PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN

SEHUBUNGAN DENGAN REPACKAGING KEMASAN PRODUK PANGAN OLAHAN UMKM

I G Ngurah Vinanta Diputra Kelakan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini ditujukan untuk mengkaji pengaturan hukum terkait produksi pangan olahan yang dilakukan oleh UMKM berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udnagan. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat pangan olahan yang kemasannya di kemas ulang tanpa didaftarkan kembali oleh UMKM untuk memastikan keamanannya. Jenis penelitian dalam artikel ini adalah penelitian hukum normatif yang menelaah problema norma berupa norma kabur dan didasarkan pada pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian dari studi ini menjelaskan bahwa setiap produksi pangan olahan yang dilakukan oleh UMKM harus mendapatkan izin edar dengan memperhatikan keamanan pangan dan ketentuan proses pendaftaran yang didasarkan pada ketentuan PP No. 86 Tahun 2019 dan PBPOM No. 27 Tahun 2017. Kemudian terkait dengan perlindungan hukum bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi pangan olahan yang dikemas ulang (repackaging) tanpa didaftarkan kembali oleh UMKM untuk diuji kembali oleh BPOM ialah dapat dimintainya pertanggungjawaban pihak UMKM berupa ganti kerugian sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999.

Kata Kunci: Repackaging, Usaha Mikro Kecil dam Menengah, Perlindungan Konsumen.

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the legal arrangements related to the production of processed food carried out by MSMEs based on the provisions of the regulations. This study also aims to provide an understanding of the legal protection provided to consumers who experience losses due to processed food whose packaging is repackaged without being re-registered by MSMEs to ensure its safety. The type of research in this article is normative legal research which examines the problem of norms in the form of vague norms and is based on a statutory regulatory approach. The research results from this study explain that every processed food production carried out by MSMEs must obtain a distribution permit with due regard to food safety and registration provisions in accordance with the provisions of PP No. 86 of 2019 and PBPOM No. 27 of 2017. Then related to legal protection For consumers who experience losses due to consuming processed food that is repackaged (repackaged) without being re-registered by the UMKM to be re-tested by the BPOM, there are MSMEs that can be held accountable in the form of compensation in accordance with the provisions of Article 19 paragraph (1) Law no. 8 of 1999.

Keywords: Repackaging, micro, small and medium enterprises, Consumer Protection.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut UMKM) memiliki peranan yang strategis dan penting untuk membantu berjalannya pembangunan

ekonomi nasional. Beberapa alasan yang menempatkan UMKM berperan strategis serta penting ialah dikarenakan dalam melakukan usaha ekonominya ia tidak membutuhkan modal yang terlalu besar seperti pada perusahaan-perusahaan besar, tenaga kerjanya tidak harus dituntut untuk memiliki jenjang pendidikan formal tertentu dan yang UMKM memiliki ketahanan ekonomi yang kuat dengan dibuktinnya hal tersebut ketika terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 sampai 1998.1 Lebih lanjut UMKM mesti dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang membantu pertumbuhan ekonomi negara melalui pembukaan lapangan kerja, pelayanan ekonomi kepada masyarakat dan mendorong terwujudnya pemerataan ekonomi. Berdasar kepada hal-hal tersebutlah tidak prematur untuk kemudian menyatakan bahwa salah satu pilar perekonomian nasional adalah UMKM. Adapun dalam perkembangannya, secara teoritis sifat dari UMKM dapat diklasifikasikan kedalam beberapa aspek yakni sebagai “livelhood activities, micro enterprise, small dynamic enterprise, fast moving enterprise”.2

