Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Dirugikan Dalam Mengkonsumsi Obat Tradisional Dan Tidak Memiliki Izin Edar
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
YANG DIRUGIKAN DALAM MENGKONSUMSI
OBAT TRADISIONAL DAN TIDAK MEMILIKI IZIN
EDAR
Anak Agung Gede Krisna Prabhawisnu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]
Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]
ABSTRAK
Terjaminnya ketersediaan obat tradisional dalam praktik berbangsa dan bernegara dalam mencapai tujuan pembangunan generasi yang berkualitas merupakan salah satu wujud realisasi dari tujuan negara dalam mensejahterakan rakyatnya yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kajian dalam tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada kaidah-kaidah dan asas hukum. Dalam karya ilmiah ini akan memakai beberapa pendekatan, antara lain pendekatan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan objek pembahasan (statue approach) dan pendekatan konsepual tentang pertanggung jawaban serta konsep-konsep lain yang terkait dengan objek pembahasan (conseptual approach). Hasil yang dicapai dalam penelitian perlindungan hukum terhadap konsumen obat tradisional yang merasa dirugikan maka diperlukannya prinsip tanggung jawab. Terdapat dua jenis tanggung jawab yaitu tanggung jawab produk (product liability), dan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam menentukan tanggung jawab terhadap konsumen obat tradisional yang merasa dirugikan diperlukan ketelitian dan juga prinsip kehati-hatian dalam menganalisis pertanggung jawaban serta seberapa jauhkah tanggung jawab yang dapat dibebankan terhadap produsen. Secara yuridis bentuk perlindungan hukum yang dapat dibebankan kepada produsen adalah berupa pemberian ganti rugi.
Kata Kunci: Obat, Perlindungan, Konsumen
ABSTRACT
Ensuring the availability of traditional medicines in the practice of the nation and state in achieving the goals of quality generation development is one of the realization of the state's goals for the welfare of its people as stated in the preamble to the 1945 Constitution. The study in this paper is a normative legal research that focuses on the legal principles and principles. In this scientific paper, several approaches will be used, including the Prevailing Laws approach related to the object of discussion (statue approach) and the conceptual approach of accountability and other concepts related to the object of discussion (conceptual approach). The results achieved in the research on legal protection for traditional medicine consumers who feel that they have been disadvantaged require the principle of responsibility. There are two types of responsibility, namely product liability and strict liability. In determining responsibility towards consumers of traditional medicines who feel disadvantaged, care is needed as well as the principle of prudence in analyzing responsibility and how much responsibility can be borne by producers. Juridically, the form of legal protection that can be borne by producers is in the form of compensation.
Key Words: Medicine, Protection, Consumer
Pada era revolusi industri 4.0 ketersediaan barang dan jasa merupakan salah satu indikator penting dalam usaha tercapainya pembangunan perekonomian nasional. Usaha dalam mewujudkan ketersediaan barang dan jasa merupakan kewajiban negara dalam menjamin kesejahteraan masyarakatnya yang tertuang secara khusus sebagai hak konstitusional dalam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), hal ini mencerminkan wujud kepedulian negara terhadap kondisi kesejahteraan masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial. Sehingga kesejahteraan dalam konteks ketersediaan barang dan jasa bagi masyarakat dapat dipahami sebagai suatu flatform dalam sistem perekonomian dan sosial penyelenggaraan negara republik indonesia. Dalam proses transaksi ekonomi di pasar nasional, masyarakat sebagai salah satu subjek yang berkedudukan sebagai konsumen harus mendapat jaminan atas kesejahteraan, mutu dari barang dan atau jasa yang didapatkan dari pasar tersebut.1 Sehingga dalam prinsip negara kesejahteraan (Welfare State) Pemerintah tetap ikut serta dalam mengambil bagian yang berkaitan dengan penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (Social Security), walaupun dalam pelaksanaannya tetap melibatkan unsur dari masyarakat.
