PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT PELANGGARAN

ATAS HAK CIPTA TERHADAP KARYA ARSITEKTUR
LANSKAP

Putu Sonia Putri Iswara Naghi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected].

ABSTRAK

Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk menganalisa perlindungan hukum berdasarkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 (UUHC) hingga mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulis mengumpulkan dan menganalisis bahan pustaka yang di dapat dari data primer dan data sekunder. Hasil studi menunjukan bahwa arsitek mendapatkan perlidungan yang karyanya tidak boleh digunakan tanpa izin dari pencipta. Arsitek yang mengalami kerugian hak ekonomi akibat pelanggaran hak cipta berhak mendapatkan ganti rugi (diatur dalam Pasal 96 UUHC 2014), dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Niaga (diatur dalam Pasal 100 ayat (1) UUHC). Salah satu faktor utama sulit dilakukannya penegakan pelanggaran Hak Cipta karya arsitektur lanskap yaitu kurangnya sosialisasi tentang betapa pentingnya mendaftarkan ciptaan bagi arsitek. Untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan kalangan arsitek, bisa dengan cara mensosialisasikan informasi tentang ruang lingkup serta hal lainnya menyangkut materi dari UUHC.

Kata Kunci: Karya Arsitektur Lanskap, Hak Cipta, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

The purpose of this paper is to analyze legal protection based on Law Number 28 of 2014 (UUHC) and to determine the efforts that can be taken to prevent copyright infringement of landscape architectural works. Writing this article uses normative juridical research methods, the authors collect and analyze library materials obtained from primary data and secondary data. The results of the study show that architects get protection that their work cannot be used without the author's permission. Architects who experience loss of economic rights due to copyright infringement are entitled to compensation (regulated in Article 96 UUHC), by filed a civil suit to the “Commercial Court” (Article 100 first paragraph of UUHC). One of the main factors in the difficulty of enforcing copyright infringement of landscape architecture works is the lack of socialization about the importance of registering creations for architects. To increase the legal awareness of the public and architects, it can be done by disseminating information about the scope and other matters concerning the material from the UUHC.

Keywords: Landscape Architecture Work, Copyright, Legal Protection

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Pemikiran manusia atau disebut juga sebagai intelektual melahirkan suatu karya seperti ciptaan, desain dalam dunia perdagangan, karya seni, karya sastra, citra, serta nama disebut sebagai Kekayaan Intelektual (KI). Dalam kekayaan intelektual, suatu kepemilikan bukanlah terhadap benda atau barangnya, tetapi kepemilikan

terhadap hasil kemampuan, karya dan kreativitas intelektual penciptanya, bisa berbentuk ide maupun gagasan.1 Hukum Kekayaan Intelektual merupakan salah satu aspek hukum yang melindungi Hak – Hak Manusia di dalam Hak Intelektualnya.2 Ketika sudah terwujud dan terekspresinya kemampuan intelektual seseorang dalam bentuk karya yang dapat dilihat, dibaca, didengar maupun dipakai secara praktis (expression works), Kekayaan Intelektual ini memperoleh perlindungan hukum, sesuai dengan konsep ilmu hukum.3

Kekayaan Intelektual (KI) terdapat Hak Cipta di dalamnya yang merupakan salah satu bagian dari KI, obyek Hak Cipta ini dibidang ilmupengetahuan, seni dan sastra. Ketika hasil kreasi yang telah berhasil dibuat oleh seseorang yang ada dalam pikirannya berupa ide-ide, gagasan maupun benda, ia secara langsung memiliki Hak Cipta atas karyanya tersebut. Definisi Hak Cipta diatur dalam “Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta” (selanjutnya disingkat UUHC) yaitu “Hak Cipta merupakan hak eksklusif dari pencipta yang secara otomatis tercipta dengan nyata tidak adanya pembatasan dalam ketentuan perundang-undangan.” Hak ekslusif ini merupakan hak bagi pencipta yang mencegah adanya pihak lain untuk memakai suatu karya tanpa seizin penciptanya. Hak eksklusif diberikan kepada pencipta secara otomatis tanpa adanya pendaftaran maupun pencatatan secara khusus, dimana pencipta sudah mendapat perlindungan hukum yang berdasar pada prinsip deklaratif.4 Akan tetapi menjadi lebih baik bila hasil karya cipta tersebut dilakukan pendaftaran atau pencatatan agar ada bukti formalnya jika terjadi sesuatu seperti adanya penjiplakan atau peniruan dari karya cipta maka pencipta dapat dengan mudah mengajukan tuntutan karna sudah memiliki bukti formal.5

Karya arsitektur, dimana didalamnya termasuk juga karya arsitektur lanskap adalah salah satu ciptaan dilindungi UUHC. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek mengatur definisi dari Arsitektur, yaitu

“arsitektur merupakan wujud hasil penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.”

