KRIMINALISASI TERHADAP PELAKU YANG

MEMPROMOSIKAN ALAT PENCEGAH KEHAMILAN DALAM PERSEPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM

PIDANA

Satria Chaisharvijaya Yuana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

I Wayan Suardana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan sosialisasi pelaku promosi alat kontrasepsi dan pengaturan hukum yang dicitak-citakan terkait pengaturan pelaku promosi alat kontrasepsi dalam perspektif pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif, yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statue Approacch) dan pendekatan konsep (concceptual approacch). Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Seluruhnya dikumpulkan dengan teknik pengumpulan data dan dianlisis dengan teknik analisis data. Berdasarkan uraian dalam hasil dan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskana kesimpulan sebagai berikut : (1) Kebijakan kriminal dalam RUU KUHP yang mengatur kembali perbuatan pidana mempertunjukkan alat mencegah kehamilan sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menjerat mereka yang bekerja di bidang penyuluhan kesehatan yang berwenang melakukan hal tersebut. (2) Adapun rumusan perumusan pasal tersebut didasarkan pada pertimbangan semangat keIndonesiaan yang sangat kental dalam RUU KUHP, serta pertimbangan nilai dan moral keagamaan yang menjadikan pasal terkait alat pencegah kehamilan itu menjadi penting untuk tetap diatur kembali, selain juga untuk lebih memberikan perlindungan kepada Anak.

Kata Kunci: Kontrasepsi, Kriminalisasi, Hukum Pidana

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out and analyze the socialization arrangements for contraceptive promotion actors and the envisioned legal arrangements related to the regulation of contraceptive promotion actors in the perspective of criminal law reform. The research method used is the normative legal research method, which uses a statutory approach (Statue Approacch) and a conceptual approach (conceptual approacch). Legal materials in this study consist of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. All of which were collected using data collection techniques and analyzed by data analysis techniques. Based on the description in the results and discussion above, the following conclusions can be formulated : (1) The criminal policy in the Criminal Code Bill which reregulates criminal acts demonstrating that the means to prevent pregnancy are not intended to ensnare those who work in the field of health education who are authorized to do this. (2) The formulation of the article is based on considerations of the Indonesian spirit which is very thick in the Draft Criminal Code, as well as considerations of religious values and morals which make it important to keep re-regulated articles related to pregnancy prevention, as well as to provide more protection for children.

Keywords: Contraception, Criminalization, Criminal Law

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Permasalahan mengenai kontrasepsi bukan merupakan hal baru di Indonesia, sebelum adanya alat kontrasepsi pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan yang signifikan. Zaman dahulu manusia biasanya memiliki anak banyak, dimana adanya kepercayaan bahwa banyak anak banyak rezeki membuat setiap orang berusaha mempunyai anak yang banyak tanpa memikirkan mengenai masa depan anak tersebut. Kedepannya menyebabkan bangsa Indonesia sangat terpuruk, dimana warga masyarakatnya banyak namun tingkat ekonominya sangat rendah sehingga banyak warga yang tidak bersekolah dan tidak dapat memiliki pekerjaan dengan upah yang cukup.

Adanya alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan semata-mata tidak diartikan sebagai upaya menekan pertumbuhan penduduk, melainkan pengaturan jarak kelahiran sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup, melindungi kesehatan ibu dan anak, baik secara fisik atau psikhis. Hak-hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, serta upaya apa untuk mewujudkan hak itu, asal tidak bertentangan dengan ajaran agama dan prinsip moral yang utama dan sesuai dengan harkat martabat manusia.1 Penggunaan alat kontrasepsi sebenarnya sudah lama ada di Indonesia, namun pada awalnya pemerintah terkesan memaksa warganya untuk menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Selogan banyak anak banyak rezekipun sangat sulit untuk dipatahkan, namun seiring berjalannya waktu masyarakat mulai menyadari bahwa banyak anak akan mengalami kondisi ekonomi semakin terpuruk.

Alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa.2 Penggunaan alat kontrasepsi sebenarnya tidak saja menjarangkan dalam kasus unplanned, tetapi juga membatasi jumlah anak (need for limiting) sesuai dengan kemampuan ekonomi dan usia ibu.3 Dengan penggunaan kontrasepsi bisa dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan pil KB, penggunaan kondom, suntik KB, Implan dan yang lainnya. Seiring berkembangnya waktu dan penyebaran alat kontrasepsi yang semakin luas dan bahkan dapat ditemukan dimanapun, membuat sebagian besar masyarakat menganggap adanya alat kontrasepsi ini seakan mendukung sex bebas. Dikarenakan siapapun dapat melakukan hubungan layaknya suami istri dan tidak perlu khawatir mengenai kehamilan. Dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan berbagai macam aturan pendukung dalam pelaksanaan program peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu aturan tersebut adalah Undang- Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor

52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, diatur mengenai kewenangan tenaga kesehatan, dimana tenaga kesehatan memiliki kewenangan untuk menyampaikan informasi dan/atau peragaan alat, obat, dan cara kontrasepsi. Selain tenaga kesehatan, terdapat tenaga lain yang juga diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan tersebut dengan syarat bahwa tenaga tersebut terlatih. Dalam pasal tersebut, diatur pula bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan prosedur dan dilakukan di tempat yang layak. Dengan adanya aturan yang berkaitan dengan pembatasan kewenangan dalam pelaksanaan tindakan-tindakan kesehatan, seperti penyampaian informasi dan peragaan alat dan/atau obat kesehatan, maka hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal Pasal 534 KUHP.

Ketentuan pidana merupakan suatu ketentuan hukum yang diadopsi dari kitab undang-undang hukum Belanda, yang sempat diberlakukan di Belanda hingga akhirnya di amandemen, sedangkan di Indonesia, ketentuan pidana tersebut masih diberlakukan bersamaan dengan evolusi dalam ketentuan pidana terkait alat kontrasepsi.4 Sehingga, pemeritah Indonesia melakukan upaya membentuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang bertujuan untuk menggantikan KUHP yang berlaku sekarang akan tetapi bertolak pada keseimbangan antara perlindungan terhadap masyarakat dan pembinaan terhadap individu sebagai pelaku tindak pidana dalam mengidentifikasi tujuan dari suatu pemidanaan.5 Permasalahan mengenai alat kontrasepsi menjadi perbincangan hangat dikarenakan adanya sebuah rancangan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP mengenai pengaturan alat kontrasepsi. Dalam RKUHP Pasal 481 yang berbunyi Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (maksimal 1 juta). Adapun ketentuan yang membuat pembatasan alat kontrasepsi yang dapat mempidanakan seseorang dalam melakukan penyebaran informasi termasuk iklan penggunaan alat kontrasepsi termuat juga dalam Pasal 534 KUHP. yang menyatakan bahwa: Setiap orang secara terang-terangan menunjukkan suatu sarana yang dapat mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta untuk menawarkan dan menyiarkan sesuatu yang berhubungan dengan alat kehamilan diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.

Adanya penemuan alat kontrasepsi yang canggih memberi keleluasan untuk memburu kebebasan seksual, bukan saja sebelum kawin tetapi juga sesudahnya, yaitu dapat dianeka ragamkan kenikmatan seks tanpa perlu melibatkan risiko kehamilan, baik yang sah maupun yang tidak.6 Konstruksi Pasal 481 RKUHP sesungguhnya tidak berbeda dengan Pasal 534 KUHP, yang pada intinya adalah melarang seseorang untuk

mempertunjukkan secara terang-terangan dengan atau tanpa diminta, atau memberikan informasi untuk memperoleh alat kontrasepsi. Penggunaan unsur tanpa hak, memperkokoh konsep bahwa yang dapat memberikan informasi adalah mereka yang ada dalam Pasal 483 RKUHP, yaitu petugas yang berwenang. Hal ini berarti masyarakat sipil atau mereka yang bergerak dibidang penyuluhan kesehatan reproduksi tidak diberikan hak sebagaimana pengaturan Pasal 481 RKUHP.

