Implementasi Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (People Smuggling)
on
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI TINDAK
PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING)
Ni Nyoman Bunga Meki Prameswari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: bungaprameswari1998@gmail.com
Made Maharta Yasa, email , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: mdmahartayasa@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan studi artikel ini adalah untuk menganalisa implementasi kebijakan pemerintah Indonesia serta kendala-kendala dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling). Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang mengkaji “Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian”. Dalam penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan yang menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi people smuggling masih dianggap belum efektif. Hal ini dikarenakan dalam regulasi tersebut terdapat kekaburan norma. Dengan demikian, para imigran ilegal dalam tindak pidana penyelundupan manusia hanya dikenakan sanksi keimigrasian.
Kata Kunci: Kebijakan Pemerintah, Keimigrasian, Penyelundupan Manusia.
ABSTRACT
The purpose of this research is to analyze the implementation of Indonesian government policies and the obstacles in dealing with criminal acts of people smuggling. This research uses a normative research method with a legislative approach that examines the Law No. 6 of 2011 about Immigration. In this study, it cames to a conclusion that the implementation of Indonesian government policies in dealing with people smuggling is still considered ineffective. Due to the vagueness of the norm on the regulation. Thus, the perpetrators of people smuggling are only subject to immigration sanctions.
Key Words: Government Policy, Immigration, People Smuggling.
Proses globalisasi merupakan suatu tatanan masyarakat yang mendunia dengan perkembangan komunikasi global yang terjadi secara cepat. Kemajuan teknologi komunikasi ini menyebabkan adanya hubungan antarbangsa, antarmasyarakat dan antarindividu saling bergantungan sehingga menciptakan dunia tanpa batas (borderless world). Pergerakan massa dalam era globalisasi memudahkan akses lalu lintas yang memungkinkan terjadinya suatu penyimpangan transnasional salah satunya adalah kejahatan lintas negara. Transnasional menurut Keohane dan Nye mengatakan jika terjadinya hubungan transnasional maka dapat mempermudah terjadinya interaksi antarnegara. Berbagai bentuk kejahatan
transnasional telah diidentifikasikan sebagai ancaman keamanan manusia yang nantinya akan mengancam keamanan negara, salah satunya ialah illegal fishing, peredaran obat-obatan gelap, penyelundupan, dan perdagangan orang (human trafficking).
Penyebab dari kejahatan transnasional tidak hanya disebabkan karena lemahnya penegakkan hukum maupun kebijakan hukum di Indonesia, tetapi karena kondisi geografis negara Indonesia menjadi negara yang berpotensi terjadinya kejahatan transnasional. Kondisi geografis Indonesia termasuk dengan wilayah yang diapit oleh dua samudra dan dua benua. Dengan memiliki posisi jalur silang lalu lintas pasar internasional, hal ini memberikan akses terbukan dan bebas memasuki negara indonesia bagi siapa saja. Selain itu, upaya pengamanan wilayah perbatasan, serta kurangnya akses teknologi seluruh wilayah Indonesia untuk memantau, juga menimbulkan praktek kejahatan transnasional semakin meningkat. Kejahatan transnasional dalam bentuknya yang paling ekstrim, dikhawitrkan tidak hanya akan membawa kerugian namun merupakan ancaman bagi banyak negara di dunia.
Di Indonesia persoalan people smuggling telah diatur secara khusus melalui “Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1995” dan “Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian”. Akan tetapi, dua ketentuan tersebut hanya mengatur mengenai persoalan pelanggaran keimigrasian jadi kurang bisa untuk menjerat pelaku dari tindak pidana penyelundupan manusia. Hingga pada akhirnya di tahun 2011, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi yang mengatur mengenai penyelundupan manusia melalui UU Keimigrasian. Namun, sama seperti ketentuan sebelumnya, Undang-Undang ini masih dianggap belum efektif dalam menanggulangi penyelundupan manusia dan masih banyak kendala-kendala yang terdapat dalam ketentuan ini.
Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu mengenai kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani tindak pidana penyelundupan manusia yang diantaranya: “Politik Hukum Pemerintah (Direktorat Jenderal Imigrasi) Dalam Menanggulangi Masalah Penyelundupan Manusia” yang ditulis oleh Sam Fernando menyimpulkan bahwa “kejahatan transnasional” terwujud jika kejahatan tersebut melibatkan lebih dari satu negara, adanya suatu persiapan, pengarahan, pembuatan rencana dan pengawasan yang dilakukan oleh negara lain, adanya keterlibatan organized criminal, dan juga jika kejahatan tersebut berdampak negatif bagi negara. Selanjutnya, penelitian dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (People Smuggling)” oleh I Dewa Agung Gede Mahardhika Martha yang menyimpulkan bahwa UU Keimigrasian tidak membedakan derajat kesalahan pelaku dengan perannya. Dan yang terakhir merupakan penelitian dengan judul “Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Penyelundupan Manusia Di Indonesia” oleh Evlyn Martha Julianthy, Dahlan Ali, Mujibussalim menyimpulkan bahwa regulasi dalam penanggulangan penyelundupan manusia masih terdapat banyak kelemahan khususnya dalam kebijakan legislasi. Dalam pasal 120 UU Keimigrasian dianggap masih belum dapat mencakup keseluruhan aspek dalam
penanggulangan penyelundupan manusia dan sudah selayaknya diatur dalam aturan yang khusus.
Menanggapi hal tersebut, dalam penelitian ini yang berjudul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN MANUSIA (PEOPLE SMUGGLING)” akan adanya penelitian mengenai pengaturan tindak pidana penyelundupan manusia agar terdapat kepastian hukum bagi para pelaku penyelundupan manusia. Disaat ini terdapat beberapa kendala dalam tindak pidana penyelundupan manusia, salah satunya adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana para pelaku penyelundupan manusia. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut, muncul lah permasalahan-permasalahan yang akan dipaparkan di dalam penelitian ini.
-
1. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani tindak pidana penyelundupan manusia di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah bentuk pengaturan yang dicita-citakan (ius constituendum) dalam upaya penanganan tindak pidana penyelundupan manusia di Indonesia?
-
1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani tindak pidana penyelundupan manusia di Indonesia.
-
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pengaturan dalam upaya penanganan tindak pidana penyelundupan manusia di Indonesia pada masa mendatang.
Terdapat 2 jenis penelitian yang dikenal dalam penelitian hukum, yaitu penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif.1 Pada penelitian ini menggunakan pokok kajian yang mengkonsepkan hukum yang berlaku dalam masyarakat sebagai kaidah atau norma. Hal ini dijadikan acuan sebagai perilaku warga negara. Penelitian ini disebut juga sebagai penelitian hukum normatif.2 Kedudukan norma yang terjadi pada pengaturan tersebut adalah adanya kekaburan norma. Dalam penelitian hukum normatif berbagai data sekunder seperti keputusan pengadilan, teori hukum, peraturan perundang-undangan dan pendapat para sarjana sangat diperlukan.3 Penelitian jenis ini biasa disebut sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan.
Perlu adanya pendekatan-pendekatan sebagai dasar pijakan di dalam tahap penyelesaian suatu isu hukum untuk menyusun suatu argumen yang tepat. Dalam pendekatan penelitian hukum terdapat macam-macam pendekatan sebagai berikut, pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Yang dapat dilakukan di pendekatan perundang-undangan adalah dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapi. Dengan mempelajari kesesuaian antara Undang-Undang satu dengan yang lainnya merupakan cara yang tepat untuk dilakukan dalam pendekatan ini. Oleh karena itu pendekatan dalam penelitian hukum ini adalah dengan mengkaji “Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.” karena pendekatan ini menggunakan penekatan perundang-undangan atau statue approach. Pengolahan data yang dilakukan adalah dengan cara mengkelola bahan-bahan hukum tertulis secara sistematis.
Dalam analisis penelitian ini bisa disimpulkan bahwa dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk saat ini dalam pelaksanaannya Undang-Undang ini dirasa masih terdapat beberapa kendala. Kebijakan Pemerintah di Indonesia dianggap belum efektif dalam menanggapi kasus penyelundupan manusia. Dikarenakan adanya kekaburan norma dalam regulasi ini, hal ini mengakibatkan para pelaku tindak pidana penyelundupan manusia hanya diberikan sanksi keimigrasian, karena tidak ada ketentuan yang mengatur khusus mengenai tindak pidana penyelundupan manusia.
