KEDUDUKAN HUKUM WARGA NEGARA

INDONESIA YANG MENDEKLARASIKAN DIRI
SEBAGAI PEMBERONTAK

Oleh:

Anak Agung Mirah Manik Wedagama Putri Agung, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Maharta Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaturan mengenai pemberontakan serta akibat hukum bagi warga Negara yang melibatkan diri sebagai pemberontak. Tulisan dibuat dengan memakai metode penelitian hukum normatif dengan berfokus pada peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan pemberontakan dalam sudut pandang hukum humaniter termasuk ke dalam konflik bersenjata semu yaitu konflik Negara dengan non Negara melalui Pasal 1 Ayat (4) Protokol tambahan I bahwa konflik dengan senjata disamakan dengan konflik bersenjata dalam hukum internasional. Akibat hukum penduduk Indonesia yang tergabung dalam kelompok radikal seperti ISIS tidak menyebabkan kewarganegaraanya dicabut karena termasuk ke dalam tindak pidana terorisme dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup.

Kata Kunci: Kewarganegaraan, Warga Negara, Pemberontak

ABSTRACT

This study aims to examine the arrangements regarding the insurgency as well as the legal consequences for citizens who involve themselves as rebels. Writings are made using normative legal research methods by focusing on legislation. The results showed that the arrangement of rebellion in the viewpoint of humanitarian law belongs to the pseudo-armed conflict that is the conflict of the State with non-State through Article 1 Paragraph (4) Additional Protocol I that conflict with weapons is equated with armed conflict in international law. As a result, Indonesian citizens who belong to radical groups such as ISIS do not cause their citizenship to be revoked because they are included in terrorism crimes with the threat of life imprisonment.

Keywords: Citizenship, Citizens, Belligerent

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Negara merupakan sebuah organisasi yang memiliki kuasa berbentuk berdaulat dengan tata pemerintahan yang mematuhi aturan atas warga di cakupan wilayah tertentu. Negara juga dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai sistem atau peraturan yang berlaku untuk semua penduduk di wilayah tersebut. Berdirinya sebuah Negara harus memenuhi syarat penting suatu Negara yaitu memiliki warga, wilayah serta pemerintahan yang berdaulat1. Warga Negara adalah bagian terpenting yang wajib dimiliki suatu Negara. Masing-masing warga Negara dapat memiliki hak dan kewajiban yang nantinya diberikan dari negara. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjamin adanya hak dan kewajiban warga Negara yang tertuang dalam batang tubuhnya. Hak merupakan suatu hal untuk mendapatkan sesuatu yang sudah seharusnya. Hak itu tidak boleh direbut oleh siapapun juga karena pada dasarnya dapat dituntut secara paksa olehnya2. Hak dan kewajiban adalah suatu hal yang berjalan beriringan dan berkaitan satu sama lain karena hak dan kewajiban tidak setara. Setiap warga Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima pengakuan dari suatu Negara yang berbentuk kewarganegaraan. Negara harus memberikan penjaminan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki oleh warga negaranya.

Pengakuan terhadap adanya sebuah negara pada sudut pandang hukum internasional bisa menjadi salah satu syarat penting pembentukan sebuah Negara baik pengakuan secara de jure maupun de facto. Sejarah hukum internasional yang berkembang memandang Negara sebagai sebuah subjek hukum paling penting (parexcellence) daripada yang lainnya. Negara mendapat pengakuan sebagai satu-satunya subjek internasional pada abad ke-19. Setelah Negara baru munculah subjek-subjek internasional yang lainnya3. Subjek hukum internasional adalah sebuah hal yang dimiliki yang berkaitan hak-hak dan kewajiban-kewajiban secara internasional serta memiliki kemampuan untuk bertahan atas hak-haknya dengan mengeluarkan klaim-klaim internasional4.