Dalam seni arsitektur lingkup makro, terdapat arsitektur lanskap. Nyaris serupa dengan arsitektur secara umum, yang dipelajari dalam arsitektur lanskap yaitu perencanaan, perancangan konstruksi, namun dalam ruang lingkup outdoor dengan skala yang lebih besar. Jadi arsitektur lanskap adalah studi dan praktik mendesain lingkungan baik luar dan dalam ruangan. Menurut Van Der Zanden, “arsitektur lanskap adalah seni dan ilmu mengorganisasi dan memperkaya kualitas ruang luar

(outdoor) dalam hubungan alam yang menyenangkan dan bermanfaat.” Arsitektur lanskap erat kaitannya dengan perancangan taman. Dalam perancangan ruang yang dapat menciptakan dan memungkinkan kehidupan di antara bangunan tersebut, arsitek lanskap ikut terlibat. Sering kita jumpai hasil karya arsitektur lanskap, misalnya di komplek apartemen, perumahan, plaza, taman, museum, pusat perbelanjaan, gelanggang olahraga, cagar alam dan alun-alun. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan arsitek lanskap berkisar dari pembuatan ruang terbuka hijau hingga perencanaan lokasi untuk berbagai tempat.

Karya arsitektur lanskap sebagai ciptaan mendapatkan perlindungan Hak Cipta mempunyai elemen hak ekonomi dan hak moral. Dalam rangka hak ekonomi, arsitek lanskap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari pemanfaatan karya arsitektur lanskapnya tanpa izin oleh pihak lain. Artinya bahwa arsitek itu sendiri saja yang berhak menggunakan karya arsitektur lanskapnya untuk model dan atau contoh pembangunan dalam lingkup arsitektur lanskap. Hak yang dimiliki oleh arsitek atas semua gambar rancangan, sketsa dan bentuk asli dari biaya/anggaran rencana merupakan hak yang mutlak, walaupun masyarakat menganggap atau tidak menganggap adanya Kepemilikan Hak Cipta atas suatu karya arsitektur lanskap.

Dalam masyarakat sering dijumpai karya arsitektur lanskap yang menjiplak atau hasil plagiarsme dari taman-taman atau hasil karya lainnya yang sudah ada di luar negeri, padahal karya arsitektur lanskap disesuaikan dengan tanah dan kondisi geografis negeri itu sendiri. Hal ini akan menyebabkan menipisnya dan memudarnya gaya arsitektur lanskap sebagai bagian dari seni dan kebudayaan. Belum lagi timbulnya pelanggaran yang berupa penjiplakan atau plagiarisme karya arsitektur lanskap, yang dilakuakn dengan cara karya tersebut digambar atau dengan cara lainnya dan juga mengganti atau tidak mencantumkan nama penciptanya akan memperparah keadaan ini.

Semakin majunya perkembangan pembangunan di era ini, perlindungan hukum sangatlah diperlukan untuk melindungi karya arsitektur lanskap untuk mencegah adanya pelanggaran, karena saat ini sedang maraknya kasus pelanggaran hak cipta dengan semakin canggihnya teknologi. Hingga saat ini perlindungan hukum yang diberikan UUHC untuk karya cipta arsitektur lanskap dirasa belum cukup, dalam UUHC tidak jelas mengatur kriteria apa saja yang disebut atau tergolong sebagai “Pelanggaran Hak Cipta terhadap Karya Arsitektur Lanskap.”