Makna kesejahteraan yang dijamin oleh negara tidak dapat disempitkan hanya pada aspek ekonomi akan tetapi paradigma baru yang berkembang terkait kesejahteraan juga menyangkut aspek kesehatan, dimana paradigma yang dimaksud adalah kondisi tubuh yang sehat baik secara fisik maupun psikis membuat manusia dapat menjalani kehidupan secara baik dan produktif terkhusus dalam memenuhi kebutuhannya sehingga tercapainya kesejahteraan bagi individu tersebut, dengan demikian penulis berpandangan bahwa kesehatan pada jiwa dan raga merupakan alah satu bagian dalam mewujudkan kesejahteraan yang dimaksud. Sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang Kesehatan bahwa Kesehatan merupakan keadaan sejahtera badan jiwa dan sosial manusia sehingga dapat hidup kebutuhannya social dan ekonomis secara produk. Mewujudkan kesejahteraan jiwa da raga masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam usaha individu mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara sosial sehingga salah satu faktor penting dalam mewujudkan kesejahteraan baik dari segi fisik maupun non fisik. Salah satu bentuk mewujudkan kesejahteraan baik secara fisik dan non fisik adalah ketersediaan obat, ketersediaan obat merupakan bagian dari berbangsa dan bernegara dalam usaha menjamin kesehatan warga negaranya.
Salah satu ketersediaan obat dan pengobatan yang masih dipercaya hingga sekarang dalam masyarakat indonesia adalah obat tradisional. Merujuk dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ( selanjutnya disebut UU Kesehatan ) dinormalisasikan “Obat tradisional merupakan ramuan yang terdiri dari bahan tumbuhan, bahan hewan…..”. Eksistensi kepercayaan masyarakat akan obat masih bertahan karena khasiatnya dan metode yang ditawarkan untuk penyembuhan dan pencegahan menggunakan bahan-bahan alami dan dengan cara yang sifatnya sederhana (teknik dan biaya yang murah). Ketersediaan barang dan jasa berupa obat dan Pengobatan tradisional di Indonesia sendiri sudah ada sejak dahulu bahkan sebelum masyarakat Indonesia mengenal adanya pengobatan modern.
Berdasarkan pada eksistensi obat/pengobatan tradisional di Indonesia, negara sendiri telah mengatur perlindungan terhadap konsumen yang merasa dirugikan secara khusus dalam UUPK. Konsumen yang merasa dirugikan tentunya memiliki hak yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hak-hak yang dimaksud terdapat pada pasal 4 UUPK berupa hak-hak untuk memakai suatu produk berupa barang dan jasa.
Perkembangan teknologi yang semakin maju membawa pengaruh terhadap ketersediaan obat tradisional tersebut, beberapa produk obat tradisional meskipun memiliki bahan pokok alami tetapi cara atau proses pembuatannya tidak diolah secara tradisional dan manual lagi melainkan dengan menggunakan mesin dan bahan kimia lainnya. Pengolahan obat tradisional dengan tidak dengan cara manual telah mendorong beberapa pelaku usaha untuk melakukan perbuatan curang dalam pengolahan obat tradisonal. Kenyataannya telah ditemukan beberapa produk obat tradisional yang bertentangan dengan persyaratan keamanan, termaktub dalam peraturan perundang-undangan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan menemukan 51 obat tradisional di dalam obat tersebut berisi bahan kimia yang merupakan obat berbahaya bagi kesehatan orang, obat tradisional tersebut mengandung parasetamol dan fenilbutason. Obat tradisional yang beredar selain ada indikasi kecurangan menggunakan bahan yang tidak alami dan merugikan dalam pembuatan/pengolahannya banyak pula yang ditemukan tidak disertai dengan izin edar dan juga tidak mencantumkan komposisi pada labelnya sehingga legatitas penyembuhannya tidak selalu dapat terjamin ampuh serta terpercaya untuk menyembuhkan sakit pada orang yang mengkonsumsinya. Adanya problemantika tersebut di lapangan dapat mengakibatkan berbagai penyakit setelah mengkonsumsinya bahkan dapat menimbulkan kematian di samping masih banyak juga orang – orang yang percaya dengan cara penyembuhan dengan mengkonsumsi obat tradisional.
Berkaitan dengan hal tersebut maka timbul suatu polemik, tentang perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi obat tradisional yang tidak memiliki izin edar perihal siapa dan bagaimana bentuk pertanggung jawaban atas kerugian diderita konsumen yang mengkonsumsi obat tradisional tanpa izin edar, secara perspektif hukum kesehatan hal ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum terhadap HAM yang sebagai satu unsur individu dalam usaha mewujudkan kesejahteraan yang harus diwujudkan dan melekat pada diri manusia. Sehingga perlu sekiranya mengkaji subjek hukum yang bertanggung jawab dan bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan atas kerugian yang diderita oleh konsumen yang merasa dirugikan akibat mengkonsumsi obat tradisional tanpa izin edar.
