GAGASAN MEKANISME EX ANTE REVIEW SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS LEGISLASI DI INDONESIA

Ayu Putu Cyntia Jaya Nareswari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Nyoman Mas Aryani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

MK memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas suatu UU. Tingginya permohonan pengujian di MK secara tidak langsung memperlihatkan kurang maksimalnya kualitas legislasi di Indonesia. Banyak materi muatan dalam UU yang berlaku dirasa bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga menimbulkan kerugian konstitusional. Sesuai amanat UUD NRI 1945, suatu UU yang dirasa inkonstituional hanya dapat diselesaikan dengan satu-satunya jalan yaitu melalui konstitusional review di MK. Pada dasarnya upaya konstitusional review ini tidak dapat sepenuhnya menekan kerugian inkonstitusional, meskipun sudah mencapai tujuan melindungi hak konstitusional warga Negara. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gagasan mekanisme ex ante review bisa muncul di Indonesia serta bagaimana kesesuaian sistem pengujian ex ante review apabila diterapkan di Indonesia sebagai upaya meningkatkan kualitas legislasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan UU, pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah. Dari pembahasan artikel ini dapat diketahui bahwa tidak mudah untuk mengkontruksi mekanisme ex ante review di Indonesia karena perlu melakukan amandemen terhadap konstitusi serta mengetahui bahwa upaya peningkatan kualitas legislasi juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan proses pembentukan UU oleh parlemen dan memperhatikan partisipasi masyarakat.

Kata Kunci: Ex ante review, Legislasi, Mahkamah Konstitusi

ABSTRACT

The Constitutional Court has the authority for the constitutionality of a law.The high number of petitions for review in the Constitutional Court indirectly shows the poor quality of legislation in Indonesia.Many of the material contained in the applicable law are deemed contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, causing constitutional losses. In accordance with the mandate of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, a law that is deemed unconstituional can only use the only way, namely through a review in the Constitutional Court. In a prudent effort, this constitutional review cannot overcome unconstitutional losses, even though it has achieved the goal of protecting the constitutional rights of citizens. The purpose of this research is to see how the ex ante mechanism can emerge in Indonesia and how the appropriateness of the ex ante review system when applied in Indonesia as an effort to improve the quality of legislation in indonesian. The method used in this research is a normative legal research method by using statue approach, a conceptual approach and a historical approach. From this article, it can be seen that it is not easy to construct an ex ante review in Indonesia because it is necessary to amend the constitution as well as indicators that improving the quality of legislation can also be done by the process of making legislation orders and paying attention to public participation.

Keywords: Ex ante review, Legislation, Constitutional Court

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Seringkali suatu Peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang (berikutnya disebut UU) yang dibuat oleh lembaga pembentuknya yang masih dalam bentuk rancangan maupun yang telah diundangkan menimbulkan problematika di masyarakat. Tak jarang dalam proses pembentukannya masyarakat tidak diikutsertakan sehingga muncul protes dari masyarakat yang merasa peraturan tersebut tidak menimbulkan rasa keadilan. UU merupakan norma hukum yang berfungsi mengatur kehidupan bermasyarakat dimana masyarakat berhak menilai apakah suatu peraturan telah dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik. Banyaknya peraturan yang memunculkan problematika di masyarakat telah mencerminkan kualitas legislasi di Indonesia. Kuatnya faktor politis dalam proses pembentukannya memberikan pengaruh besar terhadap kualitas produk hukum. Lembaga pembentuk UU harus lebih memperhatikan kembali tujuan dan sasaran pembentukannya agar terhindar dari masalah-masalah yang memicu konflik di masyarakat.