Pemahaman UMKM sebagai livelihood activities menekankan bahwa UMKM sebagai lahan pencarian nafkah (sektor informal, contohnya pedagang kaki lima). Selanjutnya micro enterprise, UMKM belum mempunyai sifat kewirausahaan dimana sifatnya sebagai pengrajin. Lebih lanjut yang ketiga yakni small dynamic enterprise, UMKM yang dapat menerima pekerjaan ekspor serta mempunyai sifat kewirausahaan. Kemudian yang terakhir dalam fast moving enterprise adalah UMKM yang akan bertransformasi untuk dapat menjadi usaha besar serta telah mempunyai sifat kewirausahaan3 Dalam upaya untuk memastikan keberadaan UMKM agar dapat menumbuhkembangkan iklim usaha UMKM dalam perekonomian nasional ditetapkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Terdapat faktor-faktor yang bisa mempengaruhi hasil penjualan produk, salah satunya ialah kemasan dari produk itu sendiri. Pemahaman atas kemasan dapat dipahami dengan menelaah pengertian yang diberikan oleh Amstrong yakni “packaging involves designing and producing the container wrapper for a product, yang berarti kemasan adalah kegiatan untuk mendesain dan memproduksi suatu produk.”4 Adapun menurutnya fungsi pokok dari kemasan ialah untuk menarik pembeli terhadap produk yang dijual dan melindungi produk sehingga produk dapat terjamin kualtisnya. Letak penting kemasan dalam penjualan produk juga ditegaskan oleh Titik Wijayanthi yang menyatakan bahwa kemasan tidak hanya dapat memperindah produk semata akan tetapi juga untuk memastikan keutuhan suatu produk saat proses pendistribusian dan memastikan kemanan produk saat dipajang pada tempat penjualan.

Lebih lanjut kemasan juga berfungsi untuk memberikan informasi lengkap terkait produk yang dijual pada konsumen. Upaya-upaya untuk meningkatkan

penjualan produk selalu dilakukan, repackaging sebagai salah satu inovasi yang kerap dilakukan untuk meningkatkan penjualan produk dan lebih memastikan keutuhan produk yang ingin dipasarkan. Secara terminologi, repackaging berasal dari bahasa Inggris yang memliki arti yaitu proses pengemasan kembali terhadap suatu produk.5 Dalam kerangka teoritisnya repackaging dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharuai kemasan produk tertentu dengan tujuan meningkatkan penjualan produk tertentu. Menelaah perspektif lainnya, keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU PK) menegaskan kembali bahwa pelaku usaha berkewajiban dalam memastikan terpenuhinya hak-hak konsumen dalam lalu lintas transaksi ekonomi. Pada dasarnya setiap produk pangan olahan yang diproduksi oleh UMKM mesti terjamin keamanannya untuk dikonsumsi oleh konsumen hal inilah yang kemudian memunculkan kewajiban setiap pelaku usaha agar mendaftarkan terlebih dahulu produknya kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (selanjutnya disebut BPOM) sehingga memiliki izin edar penjualan produk. Permasalahan hukum yang muncul ialah terkait dengan penjaminan keamanan suatu produk untuk dikonsumsi pasca dilakukannya repackaging atas produk pangan olahan yang diproduksi oleh UMKM, mengingat produk yang diedarkan mesti memenuhi standar kemasan pangan yang ditetapkan oleh BPOM sehingga repackaging terhadap produk akan berpengaruh pada kualitas atau kemanan dari kemasan produk itu sendiri. Selanjutnya permasalahan yang muncul juga ialah terkait akibat hukum yang dapat menjerat UMKM dari repackaging produk kemasan yang ternnyata merugikan konsumen.

Ni Kadek Diah Sri Pratiwi mengangkat penelitian berjudul “"Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Tanpa Izin Edar Yang Dijual Secara Online”6, membahas tentang bentuk perlindungan yang diberikan kepada konsumen berdasarkan hukum dari kerugian yang disebabkan oleh beredarnya secara online produk kosmetik impor yang tidak berizin edar. Selanjutnya Mohamad Shofi melalui judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pangan Olahan Beralkohol (Studi terhadap Pangan Olahan Keras Oplosan Dalam Kemasan Botol Berlabel)7, membahas terkait perlindungan hukum bagi konsumen yang mengkonsumi pangan olahan berlakohol oplosan beserta uraian lengkap berkaitan dengan pengawasan dan penindakan yang dilakukan Kepolisian terhadap pangan olahan berlakohol oplosan.

Berdasarkan beberapa penelitian dengan permasalahan hukum sejenis yang telah ada sebelumnya, maka selanjutnya penulis merasa penting untuk melakukan penelitian secara khusus terkait dengan permasalahan hukum dari dilakukan repackaging kemasan produk pangan olahan oleh UMKM, mengingat belum terdapat penelitian yang mengkaji permasalahan tersebut. Kemudian penulis memilih untuk mengangkat judul “PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN SEHUBUNGAN DENGAN REPACKAGING KEMASAN PRODUK PANGAN OLAHAN UMKM”.