Penulisan artikel ini merupakan penuangan ide dalam bentuk tulisan yang orisinil. Dimana sepanjang pengamatan yang telah dilakukan, belum ditemukan jurnal dengan judul yang sama dengan karya tulis ini. Namun demikian, tak dapat dipungkiri tentunya ada beberapa tulisan yang memiliki konsep yang serupa namun memiliki fokus kajian maupun permasalahan yang berbeda dengan tulisan ini. Contohnya seperti penelitian oleh Riski Darmawan tahun 2016 dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pencipta atas Pelanggaran Karya Cipta Arsitektur Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta”. Pada karya tersebut memiliki keterkaitan yaitu membahas mengenai perlindungan hukum terkait pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur. Namun terdapat perbedaan fokus permasalahan yang dibahas. Karya tulis ini membahas mengenai perlindungan Hak Cipta Karya Arsitektur secara umum, sedangkan artikel ini membahas karya arsitektur yang lebih khusus yaitu perlindungan Hak Cipta Karya Arsitektur Lanskap.

Pelanggaran Hak Cipta atas karya arsitektur lanskap bisa terjadi disebabkan oleh sejumlah faktor yaitu belum cukupnya materi perundang-undangan yang diatur

juga kesulitan dilakukannya pembuktian. Faktor moral dan sifat komunal yang melekat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia juga mempengaruhi. Kejelasan dan ketegasan prosedur dalam hal perlindungan karya cipta arsitektur lanskap belum terdapat kejelasan hingga kini, sehingga pentingnya perlindungan sebuah karya dalam konteks ini karya arasitektur lanskap, masyarakat belum bisa mengetahuinya. Seandainya sebuah karya arsitektur lanskap mengalami pelanggaran Hak Cipta, UUHC tidak menjelaskan lebih jauh sehingga dinilai masih rancu dalam perlindungan Hak Cipta karya arsitekstur lanskap. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka artikel ini menggunakan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT PELANGGARAN ATAS HAK CIPTA TERHADAP KARYA ARSITEKTUR LANSKAP"

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah perlindungan hukum terkait pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap?

  • 2.    Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas, penulisan ini bertujuan untuk menganalisa perlindungan hukum berdasarkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 hingga mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap.

  • II.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundang-undangan, dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan pustaka yang di dapat dari bahan primer dan bahan sekunder. Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebagai bahan hukum primer dan menggunakan literatur dan jurnal mengenai Hak Cipta sebagai bahan hukum sekunder.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Hukum Terkait Pelanggaran atas Hak Cipta Terhadap Karya Arsitektur Lanskap

Karya arsitektur lanskap sebagai ciptaan yang juga dilindungi ikut mengalami kemajuan bersamaan dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi. Frederick Law Olmstead-lah pertama kali memperkenalkan istilah arsitektur pada tahun 1858. Olmstead menujukan arsitektur lanskap dikerjakan pada penggarapan lahan, dimana diperlukannya perhatian mendalam untuk melestarikan keindahan pemandangan alam termasuk di dalamnya keseimbangan ekologis di antara lahan, sumber-sumber alam, vegetasi, dan ekologis. Definisi ruang lingkup lanskap saat ini telah membatasi pada lingkup tertentu saja. Seni ini memiliki fungsi paling pentingnya dalam menciptakan keindahan lingkungan di area yang ditempati manusia serta melestarikan keindahan pada pemandangan alam yang meluas tersebut merupakan

hakikat dari arsitekstur lanskap.6 Beberapa tahun terakhir ini, arsitektur lanskap mulai dipandang sebagai suatu yang penting di Indonesia. Salah satu alasan penting arsitektur lanskap mulai mendapat tempat terhormat karena masyarakat semakin sadar akan pentingnya menciptakan ruang hijau yang asri serta mampu mendukung kehidupan.

Pemikiran dan kecerdasan manusia dapat melahirkan sebuah hasil atas inteleknya merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, bentuk-bentuk dari hasil pemikiran tersebut antara lain penemuan,desain,seni,karya tulis, atau penerapan praktis suatu ide. Dalam Hak Kekayaan Intelektual, Hak Cipta merupakan salah satu bidang yang mendapat perlindungan hukum.7 Hak eksklusif pencipta atas karyanya yang lahir dari kreativitas intelektualnya (human intellect) disebut dengan Hak Cipta.8 Hak ekslusif merupakan hak khusus atas suatu ciptaain ini memiliki maksud agar hak terseburt tidak boleh dimanfanfaatkan oleh seorangpun tanpa mendapatkan izin pencipta. Seseorang yang haknya melekat pada dirinya, termasuk juga hak cipta, membuat orang lain berkewajiban melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Bisa dikatakan semua orang berkewajiban untuk tidak membuat dirugikannya orang lain, pada saat bersamaan orang tersebut juga berhak untuk tidak dirugikan.9 Hak Eksklusif mencakup hak moral dan hak ekonomi sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUHC.10 Jangka waktu hak ekslusif sudah ditentukan dalam Undang-Undang, oleh karena itu siapapun dapat menggunakan karya cipta itu dengan bebas tanpa izin apabila jangka waktu sudah berakhir, jadi ketika adanya penyalinan atau peniruan terhadap ciptaan yang memiliki Hak Cipta kedaluwarsa, sudah masuk ke dalam public domain, jadi tidak dianggap tindakan pelanggaran.