-
3. Hasil dan Pembahasan.
-
3.1. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Menangani Tindak Pidana Penyelundupan Manusia.
-
“Penyelundupan Manusia atau yang kerap disebut sebagai People Smuggling memiliki definisi yang berarti mencari untuk mendapatkan suatu keuntungan finansial atau materi lainnya, secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok individu dengan cara melintasi batas negara secara illegal”. (Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyeludupan Manusia). Hal yang dimaksud dengan memasuki wilayah secara illegal ini berarti seseorang atau sekelompok orang tersebut tidak mematuhi suatu peraturan atau perijinan yang diperlukan dalam melintasi suatu batas wilayah Negara.4 Hal ini menjadikan mereka sebagai imigran illegal. Imigran illegal terdiri dari dua macam, yaitu: “1. WNA yang telah melanggar peraturan keimigrasian dengan memasuki batas wilayah suatu negara tanpa memiliki surat-surat perjalanan yang sah maupun visa baik melalui udara, laut dan darat; 2. WNA yang telah melanggar peraturan keimigrasian dengan
memasuki suatu negara dengan cara yang legal, tetapi izin keimigrasiannya telah melewati batas dan menyalahgunakan peraturan yang ada.”5
Berdasarkan hak asasi manusia, semua imigran berhak untuk diberikan perlindungan. Namun dengan demikian, para imigran ini sering memiliki alasan dalam hal perpindahan yang kerap berubah. Contohnya, para imigran sering memutuskan untuk berimigrasi dengan cara-cara yang illegal bahkan harus dengan melalui jaringan penyelundup untuk berpindah dari negara yang kali pertama memberikan suaka. Sedangkan niat awal dari para imigran ini adalah memulai perjalanannya sebagai seorang pengungsi atau yang sering disebut dengan refugee. Hal ini lah yang membuat penyelundupan manusia dan imigran gelap memiliki tindakan pidana yang saling berkaitan.6
Sesuai dengan ketentuan yang ada, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan suatu status refugee harus ditentukan melalui sebuah proses, bukanlah suatu pernyataan pribadi. Tidak sedikit para imigran gelap yang datang ke Indonesia memanfaatkan keberadaan UNHCR di Jakarta agar bisa memiliki hak suaka serta status dan solusi bagi mereka yang memerlukan.
Namun kenyataan yang sedang dihadapi adalah UNCHR tidak dapat memberikan status refugee kepada semua WNA yang masuk ke Indonesia tanpa adanya dokumen-dokumen keimigrasian tersebut. Sebenarnya, pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk mendeportasi para imigran tersebut jika UNCHR menolak untuk memberikan status refugee kepada imigran. Namun hambatan yang dialami adalah untuk mendeportasi para imigran-imigran tersebut negara Indonesia belum mampu untuk mengalokasikan dana anggaran ke dalam hal tersebut. Faktor lain yang menjadi penghambat adalah Indonesia tidak mendapatkan dana bantuan dari IOM dikarenakan para imigran gelap tersebut tidak mau kembali ke negara asalnya secara suka rela.7 Hambatan-hambatan ini mendorong para pencari suaka atau imigran untuk memasuki suatu wilayah negara dengan proses yang ilegal. Situasi imigrasi ilegal telah berimplikasi pada perkembangan transnational crime yang kemudian berkembang menjadi kejahatan yang teroganisir seperti penyeludupan manusia (people smuggling).