Kewenangan yang diberikan hanya untuk petugas yang berwenang di Pasal 483 mengakibatkan peran serta masyarakat dalam melakukan penyuluhan terhadap kesehatan reproduksi, penularan infeksi seperti HIV AIDS, serta kependudukan dan pembangunan keluarga menjadi terhambat. Aturan mengenai pemidanaan terhadap seseorang yang dapat mempromosikan mengenai penggunaan alat kontrasepsi menjadi suatu permasalahan yang pelik, dimana hal tersebut bertentangan dengan ketentuan di dalam Perundang-Undangan yanga ada. Hal ini juga dapat menjadi pasal karet yang dapat menjerat orang-orang yang bekerja di dalam pemasaran alat kontrasepsi maupun orang-orang yang biasanya melakukan sosialisasi terhadap pentingnya alat kontrasepsi. Maka penelitian ini diangkat dengan berjudul “Kriminalisasi Terhadap Pelaku Yang Mempromosikan Alat Pencegah Kehamilan Dalam Persepektif Pembaharuan Hukum Pidana”. Setelah melakukan berbagai penelusuran ada beberapa judul artikel jurnal yang berhubungan dengan penelitian jurnal ini, yaitu : Penelitian dari Prianter Jaya Hairi dengan judul “Urgensi Mempertahankan Pengaturan Tindak Pidana Menunjukkan Alat Mencegah Kehamilan dalam RUU KUHP”, dengan rumusan masalah : (1) Bagaimanakah Perkembangan Pembahasan Pasal RUU KUHP ? dan (2) Bagaimanakah Perspektif Kebijakan Kriminal Pasal Mempertunjukkan Alat Mencegah Kehamilan ?7 Kemudian terdapat pula penelitian jurnal yang mirip yaitu : Penelitian dari Alya Anira dengan judul “Dekriminalisasi Pasal 534 KUHP Terkait Kegiatan Mempertunjukkan Sarana Pencegah Kehamilan”, dengan rumusan masalah : (1) Apa tujuan pengaturan Pasal 534 KUHP dikaitkan dengan perkembangan dalam bidang kesehatan di Indonesia ? dan (2) Apakah implikasi deskriminalisasi terhadap Pasal 534 KUHP setelah berlakunya Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ?.8 Membandingkan secara seksama kedua penelitian dari Hendra Prianter Jaya Hairi dan Alya Anira memiliki rumusan masalah serta topik pembahasan yang berbeda dengan tulisan ini. Dimana tulisan ini memfokuskan pada pengaturan dan hukum yang dicita-citakan terhadap pelaku promosi alat kontrasepsi dalam hukum di Indonesia.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan terhadap pelaku promosi alat kontrasepsi dalam hukum positif di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimanakah Hukum yang dicita-citakan terkait pengaturan pelaku promosi alat kontrasepsi dalam RKUHP Indonesia ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan terhadap pelaku promosi alat kontrasepsi dalam hukum positif dan hukum yang dicitak-citakan terkait pengaturan pelaku promosi alat kontrasepsi dalam perspektif pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Sedangkan jenis pendekatan yang penulis gunakan ialah pendekatan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatatan analisis konsep hukum (conceptual approach).9 Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, bahan hukum sekunder yaitu publikasi tentang hukum meliputi buku, kamus hukum, jurnal hukum dan bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang membantu menunjang bahan hukum primer dan sekunder mencakup kamus, dan ensiklopedia. Seluruhnya dikumpulkan dengan teknik pengumpulan data yang dilakukaan dalam penelitian ini adalah teknik studi dokomen yaitu dengan mencari bahan bahan hukum untuk disusun dengan sistematis sesuai dengan bahasan dalam penelitian. Dianlisis dengan teknik analisis data.10