Sebagaimana dituliskan dalam skripsi sebelumnya yang berjudul “Perlindungan Terhadap Konsumen Obat Tradisional” oleh Rendra Permana pada tahun 2016, telah dijabarkan mengenai perlindungan terhadap konsumen obat tradisional.2 Jika dibandingkan dengan tulisan ini dengan hasil studi sebelumnya, terdapat persamaan topik bahasan yang sama yakni membahas mengenai perlindungan perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi obat tradisonal, akan tetapi fokus dari bahasannya berbeda. Tulisan ini fokus membahas pada bagian perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugikan dalam mengkonsumsi obat tradisional dan tidak memiliki izin edar. Maka dari itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perlindungan hukum bagi konsumen yang mengkonsumsi obat tradisional serta tanggung jawab dari produsen terhadap konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi obat tradisonal.
Berdasarkan atas latar belakang yang telah penulis sampaikan, maka timbul lah berbagai pokok permasalahan yang mana apabila dirumuskan maka:
-
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen obat tradisional yang merasa dirugikan?
-
2. Bagaimana tanggung jawab produsen terhadap konsumen yang mengalami kurugian akibat mengkonsumsi obat tradisional?
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang dirugikan oleh obat tradisional dan juga tanggung jawab produsen terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi obat tradisional tanpa izin edar, serta bentuk atau model tanggung jawab sepertinya apa yang dapat diberikan oleh subjek hukum terkait konsumen yang merasa dirugikan jika ditinjau dari perspektif ilmu hukum.
Karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif atau dengan nama lain metode penelitian doktriner yaitu penelitian ini ditujukan pada peraturan perundang-undangan bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian hukum bertujuan untuk pengembangan hukum dan menjawab persoalan hukum yang timbul di masyarakat. Kajian ini merupakan kajian yang bersifat yuridis normatif. Menurut pendapat dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji terkait dengan pengertian dari penelitian hukum normatif, sebagai berikut; penelitian hukum merujuk pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dalam karya ilmiah ini juga akan menggunakan pendekatan Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan objek pembahasan (statute approach). Bahan hukum primer didapat dari Peraturan Perundang-Undangan hukum perdata dan undang-undang perlindungan konsumen serta sumber hukum sekunder didapat dari buku dan literatur penunjang lainnya. Bahan yang didapat akan dianalisa dengan berbagai teknik, antara lain deskripsi, komparasi, evaluasi, serta argumentasi. Ada nya penelitina bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum yang dijamin oleh negara bagi konsumen yang mengalami kerugian setelah mengkonsumsi obat tradisional dan juga tanggung jawab produsen obat tradisional.
-
III. Hasil dan Pembahasan
3.1 Perlindungan hukum bagi konsumen obat tradisional yang merasa dirugikan
Perlindungan hukum secara gramatikal menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan hukum. Menurut Shidarta yang dikutip oleh Celie Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, bahwa dalam hukum perlindungan konsumen konsep tanggungjawab memiliki kedudukan yang sangat penting sehingga dalam konteks pelanggaran hak pada konsumen sangat diperlukan prinsip kehati-hatian untuk mengetahui seberapa jauh tanggungjawab yang dapat
dibebankan terhadap subjek hukum tersebut.3 Adanya perlindungan hukum pada konsumen dan pertanggung jawaban produsen timbul dari hubungan hukum diantara pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini berupa hubungan langsung antara pelaku usaha (produsen) dan konsumen yang saling terikat dalam suatu perjanjian sehingga dalam hal ini kedua pihak dapat dikatakan saling membutuhkan.4 Jenis perjanjian yang terjadi dalam produsen dan konsumen di sini masuk kedalam jenis kesepakatan jual beli secara lisan maupun tertulis. Jenis perjanjian yang lumrah digunakan biasanya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dan fakta Sunt Servanda yang kita temukan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPER). Sehingga dapat kita pahami bersama perjanjian yang dibuat secara sah didasarkan pada undang-undang maka akan menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Terkait dengan terciptanya pelaku usaha dengan konsumen dalam keterikatan secara hukum yang dikenal hubungan langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan tidak langsung merupakan ikatan diantara pihak pelaku usaha dengan pihak konsumen yang dilakukan secara tidak langsung namun dilakukan oleh pihak lain untuk melakukan perjanjian terhadap pihak pelaku dengan konsumen. Sehingga dengan hal ini berbeda dengan halnya hubungan langsung para pihak yang tidak terikat secara langsung pada suatu perjanjian khususnya konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban kepada pelaku usaha.5 Hal ini didasarkan juga pada hukum perikatan hanya mengenal sumber hukum tentang perjanjian sehingga dengan hal ini meskipun kedua belah pihak saling memperoleh manfaat baik dari segi keuntungan yang didapat oleh pelaku usaha dan terpenuhinya kebutuhan konsumen. Secara sosiologis di lapangan keuntungan yang didapat cenderung tidak adil dan berat sebelah dimana konsumen selalu dirugikan akibat kurangnya tanggung jawab yang diberikan kepada konsumen akibat barang dan jasa yang diberikan tidak didasarkan pada legalitasnya. Perihal ketidak seimbangan tersebut dapat kita temukan dalam kecurangan terhadap obat-obatan yang diproduksi maupun yang di distribusikan atau disebarluaskan kepada masyarakat mengakibatkan kerugian namun pertanggung jawaban yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. Sehingga penting halnya agar ada sebuah payung hukum/perlindungan hukum bagi konsumen untuk menjamin rasa aman dan kebermanfaatan akan produk dan jasa yang dinikmati oleh masyarakat ketika mengkonsumsi obat tradisonal.