Tindak kejahatan ini telah diatur semenjak tahun 1950-an yang dikenal dengan peraturan Hoakiao atau “Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959” yang disaat itu mengatur masuknya para imigran gelap dari Cina. Dalam “Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1955” ini tidak ada menyinggung terhadap persoalan penyelundupan manusia, dalam undang-undang ini hanya bertujuan untuk mencegah
penyelundupan imigran yang masuk ke Indonesia agar tidak terjadinya suatu peluang tindak pidana. Undang-undang darurat ini secara umum ditunjukan kepada para pelaku yang menyalahgunakan dokumen perjalanan ataupun surat-surat kewarganegaraan dengan cara yang ilegal salah satunya yaitu dengan memalsukannya untuk menuju negara yang telah menjadi tujuan para pelaku.8 Kemudian, dibentuklah undang-undang keimigrasian pada tahun 1992 yakni “Undang-Undang No. 9 Tahun 1992”. Tindak pidana keimigrasian yang diatur dalam “BAB VIII Undang-Undang No. 9 Tahun 1992” yang berisikan hal-hal sebagai berikut:9
-
1. “Orang asing yang dengan sengaja menggunakan Visa atau izin keimigrasian yang dengan sengaja dipalsukan dengan tujuan untuk memasuki wilayah Indonesia”.
-
2. “Orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan pemberian izin keimigrasian yang telah diberikan.”
-
3. “Setiap orang yang dengan sengaja: a) Tetap menggunakan Surat Perjalanan Republik Indonesia walaupun sudah mengetahui bahwa Surat Perjalanan tersebut palsu atau dipalsukan. b) Menggunakan dan menyerahkan Surat Perjalanan orang lain yang sudah dicabut atau dinyatakan batal dengan maksud digunakan secara tidak berhak. c) Menggunakan cara yang illegal untuk mendapatkan Surat Perjalanan Republik Indonesia. d) Memiliki dua atau lebih Surat Perjalanan Republik Indonesia yang semuanya berlaku dan menggunakannya secara melawan hukum.”
-
4. “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum dengan membuat atau menyimpan cap yang dipergunakan untuk mengesahkan Surat Perjalanan Republik Indonesia.”
-
5. “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum dengan merusak sebagian atau seluruhnya keterangan atau cap yang terdapat dalam Surat Perjalanan Republik Indonesia untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain.”
-
6. “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum dengan memiliki, mengubah atau menggunakan data keimigrasian baik secara manual maupun secara elektronik.”
-
7. “Pejabat yang dengan sengaja dan melawan hukum dengan memberikan atau memperpanjang Surat Perjalanan Republik Indonesia kepada seseorang yang diketahuinya tidak berhak.”
Namun, dalam “Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1955” maupun “Undang-Undang No. 9 Tahun 1992” istilah penyelundupan manusia tidak pernah
ditelaah secara eksplisit. Secara intinya kedua ketentuan ini hanya mengatur orang asing yang menyalahi aturan yang ada untuk masuk dan keluar Indonesia dengan cara yang ilegal yaitu, memakai dokumen tidak resmi dan disertainya dengan sanksi penjara dan denda bagi yang melanggar.10 Maka dengan hadirnya hambatan tersebut, bagi masyarakat regulasi pengawasan jalur lalu lintas untuk orang yang telah atau sedang singgah dan tinggal di negara pun dirasakan sangat penting. Dunia Internasional pun juga sepakat untuk membuat instrumen hukum Internasional dengan harapan untuk bersama-sama memberantas transnational crime yang teroganisir melalui “United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000 (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisis atau UNTOC)”. Pada tahun 2004 dibentuknya protokol tambahan dari UNTOC yaitu “Protocol Against The Smuggling of Migrant by Land, Sea, and Air Supplementing the United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime”. Protokol tambahan ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui “Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 Pengesahan Protocol Against The Smuggling Of Migrants By Land, Sea And Air, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime.”
