PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN LISTRIK YANG MENGALAMI KERUGIAN AKIBAT MATI LISTRIK

Patricia Marcella, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui hak dan kewajiban konsumen listrik serta perlindungan hukum bagi konsumen listrik atas kerugian yang dialami berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UUK). Penulisan ini menggunakan metode normatif dengan cara menelaah bahan hukum yang ada serta menggunakan pendekatan undang-undang yang terkait. Hasil dari penulisan ini menunjukan bahwa setiap konsumen listrik yang merasa dilanggar haknya dapat menuntut pertanggungjawaban dari PT. PLN untuk memenuhi haknya. Berdasarkan Pasal 29 UUK dijelaskan bahwa konsumen listrik berhak untuk mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan layak dan berkualitas baik. Situasi nyatanya berbeda dengan apa yang telah ditentukan dalam ketentuan yang mengatur. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya peristiwa mati listrik yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Perlindungan hukum bagi konsumen listrik atas kerugian yang dialami akibat mati listrik ditentukan pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Pasal 19 UUPK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UUK.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Kerugian, Mati Listrik.

ABSTRACT

The purpose of this study is to know and understand the rights and obligations of electricity consumers as well as the legal protection of electricity consumers for losses suffered according to Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection (Law of Consumer Protection) and Law Number 30 of 2009 on Electricity (Law of Electricity). This writing uses a normative method by examining existing legal materials and using the related statutory approach. The results of this study indicate that every electricity consumer who feels their rights have been violated can demand responsibility from PT. PLN to fulfill its rights. Based on Article 29 of Law of Electricity, it is explained that electricity consumers have the right to receive electricity continuously with good quality and reliability. The real situation is different from what has been determined in the governing provisions. This can be seen from the many blackout events that occur in people's lives. Legal protection for electricity consumers for losses suffered due to power outages is regulated in Article 1365 of the Civil Code, Article 19 of Law of Consumer Protection, and Article 29 paragraph (1) letter e of Law of Electricity.

Key Words: Legal Protection, Loss, Power Outages.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Hukum perlindungan konsumen cukup mendapat perhatian, dikarenakan hukum perlindungan konsumen merupakan peraturan yang mensejahterakan masyarakat. Tidak hanya masyarakat sebagai konsumen saja yang memiliki hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum, melainkan masyarakat sebagai pelaku usaha juga memiliki hak yang setara. Setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik itu pihak konsumen maupun pihak pelaku usaha. Pemerintah sendiri memiliki peran dalam mengatur serta mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha, sehingga tercipta sistem hukum berupa aturan-aturan yang diantara satu sama lain saling mendukung dan saling bersinggungan, sehingga dapat tercapainya tujuan pemerintah yaitu untuk menyejahterakan masyarakat secara luas.1

Transaksi diantara pelaku usaha dengan konsumen pada saat ini, kedudukan konsumen biasanya lebih lemah posisinya jika dibandingkan dengan posisi kedudukan pelaku usaha, dimana konsumen seringkali tidak memperoleh haknya sebagai konsumen. Konsumen biasanya hanya mendapatkan apa yang telah ditentukan oleh pelaku usaha. Sebagai konsumen, setiap orang membutuhkan akan perlindungan hukum sehubungan dengan kualitas maupun kuantitas barang dan/jasa.2 Setiap pelaku usaha tidak mampu berkembang dan bersaing tanpa bantuan para konsumen. Dalam beberapa kasus, transaksi diantara pelaku usaha dan konsumen seringkali merugikan konsumen, namun konsumen biasanya enggan dalam hal menuntut pertanggungjawaban berupa ganti rugi atas kerugian yang telah dialami kepada pelaku usaha. 3 Hal ini disebabkan karena beberapa konsumen kurang mengetahui adanya aturan yang mengatur perihal perlindungan terhadap konsumen.

Untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dapat dilihat dari eksistensi UUPK di Indonesia. UUPK merupakan suatu peraturan sebagai usaha dari pemerintah dalam memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha dan konsumen. Pada UUPK khususnya bagian menimbang, salah satu konsideran dari UUPK ini bahwa dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen sebagai bentuk perlindungan pada konsumen diperlukan peningkatan akan adanya kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen dalam melindungi dirinya sebagai konsumen serta meningkatkan rasa tanggung jawab pada pelaku usaha.4

Usaha ketenagalistrikan menjadi salah satu bidang usaha yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Usaha ketenagalistrikan merupakan salah satu bidang usaha yang amat penting dalam menciptakan kesejahteraan di masyarakat, dan termasuk ke dalam beberapa industri penting bagi negara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pada zaman sekarang, listrik menjadi sumber dari berbagai jenis penggunaan barang, listrik tidak bisa dijauhkan dari masyarakat karena dengan

listrik masyarakat bisa melakukan aktifitas sebagaimana mestinya.5 UUK mengatur bahwa “Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu y ang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.” Di Indonesia sendiri berdasarkan UUK, penyediaan atas tenaga listrik dikuasai oleh negara dan kemudian dikelola oleh suatu Persero yaitu Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN). Dalam hubungan antara konsumen dengan PT. PLN jika terdapat kerugian yang dialami oleh konsumen, maka ia memiliki hak dalam menggugat atau menuntut ganti rugi kepada PT. PLN. Dalam UUK tersebut juga dijelaskan masing-masing hak dan kewajiban dari pihak konsumen maupun pemilik izin dalam usaha penyediaan tenaga listrik yaitu PT. PLN.

Berdasarkan Pasal 28 UUK, PT. PLN memiliki kewajiban dalam bentuk penyediaan tenaga listrik yang berkualitas baik, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik. Namun nyatanya, dalam prakteknya berbanding terbalik dengan apa yang telah ditentukan dalam UUK.6 Salah satu kasusnya dapat dilihat dari peristiwa mati listrik secara massal yang terjadi hampir pada seluruh Pulau Jawa pada tanggal 4 Agustus 2019. Listrik mati secara massal tidak hanya menyebabkan aliran listrik rumah tangga saja yang mati, melainkan layanan publik, seperti pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perkantoran, serta layanan transportasi publik, seperti MRT Jakarta dan kereta rel listrik juga ikut mati.7 Para konsumen listrik yang telah dirugikan akibat peristiwa ini mempunyai hak untuk menuntut atas kerugian yang dialaminya. Peristiwa mati listrik mengakibatkan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Indonesia (LKBHI) meminta pertanggungjawaban berupa ganti kerugian dengan menggugat Dirut PT. PLN, Menteri BUMN dan Menteri ESDM ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut didaftarkan dengan gugatan class action (gugatan mewakili kelompok masyarakat).8

Penulisan artikel ini merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian. Berikut beberapa artikel serupa yang menjadi acuan dalam penulisan artikel ini, yang pertama ditulis oleh Nyoman Asri Premasanti dan Putu Tuni Cakabawa Landra yaitu Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana yang berjudul “Pelaksanaan Tanggungjawab Jual-Beli Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) Rayon Singaraja Akibat Pemadaman Listrik Secara Sepihak”9, serta yang kedua ditulis oleh I Gusti Agung Ayu Putri Laksmi dan Ngakan Ketut Dunia yaitu Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana yang berjudul “Pertanggungjawaban Hukum PT. PLN (Persero) Terhadap Konsumen Yang