Masyarakat Indonesia telah menunjukkan kepekaan dan keikutsertaanya dalam proses pembangunan bangsa. Salah satunya peka terhadap produk hukum baik yang telah melalui proses pengesahan maupun yang masih dalam tahap pembahasan atau bahkan yang masih menjadi usulan. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya merupakan bentuk protes yang dilakukan untuk mencari keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekhawatiran masyarakat terhadap adanya kepentingan politik yang disisipkan dalam suatu peraturan mendorong masyarakat untuk lebih memperhatikan proses pembentukannya. Apabila peraturan tersebut telah diundangkan maka upaya yang dapat ditempuh hanya melakukan uji materi terhadap pasal maupun seluruh batang tubuh UU tersebut. Gagalnya pemberlakuan suatu peraturan Perundang-undangan mengakibatkan banyaknya pengujian UU yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (berikutnya disebut MK). Disitulah tugas MK untuk menguji UU terhadap konstitusi. Pada proses konstitusional review tersebut banyak pasal yang dihapus bahkan tidak sedikit produk UU yang dibatalkan. Salah satu penyebabnya adalah adanya ketidakharmonisasian. Ketika ada pasal yang dibatalkan seringkali terjadi kekosongan hukum yang menimbulkan adanya ketidakpastian di masyarakat. Banyaknya kasus uji materi di MK memperlihatkan bahwa lembaga pembentuk UU harus lebih serius dalam membahas suatu rancangan UU dan lebih memperhatikan konstitusionalitasnya. Dampak dari gagalnya produk hukum ini menimbulkan rasa ketidakadilan dalam masyarakat sehingga tidak dapat mewujudkan keseimbangan, kepatutan dan kewajaran terhadap produk hukum tersebut. Ketika suatu UU dikatakan tidak sejalan dengan UUD NRI 1945 maka MK menyatakan tidak ada kekuatan hukum yang mengikat terhadapnya.1

Melihat banyaknya kasus tersebut, kemudian muncul gagasan baru untuk menekan kerugian konstitusional warga negara terhadap diberlakukannya suatu UU. Gagasan ini mengambil ide dari mekanisme pengujian Rancangan UU model Perancis. Negara Perancis mengenal sistem ini dengan istilah ex ante review. Lembaga yang berwenang menguji RUU adalah Dewan Konstitusi. Dewan Konstitusi ini bukanlah lembaga peradilan melainkan lembaga politik khusus yang dibuat untuk dapat menjalankan fungsi evaluasi RUU. Perlu diperhatikan pula bahwa objek pengujian

pada sistem ex ante review ini yaitu merupakan rancangan UU yang telah disahkan oleh parlemen namun belum melalui proses pengesahan dan pengundangan oleh Presiden.2 Apabila melihat kembali objek dari pengujiannya maka dapat dikatakan sistem ini akan membantu mengurangi banyaknya peraturan yang diujikan ke MK. Namun perlu diperhatikan kembali apakah mekanisme pengujian rancangan UU tersebut dapat diterapkan di Indonesia melihat subjek dan objek pengujiannya yang berbeda dengan sistem pengujian Perundang-undangan di Indonesia. Penulisan artikel ini membahas dua hal yang menjadi pokok bahasan. Pertama adalah bagaimana munculnya gagasan mekanisme ex ante review sebagai pembaharuan sistem pengujian UU di Indonesia¸ kemudian apakah sistem ini sesuai dengan sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang diterapkan di negara Indonesia. Ide mengkontruksi mekanisme ini telah muncul di beberapa artikel hukum. Salah satu yang menjadi acuan dalam penulisan artikel ini adalah sebuah artikel hukum oleh Desy Wulandari yang berjudul Ex Ante Review dalam Mewujudkan Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Artikel tersebut menjelaskan mengenai perbandingan sistem pengujian konstitusional di Indonesia dan Perancis serta ide untuk memasukkan sistem ini ke dalam perundang-undangan di Indonesia. Perbedaan pembahasan dengan artikel ini yaitu artikel ini akan mengkaji lebih jauh terhadap kesesuaian sistem pengujian ex ante review yang merupakan gagasan untuk meningkatkan kualitas legislasi peraturan perundang-undangan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang menjadi pokok bahasan artikel ini adalah :

  • 1.    Bagaimana munculnya gagasan mekanisme ex ante review sebagai pembaharuan sistem pengujian UU di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana kesesuaian sistem pengujian ex ante review apabila diterapkan di Indonesia sebagai upaya meningkatkan kualitas legislasi peraturan perundang-undangan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Terhadap permasalahan diatas, maka artikel ini selanjutnya ditulis agar menjawab dan membahasnya secara jelas sehingga tujuan penulis dalam menulis artikel ini dapat tercapai, adapun tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana suatu gagasan sistem pengujian rancangan UU melalui mekanisme ex ante review bisa muncul dan diyakini dapat mengurangi permohonan pengujian UU di MK. Tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui apakah mekanisme ex ante review sebagai gagasan baru untuk membentuk sistem yang mampu menekan kerugian konstitusional setiap warga negara terhadap berlakunya suatu UU telah sesuai dengan sistem pengujian Perundang-undangan di Indonesia.

