Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Hand Sanitizer Yang Dikemas Ulang Tanpa Izin Edar
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
ATAS PENJUALAN HAND SANITIZER YANG DIKEMAS ULANG TANPA IZIN EDAR
Ni Putu Dinar Nareswari, “Fakultas Hukum Universitas Udayana”, e-mail: [email protected]
Ida Ayu Sukihana, “Fakultas Hukum Universitas Udayana”, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk perlindungan konsumen berkaitan dengan penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar, serta untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku usaha selaku penjual hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar. Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana pengaturan hukum terkait ketentuan izin edar dalam perspektif hukum perlindungan konsumen. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan analisis bahan hukum berupa peraturan perundang- undangan (statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach). Adapun hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah Pelaku usaha yang memperdagangkan hand sanitizer tanpa izin edar, telah melanggar hak-hak konsumen sehingga konsumen berhak untuk menuntut haknya melalui proses ganti rugi, kompensasi, dan/atau rehabilitasi. Pelaku usaha selaku penjual juga dapat dibebankan bentuk sanksi lain, berupa sanksi administratif dan sanksi pidana di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Kata Kunci: Perlindungan hukum, Konsumen, Izin.
ABSTRACT
The writing of this article aims to identify legal protection for consumers, due to repackaged hand sanitizers selling as well as to find out the sellers responsibility due to hand sanitizers repackaged that sold without marketing authorization. Normative legal research method is used to identify the legal arrangements related to the provisions of the marketing authorization according to Indonesian consumer protection law. The type of approach used in writing this article is statute approach which analizing legal materials in the form of statutory regulations and analytical and conceptual approach of legal concept. The results achieved from this research are the sellers who sell the hand sanitizers without marketing authorization, have violated the rights of consumers, so the consumers have the right to claim their rights through compensation, and / or rehabilitation processes. Sellers may also be subject to other sanctions, such as criminal sanctions and administrative sanctions, in written in the “Consumer Protection Act”.
Keywords: Legal protection, Consumer, Authorization
Merebaknya wabah COVID-19 atau virus corona di hampir seluruh belahan dunia menjadi hal yang sedang panas diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia, terlebih setelah Presiden Ir. Joko Widodo mengkonfirmasi terdapat 2 (dua) kasus COVID-19 pertama yang terjadi di Indonesia pada Minggu, 1 Maret 2020. Terjadi kepanikan di tengah-tengah masyarakat yang awam dengan tindakan pencegahan dan
perawatan terkait wabah baru ini. Bahan makanan pokok serta alat-alat kesehatan sulit ditemukan di pasar, terutama barang berupa obat-obatan, vitamin, masker, cairan disinfektan dan antiseptik yang umumnya sangat mudah didapatkan di apotek maupun di pusat perbelanjaan.
Hand sanitizer menjadi salah satu barang langka akibat adanya himbauan dari World Health Organization (WHO) yang menganjurkan penggunaan hand sanitizer sebagai salah satu cara untuk mencegah kemungkinan terpapar virus COVID-19 apabila melakukan interaksi dengan lingkungan yang diduga terkontaminasi virus tersebut.1 Hal ini menyebabkan timbulnya keresahan bagi masyarakat yang membutuhkannya karena adanya kelangkaan stok hand sanitizer di pasaran. Hand sanitizer yang biasanya dibanderol dengan harga rata-rata Rp10.000,00 per100ml, kini harganya melambung hingga berkali-kali lipat. Melonjaknya permintaan terhadap hand sanitizer di pasar, yang menyebabkan banyak pelaku usaha nakal yang terindikasi turut berbuat curang sembari memanfaatkan kelengahan masyarakat yang masih awam akan bahaya penjualan barang tanpa izin edar.