Hukum internasional sangatlah luas cakupannya dan didalamnya terdapat banyak jenis pengakuan lain termasuk pengakuan terhadap eksistensi gerakan pemberontak. Dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia seringkali terjadi beberapa hambatan. Salah satu hambatannya adalah adanya pemberontak dalam sebuah wilayah. Pemberontak dikenal sebagai sebuah kelompok yang bergerak untuk menentang sebuah pemerintahan dalam suatu Negara. Hal itu sering disebut dengan insurgensi dan terkadang bisa masuk dalam golongan belligerensi, dan belligerensi merupakan salah satu

subjek hukum yang berarti mereka mempunyai hak dan kewajiban pada hukum internasional. Pemberontak adalah sekelompok orang yang ingin melaksanakan tindakan pemberontakan (rebellion), diakui eksistensinya dan mempunyai legal personality. Adanya pengakuan terhadap keberadaan mereka yang disebut sebagai insurgent (recignation of insurgency) yang merupakan akar masalah serta menjadi pelopor peperangan intern dengan pihak pemerintah memiliki kuasa yang sah5. Kelompok Pemberontak sering disebut dengan belligerent. Kelompok pemberontak menurut hukum internasional berkaitan dan tidak jauh dari masalah separatisme. Hukum internasional tidak memuat aturan mengenai peristiwa pemberontakan. Peristiwa yang terjadi pada sebuah Negara termasuk didalamnya terdapat kelompok yang melakukan pemberontakan dari kaum separatis merupakan urusan pribadi Negara tersebut. Hukum internasional tidak memperbolehkan Negara lain untuk melakukan intervensi tanpa meminta persetujuan Negara yang memiliki masalah terlebih dahulu. Negara lain memiliki kewajiban untuk menghormati kedaulatan dari Negara lain termasuk menghormati hak Negara tersebut yang menerapkan hukum nasional terhadap kejadian pemberontakan itu6

Belakangan ini sedang marak diberitakan mengenai ISIS (Islamic State Irac Suriah), gerakan yang menyebut dirinya sebagai Negara Islam ini mendeklarasikan dirinya di Indonesia terlihat dari video yang sudah beredar di seluruh belahan dunia. Dari unggahan video yang sudah beredar tersebut sudah jelas gerakan tersebut mendeklarasikan dirinya sebagai kaum pemberontak yang disebut dengan belligerent, tetapi hal tersebut tidak lepas dari pandangan hukum internasional. Dalam pandangan hukum internasional, belligerent termasuk sebagai subjek hukum internasional. Subyek hukum internasional adalah suatu hal/seseorang yang memiliki hak dan kewajiban secara internasional yang memiliki kepribadian hukum internasional. Beberapa persyaratan untuk memenuhi subyek hukum internasional adalah sebagai berikut7 :

  • 1.    Adanya kapasitas dalam membentuk hukum (law making capacity)

  • 2.    Memiliki hak dan kewajiban internasional (internasional right ad duties) yang diderivasikan dari hukum internasional.

  • 3.    Memiliki hak untuk menempatkan perwakilan resminya diluar negeri (right resentative)

  • 4.    Perwakilan resmi memiliki kekebalan dan kemudahan (immunity privilege).

  • 5.    Mempunyai hak untuk mengajukan suatu permasalahan hukum di wilayahnya ke muka mahkamah internasional (legal standing)

Salah satu contoh pemberontak menurut penulis adalah ISIS. Pemberontak atau disebut juga sebagai gerakan separatis seperti ISIS dipandang menjadi sebuah subjek hukum internasional yang mempunyai hak yang sama setara dengan subjek hukum internasional lainnya. Pemberontak memiliki hak

seperti untuk memilih nasib pribadi, dapat menentukan sistem politik, ekonomi, dan sosial pribadi, dan dapat mendiami dan memanfaatkan sumber daya alam di wilayah atau tempat yang didudukinya. Sebagai sebuah kelompok ataupun gerakan yang dapat memiliki hak-hak tersebut, pemberontak sebagai pihak yang sedang terlibat saat keadaan berperang dalam lawannya adalah pemerintah yang sah, walaupun bukan termasuk dalam sebuah organisasi lengkap seperti Negara8. Beberapa warga Negara Indonesia ikut mendeklarasikan diri sebagai anggota ISIS yang kemudian disebarkan melalui media social. Hal ini tentunya bertentangan dengan hak serta sebuah kewajiban yang dimiliki warga Negara untuk menjaga dan mempertahankan keamanan Negara yang sudah tercantum dalam UUD Tahun 1945.