II . Metode Penelitian

Penulisan suatu artikel memerlukan suatu metode agar tulisan tersebut tersusun secara baik dan sistematis. Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk menentukan metode penelitian yang digunakan sebagai acuan menulis suatu artikel. Penulisan artikel ini menggunakan jenis penelitian normatif, yang mana objek

penelitiannya adalah norma hukum.3 Segala sumber maupun data yang digunakan untuk menunjang penelitian didapatkan dari studi kepustakaan seperti dokumen tertulis, literatur-literatur, jurnal ilmiah serta peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Jenis penelitian hukum normatif didasarkan pada studi kasus normatif seperti melakukan kajian suatu produk hukum. Artikel ini tidak bermaksud untuk menguji suatu gagasan atau hipotesis ilmiah, melainkan memberikan suatu pandangan baru terhadap suatu gagasan yang telah ada sebelumnya dan menjawab permasalahan yang muncul beserta kesimpulan dan saran. Pendekatan penelitian yang dipakai sehubungan dengan penulisan artikel ini adalah pendekatan Perundang-undangan(statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) serta pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan Peraturan Perundang-undangan menelaah ketentuan peraturan di Indonesia. Untuk memahami konsep yang berkaitan dengan konsep Negara hukum di Indonesia dan konsep Negara hukum di Negara pembanding dalam artikel ini serta menelaah pandangan maupun doktrin dalam ilmu hukum dilakukan melalui pendekatan konsep.4 Pendekatan sejarah digunakan untuk melihat bagaimana sejarah sistem Perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia untuk mengetahui politik hukum kewenangan MK yang memiliki kaitan dengan pembahasan artikel ini

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Bagaimana munculnya gagasan mekanisme ex ante review sebagai pembaharuan sistem pengujian UU di Indonesia ?

Kualitas suatu produk hukum memiliki pengaruh besar terhadap proses pembangunan nasional. Sebagai contoh keberlakuan UU menjadi sumber hukum dan menjadi acuan bagi pencapaian tujuan Negara. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menganut sistem hierarki. Teori jenjang norma hukum menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berlapis-lapis dan juga berjenjang di sebuah susunan yang disebut dengan hierarki, artinya norma yang lebih rendah bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi dan begitu seterusnya hingga suatu norma tidak dapat ditelusuri lagi bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm), teori ini dikemukakan oleh Hans Kelsen.5 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UUD NRI 1945 merupakan hukum yang mendasar dari sebuah Peraturan Perundang-undangan. Dapat diartikan bahwa peraturan dibawah konstitusi tidak boleh melenceng dari ketentuan didalamnya. Konstitusi menjamin terpenuhinya hak-hak konstitusional warga Negara. Perlindungan hak-hak warga Negara diatur dalam konstitusi, konstitusi memberikan amanat kepada MK yang tercantum dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitusion).

