Terobosan Hukum Penanggulangan Pelarian Diri Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
on
TEROBOSAN HUKUM PENANGGULANGAN
PELARIAN DIRI NARAPIDANA DARI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN DI INDONESIA
Dejan Alija Dedra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan studi ini adalah untuk menemukan kepastian hukum terkait upaya pencegahan dan pemberantasan atas maraknya kasus pelarian diri narapidana di berbagai Lembaga Pemasyarakatan. Studi ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan teknik studi kepustakaan atas bahan hukum berdasarkan buku, jurnal, dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbuatan pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan sebagai bentuk tindakan kriminal, termasuk di dalamnya aturan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat serta mekanisme penanggulangan pelanggaran agar sejalan dengan tujuan pemidanaan dalam pemasyarakatan di Indonesia.
Kata Kunci: Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Pelarian Diri
ABSTRACT
The purpose of achievement in learning through journal article writing related to the legal certainty as per prevention and eradication measures in prisoner escape cases continued to run rampant at numerous Correctional Facilities. The use of normative juridical methods in journal writing emphasizes literature study from books, journals, and legislation. The research process represents to discover classification of prison fugitives as a form of criminal act including stern punishment for parties involved and the explanation of violent handling mechanism to fulfill the purpose of punishment in Indonesian Correctional Institutions.
Key Words: Convict, Correctional Institution, Fugitives
Pemasyarakatan sebagai upaya pemenuhan syarat rangkaian komponen pelaksanaan sistem peradilan pidana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 1 Pergeseran pelaksanaan dari sistem penghukuman
1 Akbar, Muhammad Fatahillah, “Politik Hukum Pidana terhadap Perbuatan Narapidana Melarikan Diri dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia”, Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No.
sebagaimana telah diubah dengan konsep pembinaan melalui lembaga pemasyarakatan berfungsi mempersiapkan narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan dapat berkonsolidasi sehat bersama masyarakat agar dapat kembali berperan menjadi anggota masyarakat melalui rehabilitasi dan reintegrasi sosial.2 Arah dan tujuan penjatuhan pidana dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2015 menyebutkan orientasi pemidanaan tidak berfokus pada pemenjaraan, melainkan pembinaan sebagai tujuan utama didukung oleh proses pembangunan mental, agama, Pancasila, pendidikan, pelatihan kerja produksi, dan keterampilan.3
Meskipun saat ini Indonesia sedang berjalan dari sistem yang berpusat pada pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan menjadi pembinaan yang berbasis pengarahan di luar institusi yang bermula atau bersumber pada asosiasi untuk mencapai fase perbaikan didukung oleh Balai Pemasyarakatan menyusun rangka pendalaman pemasyarakatan sampai dengan pengawasan prosedur pemasyarakatan di luar Lembaga Pemasyarakatan, penjatuhan hukuman oleh hakim memberikan sanksi pidana penjara kepada pelaku kejahatan menuai polemik terkait minimnya efektifitas pembinaan menjalankan fungsi, tujuan, dan sasaran pemasyarakatan.4
Polemik ketepatan penyelenggaaraan sistem pemasyarakatan serta pengaruh lingkungan yang cenderung tidak kondusif memicu tindakan pelanggaran oleh narapidana melakukan perbuatan pelisiran atau bahkan hingga kepada perbuatan pelarian diri dari Lembaga Pemasyarakatan. Faktor keberadaan Lembaga Pemasyarakatan antara lain pengaruh internal yang mendorong adanya praktik pungutan liar, kurangnya pelaksanaan pemenuhan hak bagi warga binaan pemasyarakatan, serta melebihi kapasitas mengakibatkan penurunan tingkat pengamanan dan pengawasan petugas Lembaga Pemasyarakatan mendukung potensi katastrofe kemanusiaan.5
Tujuan pemidanaan praktik realisasi pembinaan narapidana dalam bagian pencegahan repetisi tindak pidana atau recidive sesuai ketetapan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan melandasi instruksi dan peran Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi hukum yang termasuk dalam kerangka besar hukum pidana Indonesia. Kenyataan dalam pelaksanaan mekanisme pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan kerap terbentur faktor penghambat pencapaian tujuan pembinaan akibat kelalaian, kekurangan petugas,
serta buruknya fasilitas memberi kesempatan bagi tahanan melepaskan kewajiban dan tanggungjawab menjalani hukuman dengan melakukan perbuatan melarikan diri.
Peraturan mengenai perbuatan pelanggaran pelarian diri dari Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berbunyi:
“Bagi Narapidana atau Anak Pidana. yang pernah dijatuhkan hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua) kali 6 (enam) hari.”
Penerapan sanksi sebatas sanksi disiplin atas percobaan pelanggaran yang pada dasarnya belum digolongkan sebagai suatu tindak pidana memunculkan pertanyaan apabila tindakan tersebut berhasil dilaksanakan seorang atau sekelompok narapidana.