Dari penulisan ini state of the art bisa ditunjukan dari banyaknya pembaharuan dan mengisi kekosongan dari tulisan-tulisan sebelumnya yang sudah dibuat oleh mahasiswa atau pengamat hukum. Beberapa contoh jurnal yang sebelumnya yang saya dapat adalah ISIS, Pemberontak, dan Teroris Dalam Hukum Internasional yang dibuat oleh Miftahus Sholehudin dan ada juga tulisan yang dibuat oleh Najamuddin Khairur Rijal yang berjudul Eksistensi dan Perkembangan ISIS: Dari Irak Hingga Indonesia, belum ada yang membahas mengenai status kewarganegaraan seseorang yang mendeklarasikan diri sebagai pemberontak dan menentang kekuasaan yang sah. Banyak tulisan yang menerangkan bagaimana pemberontak bisa melepaskan kewarganegaraannya begitu saja, dan membahas tentang makna pemberontak. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang resah dengan adanya orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dalam hal ini dikatakan sebagai orang seludupan maupun illegal, hal ini sangat meresahkan masyarakat sekitar. Bukan hanya di Indonesia, di luar Indonesia banyak juga yang merasakan hal tersebut, untuk mengurangi keresahan masyarakat ada baiknya harus diberikan edukasi yang menenangkan masyarakat luas.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan permasalahan maka disusun masalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai kelompok pemberontakan dalam perspektif Hukum Internasional?

  • 2.    Bagaimanakah akibat hukum pemberontakan yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini untuk menganalisa mengenai pemberontakan dalam perspektif Hukum Internasional dan akibat hukum pemberontakan yang dilakukan oleh warga negara khususnya di Indonesia. Diharapkan setelah membaca tulisan ini kita mengetahui mengenai kaum pemberontak atau yang sering disebut dengan belligeren yang merupakan salah satu subjek Hukum Internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Metode Penelitian pada penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian jenis ini memiliki tahapan penelitian ilmiah untuk mencari sebuah kebenaran yang didasarkan pada logika keilmuan dari sisi normatifnya. Pada penulisan ini menggunakan pendekatan konseptual yang dimana didalam penelitian ini terdiri dari konsep hukum yangtentunya ada yang melatarbelakanginya. Adapun bahan hukum yang digunakan pada penulisan ini adalah bahan hukum primer terlihat dari banyaknya yang berpacu pada undang - undang atau hukum yang dikatakan sebagai norma, dan ada juga bahan hukum sekunder yang berpedoman pada beberapa buku. Tidak lupa penelitian ini juga mengacu pada beberapa instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum nasional.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pemberontakan Dalam Perspektif Hukum Internasional

Subjek hukum internasional bukan hanya Negara saja, walau memang benar kenyataannya Negara adalah salah satu subjek hukum internasional yang utama dan yang memiliki kapasitas yang penuh. Dilihat lagi dari pengertian subyek hukum internasional yang sesungguhnya yaitu memiliki hak serta kewajiban sesuai dengan hukum internasional, yang disebut subyek hukum internasional penuh, dan yang hanya bisa dikatakan seperti itu adalah Negara9. Seiring berjalannya waktu adanya perkembangan mengenai subyek Hukum Internasional salah satu contohnya yaitu individu tentunya tidak sama dengan Negara, bahwasannya individu memiliki kapasitas yang terbatas. Dalam hal pemberontak, hukum internasional membagi ke dalam 2 (dua) prosedur diantaranya :

  • 1.    Insurgent (insurgensi)

insurgent dalam prinsipnya adalah jenis pemberontakan yang terjadi pada sebuah Negara tetapi dengan de facto belum mampu mencapai atau memenuhi kualifikasi tingkat organisasi teratur yang terpadu untuk melakukan perlawanan. Pemberontak memiliki keedudukan yang belum mampu diakui sebagai kesatuan internasional untuk selanjutnya menyandang hak serta kewajiban menurut hukum internasional10. Tetapi jika sebuah pemberontakan insurgent lebih memperjelas perkembangan yang cepat, seperti perluasan wilayah yang dikuasai dan menunjukkan kecenderungan menambah populasi dengan keteraturan pengorganisasian serta telah menempati sebagian besar tempay dalam sebuah Negara secara efektif. Hal ini memperlihatkan pemberontak telah memiliki kuasa secara de facto pada beberapa

wilayah11. Keadaan tersebut mennunjukkan bahwa pemberontak telah sampai tahap belligerent.