UU memiliki posisi penting dalam suatu negara hukum. UU dibentuk harus melalui tiga tahapan yaitu tahap ante legislative, tahap legislative dan tahap post legislative.6 Sebagai negara demokrasi, artinya negara Indonesia menerapkan asas kedaulatan rakyat sehingga dalam seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan melibatkan rakyat.7 Termasuk pada setiap tahapan proses pembentukkannya masyarakat dapat berkontribusi demi terjaminnya hak konstitusional setiap warga negara. Setiap warga Negara yang dirugikan terhadap diberlakukannya suatu UU dapat mengajukan permohonan pengujian UU ke MK. Sesuai Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU MK) yang dapat menjadi pemohon adalah setiap warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik/privat, lembaga negara.8 Hak konstitusional ini digunakan oleh setiap warga negara yang ingin melakukan pengujian UU. Proses ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat pada tahap post legislative. Banyaknya UU yang diujikan ke MK telah memperlihatkan secara tidak langsung bahwa produk hukum yang dibuat masih memiliki kelemahan hingga menyebabkan kerugian konstitusional seseorang. Berdasarkan data dari website jumlah putusan pengujian UU terhadap UUD NRI 1945 dari tahun 2003 sampai 2020 adalah sebanyak 1342 putusan.9 Banyak faktor yang mempengaruhi dalam proses pembentukannya, tidak hanya faktor yuridis tetapi juga bersentuhan dengan faktor non yuridis serta diikuti dengan kepentingan politik di dalamnya, karena legislasi merupakan sebuah agregat dari berbagai kepentingan.10 Sehingga dapat dikatakan produk hukum itu tidak dapat sepenuhnya menjamin hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia.

Pemberlakuan suatu UU disadari memiliki kemungkinan menimbulkan kerugian. Upaya judicial review pada dasarnya tidak dapat mencegah kerugian konstitusional seseorang karena sebenarnya kerugian tersebut telah terjadi setelah UU tersebut diberlakukan.11 Kemudian sebagai upaya menekan banyaknya permohonan judicial review maka muncul gagasan mereview rancangan UU. Sebagai suatu upaya pembaharuan sistem pengujian di Indonesia para pengamat hukum dan politik melihat bahwa mekanisme pengujian rancangan UU yang diterapkan di Negara Perancis dapat dijadikan gagasan untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Gagasan ini mengusulkan agar MK memiliki kewenangan untuk dapat melakukan pengujian ex ante review. Sehingga apabila RUU tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 maka RUU tersebut dapat langsung dicabut atau tidak dibahas lagi di DPR. Pemikiran ini yang menjadi dasar diperlukannya mekanisme baru untuk memperkecil gagalnya suatu produk UU.

  • 3.2    Bagaimana kesesuaian sistem pengujian ex ante review oleh MK apabila diterapkan di Indonesia sebagai upaya meningkatkan kualitas legislasi peraturan perUUan?

Perubahan ketiga UUD NRI 1945 telah menetapkan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan peradilan demi tegaknya hukum dan keadilan. Kewenangan menguji konstitusionalitas suatu UU merupakan kewenangan utama sekaligus menjadi dasar pembentukan MK untuk mewujudkan supremasi konstitusi.12 UU mengandung norma hukum yang mengikat secara umum dan seketika berlaku di masyarakat. Norma yang tercantum di dalamnya juga merupakan salah satu bentuk aspirasi masyarakat yang diformalkan guna mengatur kehidupan bermasyarakat. Dahulu sebelum lahirnya MK, parlemen (MPR yang tergabung dari anggota DPR serta utusan golongan dan daerah) merupakan satu-satunya lembaga yang secara absolut dapat menginterpretasikan dan juga menafsirkan konstitusi.13 Baru pada tahun 1999-2002 yang disebut sebagai reformasi konstitusi maka muncullah MK yang berwenang melakukan pengujian UU terhadap UUD NRI 1945. Lembaga ini disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitusion) dan satu-satunya yang boleh melakukan penafsiran konstitusi (the sole interpreter of the constitusion). Sesuai ketentuan Pasal 51A Ayat (3) dan Ayat (4) serta Pasal 56 ayat (4) dan Ayat (5) UU MK bahwa yang menjadi wewenang pengujian oleh MK mencakup pengujian UU meliputi tata cara pembentukan (formil) dan substansi muatan (materiil). Menurut Sri Soemantri, Hak menguji formiil yaitu wewenang memberi penilaian apakah produk hukum tersebut telah sesuai dengan prosedur pembentukan seperti yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku atau tidak. Sedangkan pengujian materiil berkaitan dengan isi atau kandungan materi dari produk hukum tersebut baik isi pasal, ayat, frasa, maupun kata dalam suatu kalimat.14 Konsep pengujian peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan pengujian yang dilakukan oleh lembaga kehakiman disebut dengan judicial review. Review artinya menilai atau menguji kembali, sehingga judicial review dapat diartikan sebagai pengujian atau peninjauan kembali yang dilakukan oleh hakim. Lebih khususnya judicial review adalah pengujian yang dilakukan oleh hakim untuk menguji konstitusionalitas suatu UU. UU yang dimaksud disini adalah UU yang secara resmi telah disahkan dan diundangkan. Hal ini selaras Pasal 50 UU MK.