Kemungkinan terjadinya pelanggaran pada karya cipta srsitektur lanskap cukup tinggi. Pelanggaran Hak Cipta pada karya arsitektur lanskap dapat berupa dilakukannya plagiarisme atau penjiplakan secara penuh dan utuh suatu karya cipta arsitektur lanskap tanpa seizin pencipta yang bersangkutan, juga dapat berupa meniru, menambah, merubah, beberapa bentuk dari karya cipta arsitektur lanskap tanpa seizin pencipta sehingga menghasilkan karya cipta arsitektur lanskap baru. Pelanggaran Hak Cipta plagiarisme terkait karya arsitektur lanskap ini berupa kemiripan hingga nyaris serupa antara karya arsitektur lanskap yang satu dengan yang lainnya. Hak Cipta merupakan permasalahan budaya dan paradigma dalam pandangan tradisional yang hingga saat ini belum sepenuhnya lenyap, bahwasanya anggapan masyarakat suatu ciptaan selaku milik bersama dan walaupun hak individu atas ciptaan mendapatkan pengakuan, tetapi bentuk yang lebih ditonjolkan

pada perspektif moral Hak Cipta ketimbang nilai ekonomisnya.11 Apabila karya arsitektur lanskap dari seorang arsitek dijiplak atau diplagiat tanpa izin, ia akan mengalami kerugian dari segi ekonomi maupun segi moral. Pencipta dapat manfaat ekonomi atas ciptaannya sendiri serta produk terkait karena Hak Ekonomi tersebut.

Pasal 9 ayat (2) UUHC di dalamnya mengatur perlindungan yang diberikan untuk para pencipta atas karyanya dimana disebutkan siapapun yang menggunakan Hak Ekonomi tersebut, sebagaimana Pasal 9 ayat (1) mengatur bahwa “setiap orang dilarang melakukan penggandaan serta penggunaan yang secara komersial tanpa adanya izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta” dan Pasal 9 ayat (1) UUHC mengatur hak ekonomi dari pencipta dan pemegang Hak Cipta pada, serta diatur pula bahwa menerbitkan, menerjemahkan, menggandakan, mengadaptasi, mempertunjukan, mendistribusikan, mengumumkan, mengkomunikasikan, serta menyewakan merupakan hak ekonomi dari si pencipta dan pemegang Hak Cipta. Hal ini mendukung si pencipta agar apabila terjadi kasus plagiarisme karya cipta arsitektur lanskap sudah merupakan pelanggaran Hak Cipta. Dengan adanya hak ekonomi, melarang orang lain menggunakan suatu karya cipta dengan tujuan mengkomersialkannya tanpa seizin pencipta. Maksud dari menggunakan karya tersebut untuk komersial sebagai halnya diatur dalam Pasal 1 angka 24 UUHC yaitu “pemanfaatan ciptaan dan /atau produk terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan eknomi dari berbagai sumber atau berbayar.”12 Pasal 5 UU Hak Cipta mengatur tentang Hak Moral, dijelaskan sebagai berikut:

“Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:”

  • a.    “tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

  • b.    menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

  • c.    mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

  • d.    mengubah judul dan anak judul Ciptaan;dan

  • e.    mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.”

Kepentingan pribadi atau reputasi pencipta dilindungi oleh Hak Moral. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pencipta dan penemu apabila Hak Cipta dialihkan ke pihak lain karena Hak Moral bersifat pribadi atau kekal.13 Walaupun pencipta atau pemegang Hak Cipta sudah meninggalkan dunia ini, semua pihak tetap harus mengakui dan menghormati Hak moral tersebut.14 Ruang lingkup perlindungan terhadap karya arsitektur lanskap ini melindungi karya arsitektur lanskap dua

dimensi dan tiga dimensi yang meliputi wujud entitas lanskap, pengelolaan posisi lanskap, gambar rancangan lanskap, gambar teknis lanskap, dan model atau bentuk tiruan lanskap (maket).