  • 2.    Belligerent (beligerensi)

Setiap kelompok pemberontak (insurgent) agar bisa mendapatkan pengakuan sebagai belligerent dan subyek hukum internasional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

  • a.    Pemberontakan tersebut telah menjadi teratur dalam organisasi pada suatu kekuasaan yang sebenarnya memiliki tanggungjawab terhadap tindakan pengikutnya serta mempunyai struktur pemerintahannya sendiri;

  • b.    Kekuatan militernya yang dimiliki sudah mendiami cakupan daerah tertentu;

  • c.    Pemberontak memiliki control yang sangat efektif secara de facto dalam menguasai sebagian besar cakupan daerah;

  • d.    Pemberontak mempunyai sebuah pakaian dengan tanda-tanda khusus dan peralatan militer yang cukup;

  • e.    Pemberontak mematuhi aturan hukum serta kebiasaan yang berlaku dalam perang (seperti melindungi warga sipil dan membedakan diri dari penduduk sipil).12

Pemberontakan merupakan salah satu kegiatan yang sangat merugikan karena dapat mencerai berai persatuan nasional serta efektivitas sebuah pemerintahan. Pemberontakan menempatkan Negara ke dalam keadaan yang sulit untuk melindungi kepentingan warga dan negaranya. Adanya pemberontakan ini menyebabkan Negara-negara ketiga mengakui adanya pemberontakan (Beligerency). Pengakuan Belligerency diartikan sebagai berikut13 :

  • 1.    Memberikan kepada pemberontak hak serta kewajiban sebuah Negara merdeka selama perang berlangsung.

  • 2.    Dilain pihak, pemerintah yang sedang melakukan pemberontakan tersebut tidak bisa menyusun perjanjian - perjanjian internasional, tidak dapat mlakukan kerjasama diplomatik dan tidak dapat melakukan hubungan formal dengan Negara lain. Pemerintah tersebut tidak boleh meminta hak-hak serta kekebalan di bidang internasional. Negara sedang menjadi subjek hukum yang dalam bentuk yang terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.

  • 3.    Pengakuan belligerency oleh Negara-negara ketiga menyebabkan Negara induk tidak diberi tanggungjawab terhadap Negara-negara ke-

3 tersebut yang berhubungandengan tindakan kelompok yang melakukan pemberontakan.

  • 4.    Apabila Negara induk memberi kesempatan pengakuan belligerency kepada pihak yang melakukan pemberontakan, maka pihak kedua harus melaksanakan perang sesuai dengan hukum perang. Pihak ke-3 dalam hal ini tidak boleh takut untuk memberikan pengakuan yang sama.

  • 5.    Pengakuan belligerency memiliki sifat terbatas dan sementara serta hanya selama berlangsungnya perang terjadi perang tanpa mempertimbangkan apakah kelompok yang melakukan pemberontakan akan menang atau kalah dalam perang.

  • 6.    Pengakuan belligerency menimbulkan hak dan kewajiban Negara ke-3 menjadi Negara netral.14

Hukum humaniter internasional membagi dua jenis konflik atau sengketa yang menggunakan senjata yaitu sengketa bersenjata non internasional dan sengketa bersenjata internasional. Kelmpok dalam jenis sengketa bersenjata internasional diilustrasikan sebagai perang antara 2 (dua) negara atau lebih, sedangkan kelompok sengketa bersenjata non-internasional merupakan konflik atau peperangan yang melibatkan negara melawan kelompok pemberontak/bersenjata non-negara (belligerent) dia dalam wilayah kedaulatannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa apabila negara bertempur melawan kelompok yang melakukan pemberontakan, keadaan itu tetap dilihat sebagai sengketa bersenjata non-internasional walaupun pertempuran atau peperangan tersebut sampai menjalar ke wilayah kedaulatan dari negara lain atau diluar kedaulatan negara yang terlibat konflik tersebut. Dua bentuk kelompok sengketa bersenjata diatur dalam Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu15 :

  • 1.    Konflik bersenjata yang bersifat internasional

Adapun jenis konflik bersenjata internasional yang murni dan semu yaitu konflik pembebasan nasional (War Of National Luberation) dan konflik bersenjata internasionalisir ( Internasionalis Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional yang murni dapat dijelaskan sebagai konflik bersenjata yang terjadi antar dua atau lebih Negara. kemudian konflik bersenjata semu merupakan konflik bersenjata yang dilakukan antar Negara di satu lawan dengan bukan Negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik ini hampir mirip ke dalam kategori konflik bersenjata non-internasional namun bila dilihat dari hukum humaniter Pasal 1 Ayat (4) Protokol Tambahan I bahwa konflik bersenjata disamakan dengan konflik bersenjata internasional.