Praktik penegakan ketentuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) meletakan sarana koordinasi horizontal pembagian batasan penugasan dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional.6 Batasan antara keterkaitan kewenangan melaksanakan kuasa eksekusi sesuai Pasal 270 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diberikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia, dan penyelenggaraan pembinaan warga binaan pemasyarakatan oleh Unit Pelaksana Teknis Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Perbuatan pelanggaran Pasal 47 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjadi sorotan apabila narapidana sukses dalam melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan sehingga persoalan terkait kewenangan operasi pencarian di luar kuasa Kejaksaan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, ataupun Kepolisian Republik Indonesia berperan terbatas dalam kewenangan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan yang berunsur tindak pidana.
Fakta terpaut perbuatan melarikan diri dilaksanakan tujuh tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Paledang pada 2016, dua diantaranya berhasil diamankan Kepolisian Resor Bogor Kota. Pelaksanaan penangkapan yang dilaksanakan Kepolisian Resor Bogor Kota sebatas koordinasi penugasan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Paledang akibat belum terdapat aturan hukum penanggulangan perbuatan pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.7
Keterangan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Paledang dalam surat kabar harian Tempo, 13 Maret 2016, menyebutkan jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan sebanyak 926 narapidana, dijaga oleh 10 petugas pemasyarakatan dengan rasio 1 banding 92,6. Keadaan ini tidak searah dengan apa yang pernah diungkapkan mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Untung Sugiyono, kondisi ideal perbandingan rasio petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan narapidana yaitu 1 banding 25 guna mencegah potensi pelanggaran perbuatan pelisiran, pelarian diri, serta tidak terlaksananya proses
pembinaan sebagaimana mestinya. Aral keamanan dan keteraturan yang timbul nyaris di seluruh Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara dalam beberapa tahun terakhir, dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Tarakan contohnya, kendala keamanan dan keteraturan timbul atas motif pelarian, pertengkaran diantara sesama narapidana, perampokan barang milik sesama narapidana dan lain-lain.8 Kekacauan dan pelarian tahanan, dengan tingkat pelarian terhitung tinggi pernah terjadi di tahun 1999 yang melibatkan 1.690 warga binaan pemasyarakatan.9
Sebelumnya telah dilakukan penelitian karya ilmiah serupa dengan judul “Politik Hukum Pidana terhadap Perbuatan Narapidana Melarikan Diri dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia” oleh Muhammad Fatahillah Akbar yang diterbitkan dalam Jurnal Hukum & Pembangunan dengan pembahasan yang bertujuan untuk mengidentifikasi perbuatan pelarian diri narapidana sebagai tindakan yang telah memenuhi parameter kriminalisasi. Namun melalui gagasan ini, penulis memberikan sudut pandang yang berbeda melalui pertimbangan penegakan penanggulangan pelanggaran perbuatan pelarian diri narapidana dalam kegiatan ini agar sejalan dengan salah satu tujuan dari pemidanaan yaitu memberantas faktor penyebab narapidana berbuat hal yang kontradiktif dengan hukum dan tanggung jawab sosial dengan ditentukannya sanksi pidana yang tepat bagi pelanggarnya. Upaya pencegahan dan pemberantasan seakan mustahil untuk dijalankan apabila belum terdapat ketentuan sanksi tegas serta rangka penanggulangan oleh aparat penegak hukum untuk menjalankan fungsi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengajukan penelitian yang berjudul “TEROBOSAN HUKUM PENANGGULANGAN PELARIAN DIRI NARAPIDANA DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI INDONESIA”.
Berdasarkan latar belakang masalah dalam uraian yang telah dijelaskan beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan antara lain:
-
1. Bagaimanakah pengaturan hukum positif saat ini terhadap perbuatan pelarian diri oleh narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah hukum yang dicita-citakan melalui peraturan perundang-undangan pidana terkait perbuatan pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia?
Tujuan studi pencapaian atas kajian melalui penulisan artikel jurnal ini memberikan pedoman pelaksanaan kegiatan penelitian dengan menentukan arah pencapaian dengan menghadirkan pemahaman terkait kedudukan hukum dan pemahaman terhadap penemuan keperluan proses perwujudan tatanan perundang-
undangan perilaku pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Penelitian adalah proses atau rangkaian langkah dilakukan secara sistematis terencana memperoleh pemecahan masalah terhadap pertanyaan terkait karya ilmiah. Pendalaman hukum adalah aktivitas ilmiah yang didasarkan metode, pemikiran dan sistematika, berujud mempelajari fakta hukum dengan menganalisa fenomena tersebut. Metode penelitian hukum merupakan rangka sistematis tata cara pengadaan penelitian ilmiah. 10 Pencapaian studi penulisan artikel ilmiah jurnal dilakukan menggunakan penelitian hukum normatif, mengkaji norma kosong atas kekosongan hukum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terkait peraturan perbuatan pelarian diri narapidana dewasa ini belum diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana, maka demi menyelaraskan asas legalitas sebagai salah satu derivat asas negara hukum berkonsekuensi terhadap keperluan pembentukan undang-undang yang mengatur pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. 11 Penelitian hukum normatif berkonsentrasi pada penggambaran disiplin ilmu hukum sebagai suatu disiplin preskriptif dengan menitikberatkan sudut pandang norma-norma atau suatu sistem norma yang lazim dikenal sebagai Peraturan Perundang-Undangan. Kajian artikel ilmiah jurnal menguraikan isu hukum menggunakan pendekatan perundang-undangan atau statute approach serta pendekatan konseptual atau conceptual approach yang bertautan berdasarkan kedalaman penalaran hukum dan pengumpulan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan korelasi antara fakta pelanggaran, pelaku, kausalitasi atau sebab akibat, dan keterkaitannya dengan bahan hukum primer yang terdiri atas: (i) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (ii) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan (iii) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, serta bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, dan publikasi resmi instansi Negara.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Pengaturan Hukum Positif Perbuatan Pelarian Diri Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan
Hukum positif Indonesia merujuk pada aturan tertulis saat ini tidak terdapat pasal yang menerangkan perbuatan pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan termasuk sebagai tindak pidana. Buku I Aturan Umum Pasal 10 menyebutkan jenis-jenis pidana, termasuk di dalamnya pidana penjara. Pelaksanaan pidana penjara Pasal 34 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menuturkan:
“Jika terpidana selama menjalani pidana melarikan diri, maka waktu selama di luar tempat menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.” Dalam Pasal 85 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan:
“Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya setelah melarikan diri mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.”