Mengalami Kerugian Akibat Pemadaman Listrik Secara Sepihak”10. Kedua artikel tersebut lebih fokus dalam membahas mengenai tanggung jawab dari PT. PLN akibat pemadaman listrik secara sepihak. Pada artikel ini tidak hanya membahas mengenai tanggung jawab PT. PLN saja, melainkan juga membahas hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki oleh konsumen serta perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi konsumen yang mengalami kerugian.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban konsumen listrik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan bagi konsumen listrik atas kerugian yang dialaminya?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan ini memiliki tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk memahami dan mengetahui hak dan kewajiban konsumen listrik menurut peraturan perundang-undangan serta perlindungan hukum konsumen listrik atas kerugian yang dialami.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode normatif yang dilakukan dengan cara menelaah bahan hukum yang tersedia. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan terhadap undang-undang yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. Terdapat 3 bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangn, bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal ilmiah, maupun bahan didapat dari internet. 11

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Hak dan Kewajiban Konsumen Listrik Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Kebutuhan hidup merupakan suatu hak yang mendasar bagi setiap manusia dan bersifat bebas, yang memiliki pengertian bahwa tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi. Kebebasan bagi setiap manusia untuk memenuhi kehidupannya merupakan suatu hal mutlak yang harus dipenuhi oleh masing-masing individu.12 Kebutuhan hidup penduduk dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan berdasarkan atas kebutuhan apa yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu kebutuhn primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier.13 Listrik menjadi salah satu kebutuhan hidup yang tidak dapat dihindari oleh manusia, setiap manusia pasti membutuhkan listrik untuk beraktivitas, sehingga listrik dapat dikatakan menjadi kebutuhan primer. Berdasarkan UUK, PT.

PLN merupakan pemasok listrik, dimana pasokan listrik di Indonesia dikuasai oleh negara.

Hubungan yang ada diantara konsumen listrik dan PT. PLN sebagai pelaku usaha adalah suatu hubungan jual beli. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPK menjelaskan “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” dan berdasarkan Pasal 1 angka 7 UUK dijelaskan “Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik”. Pengertian pelaku usaha dijelaskan pada Pasal 1 angka 3 UUPK bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UUK dijelaskan lebih lanjut bahwa “Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen”. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jelas terdapat perjanjian jual beli diantara konsumen listrik dan PT. PLN dengan obyek perjanjian, yaitu berupa penyediaan tenaga listrik. Berdasarkan Pasal 1457 KUHPer diatur perihal perjanjian jual beli yang menentukan bahwa “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”.

Untuk menciptakan kedudukan antara PT. PLN dan konsumen listrik yang seimbang, maka tiap pihak memiliki hak yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan isi dalam perjanjian jual beli. Dalam prakteknya banyak konsumen listrik yang berada di posisi lemah daripada PT. PLN. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan konsumen listrik mengenai hak-haknya sebagai konsumen masih minim dan umumnya konsumen listrik segan memperkarai kerugian yang dialami, dikarenakan banyaknya waktu, tenaga dan biaya yang harus dihabiskan.14 Sebagai konsumen tentunya wajib untuk mengetahui hak-hak yang harus diketahui dan disadari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.15 Pengetahuan mengenai hak-hak yang dimiliki konsumen dalam melakukan perjanjian jual beli adalah suatu hal yang penting.

Dalam UUPK dan UUK menentukan hak dan kewajiban konsumen. Hal tersebut diatur di dalam UUPK yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa:

“Hak konsumen adalah:

  • a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

  • b.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

  • c.    hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

  • d.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

  • e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

  • f.    hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

  • g.    hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

  • h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

  • i.    hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Dan pada Pasal 5 UUPK diatur mengenai kewajiban konsumen yaitu:

“Kewajiban konsumen adalah:

  • a.    membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

  • b.    beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

  • c.    membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

  • d.    mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.”

Selain UUPK, dalam UUK juga diatur mengenai hak dan kewajiban konsumen listrik yang tepatnya diatur pada Pasal 29 yang menyatakan :

“(1) Konsumen berhak untuk:

  • a.    mendapat pelayanan yang baik;

  • b.    mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;

  • c.    memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;

  • d.    mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan

  • e.    mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/ atau kelalaian pengoperasizib oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

  • (2)    Konsumen wajib:

  • a.    melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;

  • b.    menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;

  • c.    memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;

  • d.    membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan

  • e.    menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.