  • 1.2.    Rumusan Masalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dalam penelitian ini akan dibahas permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum tentang produksi pangan olahan yang dilakukan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi repackaging produk pangan olahan yang belum didaftarkan kembali oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Jurnal ini ditujukan untuk memberikan pemahaman secara komprehensif terkait pengaturan hukum produksi pangan olahan yang dilakukan oleh UMKM berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan memberikan pengetahuan terkhusus pelaku usaha UMKM dan konsumen terkait perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi produk pangan olahan yang di repackaging dan belum didaftarkan kembali oleh UMKM.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian hukum dalam jurnal ini ialah penelitian hukum normatif. Permasalahan hukum yang diteliti yaitu permasalahan norma kabur atau vague of norms8 terkait status izin edar dari kemasan pangan olahan yang kemasannya di repackaging dan perlindungan hukum kepada konsumen yang mengkonsumsi produk pangan olahan UMKM yang di repackaging tanpa didaftarkan kembali kepada BPOM.

Penelitian ini memuat beberapa sumber bahan hukum yakni sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan peraturan perundang-undangan atau statute approach digunakan dalam jurnal ini. Statute approach ialah pendekatan yang menelaah bahan kepustakaan yakni perundang-undangan yang bertalian dengan permasalahan hukum yang diteliti9 Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian menggunakan studi dokumen. Teknik analisis dilakukan dengan deduktif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Hukum terkait Produksi Pangan Olahan Yang Dilakukan UMKM

Pengaturan hukum terkait UMKM ditentukan secara eksplisit melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disebut UU UMKM) sebagai bentuk keseriusan dan ikhtiar pemerintah dalam menjamin diberdayakan UMKM secara optimal, berkesinambungan dan menyeluruh dengan diberikannya dukungan dalam pengembangan usaha untuk UMKM sebesar-besarnya agar berperan strategis dalam pembangunan nasional.10 Sebenarnya ditetapkannya UU UMKM merupakan bentuk pengejawantahan pula dari Pasal 5 TAP MPR RI No. XVI/MPR-RI/1998 bahwa “menengah dan koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada

kelompok usaha ekonomi rakyat tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara.”11

Letak penting peranan pemerintah untuk menumbuhkembangkan iklim usaha UMKM ditegaskan kembali melalui ketentuan Pasal 7 ayat (1) yaitu “ Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: a. pendanaan; b. sarana dan prasarana; c. informasi usaha; d. kemitraan; e. perizinan usaha; f. kesempatan berusaha; g. promosi dagang; dan h. dukungan kelembagaan.” Menelaah pengertian UMKM, merujuk Pasal 1 angka 1 UU UMKM ditentukan yakni “usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” Dalam ayat (2) ditentukan bahwa “usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”

Kemudian terkait usaha menengah diatur melalui Pasal 1 angka 3 yaitu “usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.” Setiap UMKM yang melakukan kegiatan ekonomi mesti senantiasa mendasarkan pada asas dan prinsip penyelenggaraan UMKM di Indonesia yaitu asas kebersamaan, kemandirian, berkelanjutan, kekeluargaan, kesatuan ekonomi nasional, berwawasan lingkungan, efissiensi berkeadilan, demokrasi ekonomi, keseimbangan dan kemajuan.12 Adapun berkaitan dengan kriteria suatu usaha dapat diuraikan sebagai berikut:

  • 1 .Usaha menengah: kekayaan lebih berjumlah lebih dari lima ratus juta rupiah hingga paling banyak sejumlah sepuluh milyar rupiah (tidak termasuk bangunan usaha dan tanah) serta mendapatkan penjualan tahunan lebih dari dua milyar lima ratus juta rupiah hingga paling banyak lima puluh milyar rupiah.13

  • 2 .Usaha kecil: kekayaan dengan bersih sejumlah lima puluh juta rupiah hingga lima ratus juta rupiah (tidak termasuk bangunan tempat usaha beserta tanah) dan mempunyai penjualan tahunan dengan hasil tiga ratus juta rupiah hingga dua milyar lima ratus juta juta rupiah.