Hand sanitizer yang dibeli dalam kemasan ukuran besar, dikemas ulang dalam kemasan-kemasan yang berukuran kecil. Hal ini dapat merugikan konsumen karena dalam proses pengemasan ulang, dikhawatirkan terjadi pencemaran terhadap kandungan hand sanitizer karena dapat menimbulkan perubahan mutu karena pengemasan ulang yang dilakukan secara tidak steril dan dilakukan tanpa pengawasan sehingga tidak selaras dengan standarisasi mutu yang tercantum dalam peraturan perundang- undangan. Penjual selaku pelaku usaha melakukannya demi meraup prosentase keuntungan yang lebih banyak ketimbang menjual hand sanitizer dalam kemasan besar, yang pada akhirnya merugikan konsumen akan penggunaan alat dan bahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan mutunya.2
Melalui akun sosial media resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan (kemudian disebut sebagai BPOM), melansir pengklasifikasian hand sanitizer sebagai Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). BPOM mengacu kepada “Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 tentang Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT)” (kemudian disebut sebagai Permenkes 62/2017). Dalam hukum positif Indonesia, izin edar atau marketing authorization PKRT diatur dalam “Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan” (kemudian disebut sebagai UU Kesehatan) dan peraturan pelaksananya. Pengawasan terhadap peredaran hand sanitizer dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, bukan oleh BPOM karena bukan merupakan obat dan makanan. Produk PKRT termasuk hand sanitizer yang diproduksi, dirakit, dan/atau dikemas ulang dan akan didistribusikan, haruslah mengantongi izin edar terlebih dahulu dari Kementerian Kesehatan.3
Sebelum beranjak kepada pengaturan izin edar, “patut ditelusuri dahulu mengenai apa yang disebut sebagai perbekalan kesehatan”. Pasal 1 angka 3 UU Kesehatan mendefinisikannya sebagai “segala bahan dan peralatan yang diperlukan
untuk menyelenggarakan upaya kesehatan”. Atas dasar pengertian tersebut, dalam Pasal 1 angka 4 Permenkes 62/2017 merinci PKRT sebagai “alat (tool), bahan (ingredients), atau campuran bahan (mixtures) untuk pemeliharaan serta perawatan kesehatan untuk manusia,yang ditujukan untuk digunakan di rumah tangga dan tempat- tempat umum”.
Terkait izin edar, di dalam Permenkes 62/2017 secara lebih lanjut dijelaskan, yang disebutkan sebagai izin edar ialah izin untuk Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT yang diproduksi oleh Produsen, dan/atau diimpor oleh PAK atau importir yang akan diedarkan di wilayah Negara Republik Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya izin edar dalam penjualan farmasi dan alat kesehatan tentunya akan berdampak buruk, terlebih bagi masyarakat selaku konsumen. Hand sanitizer yang diperjualbelikan tanpa izin edar, dikhawatirkan dapat membahayakan kondisi kesehatan masyarakat.
Beberapa resiko kesehatan yang dapat timbul dari dampak penggunaan hand sanitizer yang dibuat tidak sesuai standar kesehatan, diantaranya timbul iritasi, reaksi alergi, ataupun keracunan terhadap penggunaan alat dan bahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan mutunya oleh pelaku usaha yang melakukan pengemasan ulang terhadap hand sanitizer tersebut. Terlebih, banyak pelaku usaha yang memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi dan dipengaruhi karena konsumen dirasa tidak memahami hak-hak yang dimilikinya.4 Hal ini tentunya meresahkan karena jika dibiarkan berlanjut, dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat selaku konsumen dan mengganggu kehidupan produktif secara sosial dan ekonomis.
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan ini diantaranya artikel yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Produk Kosmetik Dalam Kemasan Kontainer (Share in Jar)” yang ditulis oleh Ni Nyoman Rani dan I Made Maharta Yasa yang membahas tentang perlindungan hak konsumen yang mengalami kerugian akibat membeli kosmetik dalam kemasan share in jar yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI); dan juga artikel dengan judul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Nikotin Cair Yang Kemasannya Tidak Tercantum Peringatan Kesehatan” yang ditulis oleh Khrisna Khristian dan Ida Ayu Sukihana yang membahas tanggung jawab pelaku usaha yang memproduksi nikotin cair tanpa peringatan kesehatan dalam kemasannya yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen akibat kurangnya informasi produk.