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan:
“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Penuturan pelaksana pidana penjara dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan berfungsi dalam pencapaian arah pemidanaan memberikan pembinaan yang berdasarkan 3 fase,12 antara lain:
-
a. rehabilitasi, resosialisasi, dan perbaikan pelaku warga binaan pemasyarakatan;
-
b. fungsi yustisi hukum pidana dan fungsi khusus hukum pidana, penciptaan kedisiplinan dan pengendalian pidana;
-
c. penciptaan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
Konsep Lembaga Pemasyarakatan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan:
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Pencapaian konsepsi pembinaan dalam pemasyarakatan secara rehabilitasi merupakan fokus bagi pembina bertanggungjawab atas praktik menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban mengatur perbuatan warga binaan pemasyarakatan terutama dalam pencegahan upaya pelarian diri dari Lembaga Pemasyarakatan. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) menggolongkan perbuatan pelarian diri narapidana sebagai pelanggaran kedisiplinan sehingga penjatuhan sanksi sebatas sanksi disiplin berupa tutupan sunyi atas kewenangan Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan konsep sistem peradilan pidana, tahapan aplikasi dan eksekusi khusus merupakan kendali Lembaga
Pemasyarakatan, tidak terdapat peraturan menerangkan kewenangan penyidik, penuntut umum, maupun hakim di dalamnya.13
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahung 2013 tentang Tata Tertib Rutan dan Lapas terkait disipliner menjatuhkan sanksi pengasingan maksimal 2 (dua) kali 6 (enam) hari dan mencabut kebebasan remisi, kunjungan keluarga, pembauran, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan sebagaimana secara lebih lanjut dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahung 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Disipliner tingkat berat merupakan lanjutan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menjabarkan sanksi disiplin adalah pemberian sanksi bukan berdasarkan suatu tindak pidana. Prosedur disipliner guna menindak risiko tinggi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah mengesahkan Peraturan Dirjen Pemasyarakatan Nomor PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Risiko Tinggi. Warga binaan pemasyarakatan dengan risiko tinggi harus menerima perlakuan istimewa dalam rangka menekan atau bahkan menghapuskan risiko yang ditimbulkan berdasarkan kualifikasi A dan B.
Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 10 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Rutan dan Lapas menjelaskan tindakan pelarian diri narapidana termasuk Pelanggaran Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan berkonsekuensi disipliner akibat pelanggaran tingkat berat sesuai dalam Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebut niat atas permulaan pelaksanaan dan selesainya perbuatan bukan akibat hasrat pribadi. Perlakuang istimewa terhadap warga binaan pemasyarakatan berisiko tinggi disebabkan oleh keinginan dan risiko yang inheren dalam dirinya. Dasar moral atas keistimewaan tersebut tidak seutuhnya berbenturan dengan asas persamaan perlakuan dan pelayanan (asas non diskriminasi).