  • (3)    Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

  • (4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.”

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, hak dan kewajiban konsumen listrik diatur secara tegas dalam UUPK dan UUK, yang tentunya tidak hanya mengatur hak dan kewajiban konsumen listrik saja tetapi juga hak dan kewajiban pelaku usaha yaitu PT. PLN. Dengan adanya regulasi yang mengatur hak dan kewajiban dari tiap-tiap pihak, maka tercipta kedudukan yang seimbang antara konsumen listrik dengan PT. PLN. Adanya UUPK dan UUK memberikan jaminan atas hak konsumen listrik, apabila terdapat hak konsumen listrik yang dilanggar oleh PT. PLN.

  • 3.2. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Listrik atas Kerugian Yang Dialami

Dalam suatu perjanjian jual beli tentu ada hak yang harus dipenuhi serta kewajban yang wajib dilaksanakan oleh para pihak, baik itu pihak konsumen maupun pihak pelaku usaha, sehingga kedudukan masing-masing pihak dalam perjanjian jual beli adalah seimbang. Pada konteks ini kewajiban PT. PLN adalah memasok tenaga listrik kepada konsumen listrik, sementara haknya adalah mendapat pembayaran atas penyediaan tenaga listrik tersebut, sedangkan kewajiban konsumen listrik adalah membayar biaya atas penyediaan tenaga listrik dengan harga yang telah disepakati. Hak konsumen listrik tersebut telah ditentukan dalam Pasal 29 ayat (1) UUK, namun pada nyatanya kedudukan antara PT. PLN dengan konsumen listrik sangat tidak seimbang. PT. PLN terlihat memiliki kedudukan lebih dominan dibandingkan dengan kedudukan konsumen listrik, sehingga PT. PLN mempunyai hak monopoli atas penyediaan tenaga listrik yang menyebabkan seringkali PT. PLN tidak melakukan kewajibannya dengan baik sebagaimana diatur dalam UUK.

Hak untuk memperoleh pelayanan atas penyediaan tenaga listrik yang baik secara berkelanjutan dengan kualitas dan kredibilitas yang baik, serta dengan biaya yang sesuai dengan pemakaian merupakan hak sepenuhnya yang dimiliki oleh konsumen listrik. Hak tersebut diakui oleh UUK maupun UUPK, sehingga jika terjadi pemadaman akibat dari kelalaian PT. PLN, konsumen listrik memiliki hak untuk mendapat ganti rugi, dan PT. PLN bertanggung jawab penuh pada konsumen dalam memberikan pertanggungjawaban berupa ganti rugi terhadap kerugian yang telah dialami.

Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer menentukan mengenai ketentuan dalam hal menuntut ganti rugi yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian.16 Masalah pertanggungjawaban pribadi oleh pelaku atas perbuatannya yang melawan hukum juga ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPer. Berdasarkan Pasal 1367 KUHPer menentukan mengenai masalah tanggung jawab hukum perdata yang

menentukan “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

UUPK juga menentukan perihal tanggung jawab oleh pelaku usaha yang gagal melakukan kewajibannya. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan kewajiban yang telah ditentukan dan melanggar hak-hak konsumen akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Perihal kewajiban pelaku usaha sendiri telah ditentukan dalam Pasal 7 UUPK yang menentukan bahwa “kewajiban pelaku usaha diantaranya adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.”17

Dalam lingkup dunia usaha, hukum perlindungan konsumen adalah salah satu hal yang perlu dibahas dikarenakan mengatur perihal prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab menjadi kewajiban yang wajib dimiliki oleh setiap pelaku usaha terhadap konsumen yang mengalami kerugian. Kewajiban pelaku usaha ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang dilengkapi dengan perkembangan-perkembangan hukum, yaitu tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen.18 Pasal 19 UUPK menetapkan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

“Tanggung jawab pelaku usaha:

  • (1)    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan.