Upaya judicial review pada dasarnya tidak dapat mencegah kerugian konstitusional karena kerugian tersebut telah terjadi setelah UU tersebut diberlakukan. Sederhananya, seseorang akan mengajukan permohonan pengujian ketika merasa haknya telah dilanggar akibat diberlakukannya suatu UU. Berdasarkan hal tersebut muncul gagasan memperbaharui sistem pengujian UU di Indonesia dengan mengkontruksi sistem pengujian RUU melalui mekanisme ex ante review. Mengkontruksi gagasan sistem ex ante review sebagai pembaharuan sistem pengujian peraturan Perundang-undangan di Indonesia memerlukan pertimbangan yang cukup besar. Perbedaan objek dan subjek yang sangat mendasar dalam sistem pengujian di Negara Indonesia dengan Negara Perancis menjadi sebuah pertanyaan besar apakah

sistem pengujian dengan mekanisme ex ante review dapat dikontruksi di Indonesia. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) konstitusi MK hanya berwenang menguji UU terhadap konstitusi. Secara tegas tidak dibenarkan RUU yang belum diberlakukan dapat dijadikan objek pengujian. Tahun 2014, MK pernah mengeluarkan putusan Nomor : 97/PUU-XII/2014 tentang kewenangan MK yang mengadili permohonan pengujian RUU yang sudah diberi persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam putusan tersebut MK menilai bahwa ia berwenang untuk mengadili RUU yang oleh DPR dan Presiden sudah mendapat persetujuan bersama, merupakan UU tanpa nomor.15 UU tanpa nomor dianggap sama dengan UU secara umum, terlebih lagi rancangan UU tersebut berpotensi menyebabkan kerugian hak konstitusional sehingga dapat dijadikan objek pengujian. Berdasarkan hal tersebut maka RUU yang dapat menjadi objek pengujian hanya RUU yang sudah mendapatkan persetujuan Bersama antara DPR dan Presiden

Berbeda halnya dengan sistem Perancis yang melakukan pengujian terhadap RUU yang telah mendapat pengesahan di parlemen namun belum disahkan dan diundangkan oleh Presiden. Subjek pengujiannya adalah sebuah lembaga politik yang menjalankan fungsi yudisial (kuasi-yudisial) yang disebut dengan Dewan Konstitusi. Menginstuksi sebuah mekanisme baru tentu melakukan suatu perubahan dalam sistem pengujian peraturan perundang-undangan. Kewenangan MK telah diatur dalam konstitusi Negara, kewenangan pengujiannya pun hanya terbatas pada menguji konstitusionalitas suatu UU. Dalam UU Nomor 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU berarti peraturan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Jelas yang menjadi objek kewenangan MK tersebut ialah UU yang sudah diundangkan oleh Presiden, sehingga perlu menambahkan kewenangan MK dengan mengamandemen UUD NRI 1945. Berdasarkan amandemen itulah nantinya dilakukan penyesuaian terhadap peraturan lain yang berada dibawahnya. Oleh James Julius Baber konstitusi merupakan dasar dari suatu pemerintahan, maka dari itu konstitusi tidak boleh diubah dengan mudah.16 Konstitusi dikatakan sebagai kerangka bangunan pemerintahan yang menjamin hak asasi manusia yang disepakati oleh masyarakat dengan tujuan mengatur dan membina masyarakat itu juga.17 Gagasan untuk menambahkan kewenangan MK melalui amandemen UUD NRI 1945 dirasa begitu sulit. Jika hanya menambahkan kewenangan MK dalam konstitusi maka akan sulit untuk mewujudkannya karena mengubah konstitusi tidak dapat dengan mudah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan momen tertentu. Maka perlu dilihat kembali urgensi mengkonstruksi mekanisme ex ante review ke dalam sistem Perundang-undangan Indonesia. Apabila berkaca dengan sistem Perancis maka sesuai dengan subjek pengujinya dilakukan oleh Dewan Konstitusi. Mekanisme pengujian RUU dengan mekanisme ex ante review ini telah lumrah diterapkan di berbagai Negara seperti Perancis, Belgia, Hungaria, Afrika Selatan. Mekanisme yang demikian pada dasarnya dapat saja diterapkan di Indonesia. Seperti halnya Negara Austria yang memberikan kewenangan pengujian kepada lembaga peradilan konstitusi. Mekanisme ini menjadi gagasan menarik untuk merancang