Apabila adanya kemiripan bahkan hingga nyaris serupa terhadap karya arsitektur lanskap ini merupakan tindakan yang bisa menimbulkan pelanggaran terhadap hak moral pencipta karena meniru atau plagiat hasil karya orang lain. Kegiatan plagiarisme tersebut dapat merugikan kehormatan diri atau reputasi penciptanya. Kemiripan terhadap karya arsitektur lanskap juga melanggar hak ekonomi pencipta karena telah melakukan perbuatan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pemegang Hak Cipta tersebut. Perbuatan yang dapat melanggar hak ekonomi pencipta ini berupa penggandaan ciptaan dalam segala bentuk, yang mana maksud dari kata penggandaan ini diatur dalam Pasal 1 angka 12 UUHC, yaitu: “Penggandaan adalah proses, pembuatan, atau cara menggandakan satu salinan Ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara”. Penggandaan dalam karya arsitektur lanskap berupa penggandaan atas gambar-gambar rancangan karya arsitektur lanskap yang telah dibuat, dan yang memiliki hak penggandaan hanya arsitek yang menciptakan gambar rancangan tersebut.15 Pasal 46 Ayat (1) dan (2) UUHC juga mengatur mengenai penggandaan digunakan demi kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah diumumkan dilarang dilakukan pada karya arsitektur lanskap dalam bentuk karya nyata hasil desain lanskap (taman, pekarangan, lanskap jalan, dll) atau konstruksi lain namun diperbolehkan asal tidak merugikan pencipta.

UUHC belum mengatur secara detail mengenai pokok-pokok dari karya arsitektur lanskap yang dapat dilindungi sebagai syarat penilaian untuk menentukan suatu karya arsitektur lanskap bisa dikatakan sebagai karya orisinil atau karya hasil menjiplak dari karya lain. Dari segi hak moral dan juga hak ekonomi, perbuatan menjiplak karya arsitektur lanskap tanpa mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengkomersialkannya merupakan suatu pelanggaran.

Pasal 96 UUHC mengatur bahwa gugatan perdata dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta karya arsitektur lanskap yang mengalami kerugian karena terjadi pelanggaran atas karyanya. Selanjutnya, Pasal 100 ayat (1) UUHC mengatur mekanisme atau proses bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta yang haknya dilanggar untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. “Pencipta, pemegang Hak Cipta dan /atau pemegang Hak Terkait atau ahli warisnya yang mengalami kerugian hak ekonomi berhak memperoleh ganti rugi”, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UUHC. Pembayaran ganti rugi dibayar paling lama 6 bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menurut Much. Nurachmad “selain penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga, para pihak dapat meyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, maupun cara-cara lainnya yang dipakai oleh para pihak selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku.”16

Tidak hanya gugatan perdata yang dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang, tuntutan pidana juga dapat mereka ajukan terhadap pelaku pelanggaran hak cipta

karya arsitektur lanskap tanpa izin pencipta yang karya baru dari hasil plagiat tersebut dikomersialisasikan. Pasal 113 UUHC 2014 mengatur ketentuan pidananya. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 113 ayat (3) UUHC pelanggaran terhadap hak cipta, lebih spesifiknya “melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta yang berbentuk penerbitan Ciptaan, segala bentuk penggandaan ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, dan/atau pengumuman ciptaan untuk digunakan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Semenjak berlakunya Undang - Undang Hak Cipta terbaru yakni Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa pelanggaran Hak Cipta merupakan delik aduan murni, sebagai halnya tercantum dalam Pasal 120 UU Hak Cipta : “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini merupakan delik aduan”. Bisa disimpulkan bahwa harus ada orang yang melapor dahulu dengan permintaan untuk melakukan tuntutan terhadap orang atau pihak tertentu agar tindak pidana dapat dilakukan penuntutan.17

Harapan kedepannya terjadinya suatu pelanggaran hak cipta bisa dicegah dengan adanya pengaturan serta sanksi pidana yang besar, terutama di bidang karya arsitektur lanskap yang memiliki kemungkinan terjadinya suatu pelanggaran hak cipta di kemudian hari. Sangat dianjurkan kepada pencipta maupun pemegang hak cipta agar karya ciptanya didaftarkan, walaupun tidak memerlukan pendaftaran karena Hak Cipta bersifat otomatis yang muncul ketika sebuah karya telah tercipta. Apabila di kemudian hari terjadi sengketa atas suatu karya cipta, Surat Pendaftaran Ciptaan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.18 Oleh karena itu, penting untuk mendaftarkan karya arsitektur lanskap sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek yang mengatur bahwa “arsitek berhak mendaftarkan kekayaan intelektual atas hasil karyanya.”