Atas uraian latar belakang di atas, menarik bagi penulis untuk menulis jurnal ini dengan mengangkat judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENJUALAN HAND SANITIZER YANG DIKEMAS ULANG TANPA IZIN EDAR”.
Atas uraian latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik rumusan permasalahan berupa:
-
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen terkait penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar?
-
2. Bagaimana bentuk tanggung jawab pelaku usaha terkait penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar?
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan penelitian ini, ialah untuk mengidentifikasi perlindungan hukum terhadap konsumen terkait penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar serta mengidentifikasi bentuk pertanggungjawaban hukum serta sanksi yang diterapkan kepada pelaku usaha terkait penjualan hand sanitizer yang tidak memiliki izin edar.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan jurnal ini ialah metode penelitian hukum normatif, yang mengkaji peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer serta literatur dan publikasi-publikasi yang berkaitan seperti skripsi, jurnal dan e-journal hukum, ensiklopedi hukum, dan komentar-komentar hukum5 beserta e-journal yang berkaitan dengan topik penjualan hand sanitizer tanpa izin edar sebagai bahan hukum sekunder, dan menggunakan pendekatan analisis bahan hukum berupa peraturan perundang- undangan (statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach).
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Penjualan Hand
Sanitizer Tanpa Izin Edar
Konsumen didefinisikan sebagai “setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ataupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperjualbelikan”. Masyarakat yang mengkonsumsi hand sanitizer berhak memperoleh perlindungan hukum atas hak-hak yang dimilikinya. John F. Kennedy, menyampaikan 4 (empat) bentuk hak dasar yang telah diakui secara internasional, yaitu:
-
1) “The right to safety” (hak atas rasa aman)
-
2) “The right to be informed” (hak memperoleh informasi)
-
3) “The right to choose” (hak memilih)
-
4) “The right to be heard” (hak untuk didengar).6
Hak dasar konsumen tersebut diakomodir ke dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (kemudian disebut sebagai UUPK), sebagaimana berikut :
-
a) “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”;
-
b) “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”;
-
c) “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”;
-
d) “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”;
-
e) “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut”;
-
f) “hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen”;
-
g) “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”;
-
h) “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”;
-
i) “hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Adanya kecenderungan dari konsumen di Indonesia yang tidak sepenuhnya menyadari segala hak yang melekat pada dirinya, berbarengan dengan perilaku pelaku usaha yang belum mampu memenuhi kewajibannya dalam melaksanakan kegiatan usaha, sehingga konsumen memiliki posisi yang lebih lemah dibanding pelaku usaha, terlebih banyak dari konsumen yang enggan menuntut hak atas kerugian yang timbul, menimbang waktu, biaya, dan tenaga yang sekiranya akan dikeluarkan untuk menuntut pemulihan haknya sebagai konsumen.7 Kombinasi dari tindakan pasif yang sangat disayangkan ini tetap saja terjadi meskipun telah ada UUPK yang memberikan perlindungan hukum dengan mengatur kewajiban pelaku usaha dan melindungi hak konsumen, sehingga seringkali menimbulkan adanya celah bagi pelaku usaha curang untuk mencederai hak-hak konsumen.8