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

  • 3.1    Pengaturan Terhadap Pelaku Promosi Alat Kontrasepsi Dalam Hukum Positif di Indonesia

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (selanjutnya disingkat UUPKPS), Pasal 21 yang menentukan bahwa: mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat, dan cara pengaturan kehamilan hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang berwenang di bidang penyelenggaraan keluarga berencana serta dilaksanakan ditempat dan dengan cara yang layak. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa mempertunjukkan atau memperagakan alat, obat, dan cara pengaturan kehamilan terbatas pada tujuan keluarga berencana yang dilakukan oleh tenaga yang berwenang untuk itu dan tetap memperhatikan tata nilai kehidupan bangsa Indonesia. Sedangkan pengertian tempat dan dengan cara yang layak artinya dalam mempertunjukkan atau memperagakan alat tersebut tidak hanya dilakukan di tempat yang patut atau diduga patut untuk mempertunjukkan dan atau memperagakan untuk tujuan keluarga berencana, tetapi pesertanya juga harus dapat menduga atau patut mengetahui atau melaksanakan keluarga berencana dengan menggunakan alat, obat, dan cara pengaturan kehamilan.

Jika diperhatikan, Pasal 21 UUPKPS tersebut sebenarnya tidak serta merta mendekriminalisasi pasal-pasal di KUHP. Namun hanya memberikan suatu escape clausul atau semacam pengecualian bagi mereka yang bertugas melaksanakan program keluarga berencana. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa telah terjadi dinamika

politik hukum pidana berupa dekriminalisasi tindak pidana mempertunjukkan alat mencegah kehamilan tersebut. Proses dekriminalisasi ini adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana, kemudian ketentuan yang menyangkut perbuatan itu dianggap bukan lagi sebagai sebuah kejahatan. Diperhatikan pula, bahwa saat ini sudah ada peraturan hukum terbaru yang mengatur soal Keluarga Berencana, yakni Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga (UUPKPK) Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi dengan cara diantaranya :

  • 1.    menyediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan suami istri dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama;

  • 2.    menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan mudah diperoleh tentang efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi, termasuk manfaatnya dalam pencegahan penyebaran virus penyebab penyakit penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menular karena hubungan seksual;

  • 3.    meningkatkan keamanan, keterjangkauan, jaminan kerahasiaan, serta ketersediaan alat, obat dan cara kontrasepsi yang bermutu tinggi.

Dalam RKUHP, ketentuan mengenai tindakan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan atau alat kontrasepsi diatur dalam Pasal 481 dan Pasal 483, yang berbunyi : Pasal 481 Setiap orang yang tanpa hak secara terangterangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. Selanjutnya Pasal 483 Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 dan Pasan 483 jika perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular.

Penjelasan Pasal 481 dinyatakan yang dimaksud dengan alat untuk mencegah kehamilan adalah setiap benda yang menurut sifat penggunaannya secara umum dapat mencegah kehamilan walaupun benda itu juga dapat digunakan untuk hal-hal lain. Pencegahan kehamilan dapat terjadi baik selama atau setelah dilakukannya hubungan badan. Perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini adalah perbuatan mempertunjukkan, menawarkan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh sarana untuk mencegah kehamilan. Perbuatan mempertunjukkan dapat dipidana bilamana dilakukan secara terang-terangan, sedang perbuatan menawarkan atau menujukkan untuk dapat memperoleh sarana tersebut, dapat dilakukan secara terang-terangan atau tidak secara terang-terangan tapi perbuatan tersebut dilakukan tanpa diminta. Sehingga apabila perbuatan itu dilakukan untuk memenuhi permintaan, bukan suatu tindak pidana.