Perlakuan istimewa kini telah menyesuaikan prinsip perseorangan dalam pembinaan seperti yang telah dipertimbangkan dalam poin 252 The United Nations Implementation of The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners dan sesuai dengan kriteria Pasal 12 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan termasuk dalam kualifikasi A Peraturan Dirjen Pemasyarakatan Nomor PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 tentang Proseduri Tetap, yaitu penilaian terhadap tahanan khusus yang mengandung asesmen ke dalam jaringan aktif, berkapabilitas mengoperasikan amunisi, senjata, dan bahan peledak, mempunyai catatan pelarian diri, memegang kanal dan kekuasaan internal Lembaga Pemasyarakatan, terbukti secara sah terlibat percobaan pelarian diri, berkeahlian melarikan diri dengan atau tanpa asistensi dukungan pihak lain, pernah mengulangi tindak pidana, terpidana vonis mati dan seumuri hidup. Narapidana risiko tinggi didefinisikan sebagai tahanan yang dinilai memiliki risiko signifikan terpaut:
-
a. safety, mengancam diri, sesama warga binaan pemasyarakatan, dan personel atau tamu Lembagai Pemasyarakatan;
-
b. stability, intimidasi harmonisasi di penjara, tidak suportif/kooperatif;
-
c. security, berisiko tinggi;
-
d. reoffending, residivisme, dan;
-
e. society, jaringan organisasi kriminal berbahaya.14
Menyadari kenyataan penyebab utama perbuatan pelarian diri narapidana didorong oleh ketidakinginan narapidana menjalankan masa hukuman yang dijatuhkan, memicu keinginan meraih kebebasan seketika, melepaskan diri dari kewajiban dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.15 Cochrane terkait upaya sistematis faktor pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan disebabkan oleh perilaku narapidana yang dibagi menjadi 10 bagian, antara lain:
-
a. ketidaknyamanan yang diderita narapidana berada di Lembaga Pemasyarakatan;
-
b. masa tahanan atau pidana yang lama;
-
c. kebiasaan melanggar ketertiban dan kedisiplinan;
-
d. umumnya di bawah usia 30 tahun;
-
e. memiliki catatan pekerjaan kurang baik;
-
f. termasuk dalam jaringan organisasi kriminal berbahaya;
-
g. tidak koorporatif;
-
h. berani, memiliki kepribadian agresif;
-
i. memiliki ketidakstabilan mental;
-
j. tingkat kecerdasan rendah.
Faktor eksternal penyebab perbuatan pelarian diri narapidana berpengaruh dan berperan secara sengaja maupun atas ketidaksengajaan. Keterlibatan faktor lingkungan sebagai faktor signifikan, umumnya aksi pelarian diri dilaksanakan secara berkelompok. Rendahnya tingkat keamanan dan pengawasan petugas pemasyarakatan atau jauh dari kondisi ideal rasio 1 banding 25 dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan. Kondisi bangunan yang kurang modern dan kurang memadai memudahkan kesempatan narapidana melancarkan aksinya. Penemuan terkait pernyataan tingkat kekerasan yang terjadi dalam Lembaga Pemasyarakatan baik dilakukan oleh petugas ataupun sesama narapidana mengindikasikan rendahnya mutu Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.16
Lembaga Pemasyarakatan selaku sarana pembinaan warga binaan pemasyarakatan juga bertugas sebagai institusi pembelajaran yang bertujuan memajukan warga binaan pemasyarakatan dengan memberikan rencana pengembangan spiritual dan independensi, berbentuk pembinaan kompetensi dan pembinaan spiritual yang berguna untuk membekali warga binaan pemasyarakatan kembali ke masyarakat. Nyatanya, dewasa ini Lapas tidak lagi menjadi tempat pembinaan, akibat kenyataan akan keadaan Lapas yang buruk sejalan dengan kelebihan kapasitas narapidana ditemukan hampir di semua Lapas di Indonesia. Identifikasi aspek
yang dapat memprakirakan akan terpidana kembali melakukan tindak pidana, lima prediktor tersebut antara lain:
-
a. antisosial terhadap nilai-nilai yang berlaku (antisocial values);
-
b. antisosial terhadap kelompok sebaya (antisocial peers);
-
c. kontrol diri yang lemah, manajemen diri, dan keterampilan memecahkan masalah (lacking self control, self-governing, and problem solving process);
-
d. disfungsi keluarga (family dysfunction), dan;
-
e. kriminalitas masa lalu (past criminality).17
Lembaga Pemasyarakatan dalam konteks keadaan kehidupan yang penuh akan kekerasan, pemerkosaan, homoseksual, dan kondisi yang tidak sehat begitu umum dijadikan alasan pembenar narapidana melakukan perbuatan pelarian diri sebagai bentuk pertahanan berdasarkan keadaan memaksa. Prinsip tersebut mempertegas apabila pengelolaan oleh petugas pemasyarakatan menyebabkan narapidana tersiksa adalah daya paksa, dan apabila dapat dibuktikan, berdasarkan batasan kualifikasi psikologis.18
Secara teori, pertahanan terhadap paksaan tersedia untuk seseorang melakukan pelanggaran di bawah ancaman atau desakan akibat kondisi yang tidak memungkinkan korban ancaman melakukan perlawanan.19 Hak melakukan pembelaan atas perbuatan terlarang berdasarkan undang-undang di keadaan darurat merupakan hal tepat untuk dilaksanakan, terlebih apabila ancaman telah melampaui batas kendali sehingga memaksa korban untuk bertindak.20 Syarat pembelaan darurat terbagi atas perbuatan yang dilakukan terpaksa yang mengakibatkan pertahanan sangat diperlukan dengan memperhatikan keseimbangan tertentu antara pembelaan dengan ancamannya.21
Konsep konvensional dalam konteks perkara pelarian narapidana berkelemahan pada pembatasan ketat mengenai syarat bertindak mengatasi ancaman yang timbul dalam lingkungan pemasyarakatan. 22 Pakar hukum pidana Herbert L. Packer mengungkapkan choice-of-evils defence apabila sebuah opsi yang tepat diambil meski melanggar hukum pidana, tetap dapat dihapus pidananya. Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur perbuatan seseorang melindungi diri atau barangnya dari agresi yang melawan hak. Defensi darurat dalam rangka perlindungan diri, hakim dapat membebaskan segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) apabila perbuatan pelarian diri narapidana merupakan bentuk pertahanan berdasarkan keadaan memaksa yang dapat dibuktikan.23
Hal-hal yang memerlukan pengkajian lebih lanjut adalah terkait perubahan undang-undang yang menjelaskan peraturan apabila seseorang yang dalam masa tahanan atau hukuman penjara melakukan percobaan pembobolan dan/atau berhasil
melarikan diri, meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan tanpa proses pembebasan yang sesuai dengan hukum, seharusnya dapat dituntut atas perbuatan yang dapat dipidana dengan hukuman tambahan kurungan penjara sampai dengan 5 tahun. Selain Pasal 426 KUHP dan Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan seharusnya juga menjelaskan aturan yang berlaku bagi pihak yang terlibat selain penyidik atau pejabat kepolisian dalam menjalankan kebijakan hukum pidana yang bertujuan sebagai penanggulangan tingkat kejahatan dan pencegah timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan mengkriminalisasi tindakan seseorang yang dengan sengaja memberikan bantuan dalam pelarian, menyembunyikan narapidana dalam pelarian, atau harboring sehingga dapat diancam dengan sanksi pidana tidak lebih dari 3 tahun penjara.