“Perlindungan hukum adalah memberi pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain”; dimana tujuan perlindungan hukum adalah agar masyarakat bisa menikmati segala hak yang telah disediakan oleh hukum.9 Hukum perlindungan konsumen secara langsung bertujuan untuk meningkatkan kesadaran (awareness) dan martabat konsumen atas hak-hak yang dimilikinya. Tujuan tidak langsungnya, ialah menstimulasi produsen untuk berkegiatan usaha dengan tanggung jawab penuh.10
Manfaat dari aspek penegakan hukum perlindungan konsumen adalah untuk memberikan kenyamanan terhadap masyarakat (konsumen), karena dengan dilaksanakannya penegakan hukum perlindungan konsumen maka dampak hukum bagi pelaku usaha sebagai produsen akan berhati-hati akan resiko hukum yang ada.11 Oleh karenanya, itikad baik (goodwill) menjadi kewajiban dari pelaku usaha dalam berbisnis dan tunduk kepada aturan-aturan hukum dengan mematuhi ketentuan-ketentuan hukum, menjunjung tinggi kebiasaan (custom) dan kepatutan yang telah berlaku di dunia usaha dengan penuh tanggung jawab, sehingga dibebankan untuk mampu menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam konsumsi barang yang dihasilkannya.12
Pelaku usaha produsen hand sanitizer yang akan mengedarkan produknya wajib mencantumkan penandaan dan informasi yang obyektif, lengkap, dan tak menyesatkan guna meminimalisir adanya mispersepsi yang dapat merugikan konsumen. Terkait penandaan, Pasal 41 ayat (3) Permenkes 62/2017 mewajibkan produsen PKRT untuk mencantumkan keterangan berat bersih (netto), komposisi bahan (ingredients), dan kadar bahan aktif (active ingredients), serta adanya kemungkinan kontra indikasi/efek samping melalui perhatian dan tanda peringatan KTD (kejadian tidak diharapkan) yang wajib dituliskan dalam Bahasa Indonesia ke dalam penandaan dan informasi. Secara khusus, Pasal 4 ayat (4) kemudian merinci keterangan yang patut dimuat dalam Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT), diantaranya:
-
a. "nama dagang/merek";
-
b. "nomor Izin Edar";
-
c. "jenis dan varian produk";
-
d. "berat bersih atau isi bersih";
-
e. "nama dan alamat Produsen/Pabrikan yang memproduksi" dan/atau;
-
f. "nama dan alamat Importir PKRT";
-
g. "daftar bahan aktif yang digunakan beserta persentase";
-
h. "tanggal kedaluwarsa untuk produk yang memiliki batas kedaluwarsa";
-
i. "kode produksi";
-
j. "kegunaan";
-
k. "petunjuk penggunaan/penyiapan"; dan
-
l. "perhatian dan peringatan".
Hal ini penting dilakukan karena penandaan merupakan komponen vital yang berfungsi untuk menyediakan informasi yang wajib diketahui masyarakat terkait hand sanitizer yang dikonsumsi oleh masyarakat selaku konsumen. Minimnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha terkait barang dan/atau jasa yang
diperdagangkannya dapat dianggap sebagai cacat informasi yang dapat menyebabkan konsumen mengalami kerugian, baik materiil maupun non materiil.13
Dalam UU Kesehatan , Pasal 106 ayat (1) secara tegas mengatur, sediaan farrnasi dan alat kesehatan hanya dapat didistribusikan apabila telah memperoleh izin edar. Terkait izin edar, Izin edar hand sanitizer sebagai PKRT akan diberikan oleh Menteri Kesehatan, apabila telah lolos uji evaluasi dan dinyatakan memenuhi kualifikasi keamanan (safety), mutu (quality), dan manfaat (efficacy). Untuk memperoleh izin edar PKRT, hand sanitizer wajib memenuhi kriteria yang tertulis dalam Pasal 6 Permenkes 62/2017, yaitu:
-
1. Mutu (sesuai dengan Standar Operasional Prosedur pembuatan yang baik);
-
2. Keamanan serta kemanfaatan yang diuji secara klinis dan/atau melampirkan bukti pendukung lain yang dibutuhkan’
-
3. Takaran sesuai batas yang ditentukan berdasarkan standar, prasyarat, dan ketentuan yang berlaku; serta
-
4. Menggunakan bahan yang tidak dilarang oleh standar, prasyarat, dan ketentuan yang berlaku.
Apabila unsur-unsur di atas sudah terpenuhi, dalam melaksanakan proses analisa pemberian persetujuan/approval izin edar, Kementrian Kesehatan melakukan penilaian terhadap setiap permohonan izin edar secara administratif dan teknis.