Dalam rumusan RUUKUHP mengenai Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan diatur dalam Pasal 414 RUU KUHP : Setiap Orang yang secara terang terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak

dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I. Selanjutnya Pasal 416 RUU KUHP :

  • (1)    Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.

  • (3)    Petugas yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh Pejabat yang berwenang.

Rumusan tersebut jika dicermati, meskipun sudah dapat dikatakan cukup mengakomodasi aspirasi yang ada, namun masih dirasakan agak janggal atau kurang tepat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ada perbedaan antara alat untuk mencegah kehamilan dalam konteks pelaksanaan KB dengan alat untuk mencegah kehamilan dalam konteks pencegahan penyakit menular, yakni kondom. Hukum Pidana dibentuk untuk mengatur perbuatan yang diperkenankan untuk dilakukan serta tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Hukum Pidana berkaitan erat dengan hak asasi manusia, dimana manusia memiliki hak untuk melakukan sesuatu serta manusia memiliki larangan untuk tidak melakukan sesuatu. Segala hal tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat pula sanksi jika terdapat seseorang yang melanggar ketentuan Undang-Undang tersebut. Penggunaan pidana itu sendiri dalam praktiknya dilakukan setelah berbagai upaya hukum untuk menyeimbangkan kembali kekacauan yang ada di masyarakat agar kembali patuh dan tunduk pada aturan yang berlaku dalam suatu Negara.11

Adanya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah dalam tahap akhir dan segera di sahkan, namun beberapa permasalahan muncul salah satunya mengenai edukasi serta promosi alat pencegahan kehamilan, terumasuk penggunaan alat kontrasepsi. Ketentuan Pasal 443 RUU KUHP yang mengatur mengenai siapa saja yang memasarkan atau memberitahukan mengenai alat pencegahan kehamilan dapat dipidana dengan pidana denda kategori I. Adanya ketentuan tersebut seperti ingin menghidupkan ketentuan di dalam Pasal 543 KUHP yang lama, hal tersebut disebabkan karena Pasal 543 KUHP tersebut sangat bertentangan dengan program Keluarga Berencana atau KB. Penggunaan alat kontrasepsi berupa kondom juga sangat penting digunakan saat berhubungan dikarenakan dapat mencegah penyebaran penyakit AIDS atau Odha yang kini terus mengalami peningkatan.

Aturan-aturan tersebut juga merupakan pasal karet atau pasal yang dapat digunakan dengan tebang pilih, aturan tersebut sangat berpotensi mengkriminalisasi tenaga medis atau masyarakat yang mensosialisasikan penggunaan alat kontrasepsi. Adanya pasal-pasal tersebut cenderung sangat berlebihan dikarenakan Pasal ini operasionalnya dapat melemahkan dan menurunkan partisipasi masyarakan untuk turut serta berperan aktif sebagai pelaksana, penggiat program sera warga peduli yang bekerja pada program Keluarga Berencana, pencegahan IMS dan HIV.

Badan Kepedudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau yang disingkat dengan BKKBN biasanya bekerja sama dengan ibu-ibu sukarelawan dikarenakan mereka tidak dapat bekerja sendiri. BKKBN memerlukan bantuan ibu-ibu fasilisator tersebut untuk melakukan penyuluhan dan sosialisasi, terutama di daerah tempat tinggalnya yang tentu saja dikenal oleh mereka. Maka apabila pasal ini disahkan akan

menyebabkan orang-orang yang ingin membuat program KB berhasil malah harus dipidana. Pasal-Pasal tersebut sangat merugikan kegiatan di masyarakat karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, khususnya mengenai Bab X tentang peran serta masyarakat.