  • 3 .Usaha mikro adalah usaha yang mempunyai jumlah bersih kekayaan sebanyak-banyaknya sejumlah lima puluh juta rupiah (tidak termasuk bangunan tempat usaha dan beserta tanah) dan selama setahun hanya mempunyai jumlah penjualan sebesar tiga ratus juta rupiah. 14

Merujuk Pasal 6 ayat (4) UU UMKM ditentukan pada pokoknya bahwa kriteria dari UMKM dapat berubah dengan didasarkan pada pertimbangan perkembangan perkenomoian nasional yang ditetapkan melalui produk hukum berupa Peraturan Presiden. UMKM memang memiliki peranan penting dan strategis dalam pembangunan perkenomian nasional sehingga mendapatkan berbagai kemudahan dari pemerintah dalam kegiatan ekonominya kendati demikian terkait dengan proses produksi pangan olahan yang dilakukan oleh UMKM tentu juga mesti didasarkan pada ketentuan hukum positif sehingga hak konsumen dapat dilindungi seperti yang seharusnya. Produksi pangan olahan oleh UMKM harus memenuhi standar keamanan pangan untuk dapat memperoleh izin edar.15 Secara yuridis, ketentuan terkait standar keamanan pangan secara eksplisit ditentukan melalui Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan (selanjutnya disebut PP No. 86 Tahun 2019). Pengertian dari keamanan pangan sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 PP No. 86 Tahun 2019 yang menentukan sebagai “kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.” Berkaitan dengan penjelasan dari yang dimaksud pangan olahan ialah diatur melalui Pasal 1 angka 10 yakni “makanan atau minuman hasil proses dengan atau tanpa bahan tambahan dan metode tertentu.” UMKM dalam memproduksi pangan olahan untuk dipasarkan mesti terlebih dahulu memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP No. 86 Tahun 2019 yakni “ dipenuhinya persyaratan sanitasi dan keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia.” Berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan terhadap persyaratan sanitasi dapat dipahami dengan menelaah ketentuan ayat 4 ayat (2) yang menentukan bahwa persyaratan sanitasi mencakup “

  • a.    penghindaran penggunaan bahan yang dapat mengancam Keamanan Pangan di sepanjang Rantai Pangan;

  • b.    pemenuhan persyaratan Cemaran Pangan;

  • c.    pengendalian proses di sepanjang Rantai Pangan;

  • d.    penerapan sistem ketertelusuran bahan; dan

  • e.    pencegahan penurunan atau kehilangan kandungan Gizi Pangan.” Pendaftaran setiap produk pangan olahan yang dibuat UMKM dapat diajukan dalam bentuk permohonan pelayanan publik kepada lingkungan BPOM secara online agar mendapatkan label pangan olahan dengan izin edar sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) PBPOM No. 27 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Publik (selanjutnya disebut PBPOM No. 27 Tahun 2018) . Merujuk dalam Pasal 1 angka 8 PBPOM No. 27 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan (selanjutnya disebut PBPOM No. 27 Tahun 2017) diatur pengertian dari izin edar sendiri yakni sebagai “persetujuan hasil Penilaian Pangan Olahan yang diterbitkan oleh kepala badan dalam rangka peredaran Pangan Olahan”. Lebih lanjut berdasarkan penafsiran sistematis, pada Lampiran IV PBPOM No. 27 Tahun 2017 ditentukan bahwa “ dalam mengajukan pendaftaran pangan olahan secara online sedikitnya memuat penjelasan umum, nama jenis

pangan,nama dagang, jenis kemasan dan berat bersih, nama dan alamat pelaku usaha, orang yang dapat dihubungi, alamat surat menyurat, penanggung jawab.”