Namun, sangat disayangkan bahwa UU Kesehatan tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban penjual PKRT yang tidak memiliki izin edar. UU Kesehatan dalam Pasal 106 hanya menekankan perihal kewenangan pemerintah untuk mencabut izin edar terhadap persediaan farmasi dan alat kesehatan yang sudah memiliki izin edar, dan memerintahkan penarikan dari peredaran bagi barang yang dikemudian hari terbukti sudah tidak sesuai dengan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan yang tercantum dalam izin edar yang telah dimilikinya. Terkait penjualan hand sanitizer racikan yang tidak dilengkapi dengan izin edar, perlu digarisbawahi, frasa “yang kemudian terbukti” dalam Pasal 106 hanya berlaku pada sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memiliki izin edar. Senada dengan Permenkes 62/2017 yang hanya mengatur perigatan tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha, dan pencabutan izin edar sebagai bentuk sanksi administratif sehingga dapat dikatakan hal ini tidak dapat diberlakukan bagi barang yang belum memiliki izin edar.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan UU Kesehatan dan Permenkes 62/2017, hanya produk yang memiliki izin edar saja yang bisa disita dan dimusnahkan. Terkait sanksi pertanggungjawaban pelaku usaha, Pasal 64 Permenkes Nomor 62 Tahun 2017 hanya menyebutkan bahwa apabila pelaku usaha dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan perundangundangan apabila menyebabkan gangguan kesehatan serius, cacat, atau bahkan kematian bagi konsumen akibat peredaran PKRT tanpa Izin Edar, tanpa penjelasan lebih lanjut. Tentunya hal ini dapat menimbulkan rasa tidak puas, terlebih bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat konsumsi hand sanitizer yang dikemas ulang dan diperjualbelikan tanpa izin edar tersebut.
Dalam Hukum Persaingan Usaha, hubungan antara konsumen dan penjual tak dapat dilepaskan satu dengan lainnya. Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha selaku produsen barang dan/atau jasa akan menimbulkan kewajiban dan hak yang melandasi adanya tanggung jawab. Dalam menjamin pemenuhan hak-hak konsumen, terdapat beberapa kewajiban pelaku usaha yang telah diatur dalam Pasal 7 UUPK, diantaranya:
-
a. "beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya";
-
b. "memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan";
-
c. "memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif";
-
d. "menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku";
-
e. "memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan";
-
f. "memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan";
-
g. "memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian".
Pada prinsipnya, pelaku usaha bertanggungjawab terhadap segala bentuk hasil produksi yang dibeli oleh konsumen.14 Besarnya tanggung jawab yang senantiasa melekat menyebabkan pelaku usaha harus selalu memastikan keamanan bahan-bahan yang dipergunakan dan mencantumkan informasi yang jelas pada barang yang diperdagangkannya.15
Untuk mencapai tujuan hukum perlindungan konsumen, Pasal 2 UUPK menggarisbawahi adanya asas keamanan dan keselamatan konsumen. Berbeda dengan asas lainnya (asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, dan asas kepastian hukum) yang mencakup kepentingan konsumen dan pelaku usaha, asas keamanan dan keselamatan konsumen ini menitikberatkan kepada perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan konsumen ketika mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha. Perwujudan kepentingan ini tidak diperkenankan jika hanya dilandasi oleh motif atau prinsip ekonomi pelaku usaha untuk meraup keuntungan secara maksimal dengan biaya/cost seminimal mungkin.16
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang/jasa yang ditawarkan kepadanya, produk barang/jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.17 Pasal 8 ayat (1) UUPK menjadi aturan main bagi kegiatan usaha yang dilakukan oleh seluruh pelaku usaha. Pasal ini merinci jenis perbuatan yang harus dihindari oleh pelaku usaha, yang secara tegas tidak diperbolehkan untuk memproduksi dan/atau memperjualbelikan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar seperti:
-
a. "tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan";
-
b. "tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut";
-
c. "tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya";
-
d. "tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut";
-
e. "tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut";
-
f. "tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut";
-
g. "tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu";
-
h. "tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ‘halal’ yang dicantumkan dalam label”;
-
i. "tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat";
-
j. "tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku".
Tanpa adanya izin edar, hand sanitizer yang dikemas ulang tersebut tidak layak diperdagangkan karena diproduksi dan dijual tanpa melalui serangkaian proses atau tahapan yang diperlukan untuk menguji keamanan, mutu bahan atau komposisi (ingredients) dan uji kemanfaatan (efficacy) sesuai dengan standar PKRT untuk memperoleh izin edar dari Kemenkes.