  • 3.2 Hukum Yang Dicita - Citakan Terkait Pengaturan Pelaku Promosi Alat Kontrasepsi Dalam RKUHP Indonesia

Revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP masih menemui banyak permasalahan, diantarana mengenai adanya edukasi dan pengiklanan alat kontrasepsi untuk pencegahan kehamilan. Aturan yang tertuang dalam Pasal 481, 482 dan 483 RUU KUHP sangat besar potensinya dalam mengkriminalisasi tenaga kesehatan maupun masyarakat yang melakukan penyuluhan dan sosialisasi penggunaan alat kontrasepsi. Adanya alat kontrasepsi sangat dibutuhkan masyarakat untuk mencegah tingkat pertumbuhan penduduk serta untuk mencegah penularan penyakit kelamin. Problematika tindak pidana pelacuran adalah tidak terdapat dampak negatif (pemidanaan) bagi pelaku maupun pengguna jasa pelacuran.12 Salah satu alat yang paling sering digunakan adalah kondom, kondom itu sendiri sangat dapat diandalkan untuk mencegah penularan HIV AIDS. HIV/AIDS menyebabkan kematian melalui pelemahan terhadap system imunitas tubuh manusia. Normalnya, walaupun manusia hidup ditengah-tengah jutaan virus dan bakteri, manusia terlindungi dari banyak penyakit infeksi dengan adanya sistem imun.13

Keterbatasan pemberian informasi mengenai alat kontrasepsi tentu saja dapat menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan informasi seputar KB. Larangan mempertunjukkan sarana pencegah kehamilan dibuat oleh Belanda sebagai bentuk penentangan terhadap teori yang disampaikan oleh Thomas Robert Malthus. Teori tersebut bernama Teori Malthusians, dimana dalam teori ini disampaikan bahwa pertumbuhan populasi penduduk akan selalu lebih besar daripada ketersediaan daya pangan.

Alasan terbesar dibuatnya pasal tersebut adalah untuk melakukan pencegahan terhadap adanya seks bebas atau zina yang kini marak terjadi di Indonesia.14 Adapun yang dimaksud dengan zina yaitu adanya hubungan badan selayaknya suami istri dengan bukan seseorang yang terikat perkawinan yang sah secara agama maupun Negara. Sehingga dilakukanlah aborsi sebagai bentuk untuk menghindari perasaan trauma karena harus mengandung anak yang merupakan hasil dari hubungan yang tidak dikehendaki.15 Aborsi merupakan tindakan yang menggugurkan janin di dalam kandungannya, sehingga menyebabkan janin tersebut meninggal dunia sebelum lahir

ke dunia.16 Negara Indonesia berlandaskan pancasila dimana berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berdasarkan ajaran tuhan dalam agama apapun mengatur hal yang sama, dimana dalam hal ini tidak ada satupun agama yang memperbolehkan berhubungan badan tanpa ikatan pernikahan dikarenakan hal ini dapat menyebabkan datangnya generasi yang tidak di inginkan. Tidak heran ditemukan banyak orang yang membuang, membunuh serta menggugurkan bayi yang tidak diinginkan.

Hal-hal yang disebutkan diatas tentu saja bukan merupakan sebuah solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi tingkat perzinahan di Indonesia, malah tidak diperkenankannya mempertotonkan, mengiklankan, memberikan sosialisasi mengenai alat kontrasepsi di Indonesia hanya akan membuat pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin tidak terkendali. Program pemerintah seperti Keluarga Berencana akan gagal dikarenakan sasaran-sasaran Keluarga Berencana tersebut sulit dicapai karena adanya tindak pidana penunjukan alat kontrasepsi ini. Sosialisasi alat kontrasepsi yang dilakukan oleh seseorang yang bukan merupakan badan berwenang sangat sulit apabila dikategorikan sebagai tindak pidana, dikarenakan hal tersebut tidak merugikan pihak manapun dan dapat menunjang kelancaran program pemerintah seperti Keluarga Berencana.