produk hukum yang baik demi perkembangan dan kemajuan pembangunan di Indonesia. Beberapa gagasan memunculkan ide bahwa kewenangan pengujian melalui mekanisme ex ante review tetap dipegang oleh MK sesuai dengan alur pembuatan dan pembahasan pembentukan UU namun bedanya ditambahkan satu proses lagi sebelum proses pengesahan oleh presiden.18 Hal ini akan dapat terwujud apabila terlebih dahulu melakukan perluasan kewenangan MK yang tercantum dalam konstitusi. Namun kembali lagi kepada hal-hal yang menjadi persoalan dalam mengadopsi sistem ini. Pertama, siapa yang akan menjadi subjek pengujinya, apabila mengikuti sistem di Perancis yang mengamanatkan kepada Dewan Konstitusi yang beranggotakan mantan advocate atau professional yang nantinya keputusan yang diambil berdasarkan kepentingan politik. Kedua, apakah ketika sudah melalui proses pengujian rancangan UU dimungkinkan untuk dilakukan pengujian lagi ketika sudah diundangkan, dengan kata lain maka sistem ini tidak efektif kembali. Ketiga, melakukan amandemen harus dipikirkan secara matang karena banyak pihak ingin melakukan perubahan sesuai dengan kepentingannya, misalnya penguatan terhadap suatu lembaga Negara, bila akan ada perubahan terbatas perlu pengkajian mendalam bagian mana saja yang akan diubah beserta urgensinya untuk kepentingan bangsa. Keempat, faktor partisipasi masyarakat yang masih lemah pada tahap pembentukannya, karena sebuah kebijakan publik yang baik berisi dasar pemikiran dari masyarakat itu sendiri.

Mengkontruksi sistem pengujian RUU melalui mekanisme ex ante review bukanlah satu-satunya cara meningkatkan kualitas legislasi di Indonesia. Pada dasarnya banyak faktor yang menyebabkan lemahnya proses legislasi dan gagalnya pemberlakuan suatu produk hukum. Melakukan amandemen untuk menambah kewenangan MK dalam konstitusi menjadi bahan pertimbangan yang besar sebelum mengkontruksi sistem baru ini. Selain menerapkan sistem baru, faktor lain yang akan meningkatkan kualitas legislasi yaitu kemahiran parlemen dalam proses legislasi dan juga faktor partisipasi masyarakat. Lembaga politik sebagai aktor yang memegang peran penting dalam aktivitas legislasi. Melalui studi politik akan lebih mudah memahami rasionalitas sebagai dasar pijakan dalam proses pembuatan peraturan yang tentu menjadi faktor baik atau buruknya proses legislasi.19 Dalam proses penyusunan rancangan UU, lembaga politik dituntut lebih peka terhadap struktur rancangan serta kesesuaian asas maupun UU yang berkaitan dan juga terhadap efisiensi waktu dalam proses penyusunan UU. Lembaga pembentuk UU perlu lebih mendalami penyusunan kajian naskah akademik agar tersusun dengan baik, penyusunan prolegnas yang sesuai dengan kebutuhan di masyarakat dan melakukan harmonisasi serta sinkronisasi dengan peraturan Perundang-undanganyang lain. Permasalahan ini yang dirasa perlu lebih diperhatikan sehingga memperkecil kemungkinan adanya permohonan pengujian.20 Berikutnya adalah partisipasi masyarakat, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat (Ketentuan Pasal 18 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) merupakan salah satu dasar penyusunan daftar RUU dalam Prolegnas merupakan hal yang sangat penting agar pemerintah maupun parlemen dapat mengerti permasalahan yang muncul dimasyarakat. merupakan hal