Pelaku usaha yang menjual hand sanitizer yang dikemas ulang tanpa izin edar telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai pelaku usaha dengan mengabaikan hak-hak dari konsumen untuk memperoleh informasi yang jelas, benar, dan jujur atas kondisi dan klaim atau jaminan dari penjualan hand sanitizer yang dikemas ulang tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan telah melanggar Pasal 8 ayat (1) UUPK. Karena dalam konteks penjualan PKRT, atas alasan apapun, pelaku usaha dilarang untung mengabaikan keselamatan dan keamanan konsumen atas barang yang ditawarkannya
semata-mata demi meraih keuntungan.18 Di dalam Pasal 8 ayat (4) UUPK dinyatakan, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan atau jasa yang melanggar ayat (1) dan ayat (2), sehingga apabila pasal-pasal tersebut dilanggar makan pelaku usaha diwajibkan untuk menarik barang dan/atau jasa tersebut dari peredaran.
Apabila penggunaan hand sanitizer yang dikemas ulang oleh pelaku usaha menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka bagi konsumen yang dirugikan dapat menuntut tanggung jawab pelaku usaha sesuai dengan ketentuan dalam UUPK.19 UUPK sendiri mengenal 3 (tiga) jenis sanksi, berupa “sanksi perdata”, “sanksi pidana”, dan “sanksi administratif” yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang memperdagangkan hand sanitizer yang dikemas ulang dan dijual tanpa izin edar.20 Jenis-jenis sanksi, dijabarkan sebagaimana berikut:
-
a. Sanksi Perdata; sanksi ini diberikan kepada pelaku usaha dalam bentuk:
-
a. “ganti rugi atau retur berupa pengembalian dana ataupun penukaran barang yang nilainya setara atau sejenis”; atau
-
b. “perawatan kesehatan” (rehabilitasi); atau
-
c. “memberikan santunan atau kompensasi, mengacu pada ketentuan yang berlaku”.
Sanksi perdata ini diterapkan terhadap kerusakan (damage), pencemaran (contamination), dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan wajib diselesaikan 7 (tujuh) hari setelah pembelian.
-
b. Sanksi Pidana dapat dipertanggungjawabkan apabila ada memang terdapat unsur kesalahan dari pihak pelaku usaha, terkecuali pihak pelaku usaha selaku penjual dapat membuktikan apabila kesalahan tersebut bukanlah kesalahannya, melainkan kesalahan konsumen. Adapun sanksinya, berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau pidana denda dengan jumlah paling besar Rp2.000.000.000,- (dua miliar Rupiah).
-
c. Sanksi administratif umumnya dijatuhkan apabila pelaku usaha telah melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (2) dimana pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi perdata dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Sanksi ini dapat diproses melalui jalur penyelesaian sengketa perlindungan konsumen, yang dilaksanakan oleh BPSK selaku lembaga yang berwenang. Umumnya, sanksi administratif diatur dalam bentuk penetapan ganti rugi dengan jumlah paling banyak sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah).