Konsumen dengan pelaku usaha memiliki hubungan hukum yang dapat di kelompoknya menjadi 4 (empat) kategori sesuai yang diatur dalam perundang-undangan yakni: bidang perdagangan, bidang perindustrian, bidang lingkungan hidup, dan bidang kesehatan. Berlakunya UUPK sekaligus berfungsi dalam mengakomodir hak-hak konsumen dalam hubungan hukum yang dilakukan dengan pelaku usaha.
Hak konsumen sebagai bentuk jaminan atau perlindungan hukum yang dijelaskan dalam pasal 4 UUPK; berupa hak dalam penggunaan yang berupa hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, selain itu dalam proses transaksinya pihak konsumen berhak untuk memperoleh keterangan secara jelas benar dan jujur terkait dengan keadaan serta jaminan berupa barang dan atau jasa selain itu juga pihak konsumen berhak menuntut terkait dengan ganti rugi, kompensasi, dan ganti rugi apabila barang dan jasa yang diperoleh tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah terjadi. Dalam konstruksi pasal tersebut dapat dipahami perlindungan hukun yang dijamin oleh UUPK bagi konsumen adalah berupa hak-hak yang semestinya didapat dalam proses transaksi jual beli. Di sisi lain berlakunya UUPK tidak menutup kemungkinan bagi peraturan perundangan-undangan sebelumnya untuk berlaku sejauh hal tersebut belum diatur dan bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.
Selain terjaminnya hak-hak Konsumen dalam UUPK adalah diaturnya sanksi pidana sebagai upaya preventif dan represif atas tindakan pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha terhadap hak-hak dari konsumen bertujuan untuk melindungi hak-hak dari pihak konsumen yang merasa dirugikan dalam transaksi jual beli antar pelaku usaha.6 Pengaturan tersebut sekaligus dapat dijadikan suatu payung hukum bagi peraturan perundang-undangan lain baik yang sudah ada maupun yang masih akan diatur nantinya dalam usaha memberikan perlindungan kepada hak-hak konsumen yang merasa dirugikan termasuk bagi konsumen yang dirugakin akibat mengkonsumsi obat tradisional.
Selain dalam UUPK, terdapat upaya preventif dalam menjamin perlindungan terhadap konsumen agar tidak mengalami kerugian terhadap obat Tradisional yang tidak memenuhi syarat atau izin edar dapat ditemukan dalam Peraturan BPOM. Pengaturan yang dimaksud terdapat dalam Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau bisa disebut dengan BPOM berhak memberikan sanksi administrative terhadap pelaku.7 Selain Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan terdapat juga Perpres No. 80 / 2017 tentang kompetensi BPOM sebagai lembaga pengawasan yang memastikan produk-produk pangan yang beredar dan memenuhi standar dan juga persyaratan keamanan. Bila mana terjadi ketidaksesuaian, maka BPOM sebagai lembaga yang berwenang berhak untuk mencabut/menyegel izin edar produk tersebut.8 Apabila pelaku usaha masih mengedarkan obat tradisional yang dapat merugikan konsumen, maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi pidana.9 Sehingga penulis memandang bahwa dalam usaha perlindungan konsumen pada hukum positif indonesia dapat kita temukan dalam UUPK selain pengaturan secara eksplisit terdapat juga peraturan lain yang mengatur tentang sanksi yang diberikan kepada pelaku
usaha obat tradisional yang produknya melanggar ketentuan UUPK sebagai wujud preventif terjadinya kerugian pada setelah mengkonsumsi obat tradisional tanpa izin.