yang sangat penting agar pemerintah maupun parlemen dapat mengerti permasalahan yang muncul dimasyarakat. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan suatu produk hukum dengan cara langsung maupun tidak langsung yang dibangun berdasarkan kebebasan berbicara, bersosialisasi dan melakukan partisipasi yang konstruktif.21 Masyarakat dapat ikut serta dalam pembentukan peraturan juga sebagai wujud dari penerapan asas - asas pembentuk peraturan Perundang-undanganyang baik seperti asas keterbukaan. Sad Dian Utomo merangkum empat manfaat partisipasi dalam tahap pembentukan peraturan perundang-undagan. pertama, keikutsertan masyarakat dapat memberi sumbangan pemikiran dasar yang lebih baik dalam pembuatan kebijakan publik. Kedua, ketika masyarakat terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut maka implementasinya juga akan lebih efektif. Ketiga, meningkatkan rasa percaya masyarakat kepada lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Keempat, menghemat sumber daya saat melakukan sosialisasi kebijakan publik, karena masyarakat telah terlibat langsung dalam proses pembentukannya.22 Lembaga pembentuk UU tidak boleh mengabaikan partisipasi masyarakat karena akan berpotensi memunculkan pelanggaran terhadap hak mereka dalam pemerintahan seperti tercantum dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945.23

  • IV.    Kesimpulan

Kualitas produk hukum peraturan Perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dari seberapa banyak UU yang diujikan ke MK. Berdasarkan data pada tahun 2003 sampai tahun 2020 banyaknya putusan atas Judicial Review UU terhadap UUD sebanyak 1342 putusan. Hal ini menandakan bahwa banyaknya hak-hak warga Negara yang dijamin konstitusi yang dilanggar oleh diberlakukannya suatu UU. Salah satu upaya peningkatan kualitas produk hukum itu adalah dengan menguji kembali produk hukum tersebut sebelum diundangkan sehingga memperkecil kemungkinan adanya pelanggaran hak konstitusional warga Negara. Gagasan ini muncul dari para ahli hukum yang melakukan kajian terhadap mekanisme ex ante review yang diterapkan diberbagai Negara. Gagasan ini merupakan sebuah solusi sebagai upaya preventif menghindari kualitas legislasi yang buruk. Mekanisme ex ante review merupakan sebuah mekanisme yang pertama kali diterapkan di Negara Perancis dan Belgia yaitu menguji apakah suatu RUU yang telah dilakukan pengesahan oleh parlemen namun belum melalui tahap pengesahan dan pengundangan oleh Presiden dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi. Mekanisme ini pada dasarnya tidak sesuai dengan sistem pengujian yang berlaku di Indonesia. Perbedaan yang sangat jelas terletak pada subjek dan objek pengujian. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian dalam mengkontruksi mekanisme ini. Apabila diterapkan di Indonesia, subjek pengujiannya bukanlah dewan konstitusi sebagaimana yang dilakukan di Perancis, subjek yang memungkinkan melakukan pengujian adalah MK atau sebuah forum yang dibawahi konstitusi. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) konstitusi MK hanya berwenang menguji UU terhadap konstitusi. Secara tegas tidak dibenarkan RUU yang belum diberlakukan dapat dijadikan objek pengujian. Tahun 2014, MK pernah mengeluarkan putusan Nomor : 97/PUU-XII/2014 tentang kewenangan MK yang