  • 2.    Konflik bersenjata non internasional

Konflik ini dikenal sebagai konflik pemberontakan yang terjadi di suatu Negara karena adanya perang saudara (civil war). Peristiwa

perang pemberontakan selalu memiliki tujuan untuk memerdekakan diri dari negara induk. Ketentuan yang mengatur tentang sengketa bersenjata non internasional diatur dalam satu pasal saja yaitu Pasal 3 Artikel Umum Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II Tahun 1977.

Status pemberontak hanya berhak ditentukan oleh Negara asal pemberontakan itu sendiri atau bisa juga oleh Negara lain tetapi tetap harus ada Negara ketiga sebagai netralisasi. Adanya pengakuan yang muncul dari Negara yang bersengketa tersebut menjadi wewenang dan konsekuensi Negaraa yang bersangkutan. Negara tersebut harusa memperlakukana para pemberontak layaknya seperti tawanan perang tidak seperti penjahat, dan semua pihak harus bertanggung jawab dengan yang dilaksanakan oleh gerakan yang melakukan pemberontakan terhadap warga asing di dalam wilayah sengketa, hal itu harus diperhatikan oleh pemberontak ataupun pemerintah. Adanya pengakuan untuk pemberontak agar pemberontak tidak diperlakukan dan dianggap seperti penjahat biasa, dan itu semua atas dasar kemanusiaan semata, seperti yang sudah dikatakan Negara dalam hal ini pemerintah berhak melakukan apa saja terhadap pemberontak yang berasal dari negaranya seperti melakukan penumpasan terhadap pemberontak tersebut. Adanya pengakuan dari pihak berperang maka gerakan peperangan yang terjadi tidak dianggap sebagai perang saudara, dan konsekuensi selanjutnya yang dipakai adalah konsekuensi hukum perang16.

Pada pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa konsekuensi yang digunakan adalah konsekuensi hukum perang tetapi harus diaukui bahwa perang tersebut perang non internasional, terlihat jelas pada frasa “pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional“. Kelompok terror atau terorisme tidak bisa menjadi pihak didalam konflik jika melihat kembali padaa Konvensi Jenewa ini. Karena pada Konvensi tersebut menyatakan pihak yang berada didalam sengketa mempunyai tingkat minimum dalam organisasi yang sudah disyaratkana untuk melaksanakana kewajiban internasional. Kaum pemberontak dalam hal ini adalah teroris sering tidak mematuhi atau melanggar kewajiban internasional yang seharusnya mereka jalankan, dari hal itu timbulah kesulitan untuk melakukan klarifikasi teroris sebagai pihak didalam pertikaian.

3.2 Akibat Hukum Bagi Warga Negara Indonesia yang Melakukan Pemberontakan.

Selain Negara dan individu ada juga pemberontak yang menjadi subjek hukum internasional lainnya, Pada masa kini pemberontakan kerap sering terjadi seluruh belahan dunia, secara garis besar pemberontak adalah penolakan terhadap otoritas yang sah. Istilah pemberontak bisa jadi digunakan untuk kelompok bersenjata yang menentang kepemerintahan yang sah atau yang sedang berjalan, tetapi istilah ini juga dapat merujuk untuk kelompok tanpa kekerasan. Tidak hanya istilah pemberontak yang menggambarkan kelompok ini, khususnya di Indonesia masih banyak istilah

yang digunakan seperti GPK (Gerakan Pengacau Pengamanan) istilah ini biasa digunakan pada saat masa orde baru. Selain itu istilah lain seperti kaum oposisi, kaum berseberangan, mafia, dan lain – lain tidak asing bagi telinga masyarakat Indonesia khususnya.