-
3.2 Tanggung Jawab Produsen Terhadap Konsumen Yang Mengalami Kerugian
Akibat Mengkonsumsi Obat Tradisional
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan tanggung jawab ialah keadaan yang dimana mewajibkan menanggung segala sesuatu yang menjadikan individu berkewajiban menanggung segala sesuatunya dalam hal apapun dan menanggung akibat dari perbuatan tersebut. Tanggung jawab Hukum menurut Ridwan Halim merupakan suatu akibat yang lebih lanjut sebagai hasil dari pelaksanaan peranan, baik itu berupa hak/kewajiban ataupun kuasa yang diperoleh10. Sedangkan dalam konteks perdata, pertanggungjawaban diartikan sebagai sebuah tindakan, biasanya dalam bentuk pembayaran ganti kerugian, karena perbuatannya menimbulkan kerugian pada orang lain wajib/ harus dilakukan.11 Sehingga jika ditinjau dari hubungan hukumnya tanggung jawab merupakan sebab yang timbul atas hak yang dilanggar oleh salah satu pihak dalam suatu perjanjian termasuk perjanjian jual beli obat tradisional.
Pemenuhan hak konsumen pada kasus-kasus pelanggaran terhadap hak dari pihak konsumen dalam posisi ini dirugikan akibat mengkonsumsi obat tradisional tanpa melakukan perjanjian kontraktual. Bersama produsen/melalui pihak ketiga diperlukan ketelitian dan juga kehati-hatian dalam menelaah untuk mengetahui pihak yang harus bertanggung jawab dan seberapa berat beban tanggung jawab dapat diterima oleh pihak-pihak terkait. Pada perspektif tanggung jawab dikenal ada dua jenis tanggung jawab yaitu tanggung jawab produk (product liability), dan tanggung jawab mutlak (strict liability). Tanggung jawab produk (product liability) biasanya dibebankan kepada orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.12 Dengan demikian maka dapat dipahami tanggung jawab produk merupakan tanggungan yang harus diterima pelaku usaha yang nantinya memasarkan dan menjual produk tersebut yang mengakibatkan konsumennya merasa dirugikan atau menjual produk yang tidak layak konsumsi yang mengakibatkan kerugian penderitaan dalam pemakiannya. Regulasi yang mengatur mengenai perbuatan pelaku usaha yang berakibat menimbulkan
Dalam prinsip tanggung jawab tidak semua bisa ditentukan dengan factor kesalahan, salah satunya adalah tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab mutlak ialah prinsip yang sangat melindungi konsumen dan harus dimiliki setiap produsen.13 Akibat yang timbul dari prinsip tanggung jawab mutlak adalah penuntutan kompensasi dari pihak konsumen dalam posisi ini dirugikan terhadap produk atau
barang yang akan-akan memberi kerugian atau tidak aman kepada produsen tanpa harus mempertimbangkan ada atau tidaknya kesalahan pada produsen. Diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang product liability mempertimbangankan beberapa alasan, adalah sebagai berikut:
-
a. Secara prinsip dalam hubungn hukum kerugian yang didapatkan oleh konsumen berdasarakan barang dan/atau jasa yang di perjualbelikan maka seharusnya dari pihak produsen menanggung ak menanggung akbit telah memproduksi/mengedarkan barangdanatau jasa dan cacat tersebut.
-
b. Dengan diedarkannya barang tersebut dipasaran maka produsen telah menjamin bahwasannya barang tersebut telah dapat dipakai, digunakan, ataupun dikonsumsi sekaligus secara implisit menyatakan barang tersebut layak, apabila tidak seperti demikian maka dapat dipertanggungjawabkan.
-
c. Dalam penuntutan pertanggung jawaban tersebut didasarkan pada prinsip tanggung jawab mutlak produsen jika dilihat dari unsur kesalahannya tersebut dapat dituntut dengan cara melalui proses penuntutan beruntun, yakni konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, distributor kepada agen, agen kepada produsen. Penerapan strict liability ditujukan untuk menyederhanakan proses yang cukup panjang.