  • 3.2.    Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Mencegah Terjadinya

    Pelanggaran atas Hak Cipta terhadap Karya Arsitektur Lanskap

Setelah Undang-Undang Hak Cipta terbaru disahkan yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sifat dari pelanggaran terhadap Hak Cipta adalah delik aduan. Ini berarti bahwa apabila telah terjadi pelanggaran Hak Cipta, tidak dapat dilaporkan oleh semua orang, hanya pihak-pihak berkepentingan saja yang dapat melaporkannya, hal ini berlaku karena dalam pelanggaran Hak Cipta diterapkan delik aduan. Walaupun seseorang secara jelas dan nyata telah melakukan pelanggaran Hak Cipta, orang tersebut tidak dapat diproses secara hukum apabila Pencipta atau pemegang Hak Cipta atau pihak-pihak yang berkepentingan tidak menuntut. Delik aduan yang diterapkan didalam pelanggaran Hak Cipta dinilai cukup tepat, karena untuk mengetahui apa telah terjadi suatu pelanggaran sulit untuk ditentukan oleh aparat penegak hukum jika tidak membandingkannya karya ciptaan asli oleh pencipta atau pemegang hak cipta dengan barang hasil plagiat atau hasil pelanggaran hak cipta. Atas hal itu rasanya sulit bagi penegak hukum untuk

bertindak lebih lanjut jika tidak ada pengaduan dahuku dari para pihak yang merasa dirugikan atau pencipta atau pemegang hak cipta.19

Masyarakat kebanyakan kurang mengetahui bahwasanya suatu karya arsitektur spesifiknya arsitektur lanskap adalah salah satu karya cipta yang mendapatkan perlindungan oleh UU. Anggapan dari masyarakat kebanyakan bahwa apabila banyak yang menyukai suatu desain, apalagi jika desain tersebut membuat banyak pembeli berdatangan yang mengakibatkan naiknya harga yang ditawarkan, lantas itu dianggap sebagai hal yang wajar, tidak termasuk suatu pelanggaran hukum oleh masyarakat. Kurangnya pengetahuan masyarakat pada umumnya ini menimbulkan ketidaktahuan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran hak cipta. Peraturan Perundang-Undangan dirasa kurang efektif karena lemahnya sanksi yang diberikan atas suatu pelanggaran, sehingga masyarakat kebanyakan mengabaikan peraturan tersebut.

Pengaturan terhadap hak cipta yang tidak cukup memadai, spesifiknya karya arsitektur lanskap yang merupakan bagian dari karya arsitektur, menciptakan peluang terjadinya pelanggaran terhadap hak cipta semakin tinggi. Terlepas dari semua itu, banyak arsitek yang merasa tidak etis ciptaannya didaftarkan karena merasa mungkin sebelumnya desain tersebut sudah pernah dipakai oleh arsitek yang lain. Padahal selama ia menghasilkan suatu ciptaan atau suatu karya, pendaftaran hak cipta dapat dilakukan, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUHC. Sayangnya, kalangan arsitek merasa ini sebagai hal yang awam jadi pentingnya pendaftaran hak cipta tidak terakomodir di kalangan tersebut.Salah satu faktor utama sulit dilakukannya penegakan pelanggaran hak cipta karya arsitektur lanskap yaitu kurang dilakukannya sosialisasi mengenai seberapa pentingnya bagi arsitek untuk mendaftarkan ciptaannya. Selain itu, adanya faktor-faktor lain yang menghambat, seperti yang dijelaskean oleh Puspita, yaitu “Belum diketahuinya barometer pelanggaran hak cipta arsitektur lanskap, kurangnya informasi/pengetahuan tentang perlindungan hak cipta arsitektur pada umumnya dan arsitektur lanskap pada khususnya, dan kurangnya pemahaman tentang pendaftaran ciptaan di kalangan arsitek.”20

Bukanlah hal yang mudah bagi karya-karya arsitektur lanskap untuk diberikan perlindungan hukum. Pelanggaran-pelanggaran hak cipta atas karya arsitektur lanskap masih saja terjadi, walaupun perangkat hukum yang mengatur perlindungan terhadap karya tersebut telah ditetapkan oleh Pemerintah, karena dalam prakteknya sulit menerapkan hal itu. Agar perlindungan hukum yang diberikan atas ditetapkannya peraturan perundang-undangan tersebut terlaksana, diperlukannya upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap .

Demi mengurangi peluang terjadinya pelanggaran Hak Cipta tersebut agar tidak semakin besar karena belum cukup dan belum jelasnya pengaturan Hak Cipta karya arsitektur, upaya yang bisa dilakukan yaitu dibentuk secepatnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diikuti oleh Peraturan Pelaksananya, yaitu di bidang Pengaturan Hak Cipta atas Karya Arsitektur termasuk

karya arsitektur lanskap. Upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, bisa dengan cara melakukan sosialisasi, informasi yang diberikan untuk masyarakat berupa ruang lingkup hingga hal penting lainnya berkaitan dengan materi dari UU dimaksud.

Upaya berikutnya yaitu dengan menjatuhkan sanksi yang lebih tegas, seperti membebankan sanksi perdata (ganti rugi) dan sanksi pidana (kurungan/penjara) secara bersamaan, karena masyarakat cenderung menganggap ringan atau mengabaikan sanksi apabila sanksi yang dibebankan lebih ditekankan pada sanksi perdata, lantaran kurang memberikan efek psikologis terhadap seseorang. Perihal pencegahan tindakan plagiarisme yang dihadapi oleh kalangan arsitek, dapat menggunakan bukti desain awal atau kerangka kerja terperinci biasanya disebut dengan “blueprint” yang seorang arsitek atau konsultan miliki. Hal ini dilakukan untuk mencegah arsitek lain melakukan tindakan plagiat. Baik secara struktur, konsep hingga penekanan desain, semuanya telah tercantum dalam blueprint yang pastinya hanya si pembuat yang memilikinya. Nantinya blueprint ini bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan apabila terjadi sengketa. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan partisipasi dari kalangan ahli hukum dan para arsitek. Dalam proses ini dipastikan keuntungan akan diperoleh semua pihak apabila mereka semua melibatkan diri dalam proses perlindungan Hak Cipta karya arsitektur lanskap sedini mungkin. Diharapkan juga agar tulisan ini bisa meningkatkan pemahaman akan pentingnya pendaftaran ciptaan dikalangan arsitek, khususnya karya arsitektur lanskap agar di masa yang akan datang para arsitek muda paham betul akan pentingnya perlindungan hak cipta atas karya arsitektur lankap karena seluruh ciptaan dilindungi oleh hukum.

  • IV.    Kesimpulan

Perlindungan hukum terkait pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Terdapat Hak Eksklusif dari pencipta yang diatur dalam UUHC, dimana mencakup hak moral dan hak ekonomi sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUHC. Pasal 9 ayat (2) UUHC di dalamnya mengatur perlindungan yang diberikan untuk para pencipta atas karyanya mengenai hak ekonomi. Dengan adanya hak ekonomi, melarang orang lain menggunakan suatu karya cipta dengan tujuan mengkomersialkannya tanpa seizin pencipta. Pasal 96 UUHC mengatur bahwa gugatan perdata dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta karya arsitektur lanskap yang mengalami kerugian karena terjadi pelanggaran atas karyanya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta terhadap karya arsitektur lanskap yaitu dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, bisa dengan cara melakukan sosialisasi, informasi yang diberikan untuk masyarakat berupa ruang lingkup hingga hal penting lainnya berkaitan dengan materi dari UU dimaksud, juga meningkatkan partisipasi dari kalangan ahli hukum dan para arsitek .Bertitik tolak pada kesimpulan di atas, saran yang dapat diberikan yaitu agar secepatnya dibentuk Peraturan Pelaksana yang mengikuti UUHC, yaitu di bidang Pengaturan Hak Cipta atas Karya Arsitektur termasuk karya arsitektur lanskap dan hendaknya pemerintah bertindak tegas dalam menangani pelanggaran Hak Cipta khususnya karya cipta arsitektur lanskap.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dharmawan, Ni Ketut Supasti. Harmonisasi hukum kekayaan intelektual Indonesia, Swasta Nulus (2018).