-
3.2. Formulasi Aturan Perundang-Undangan Pidana Perbuatan Pelarian Diri Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
Kontemplasi secara langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan memiliki dampak terhadap sistem pembinaan para pelaku tindak pidana sebagai sub sistem peradilan pidana yang saat ini belum efektif bahkan dipandang berpotensi meningkatkan dekulturasi dalam masyarakat. Pentingnya konsistensi atas konsepsi pemasyarakatan, mengembangkan keamanan dan kontrol sistem peradilan pidana yang bertujuan mewujudkan kepentingan nasional, masyarakat, maupun korban tindak pidana. Fakta terkait kurangnya landasan hukum falsafah pemidanaan yang bersifat umum serta belum terdapat kesempatan untuk mencapai tujuan pemidanaan dalam sistem peradilan pidana, kebijakan antisipatif pencantuman tujuan pemidanaan seharusnya lebih dikembangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.24
Titik kelemahan sisi pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan menunjukkan kemungkinan paling fatal katastrofe manusia oleh sistem yang berakibat pada tindak kekerasan hingga pelarian diri narapidana. 25 Korelasi tidak langsung di antara rendahnya tingkat pengamanan dan mutu proses pembinaan mencapai tujuan pemidanaan berakibat pada perbuatan pelanggaran narapidana bagi yang tidak sanggup menjalankannya. Upaya represif menggolongkan perbuatan pelarian diri narapidana sebagai suatu tindak pidana perlu memperhatikan batasan kriteria umum parameter kriminalisasi, termasuk di dalamnya mengenai apakah perbuatan pelanggaran dapat diterima masyarakat dan bagaimana dampak yang dapat ditimbulkan atas pelanggaran tersebut.26
Penegakan hukum pada konteks pembuatan undang-undang, pengembangan kapasitas penegak hukum, dan reformasi penanggulangan yang memperhatikan prinsip biaya dan hasil dalam penggunaan hukum pidana perbuatan pelarian diri dari
Lembaga Pemasyarakatan agar sejalan dengan tujuan pembangunan nasional mencapai kesejahteraan dalam pengutamaan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat.27 Melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan atau rechtsgüterschutz durch rechtsgütterverletzung, problematika pelaksanaan hukum pidana di satu sisi dilaksanakan dengan mengorbankan aturan hukum itu sendiri, sehingga memerlukan komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum menciptakan produk hukum sesuai simposium sederhana atas pembatasan prinsip moral untuk diundangkan.
Pada hakikatnya reformasi hukum pidana merupakan upaya untuk mengarahkan dan menilai kembali nilai-nilai sentral yang mendasari dan memberikan muatan pada muatan preskriptif dan substantif yang dicita-citakan dalam hukum pidana. 28 Tujuan Lembaga Pemasyarakatan sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai alat pengakomodir pemenuhan tujuan pembangunan nasional dalam konteks kesejahteraan kerap bertolak belakang dengan kenyataan atas perbuatan pelarian diri narapidana sebagai bukti Lembaga Pemasyarakatan belum berhasil memberikan pembinaan yang mampu mengakibatkan ketidakseimbangan dalam tatanan masyarakat sehingga penting untuk dikriminalisasikan.
Meluluskan reformasi hukum pidana pada dasarnya termasuk aspek kebijakan penal dan bagian dari law enforcement policy, criminal policy dan social policy, sebagai bentuk upaya rasional membentuk kebijakan memperbarui materi hukum dalam rangka mengefektifkan dan mengefisiensikan aturan, bertujuan menanggulangi permasalahan sosial dan kemanusiaan, serta memuatkan aturan inklusif komprehensif sebagai bagian publik dan masyarakat.