Pelaku usaha yang memperdagangkan hand sanitizer tanpa izin edar telah melanggar hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan yang dimiliki oleh konsumen, serta hak atas informasi yang jujur, benar, dan jelas terkait jaminan atau klaim dan kondisi hand sanitizer yang dikonsumsi, sehingga konsumen berhak untuk
menuntut hak atas keselamatan, kenyamanan, dan keamanan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa sesuai ketentuan Pasal 4 UUPK berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha dalam menjalankan usahanya yang tercantum dalam Pasal 7 UUPK. Apabila pelaku usaha dinyatakan bersalah telah melalaikan kewajibannya untuk menjamin hak-hak konsumen, pelaku usaha yang memperdagangkan hand sanitizer tanpa izin edar dapat dibebankan sanksi sesuai yang telah diatur di dalam UUPK, diantaranya sanksi perdata berupa ganti rugi, kompensasi, dan rehabilitasi yang wajib dilaksanakan dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari setelah pembelian; sanksi pidana berupa kurungan dan denda; dan sanksi administratif berupa ganti rugi dengan jumlah paling besar sebanyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah) yang ditetapkan apabila pelaku usaha tidak menyelesaikan tanggung jawab perdatanya dalam waktu 7 (tujuh) hari yang telah ditentukan. Adapun saran yang dapat diperhatikan, agar masyarakat lebih jeli dalam memahami dan meneliti keabsahan produk farmasi, alat kesehatan, dan PKRT yang dikonsumsinya, serta lebih aware terhadap hak-hak konsumen yang melekat pada dirinya, sertya agar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan izin PKRT dikaji dan diperbaharui secara berkala, karena Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini hanya memuat ketentuan mengenai penarikan dan pemusnahan bagi barang-barang yang izin edarnya tidak sesuai dengan isi dan mutu produk saja, sehingga bagi barang illegal yang tidak memiliki izin edar, belum ada dasar hukum yang jelas untuk bisa dilakukan penarikan dan pemusnahan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kristyanti, C.T.S., Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Sinar Grafika ), (2008). Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana), (2008).
Shofie, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Citra Aditya Bakti), (2008).
Tobing, Rudyanti Dorotea. Aspek-Aspek Hukum Bisnis; Pengertian, Asas, Teori, dan Praktek, (Surabaya : Penerbit LaksBang Justitia), (2015).
Jurnal:
Arta, K.G., dan Markeling, I K. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Dengan Penggunaan Boraks Pada Bakso", Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5 No. 1, (2018)
Astuti, D.A.L, dan Wirasila, A.A. N. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Transaksi E-Commerce Dalam Hal Terjadinya Kerugian", Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 01, No. 10, (2018)
Barkatullah, A. H. "Urgensi Perlindungan Hak-Hak Konsumen Dalam Transaksi Di ECommerce." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 14,No. 2 (2007)
Cascella, M., R., et.al., “Features, Evaluations and Treatment Coronavirus (COVID-19)”. Stat Pearls Journal, Stat Pearls Publishing, (2020).
Dwi, S. P. dan Putra Atmadja, I.B. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Beredarnya Produk Obat Yang Tidak Mencantumkan Keterangan Halal/Tidak Halal", Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7 No. 12 (2019)
Kesuma, G.J., dan Putra Atmadja, I. B. "Peran BPOM Provinsi Bali Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Peredaran Obat Yang
Mengandung Zat Berbahaya (Policresulen)", Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 3 (2018)
Khristian, K., dan Sukihana, Ida Ayu, "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Nikotin Cair Yang Kemasannya Tidak Tercantum Peringatan Kesehatan." Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8, No. 12 (2020)
Lestari, Desy, dan Suradi, R.N. "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Makanan Kemasan Tanpa Izin Edar Yang Beredar Di Pasaran.", Diponegoro Law Jurnal, Vol. 2, No. 2 (2013)
Mansyur, A. dan Rahman, I. "Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Produksi Nasional" Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. II, No. 1, (2015)
Murni, N. P. A.Y, dan Bagiastra, I N. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Makanan Berformalin." Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.4, No. 2 (2015)
Nurmahayani, N. M. D, dan Keneng, I K. "Bentuk Pengawasan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen" Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol.4 No. 3, (2016)
Maha Dewi, I G. A.P., Wiryawan, I W., dan Rudy, D. G. "Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Konsumen Atas Kerugian Akibat Menggunakan Produk Dari Natasha Skin Care", Kertha Semaya: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 2 (2015)
Mukti, P. S. H. B., dan Indrawati, A. A. S., "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Air Minum Isi Ulang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999", Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 6, No. 6 (2019)
Pratiwi, N., dan Nurmawati, M. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Tanpa Izin Edar Yang Dijual Secara Online”. Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, No.5 (2017).
Rusmini, Andin. "Tindak Pidana Pengedaran dan Penyalahgunaan Obat Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan." Al Adl: Jurnal Hukum, Vol. 8, No. 3, (2017).
Peraturan Perundang - Undangan :
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 Tentang Tentang Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 82)
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 4 Tahun 2021, hlm.255-266
266
Discussion and feedback