Konsumen yang mengalami derita kerugian yang ditimbulkan akibat kurangnya kualitas dari produk-produk beredar tidak dijamin secara legalitas dari izin edar sehingga dapat mengakibatkan cacat membahayakan bagi konsumen dapat dibebankan tanggung jawab mutlak. tanggung jawab mutlak pelaku diatur dalam Pasal 19 UUPK, dimana dalam kontruksi pasal tersebut dijelaskan bahwasannya Pelaku usaha memiliki tanggung jawab memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen setelah mengkonsumsi barang/jasa yang diperdagangkan. Merujuk dalam ayat (1) UUPK mengatur tentang benuk ganti rugi seperti Pengembalian uang transaksi, pemberian barang dan/atau jasa pengganti yang sejenis atau setara nilainya. Pemenuhan ganti rugi tersebut harus dilakukan pembayaran terhadap ganti rugi dengan estimasi tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) dipahami sebagai pemenuhan tanggung jawab perdata sehingga turut serta adanya kemungkinan penghapusan terkait timbulnya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Namun jika ditinjau lebih lanjut Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) seperti yang telah diuraikan sebelumnya tidak berlaku apabila membuktikan bahwa kesalahan yang menimbulkan kerusakan cacat dan lainnya pada barang dan jasa tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Berdasarkan kajian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka didapat kesimpulan yaitu: Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen dilahirkan oleh adanya pertanggung jawaban yang dilakukan oleh produsen dalam rangka perlindungan hukum. Sejatinya pemerintah Indonesia telah mengupayakan perlindungan untuk menjamin hak, kewajiban, dan tanggung jawab dari masing-masing pihak yang diimplementasikan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pemerintah yang secara keseluruhan berorientasi pada melindungi konsumen; Ada satu hal penting yang perlu diterapkan dalam perlindungan konsumen, ialah prinsip tanggung jawab. Terdapat dua jenis tanggung jawab yaitu tanggung jawab produk (product liability), dan tanggung jawab mutlak
(strict liability) terkait dengan kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan ketelitian dan juga ketegasan dalam memilah-milah yang dimana bertujuan untuk menelaah untuk mengetahui barang siapa yang berhak bertanggung jawab dan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait, sedangkan menurut Pasal 19 Undang-Undang perlindungan konsumen beberapa bentuk tanggung jawab dari produsen terhadap konsumen salah satunya adalah pemberian ganti rugi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Halim, A. Ridwan. Hukum administrasi negara dalam tanya jawab. 2020.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. "Hukum perlindungan konsumen." (2008).
Nugroho, Susanti Adi. "Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya." (2008).
Jurnal Ilmiah
Ali, Muchtar. "Konsep makanan halal dalam tinjauan syariah dan tanggung jawab produk atas produsen industri halal." AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah 16, no. 2 (2016): 291-306.
Anjani, Ida Ayu Maharani Chintya, and I. Wayan Novy Purwanto. "TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI PADA NOTA LAUNDRY1." Jurnal Kertha Semaya 8, no. 3 (2020).
Brahmanta, Dewa Gede Ari Yudha, and Anak Agung Sri Utari. "Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen." Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana (2016).
Dewi, Ni Nyoman Raswati, and Ni Luh Gede Astariyani. "PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN TERKAIT PRODUK KEMASAN MAKANAN."
Mahesti, Indira Putri, and I. Gusti Ngurah Dharma Laksana. "Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Titip Online." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7 (2019): 1-17.
Pambudi, Dwi Bagus, and Danang Raharjo. "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Obat Tradisional Tanpa Izin Edar Di Media Online." Proceeding of The URECOL (2020): 21-25.
Saputra, Arif Duwi. "TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN PADA MAKANAN KEMASAN YANG TELAH KADALUARSA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN." Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum) 1, no. 2 (2021): 112-126.
Sukmawati, Ni Made Dewi, and I. Wayan Novy Purwanto. "Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Online Shop Terhadap Konsumen Akibat Peredaran Produk Kosmetik Palsu." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7: 1-14.
Sunkundo, Marsella Meilie Esther. "PELAKU USAHA YANG MENGEDARKAN PRODUK PANGAN TIDAK MEMILIKI IZIN EDAR DITINJAU DARI HUKUM PIDANA." LEX ET SOCIETATIS 5, no. 3 (2017).
Skripsi
Permana, Rendra. "Perlindungan terhadap Konsumen Obat Tradisional." PhD diss., Univeristas Narotama Surabaya, 2016.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor: Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka
Undang – Undang tentang Kesehatan, Undang Undang No. 36 tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 9 Tahun 2021, hlm.757-766
766
Discussion and feedback