Kinerja hukum dalam suatu masyarakat memperhatikan interaksi hukum dengan kehidupan sosial maupun politik dalam masyarakat. 29 Mereformasi hukum pidana terdapat poin yang perlu diamati berpautan dengan kriminalisasi antara persoalan perbuatan yang dilarang, pelaku tindakan terlarang, dan pidana yang diancam terhadap pelanggaran atas larangan tersebut. Perbuatan terlarang menyangkut kriminalisasi pemenuhan subjek hukum pidana, pelanggaran larangan perbuatan pelarian diri narapidana merupakan masalah strict liability atau klausa pertanggungjawaban atas kesalahan namun sampai detik ini belum terpecahkan keterkaitan antara perbuatan tersebut dengan undang-undang yang menyatakan perbuatan tersebut tergolong sebagai suatu tindak pidana. 30 Pemerintah sebaiknya menyusun rangka penanggulangan perbuatan pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan sebagai langkah pembinaan dan penjeraan bagi pelanggar sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Amerika Serikat tegas menggolongkan perbuatan pelarian diri narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan sebagai bentuk tindakan kriminal, termasuk di dalamnya aturan hukum bagi pihak yang memberikan bantuan kepada narapidana yang mencoba melarikan diri dari penahanan. Pelanggaran hukum federal sesuai 18 U.S. Code chapter 35 tentang Escape and Rescue, terbagi atas pasal-pasal yang mengatur tentang pelarian diri dan penyelamatan dalam 18 U.S. Code section 751 sampai section 758. Tiap-tiap pasal
mengandung jenis-jenis pelanggaran hukum, menetapkan hal yang perlu dibuktikan penuntut umum di persidangan, dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa sesuai perbuatannya.
18 U.S. Code section 751 menetapkan bahwa melarikan diri atau melakukan percobaan pelarian diri dari tahanan Jaksa Agung Amerika Serikat, atau perwakilan resmi dari Jaksa Agung, atau institusi atas perintah Jaksa Agung melakukan penahanan, dan/atau pejabat yang diberikan kewenangan atas perintah berdasarkan hukum Amerika Serikat dapat dikenakan sanksi khusus atas perbuatan berdasarkan kondisi tertentu. Seorang terdakwa yang lolos dari penahanan dapat didenda dan dijatuhi hukuman maksimal hingga lima tahun penjara.
18 U.S. Code section 752, di satu sisi, mendefinisikan pelanggaran menghasut atau membantu pelarian, mencakup hukuman hingga lima tahun penjara atas perbuatan turut serta memberikan bantuan seseorang dari tahanan atau kurungan dari tuduhan perkara kejahatan. Larangan petugas dalam pemberian bantuan pelarian narapidana juga dijelaskan dalam 18 U.S. Code section 755 menetapkan hukuman dalam bagi petugas yang mengizinkan narapidana melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan dapat didenda atau dijatuhi hukuman satu tahun apabila alpa dalam hal pengawasan dan/atau hukuman maksimal hingga lima tahun atas unsur kesengajaan.
Undang-undang secara lengkap menyebutkan larangan atas berbagai jenis bantuan yang disalurkan kepada narapidana, meskipun sebatas masukan atau nasihat, menyembunyikan atau menyelundupkan narapidana keluar, memberikan perlindungan pelarian, membantu, menghilangkan, membawa, atau merahasiakan perbuatan pelarian narapidana akan diberlakukan hukuman yang menyesuaikan definisi khusus setiap perbuatannya.
Rujukan konstruksi delik pelarian narapidana dalam pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan memperbaiki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Rutan dan Lapas, menggunakan asas lex certa atau perbuatan pidana dikonstruksikan secara mendetail,31 sesuai Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terkait subjek hukum dan status narapidana, mengualifikasikan dua jenis pidana penjara atau kurungan, termasuk di dalamnya kepada terpidana mati dalam praktik yang sebatas penitipan di Lembaga Pemasyarakatan, atas perbuatan melarikan diri yang memerlukan pengkajian lebih lanjut, mempertimbangkan bentuk pertahanan berdasarkan keadaan memaksa, atau merupakan bentuk pelepasan diri dari jeratan pidana.32
Upaya preemtif sebagai bagian tahapan awal oleh petugas pemasyarakatan mencegah perbuatan pelarian diri dari Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan dengan memberikan pembinaan penanaman nilai atau moral terhadap narapidana melalui pendekatan pribadi dan personal dalam pemenuhan hak narapidana selama menjalani hukumannya. Pelaksanaan pembinaan tahanan dijalankan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 7 Peraturan Pemertintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diantaranya menguraikan pembinaan warga binaan pemasyarakatan menjadi beberapa fase pembinaan yang terbagi atas fase awal, setiap narapidana yang masuk ke Lembaga Pemasyarakatan diadakan penelitian guna mencari hal yang berkaitan dengan dirinya, meliputi pemicu perbuatan melanggar, dan
seluruh data mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, kerabat, kolega kerja, korban perbuatannya, serta dari aparat instansi lain yang pernah mengatasi perkaranya sehingga kegiatan ini bermanfaat guna memutuskan rancangan pelaksanaan program pembinaan perilaku dan independensi warga binaan pemasyarakatan. Pembinaan dalam fase ini dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyrakatan dan pengendaliannya dilakukan secara maksimal.