  • 3.2 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Mengalami Kerugian Akibat Mengkonsumsi Repackaging Produk Pangan Olahan Yang Belum Didaftarkan Kembali

Secara teroritis perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan melalui perangkat hukum untuk subyek hukum demi mencapai keadilan.16 Perlindungan hukum juga diartikan sebagai legal protection yakni usaha untuk melindungi masyarakat demi mewujudkan keadilan.17 Lebih lanjut Setiono menyatakan bahwa perlindungan hukum ialah seluruh tindakan yang diarahkan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar terhindar dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa atau pihak lainnya dengan didasarkan pada suatu hukum.18 Unsur-unsur dari perlindungan hukum ialah adanya jaminan kepastian hukum terkait hak-hak warga negara, pengayoman dari pemerintah terhadap warganya, dan terdapatnya sanksi hukuman kepada pihak yang melanggarnya. Berdasarkan sifatnya, perlindungan hukum dapat bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).19 Berkaitan dengan pangan olahan yang diproduksi oleh UMKM mesti dapat terjamin aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan UMKM selaku pelaku usaha yang menjual pangan olahan adalah jaminan keamanan dari kemasan yang digunakan.

Berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan, merujuk Pasal 2 huruf e PP No. 86 Tahun 2019 ditentukan secara jelas bahwa salah satu hal yang mesti diperhatikan terkait keamanan pangan ialah kemasan pangan. Adapun pengaturan terkait tata kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi standar kemasan pangan ditegaskan kembali melalui Pasal 24 ayat (1) bahwa “setiap orang yang melakukan produksi pangan dalam kemasan wajib menggunakan bahan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.” Selanjutnya melalui Pasal 27 ayat (2) diatur pula tata cara dalam mengemas pangan yang harus dipenuhi mencakup “a. melindungi dan mempertahankan mutu pangan dari pengaruh luar; b. tahan terhadap perlakukan selama pengolahan, pengangkutan pangan, dan peredaran pangan; c. melindungi pangan dari cemaran, mencegah kerusakan, dan memungkinkan pclabelan yang baik; dan d. bahan kemasan pangan harus disimpan dan ditangani pada kondisi higienis dan terpisah dari bahan baku dan produk akhir.” Pengaturan hukum terkait kemasan pangan sendiri ditentukan lebih lanjut pada PBPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang didasarkan pada pertimbangan serius dalam menghindarkan konsumen dari kerugian akibat mengkonsumsi kemasan pangan yang tidak aman. Merujuk Pasal 2 ayat (1) PBPOM No. 27 Tahun 2017 secara eksplisit ditegaskan bahwa “setiap pangan olahan yang di produksi di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib memiliki izin edar.”

Salah satu persyaratan agar dikeluarkannya izin edar oleh Pemerintah ialah kemasan pangan diharuskan memenuhi standar keamanan pangan. Perbuatan pengemasan kembali atau repackaging terhadap kemasan pangan olahan menimbulkan konsekuensi logis-yuridis kepada pelaku usaha untuk harus mendaftarkan kembali produk tersebut agar dilakukan uji klinis berkaitan dengan kemanan kemasan pangan pasca dilakukannya repackaging. Keharusan pelaku usaha (UMKM) untuk melakukan pendaftaran kembali atas perubahan kemasan produk yang dilakukan memang tidak ditentukan secara eksplisit dalam perundang-undangan, kendati demikian ketentuan Pasal 2 ayat (4) PBPOM No. 27 Tahun 2017 telah menentukan bahwa izin edar yang diberikan hanya berlaku untuk bentuk kemasan akhir yang diperdagangkan dan tidaklah boleh dibuka untuk dikemas kembali. Berdasar pada ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa setiap kemasan produk yang di repackaging mesti didaftarkan kembali agar dapat memperoleh izin edar. Setiap produk yang telah mengalami repackaging dan tidak didaftarkan kembali pada BPOM untuk dilakukan uji klinis tidak memiliki izin edar yang berlaku sehingga produk tersebut dapat dikatakan sebagai produk tanpa izin edar. Dalam hal produk yang dikemas ulang tanpa didaftarkan kembali pada BPOM oleh UMKM tersebut ternyata memunculkan kerugian pada konsumen sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk “ memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU PK)”. Selanjutnya berkaitan dengan proses pelaksanaan ganti rugi ditentukan dalam ayat (2) yakni “ganti rugi dapat dilakukan melalui pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berkaitan dengan adanya penolakan maupun keadaan dimana pelaku usaha (UMKM) tidak berkehendak untuk memenuhi tuntutan atas tanggung jawab berupa ganti kerugian maka terhadapnya dapat diajukan gugatan kepada pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen untuk diselesaikan.