  • (2)    Ganti rugi yang dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau barang yang sejenis atau pemberian santunan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

  • (3)    Penggantian ganti rugi dilaksanakan dalam waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.

  • (4)    Pemberian ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian dan adanya unsur kesalahan.

  • (5)    Ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha terbukti tidak melakukan kesalahan dan kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

Pada Pasal 23 UUPK, lebih lanjut mengatur perihal ketentuan ganti rugi yang menentukan bahwa “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan

penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Akibat dari terjadinya pemadaman listrik, konsumen listrik mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban dari PT. PLN sebagai produsen listrik. PT. PLN sebagai produsen listrik memiliki tanggungjawab dalam memenuhi hak konsumen yang telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUK, dimana salah satu dari hak konsumen yaitu apabila terjadi gangguan pada aliran tenaga listrik maka konsumen listrik berhak memperoleh pelayanan perbaikan, serta mendapatkan pertanggungjawaban berupa ganti rugi jika terjadi pemadaman listrik. Pertanggungjawaban dari PT. PLN atas pemadaman listrik merupakan suatu hal yang penting karena pihak konsumen listrik telah melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pembayaran biaya listrik, sehingga konsumen listrik berhak mendapatkan yang selayaknya didapat sebagaimana telah diatur dalam UUPK maupun UUK. Perihal ketidakpuasan pelayanan dari PT. PLN, konsumen listrik sudah sepatutnya melakukan upaya untuk memperjuangkan haknya sebagai konsumen listrik.19

Berdasarkan pasal-pasal yang telah dijelaskan di atas yaitu Pasal 1365 KUHPer, Pasal 19 UUPK, dan Pasal 29 ayat (1) UUK, pelaku usaha dalam hal ini PT. PLN memiliki tanggung jawab dalam memberikan ganti rugi kepada konsumen listrik atas kerugian yang dialami. Ganti rugi wajib diberikan apabila terjadi peristiwa mati listrik akibat kelalaian dari PT. PLN itu sendiri.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUPK, konsumen listrik yang rugi karena tidak terpenuhi hak-haknya sebagai konsumen dapat mengurus penyelesaian sengketanya lewat pengadilan maupun di luar pengadilan. PT. PLN sebagai pelaku usaha harus mengupayakan menyelesaikan sengketanya secara damai. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai dengan melakukan pengaduan kepada PT. PLN, dan jika keluhan tersebut diterima dengan baik oleh PT. PLN serta bersedia untuk bertanggung jawab dalam pemberian ganti rugi yang sesuai, dengan demikian sengketa tersebut terselesaikan dengan baik. Keluhan konsumen yang tidak ditanggapi dengan baik dan tidak ada itikad baik untuk memberikan ganti rugi yang sesuai oleh PT. PLN, maka gugatan dapat diajukan oleh konsumen listrik kepada Pengadilan Negeri setempat atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

IV. Kesimpulan

Hak dan kewajiban konsumen listrik diatur di dalam UUPK dan UUK, yang ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK, serta dalam Pasal 29 UUK yang menyatakan bahwa konsumen listrik memliki kewajiban, salah satunya membayar biaya tagihan listrik sesuai pemakaian. Oleh karena itu, konsumen listrik berhak untuk mendapatkan barang, dalam hal ini yaitu mendapatkan tenaga listrik secara berkelanjutan dengan kualitas yang baik. Setiap konsumen listrik yang dilanggar haknya dapat menuntut pertanggungjawaban dari PT. PLN untuk memenuhi haknya dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat ataupun BPSK. Perlindungan hukum bagi konsumen yang mengalami kerugian diatur di dalam Pasal 1365 KUHPer, Pasal 19 UUPK, dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UUPK yang intinya mengatur bahwa PT. PLN mempunyai tanggung jawab dalam memberikan

pertanggungjawabannya berupa ganti rugi kepada konsumen listrik yang mengalami kerugian akibat mati listrik. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini yaitu pemerintah dapat lebih tegas dalam memberikan sanksi bagi pelaku usaha, dalam hal ini PT. PLN, apabila tidak memenuhi apa yang sudah menjadi hak konsumen listrik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008).