Penilaian risiko adalah metode sistematis yang berfungsi untuk mengetahui apabila suatu kegiatan memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak dengan menitikberatkan metode kajian dan penafsiran risiko melalui aktivitas dasar tertentu. Secara prinsip, faktor analisis risiko yang dimaksud ialah risk identification atau proses identifikasi risiko yang dapat terjadi disertai dengan penggolongan langkah pemetaan pemicu, pengaruh dan imbas dari hasil risiko tersebut. Hasil dari tingkatan terbagi menjadi fase identifikasi risiko berdasarkan jenis, penjelasan, penyebab, konsekuensi, dan pengendalian terhadap risiko, area risiko, dan sub-area risiko. Risk analysis atau kajian risiko yang dapat timbul dilakukan dengan memberikan penilaian atau penafsiran risiko bertujuan untuk menemukan tingkat risiko yang ada sehingga dapat dikurangi dan meninggalkan risiko tersisa. Risk evaluation atau tahap inspeksi secara berkala berfungsi memberikan peninjauan teratur terhadap potensi risiko dari tiap-tiap warga binaan pemasyarakatan.
Penilaian efek atau akibat dari asesmen dilaksanakan guna mencari tingkatan risiko berulangnya tindak pidana dari klien pemasyarakatan ataupun narapidana. Asesmen keperluan merumuskan evaluasi yang dilaksanakan untuk mengidentifikasi ketepatan proses perbaikan dan pengarahan klien pemasyarakatan berdasarkan aspek yang berkorelasi berdasarkan kejahatan atau pelanggarannya. Pemahaman risiko dan kebutuhan perlu dilakukan secara berulang dan koheren dilaksanakan per tahun guna memberikan peninjauan pra pertimbangan ketika terdapat keterangan baru yang mampu berimbas terhadap transformasi tingkatan risiko pengulangan tindak pidana. Orientasi tahap preservasi dan tahap risiko diselaraskan dengan hasil penemuan berdasarkan hasil dari asesmen tersebut.33
Ketika prosedur pembinaan kepada klien pemasyarakatan telah beroperasi sampai dengan 1/3 dari masa pemidanaannya, serta berdasarkan data Tim Pengamat Pemasyarakatan telah memperlihatkan perkembangan atau mengisyaratkan perubahan kedisiplinan dan kepatuhan terhadap tatib Lembaga Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan berhak memperoleh privilese untuk diberikan penempatan di Lembaga Pemasyarakatan dengan pengawasan tingkat menengah atau medium security.
Ketika prosedur pengarahan terhadap klien pemasyarakatan telah menempuh 1⁄2 dari masa pemidanaan dan berdasarkan rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah memenuhi syarat baik fisik, psikologis, serta keahlian, dan kemahirannya, operasi pembinaannya diperluas dengan membagi pelaksanaannya menjadi dua segmen yang bermula semenjak selesainya fase pertama hingga pada separuh dari masa pemidanaan yang telah ditempuhnya. Prosedur pembinaan diselenggarakan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pengendaliannya diarahkan untuk memasuki tahap pengawasan tingkat menengah. Fase kedua diawali dari akhir periode lanjutan fase pertama hingga 2/3 dari masa pemidanaannya dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pada fase lanjutan ini, klien pemasyarakatan telah menempuh tahap asimilasi sehingga kemudian mampu untuk diberikan keringanan berupa pelepasan
bersyarat atau cuti sebelum pelepasan dengan pengendalian keamanan tingkat minimum.
Pembinaan fase akhir ketika prosedur pembinaan sudah menempuh 2/3 dari masa pemidanaan yang semestinya atau setidaknya 9 bulan, kegiatan berupa persiapan serta implementasi agenda integrasi berawal dari sejak berakhirnya fase lanjutan sampai dengan fase akhir dari masa pemidanaan warga binaan pemasyarakatan apabila yang bersangkutan telah sesuai dan memenuhi syarat. Prosedur selanjutnya akan diberikan untuk mempersiapkan narapidana untuk mendapatkan cuti menjelang bebas atau pelepasan bersyarat dan pembinaannya dilaksanakan di luar Lembaga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan.
Langkah preventif dalam maksud penghindaran terjadinya perbuatan pelarian diri adalah dengan memberikan pembinaan kepada klien pemasyarakatan melalui edukasi maupun bimbingan kerja serta keterampilan. Membatasi ruang gerak narapidana melalui pembatasan akses areal khusus yang dapat dimasuki oleh warga binaan pemasyarakatan maupun dari segi aparat. Integrasi sosial menciptakan ikatan yang berpadanan di antara sesama klien pemasyarakatan serta antara warga binaan pemasyarakatan dengan personel pemasyarakatan, membentuk program yang berfungsi menanamkan pembenahan psikologis klien pemasyarakatan dengan membentuk sesi pendektatan secara personal bekerjasama dengan dokter dan psikolog dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta meningkatkan mutu dan keamanan Lembaga Pemasyarakatan adalah aspek utama upaya pencegahan pelanggaran di dalam Lembaga Pemasyarakatan termasuk pelarian diri narapidana.
