan. Berdasarkan sumber daya anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu faktor pendukung

terhadap optimalisasi dari Badan penyelesaian Sengketa Konsumen, dikarenakan sebaik apapun suatu konsep dari pembentukan suatu lembaga, akan tetapi jika tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memadai maupun berkompetensi maka eksistensi dari lembaga akan jauh dari yang diharapkan.

  • IV. Kesimpulan

Tanggung jawab pelaku usaha penjual produk tanpa pencantuman tanggal kadaluwarsa berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang termuat didalam Pasal 19, sedangkan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan tidak memuat tentang pertanggung jawaban terhadap pelaku usaha, namun sangat jelas mengatur tentang label kadaluwarsa yang termuat pada Pasal 111. PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang termuat dalam Pasal 61 ayat (2), PP No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan yang termuat dalam Pasal 47 ayat (2), Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan yang termuat dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2). Pada kenyataanya pengelola mini market di Kabupaten Badung siap memberikan ganti rugi jika konsumen merasa dirugikan akibat mengkonsumsi produk tersebut dengan senilai Rp.50.000.000,00 namun ada pelaku usaha yang hanya mampu memberi ganti rugi senilai dengan produk yang dibelinya. Faktor-faktor yang menghambat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan sengketa konsumen, menurut Ketut Udi Prayudi sebagai anggota BPSK Kota Denpasar berpendapat ada tiga faktor yang menyebabkan terhambatnya penyelesaian sengketa konsumen yaitu itikad baik dari para pihak (pelaku usaha dan konsumen), faktor anggaran, faktor sumber daya manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti 2006).

K. Martono, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011).

Skripsi

Minanda, Mey. "Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga Tanpa Tanggal Kadaluwarsa Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif." (2016).

Jurnal Ilmiah

Cahyadi, I. Made, I. Wayan Wiryawan, and AA Sri Indrawati. "Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Makanan Yang Telah Kadaluarsa Di Pasar Kereneng Denpasar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 01 No. 12 (2018): 1-14.

Helmi, Hanum Rahmaniar. "Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di Indonesia." ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 1 No. 1 (2015): 77-89.

Hermoyo, Josef Purwadi Setiodjati Bambang. "Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen." Eksplorasi, Vol 28, No. 1 (2015): 1-14.

Heriyanti, Yuli. "Kerugian Konsumen Sebagai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen." Jurnal Pahlawan, Vol. 2 No. 2 (2019): 9-13.

Muthiah, Aulia. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen tentang Keamanan Pangan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen." Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Vol. 7 No. 2 (2016): 1-23.

Nurcahyo, Edy. "Pengaturan dan pengawasan produk pangan olahan kemasan." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 7 No. 3 (2018): 402417.

Pratama, I. Gede Eggy Bintang, and I. Ketut Sudjana. "Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Kemasan Tanpa Tanggal Kadaluarsa." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 6 No. 4 (2018): 29-34

Pratiwiningrat, Anak Agung Ayu Manik, I. Wayan Wiryawan, and Dewa Gde Rudy. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Yang Mengalami Kerugian Akibat Produk Makanan Kadaluarsa." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 3 (2004): 101-106.

Putra, I. Putu Dika Pratama, and I. Made Dedy Priyanto. "Pelaksanaan Kewajiban Pencantuman Tanggal Kadaluarsa Produk Makanan Rumahan di Obyek Wisata Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 1 (2019): 1-16.

Putri, Nyoman Rizkyta, and AA Ketut Sukranatha. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Terkait Produk Makanan Kemasan Yang Sudah Kadaluwarsa." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1 (2018): 1-15.

Putri, Ni Made Santi Adiyani, I. Made Sarjana, and I. Made Dedy Priyanto. "Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Kota Denpasar." Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana, URL: https://ojs. unud. ac. id/index. php/kerthasemaya/article/vi ew/26605/16905 (2017).

Rianti, Ni Komang Ayu Nira Relies. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Dalam Hal Terjadinya Hortweighting Ditinjau Dari Undang-Undang RI No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen." Jurnal Magister Hukum Udayana Vol. 6 No. 4 (2017): 521-537.

Saraswati, Desak Nyoman Citra Mas, and I. Gusti Ngurah Dharma Laksana. "Pengawasan Bpom Terhadap Produk Makanan Yang Tidak Sesuai Dengan Standar Izin Edar Di Kota Denpasar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum Vol. 6 No. 6: (2018) 1-15.

Yulius, Louis. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Produk Yang Merugikan Konsumen." Lex Privatum Vol. 1 No. 3 (2013): 24-35.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Ladel dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3867).

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107).

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2ol7 Nomor 180)

Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan.

Internet

https://bali.bisnis.com/read/20170730/538/773900/badung-batasi-ritel-modern-

1.760-unit-jaringan-nasional-dijatah-30, diakses pada tanggal 5 januari 2021.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 7 Tahun 2021, hlm.557-568

568