Muthiah, Aulia. Hukum Perlindungan Konsumen Dimensi Hukum Positif Dan Ekonomi Syariah, (Yogyakarta, Pustaka Baru Press, 2018).

Pasek Diantha, I Made. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, cet.II, (Jakarta, Prenadamedia Group, 2017).

Jurnal

Arini, Ni Made, I. Gusti Ngurah Wairocana, dan I. Wayan Wiryawan. “Penyelesaian Permasalahan Kredit tanpa Agunan (UMKM) di Denpasar.” Acta Comitas 2 (2017): 122-127.

Dananjaya, I. Gede Wahyu, Ida Bagus Putu Sutama, dan I. Made Dedy Priyanto. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen yang Dirugikan Atas Jasa Praktek Tukang Gigi di Kota Denpasar.” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 10 (2013): 1-14.

Dewi, I. Gusti Agung Putri Maha, I. Wayan Wiryawan, dan Dewa Gde Rudy. “Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Konsumen Atas Kerugian Akibat Menggunakan Produk Dari Natasha Skin Care.” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2016).

Dianita, Gusti Agung Sagung Istri, AA Sri Indrawati, dan I. Made Dedy Priyanto. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Spbu Pertamina Terhadap Kerugian Konsumen Pada Pembelian Bbm Dengan Jumlah Takaran Yang Tidak Sesuai Di Kecamatan Kerambitan Tabanan.” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 9 (2018).

Kasmawati, Kasmawati. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen terhadap Tegangan Tinggi Listrik di Bandar Lampung.” FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 3 (2015).

Lestarini, Ni Made Dewi Intan, dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Kerugian Yang Ditimbulkan Oleh Pelaku Usaha Toko Online Diinstagram.” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 1-14.

Madia, Putu Bela Mania, dan Ida Bagus Putra Atmadja. “Perlindungan hukum bagi konsumen yang menggunakan kosmetik tanpa pencantuman tanggal kadaluarsa.” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 12 (2019): 1-15.

Mukti, Putu Sindhu Harta Bratha, dan Anak Agung Sri Indrawati. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Air Minum Isi Ulang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 6, no. 6 (2018): 1-14.

Premasanti, Nyoman Asri, dan Putu Tuni Cakabawa Landra. “Pelaksanaan Tanggungjawab Jual-Beli Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) Rayon Singaraja Akibat Pemadaman Listrik Secara Sepihak.” Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 03 (2018).

Safitri, Riri, dan I. Ketut Westra. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Padamnya Listrik Akibat Keadaan Memaksa (Force Majeure) Di Wilayah Area Bali Selatan.” Jurnal Hukum Kertha Semaya (2017).

Sedana, I. Made Putra, dan I. Wayan Bela Siki Layang. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Air Minum Isi Ulang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen*(Studi kasus: Desa Peliatan, Kecamatan Ubud).” Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2018): 1-14.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia.

Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Sumber Internet

CNN Indonesia. “Menko Darmin Sebut Kerugian Ekonomi Dari Listrik Mati.” 2019

URL:        https://www.cnnindonesia.com//ekonomi/20190805145005-532-

418501//menko-darmin-sebut-kerugian-ekonomi-dari-listrik-mati, diakses pada tanggal 1 September 2020.

Kompas. "Listrik Padam, LKBHI Tuntut Ganti Rugi Rp 40 Triliun ke Menteri BUMN dan            Dirut            PLN."            2019            URL:

https://megapolitan.kompas.com//read/2019/08/09/12150731//listrik-padam-lkbhi-tuntut-ganti-rugi-rp-40-triliun-ke-menteri-bumn-dan?page=all, diakses pada tanggal 9 September 2020.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 9 Tahun 2021, hlm.688-698

698