IV. Kesimpulan
Keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terkait disipliner perbuatan pelarian diri narapidana saat ini belum memiliki muatan sanksi pidana serta mekanisme penanggulangan perbuatan pelanggaran bagi aparat penegak hukum untuk menjalankan fungsi pengembalian narapidana ke Lembaga Pemasyarakatan akibat kekosongan hukum yang berdampak pada penegakan hukumnya. Jenis dan beratnya hukuman untuk pelarian diri narapidana seharusnya bergantung pada faktor-faktor yang berbeda, termasuk penjabarannya di pengadilan untuk dapat membuktikan serta menentukan hukuman yang tepat bagi pelaku pelanggaran serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan ditetapkannya perubahan yang mengategorikan perbuatan pelarian diri narapidana sebagai suatu perbuatan pidana diharapkan dapat mencegah serta mengurangi perbuatan pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Pentingnya akan perubahan aturan dengan menetapkan undang-undang yang mengatur apabila seseorang yang dalam masa tahanan atau hukuman penjara melakukan percobaan pembobolan dan/atau berhasil melarikan diri, meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan tanpa proses pembebasan yang sesuai dengan hukum, seharusnya dapat dituntut atas perbuatan yang dapat dipidana dengan hukuman tambahan kurungan penjara tidak lebih dari 5 tahun. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan seharusnya juga menjelaskan aturan yang mengkriminalisasi tindakan seseorang yang dengan sengaja memberikan bantuan dalam pelarian, menyembunyikan narapidana dalam pelarian, atau harboring diancam dengan hukuman pidana maksimal 3 tahun penjara. Lembaga Pemasyarakatan berkewajiban untuk turut berperan dalam mencegah pelarian diri narapidana melalui upaya preventif perbuatan pelanggaran dengan memberikan batasan akses kepada
narapidana, reintegrasi sosial yang membangun hubungan antar sesama narapidana ataupun dengan petugas, memberikan pembinaan kemandirian atau kegiatan kerja dan keterampilan bagi warga binaan pemasyarakatan, serta meningkatkan keamanan sebagai upaya preemtif dan represif, membentuk undang-undang atas evaluasi aspek keamanan dan perlindungan warga binaan pemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Juniver Girsang. Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta, JG Publishing, 2012).
Beni Ahmad Saebani dan Yana Sutisna. Metode Penelitian (Bandung, Pustaka Setia, 2018).
Shane Bryans dan Tomris Atabay. Handbook on the Management of High-risk Prisoners (New York, UNODC, 2016).
Jurnal
Agus Satory dan Hotma Pardomuan Sibuea. “Problematika Kedudukan dan Pengujian Peraturan Mahkamah Agung secara Materiil sebagai Peraturan Perundang-Undangan”, Pakuan Law Review 6, No. 1 (2020).
Ainal Hadi. “Hukuman Tata Tertib Sebagai Instrumen Penertiban dan Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum 16, No. 1 (2014).
Angkasa. “Over Capacity Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab, Implikasi Negatif, serta Solusi dalam Upaya optimalisasi Pembinaan Narapidana”, Jurnal Dinamika Hukum Universitas Jenderal Sudirman 10, No. 3 (2010).
Bryce Eling Peterson. “Newswortess of Prison Escapes: Content Analysis of Factors Influencing Print Media Coverage, 2006-2010”, American International Journal of Social Science 3, No. 1 (2014).
Haryono. “Kebijakan Perlakuan Khusus terhadap Narapidana Risiko Tinggi di Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Gn. Sindur)”, JIKH 11, No. 3 (2017).
Muhammad Fatahillah Akbar.“Politik Hukum Pidana terhadap Perbuatan Narapidana Melarikan Diri dari Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia”, Jurnal Hukum & Pembangunan 50, No. 1 (2020).
Penny Naluria Utami. “Keadilan Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Justice for Convicts at the Correctional Institutions)”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure Kemenkumham 17, No. 3 (2017).
Purniati, “Mencari Sebab Pelarian Narapidana Anak”, Jurnal Kriminologi Indonesia 3, No. 3 (2014).
Rahmat Hi Abdullah. “Urgensi Penggolongan Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan”, Jurnal Fiat Justisia 9, No. 1 (2015).
Rizanizarli. “Kriminalisasi di Luar KUHP dan Implikasinya terhadap Hukum Acara Pidana”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum 63, No. 1 (2014).
Simeon Tonggengbio. “Sistem Pemidanaan Dalam Penjatuhan Pidana Penjara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyara-rakatan”, Lex Administratum Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi IV, No. 3 (2016).
Sri Wulandari. “Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan terhadap Tujuan Pemidanaan”, Jurnal Ilmiah Serat Acitya Universitas 17 Agustus 1945 9, No. 2 (2010).
Yahya A. Z.. “Problematika Pengamanan Narapidana dan Tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Tarakan”, Pandecta Research Law Journal 6, No. 1 (2011).
Wetrianto Limpong. “Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Dalam Melakukan Tindakan Saat Melaksanakan Tugas”, Lex et Societatis Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi 3, No. 8 (2015).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm.267-282
282
Discussion and feedback