Hukum humaniter memandang pemberontakan dapat mendapatkan posisi yang baik dan hak sebagai pihak yang sedang memiliki sengketa, ini sering disebut sebagai belligerent dalam beberapa keadaan tertentu. Banyak kasus mengenai kaum pemberontak, bahkan saat ini sering muncul perkembangan yang hampir sama dengan pemberian pengakuan status oleh pihak yang sedang memiliki sengketa dalam sebuah perang seperti mempunyai ciri yang khas, yaitu pengakuan kepada aksi pembebasan seperti contohnya Gerakan Pembebasan Palestina atau yang sering disebut Palestine Liberation Organization (PLO) dan yang baru-baru ini menggegerkan masyarakat Indonesia adalah Islamic State in Iraq and Syria atau yang sering disebut dengan ISIS, mereka dengan sengaja membakar paspor yang mereka miliki, khususnya anggota mereka yang eks WNI dengan sengaja mempublikasikan bahwa mereka akan mendeklarasikan dirinya sebagai kaum pemberontak dan memisahkan dirinya dari kewarganegaraan Indonesia17.

Perbedaan yang terjadi karena adanya pengakuan aksi pembebasan yang merupakan sebuah jelmaan dari rancangan terbaru utamanya yang digunakan oleh Negara-Negara dunia ketiga seperti Amerika, Jepang, Korea Selatan dan sekutunya yang tidak memihak pada NATO atau pihak komunis, yang didasarkan atas pengertian bahwa bangsa-bangsa dalam hal ini adalah peoples dipandang memiliki beberapa hak asasi seperti hak memilih nasib sendiri, hak secara bebas menentukan sistem ekonomi, politik, dan sosial tersendiri, dan hak melakukan penguasaan sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya. Lebih lanjut bisa dikatakan gerakan pembebasan nasional beda dengan gerakan pemberontak ini. Gerakan ini bila diterapkan terlalu bebas tanpa adanya batasan yang diatur secara objektif, meskipun dari beberapa gerakan itu bermaksud baik, bisa berpengaruh terhadap stabilitas masyarakat internasional. Hal itu terjadi karena bisa digunakan oleh golongan kecil pada suatu bangsa yang belum tentu memiliki alasan yang pantas melakukan gerakan separatis.

Dalam kehidupan bernegara, status kewarganegaraan merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan hak–hak dasar yang harus diberikan oleh Negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan status kewarganegaraan karena status kewarganegaraan adalah bagian penting dari hak asasi manusia yang harus didapatkan dan diakui oleh setiap orang. Pengakuan status kewarganegaraan ini akan melahirkan hak dan kewajiban bagi seseorang. Status kewarganegaraan sangat penting karena merupakan identitas diri dan pengenal data diri seseorang di negara lain. Begitu juga sebaliknya status kewarganegaraan juga sangat penting terhadap suatu Negara, hal itu menentukan mengenai pengakuan dari Negara – Negara lain,

status kewarganegaraan juga memberikan keabsahan terhadap otoritas suatu Negara terhadap individu dalam wilayahnya.

Kewarganegaraan dijelaskan sebagai sebuah kaitan hukum antara warga Negara dengan sebuah Negara. Kewarganegaraan bukan hanya memberikan seseorang sebuah pengenalan diri, tetapi juga yang paling penting lagi, kewarganegaraan dapat memberikan seseorang untuk memiliki dan memanfaatkan berbagai macam hak yang sudah melekat pada dirinya. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi manusia menenjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan sebuah kewarganegaraan. Instrument HAM Internasional memberikan perlindungan terhadap orang yang tanpa kewarganegaraan dalam Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan Tahun 1954 dan Konvensi tentang Pengurangan Statelessness 1961 mengamanatkan agar setiap Negara mencegah terjadinya orang tanpa kewarganegaraan. Hal ini juga didasarkan pada prinsip sebagai bagian hukum kebiasaan internasional karena pada dasarnya setiap manusia berkesempatan untuk memiliki hak (the right to have rights)18.