mengadili permohonan pengujian RUU yang sudah diberi persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam putusan tersebut MK menilai bahwa ia berwenang untuk mengadili RUU yang oleh DPR dan Presiden sudah mendapat persetujuan bersama, merupakan UU tanpa nomor. UU tanpa nomor dianggap sama dengan UU secara umum, terlebih lagi rancangan UU tersebut berpotensi menyebabkan kerugian hak konstitusional sehingga dapat dijadikan objek pengujian. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa rancangan UU tidak dapat menjadi objek pengujian. Upaya peningkatan kualitas legislasi dengan mekanisme ex ante review ini dapat saja dikontruksi di Indonesia, namun tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Perlu diadakan kajian kembali karena untuk mewujudkannya perlu memperluas kewenangan MK dengan melakukan perubahan dasar pada konstitusi dan untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi tidaklah mudah. Pada dasarnya gagasan ini bukan satu-satunya upaya menekan permohonan pengujian UU ke MK. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas lembaga politik pembentuk UU dan juga besarnya partisipasi masyarakat. Kedua elemen tersebut merupakan bagian yang penting untuk mendapatkan produk hukum yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Bandung: Prenada Media Group, 2016.

Indrati S, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan.Yogyakarta: Kanisius Yogyakarta, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group, 2017.

Pasaribu, Alboin. Mahkota MK: Departementalisme dan Kekuatan Putusan Judicial Review MK. Depok: Rajawali Pers, 2019.

Jurnal

Astomo, Putera,“Pembentukan UU dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional di Era Demokrasi” Jurnal Konstitusi Vol 11, No. 3 (2014)

Halimi, Wimmy, “Demokrasi Deliberati Indonesia:Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Membentuk Demokrasi Dan Hukum Yang Responsif.” Jurnal Masyarakat Indonesia Vol 42, No. 1 (2016)

Hunafa, Dimas Firdausy, “Menggagas Mekanisme Preventif Review oleh MK , Upaya Percepatan Pembangunan Nasional Melalui Produk Hukum Berkualitas”, Law &Justice Jurnal Vol 4 Nomor 1 (2019)

Jati, Rahendro. “Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan UU Yang Responsif”. Jurnal Rechtvinding Vol 1 Nomor 3 Desember (2012)

Kurniawan, Alek Karci. “Judicial Preview Sebagai Mekanisme Verifikasi Konstitusionalitas Suatu Rancangan UU”. Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 4 Desember (2014)

Mahfuz, Abdul Latif. “Faktor Yang Mempengaruhi Politik Hukum dalam Suatu Pembentukan UU”. Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan, Volume 1 Nomor 1 Desember (2019)

Marzuki, Laica. “Judicial Review di MK.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol 1, No. 3 (2004)

M Yunus, “Kewenangan MK Dalam Pengujian Rancangan UU yang Telah Disetujui Bersama (Analisis Putusan MK Terhadap Perkara Nomor: 97/PUU-XII/2014), Universitas Hasanuddin, Makassar, (2007)

Nalle, Victor Imanuel W “Kontruksi Model Pengujian Ex Ante Terhadap Rancangan UU di Indonesia”Jurnal Konstitusi, Vol. 10 No 3 (2013)

Nalle, Victor Imanuel W; Sari, Retno Dewi Pulung; dan Syaputri, Martika Dini. “Analisis Ex-Ante Oleh Eksekutif Terhadap Rancangan UU: Menuju Legislasi Berkualitas Melalui Pendekatan Teknokrasi”. Arena Hukum Vol 11 No.1 (2018)

Prasetyoningsih, Nanik, Amandemen ke-5: “Menuju Konstitusi Baru di Indonesia, Hukum dan Dinamika Masyarakat” Vol 17 No 2 April (2020)

Putuhena, M. Ilham. F, “Politik Hukum Perundang-undangandalam Upaya Meningkatkan Kualitas Produk Legislasi”, Jurnal Recht Vinding.Volume 1 Nomor 3 Desember (2012)

Ricca Anggraeni, “Memaknakan Fungsi UU Dasar Secara Ideal Dalam Pembentukan UU”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No 3 (2019)

Siahaan, Maurar. “Peran MK dalam Penegakan Hukum Konstitusi”.Jurnal Hukum Nomor 3 Volume 16 Juli (2009)

Wulandari, Desy.”Ex Ante Review dalam Mewujudkan Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangandi Indonesia”.State Law Review, Vol. 1 No 1 (2018)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)

Website

https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU&menu=4

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm.283-293

293