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam hasil dan pembahasan di atas, maka dapat dirumuskana kesimpulan sebagai berikut : (1) Kebijakan kriminal dalam RUU KUHP yang mengatur kembali perbuatan pidana mempertunjukkan alat mencegah kehamilan sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menjerat mereka yang bekerja di bidang penyuluhan kesehatan yang berwenang melakukan hal tersebut. (2) Adapun rumusan perumusan pasal tersebut didasarkan pada pertimbangan semangat keIndonesiaan yang sangat kental dalam RUU KUHP, serta pertimbangan nilai dan moral keagamaan yang menjadikan pasal terkait alat pencegah kehamilan itu menjadi penting untuk tetap diatur kembali, selain juga untuk lebih memberikan perlindungan kepada Anak. Adapun saran yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut : (1) Aturan-aturan tersebut merupakan pasal karet atau pasal yang dapat digunakan dengan tebang pilih, aturan tersebut sangat berpotensi mengkriminalisasi tenaga medis atau masyarakat yang mensosialisasikan penggunaan alat kontrasepsi. (2) Adanya pasal-pasal tersebut cenderung sangat berlebihan dikarenakan Pasal ini operasionalnya dapat melemahkan dan menurunkan partisipasi masyarakan untuk turut serta berperan aktif sebagai pelaksana, penggiat program sera warga peduli yang bekerja pada program Keluarga Berencana, pencegahan IMS dan HIV. Maka sudah seharusnya pasal tersebut tidak diterapkan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, (Bandung, Remadja Karya CV Bandung, 1986)

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI-Press, 2015)

Jurnal

Anira, A, Implikasi Dekriminalisasi Pasal 534 KUHP Dikaitkan Dengan Perkembangan Dalam Bidang Kesehatan Di Indonesia, Jurist-Diction, Vol. 3, No. 3 (2020) : 8

Asili, A, Paradigma Pornografi Dalam Aspek Hukum, An Nisa'a, Vol. 7, No. 2, (2012) : 53

Azmi, C., Muhammad, R. A., & Rizanizarli, R, Pemidanaan Terhadap Pelaku Homoseksual ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 9, No. 1, (2020) : 49

Dasri, D, Penundaan Kehamilan Dengan Memakai Alat Kontrasepsi Bagi Pengantin Baru Dalam Tinjauan Hukum Islam (Studi Di Kecamatan Selebar Kota Bengkulu), Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan Peradilan, Vol. 1, No. 1, (2016) : 109

Dewi, A. K., & Purwani, S. P. M, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perkosaan yang Melakukan Aborsi, Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 4, (2020) : 3

Ghazala, A., Wahyudin, U., & Zein, D, Representasi Hak Perempuan atas Kehamilan Tidak Direncanakan dalam Akun Instagram@ Perkumpulan Samsara, Jurnal Publisitas, Vol. 6, No 1, (2019) : 67

Hairi, P. J, Urgensi Mempertahankan Pengaturan Tindak Pidana Menunjukkan Alat Mencegah Kehamilan dalam RUU KUHP, Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan, Vol. 10, No. 02, (2019) : 268

Handoko, D, Tindak Pidana Tanpa Korban Di Indonesia Pengaturan Dan

Problematikanya, Menara Ilmu, Vol. 12, No. 3, (2018) : 41

Harming, H, Kajian Etis-Teologis Terhadap Pandangan Pragmatisme Tentang

Tindakan Aborsi, Sabda : Jurnal Teologi Kristen, Vol. 1, No. 1, (2020) : 71

Siburian, R. J, Marital Rape Sebagai Tindak Pidana dalam RUU-Penghapusan

Kekerasan Seksual, Jurnal Yuridis, Vol. 7, No. 1, (2020) : 152

Tripiana, P. A. S., & Parwata, I. G. N, Tindak Pidana Aborsi Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana, Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum, Vol 7, No. 4 (2018) : 8

Zainal, A, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual di Tinjau Dari Kebijakan Hukum Pidana, Al-'Adl, Vol. 7, No. 1, (2015) : 142

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 7 Tahun 2021, hlm.520-529

529