Pengaturan mengenai kewarganegaraan di Indonesia sudah sangat jelas diatur yaitu diatur pada asas-asas kewarganegaraan yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia dan tentunya juga oleh Pemerintah Indonesia, Warga Negara juga bisa kehilangan atau dicabut kewarganegaraannya oleh pihak yang berwenang, hal itu bisa terjadi jika seseorang Warga Negara melakukan kesalahan dalam hal ini melakukan pelanggaran-pelanggaran berat dan tentunya melampaui batas aturan hukum yang berlaku. Hal ini dilakukan agar seorang Warga Negara tidak dengan semena-mena menggunakan hak yang sudah diberikan Negara untuk seseorang. Jika seseorang sudah bisa menggunakan hak dan kewajiban mereka dengan semena-mena kelak bisa membahayakan Negara dan bisa bisa mengancam keamanan Negara dan bisa jadi bertentangan dengan kepentingan Negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang dapat kehilangan status kewarganegaraannya19.

Dalam hal Warga Negara Indonesia yang bergabung dengan gerakan radikal ISIS apabila dipandang dari sudut pandang hukum di Indonesia tidak dapat dilakukan pencabutan status kewarganegaraan. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia menjelaskan mengenai hilangnya kewarganegaraan tidak mengatur mengenai dicabutnya status kewarganegaraan akibat melakukan pemberontakan atau bergabung ke dalam kelompok Radikal seperti ISIS. Ketentuan tersebut hanya menyebutkan seorang yang memberikan sumpah atau mengatakan janji setia pada Negara

sing atau bagian Negara lain, namun ISIS bukan sebuah bagian Negara ataupun sebuah Negara sehingga syarat tersebut tidak dapat terpenuhi. Pasal 1 Montevideo Convention on the Right anda Duties of States Tahun 1933 menyatakan bahwa “the state as a person of international law should prossess the following qualification: (a) a permanent population; (b) defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with the other states”. Dimana suatu Negara harus memiliki unsur rakyat tetap, wilayah permanen, pemerintahan serta kapasitas untuk mengadakan suatu hubungan dengan Negara lain sehingga ISIS belum dapat dikatakan sebagai suatu Negara20.

Dalam pandangan hukum Indonesia, warga Negara yang bergabung ke dalam anggota ISIS termasuk ke dalam tindak pidana terorisme karena melakukan kekerasan untuk menyebabkan terror21. Teroris dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang memiliki tujuan untuk memberikan rasa takut yang berlebihan menggunakan ancaman maupun bentuk kekerasan lainnya sehingga tidak hanya korban luka-luka saja atau secara fisik yang ditimbulkan tetapi korban jiwa psikis sehingga bukti tekanan yang dilakukan kelompok yang menggunakan cara-cara teroris22. Pasal 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme menegaskan sebagai berikut :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”

Kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang sering disebut dengan KUHP mengenai kejahatan terhadap keamanan Negara diatur dalam Pasal 106 KUHP mengenai Makar dihukum dengan ancaman pidana penjara seumur hidup. Selanjutnya Pasal 108 KUHP menyatakan bahwa “Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Kemudian pada ayat (2) menyatakan “Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun”.

Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM) Negara mempunyai tanggung jawab untuk menghargai (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fulfill) seluruh hak setiap manusia. Hak harus tunduk pada sebuah pembatasan karena tidak semua hak memiliki sifat absolut. Sesuai dengan kesepakatan internasional, pembatasan HAM tetap harus memenuhi kriteria adalah (1)

diatur sesuai hukum, (2) memenuhi tujuan yang sah, (3) dilakukan secara porposional dan (4) berdasarkan asas kebutuhan23. Pasal 12 Ayat (4) Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengatur bahwa “tidak ada seorangpun yang dapat dirampas hakna secara sewenang-wenang untuk memasuki negaranya sendiri” sehingga dalam konteks kembalinya para pelaku ISIS ke negaranya tidak boleh dilarang oleh siapapun sehingga apabila terjadi penolakan terhadap kembalinya ISIS ke negaranya merupakan pelanggaran terhadap pasal tersebut.

IV. Kesimpulan

Pengaturan pemberontakan dalam sudut pandang hukum humaniter termasuk ke dalam konflik bersenjata semu yaitu konflik Negara dengan non Negara melalui Pasal 1 Ayat (4) Protokol tambahan I bahwa konflik bersenjata dapat dipandang sebagai konflik bersenjata internasional. Kemudian Akibat hukum Warga Negara Indonesia yang ikut bergabung dalam kelompok radikal ISIS tidak menyebabkan kewarganegaraanya dicabut karena termasuk ke dalam tindak pidana terorisme dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup. Selain itu dalam instrument HAM internasional juga mengamanatkan agar setiap Negara tidak menghilangkan status kewarganegaraan seseorang. Pengaturan mengenai kaum radikal seperti ISIS belum diatur secara jelas sehingga seharusnya ada aturan yang tegas dan sanksi berat sehingga menimbulkan efek jengah bagi siapapun yang telah atau akan melakukan hal itu sehingga hal tersebut tidak akan terjadi lagi.