Garsinia Lestari, S. P., and S. P. Ira Puspa Kencana. Tanaman Hias Lanskap (Edisi Revisi), Jakarta: Penebar Swadaya Grup (2015).

Much, Nurachmad. Segala Tentang HAKI Indonesia (Buku Pintar Memahami Aturan HAKI Kita) Cetakan Pertama. Penerbit Buku Biru. Yogyakarta (2012).

Roisah, Kholis. Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual: sejarah, pengertian dan filosofi pengakuan HKI dari masa ke masa. Setara Press (2015).

Saidin, H. OK., Aspek Hukum Intelektual (Intellectual Property Rights, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada (2010).

Jurnal

Ambarwati, Ni Made Denny, and I. Nyoman Mudana. “Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Komik Terkait Pembajakan Komik Pada Situs Online.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2019): 7

Amrani, Hanafi. "Urgensi Perubahan Delik Biasa Menjadi Delik Aduan dan Relevansinya terhadap Perlindungan dan Penegakan Hak Cipta." Undang: Jurnal Hukum 1, no. 2 (2018): 350.

Artanegara, Luh Gede Nadya Savitri, and I. Gusti Ngurah Darma Laksana. "Perlindungan Hukum Terhap Potret Orang Lain Yang Digunakan Promosi Tanpa Izin Di Jejaring Sosial." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 3 (2020): 371

Damayanti, Ni Putu Utami Indah, AA Sri Indrawati, and AA Sagung Wiratni Darmadi. "Karya Cipta Electronic Book (E-Book): Studi Normatif Perlindungan Hak Ekonomi Pencipta" Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2015): 3.

Jamba, Padrisan. “Analisis Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Untuk Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia” Jurnal: Cahaya Keadilan, (2015): 34-35

Maharani, Desak Komang Lina, and I. Gusti Ngurah Parwata. "Perlindungan Hak Cipta Terhadap Penggunaan Lagu Sebagai Suara Latar Video di Situs Youtube." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 9

Marlionsa,AA N. Tian, dan Ida Ayu Sukihana. “Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Tuntutan Ganti Rugi Mengenai Hak Cipta Logo dari Pencipta” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 3. Fakultas Hukum, Universitas Udayana (2018): 33

Peranika, Ni Wayan Pipin, and I. Nyoman A. Martana. "Perlindungan Karya Fotografi yang Diunggah Melalui Sistem Internet Dan Sanksi Hukum Bagi Pengguna Ilegal." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 4 (2018): 3

Puspita, Fanny. “Perlindungan Hukum Hak Cipta Arsitektur Perumahan (Studi kasus perlindungan arsitektur perumahan di kota Semarang)” PhD diss., Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, (2010): 112.

Suryawan, Made Angga Adi, and Made Gde Subha Karma Resen “Pelaksanaan Penarikan Royalti Oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia Wilayah Bali Pada Restoran di Kabupaten Gianyar Atas Penggunaan Karya Cipta Lagu dan Musik.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 3 (2016): 2

Swari, P. Dina Amanda, and I. Made Subawa. "Perlindungan Hukum Lagu Yang Diunggah Tanpa Izin Pencipta Di Situs Youtube." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 10 (2018): 8.Wijaya, M. Marta & Putu Tuni Cakabawa L., “Perlindungan Hukum Atas Vlog di Youtube Yang Disiarkan Ulang Oleh Stasiun Televisi Tanpa Izin.” KerthaSemaya, Volume7 No. 3, Law Faculty, Udayana University, Bali, (tahun 2019):6

Wijaya, I. Made Marta, and Putu Tuni Cakabawa Landra. “Perlindungan Hukum Atas Vlog di Youtube Yang Disiarkan Ulang Oleh Stasiun Televisi Tanpa Izin.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 3 (2019): 6.

Yogiswari, Ni Made Dharmika, and I. Nyoman Mudana. "Perlindungan Hukum Hak Cipta Lagu Terhadap Kegiatan Aransemen." Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Kertha Semaya Hukum Udayana 8, no. 5 (2020): 703

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang RI No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5599)

Undang-Undang RI No.5 tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6108)

Internet

Ikatan Arsitek Indonesia (2016) “Tahapan Kerja Arsitek dan Honorarium.” Tersedia di https://www.iai-jakarta.org/informasi/lingkup-pekerjaan-arsitek, diakses pada 1 November 2020.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 5 Tahun 2021, hlm.332-343.

343