  • IV. Kesimpulan

UU UMKM menjadi payung hukum keberadaan UMKM di Indonesia. Merujuk Pasal 4 ayat (1) PP No. 86 Tahun 2019 diatentukan bahwa setiap produksi pangan olahan yang dilakukan oleh UMKM mesti memenuhi persyaratan sanitasi dan keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia. Selanjutnya agar suatu produk pangan olahan UMKM dapat diedarkan secara legal di Indonesia maka diharuskan bagi setiap UMKM untuk mendaftarkan terlebih dahulu pangan olahannya kepada BPOM agar mendapatkan izin edar produk. Kemudian berkaitan dengan perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen dari kerugian akibat mengkonsumsi pangan olahan yang dikemas ulang tanpa didaftarkan kembali adalah diwajibkannya pelaku usaha, dalam hal ini UMKM untuk melakukan ganti kerugian sebagaimana ditentukan Pasal 19 ayat (1) UU PK.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mukti Fajar, N. D., and Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yusuf Shofie, 2008, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Jurnal Ilmiah

Dimyati, Hilda Hilmiah, 2014, "Perlindungan hukum bagi investor dalam pasar modal", Jurnal Cita Hukum 2, no. 2.

Huda, Miftahul., 2019, "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga", Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 25, no. 14.

Indriasari, Alivia, Nyulistiowati Suryanti, and Anita Afriana, 2017, "Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Melalui Situs Crowdfunding “Patungan. Net” Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah", Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan 1, no. 1.

Krisnawati, 2016, "Upaya Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah", Sosio Informa 2, no. 2.

Muhandri, T., and S. Nurjanah, 2020, "Karakteristik dan Pemenuhan CPPOB Pelaku UMKM Online Produk Olahan Beku Daging Sapi dan Ayam di DKI Jakarta", Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan 8, no. 3.

Pratiwi, Ni Kadek Diah Sri, and Made Nurmawati, 2019, "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Tanpa Izin Edar Yang Dijual Secara Online", Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 5.

Purnamasari, Eka, and Gunarto Gunarto, 2018, "Alasan Pembuatasan Dan Perubahan Ketentuan Terkait Modal Dalam Perseroan Terbatas", Jurnal Akta 5, no. 1.

Putra, Taranggana Gani, 2015, "Peran pemerintah daerah dan partisipasi pelaku usaha dalam pengembangan UMKM manik-manik kaca di Kabupaten Jombang" Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik 3, no. 1.

Rachmadini, Vidya Noor. "Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Pasar Modal Menurut Undang-Undang Pasar Modal Dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan", Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18, no. 2.

Singgih, Mohamad Nur, 2007, "Strategi Penguatan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Sebagai Refleksi Pembelajaran Krisis Ekonomi Indonesia", Jurnal Ekonomi Modernisasi 3, no. 3.

Tupan, Tupan, and Wahid Nashihuddin, 2016, "Kemas ulang informasi untuk pemenuhan kebutuhan informasi usaha kecil menengah: tinjauan analisis di PDII-LIPI", Jurnal Dokumentasi dan Informasi 36, no. 2.

Yusri, 2014, "Perlindungan Hukum terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Perspektif Keadilan Ekonomi", Kanun Jurnal Ilmu Hukum 16, no. 1.

Disertasi

Darmawan, Anggih Dianata, and H. Juanim, 2018, "Pengaruh Kualitas Produk Dan Promos Penjualan Terhadap Keputusan Pembelian Pada Distro Screamous", Disertasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpas Bandung.

Dewi, Tiara Putri Kusuma, 2018, "Peran Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (Umkm) Dalam Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bojonegoro", Disertasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bojonegoro.

Ghaniy, Wening Utami, 2018, "Analisis Akuntansi Keuangan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Pada Rumah Makan Tembolok Medan", Disertasi Universitas Medan Sumatera Utara.

Shofi, Mohamad, 2018, "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pangan olahan Beralkohol (Studi terhadap Pangan olahan Keras Oplosan Dalam Kemasan Botol Berlabel)", Disertasi Universitas Negeri Semarang.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 20 Tahun tentang 2008 Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Publik

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 20 Tahun 2019 Tahun tentang Kemasan Pangan

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 12 Tahun 2021, hlm.1007-1016

1016