Daftar Pustaka

Buku:

Golose, Petrus Reinhard. Deradikalisasi Terorisme, Jakarta, Yayasan Pengembang Kajian Ilmu Kepolisian (2014).

Mauna, Boer. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, PT Alumni, (2015).

Suarda, I Gede Widhiana. Hukum Pidana Internasional : Sebuah Pengantar, Jakarta, Citra Aditya Bakti, (2012).

Wijata, Bima Ari Putri. Insurgency and Belligerency, Semarang, (2013).

Jurnal:

Dharmapati, Sakti Prasetiya. “Keabsahan Sudah Selatan Sebagai Negara Merdeka Baru Dalam Persfektif Hukum Internasional”, Jurnal Kerta Negara, Volume 3 No. 3 (2015).

Fauzia, Diah. “Strategi Jepang Dalam Menyelesaikan Sengketa Teritorial Pulau Takeshima/Dokdo”, Jurnal Analisis Hubungan Internasional. Volume 2 No.3 (2013).

Kurnia, Titon Slamet. “Internalisasi Standar HAM Internasional Dalam Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstistusi”. Jurnal Mimbar Hukum Volume 28 Nomor 2 (2016).

Kurnia, Ayu. “Pengaturan Mendapatkan dan Kehilangan Kewarganegaraan Berdasarkan Hukum Internasional Serta Implementasinya dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia dan Jepang”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 9 No. 7 (2018).

Kusumo, Ayub Torry Satriyo. “Alternatif atas Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional dalam Konflik Bersenjata Melawan Islamic State of Iraq and Syria”. Jurnal Yustisia, Volume 4 No. 3 (2015).

Mahartha, Ari. “Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Dalam Dunia Maya Berdasarkan Hukum Internasional”, Jurnal Kerta Negara, Volume 4 No. 6 (2016).

Mangku, Dewa Gede Sudika. “Tanggung Jawab Negara terhadap Penembakan Pesawat MH17 berdasarkan Hukum Internasional”, Jurnal Pandecta, Volume 14 Nomor 1 (2019).

Putri, Adeiana Kartika. “Penembakan Pesawat MH17 Ditinjau dari Hukum Humaniter Internasional”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 2 (2015).

Rosviaya, Putu Mira Rosviyana. “Penegakan Hukum Terhadap Tersangka Pengedar Narkoba di Fhilipina Ditinjau Dari Persepektif HAM Internasional”, Jurnal Kerta Negara Volume 7 No. 9 (2019).

Riyanto, Sigit. “Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer”, Jurnal Yustisia, Volume 3 No. 9 (2012).

Setiawati, Novi. “Penyelesaian Sengketa Kepulauan Dalam Persfektif Hukum Internasional”, Jurnal Yustisia, Volume 2 No. 3 (2019).

Syahfitri. “Sengketa Pulau Dokdo Antara Jepang dan Korea Selatan”, Jurnal of Internasional Law, Volume 1 No. 2 (2013).

Internet:

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1432447&val=4131&title=P ERMASALAHAN%20PENGAKUAN%20TERHADAP%20KELOMPOK-

KELOMPOK%20BELLIGERENT%20DARI%20SEGI%20HUKUM%20HUMANIT ER%20INTERNASIONAL. Diakses pada 16 Januari 2021.

https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=117132. diakses 7 Oktober 2020.

https://www.negarahukum12.com/hukum/pengakuan-terhadap       pemberontak-

belligerency.html. diakses 7 Oktober 2020.

Peraturan Perundang – Undangan:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tata Cara Memperoleh Kehilangan Pembatalan Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Instrumen Hukum Internasional:

Konvensi Jenewa III 1949.

Montevideo Convention On The Rights And Duties Of States 1933.

Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 1 Tahun 2021, hlm. 44-57

57