Perlu adanya bentuk kerjasama baik bilateral maupun multilateral, demi menjaga keharmonisan antar negara dalam kelancaran bisnis dan segala urusan antar negara. Negara Indonesia sangat memerlukan regulasi yang baru dan yang mampu dalam menyikapi maupun menangani persoalan penyelundupan manusia. Pada akhirnya Indonesia mengesahkan “Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian” terhitung mulai tanggal 5 Mei 2011. Tindak pidana penyelundupan manusia dalam undang-undang Keimigrasian hanya diatur dalam pasal 120 “Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.” Kedua ketentuan tersebut baik UU Keimigrasian dan UU Darurat hanya mengatur mengenai persoalan keimigrasian seperti mengatur mengenai orang asing yang menggunakan dokumen-dokumen tidak resmi untuk keluar dan masuk wilayah Indonesia, namun tidak ada dari ketentuan tersebut yang menyinggung mengenai penyelundupan manusia. Seiring dengan perkembangan jaman, banyak telah ditemui beberapa modus atau cara dengan kemajuan teknologi yang canggih dalam memalsukan surat-surat atau dokumen. Oleh karena itu UU Darurat, UU No. 9 Tahun 1992 dan juga ketentuan dalam KUHP dianggap belum mampu untuk menangani adanya suatu masalah seperti kedatangannya imigran gelap yang sudah diakomodasi oleh penyeludup. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini imigran yang memasuki wilayah Indonesia dengan cara yang ilegal atau imigran yang masih berlindung dibalik status refugee, masih teranggap banyak. Walaupun dalam UU Keimigrasian telah mengatur mengenai lalu lintas pergerakan orang ke Indonesia namun ketentuan tersebut masih sangat lemah dalam pengaturan tentang tindak pidana penyelundupan manusia.
-
3.2. Bagaimana Bentuk Pengaturan dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia di Indonesia pada Masa Mendatang.
Melihat kelemahan hukum yang dimiliki Indonesia, para imigran pun memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih keuntungan finansial maupun materi pribadi. Lemahnya regulasi yang dimiliki oleh Indonesia, membuat para imigran menjadikan negara Indonesia bukan lagi sebagai negara transit melainkan sebagai negara tujuan untuk penyelundupan manusia. Kepala Bidang Perbatasan National Central Bureau Polri menyatakan bahwa “di luar negeri penyelundupan manusia sudah dianggap sebagai kejahatan. Sedangkan di Indonesia, kasus penyelundupan manusia hanyalah dianggap sebagai pelanggaran keimigrasian.”11
Hal ini dikarenakan Indonesia sampai saat ini belum memilki undang-undang mengenai tindak pidana penyelundupan manusia yang mengatur secara khusus. Walaupun telah diatur dalam UU Keimigrasian, namun permasalahan mengenai lalu lintas keluar dan masuk orang di Indonesia kian bertambah. Seperti para imigran yang memasuki wilayah Indonesia menggunakan cara yang ilegal maupun imigran yang masih berlindung dibalik status refugee.12 Karena untuk bisa mendapatkan status refugee dari UNCHR merupakan sesuatu yang belum pasti, hal ini pun menyebabkan hukum di Indonesia menjadi hal yang kerap disepelekan. Selain itu, para imigran gelap merasa bahwa keberadaannya di Indonesia merupakan pilihan yang sangat aman dikarenakan Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur terkait dengan tindak pidana penyelundupan manusia. Oleh sebab itu, imigran gelap yang masuk ke Indonesia diposisikan sebagai korban penyelundupan manusia karena yang terjerat dalam ketentuan-ketentuan yang ada di Indonesia hanyalah warga negara Indonesia yang ikut terlibat atau terhasut dalam tindak pidana penyelundupan manusia.
Dalam mengantisipasi dampak serta perkembangan jenis kejahatan yang semakin luas, sangat diperlukkannya keterlibatannya pihak-pihak yang berwenang dengan partisipasi masyarakat untuk melakukan usaha dan kerjasama dalam pemberantasan penyelundupan manusia. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat adalah untuk menangkap imigran gelap dan pelaku penyelundupan manusia agar dapat mengurangi tingkat kejahatan untuk sementara waktu.13 Tindakan ini pun dianggap masih memiliki beberapa kelemahan karena tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa pihak manaupun atau terutama negara-negara yang memiliki kepetingan politik dengan Indonesia akan memanfaatkan arus pergerakan dan perpindahan dari kejahatan transnasional ini. Rumah detensi yakni Pulau Casino di Australia dipercaya bisa menjadi usaha sementara yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menampung para
imigran yang masuk ke Indonesia.14 Namun, dengan banyaknya persoalan ekonomi yang masih harus dihadapi, rumah detensi ini terbilang cukup menghabiskan banyak biaya.
Adapun konsep ideal kebijakan keimigrasian yang dapat mencegah terjadinya penyelundupan manusia dan imiran illegal yang masuk ke Indonesia. Terkait dengan masalah keimigrasian, terdapat tiga kebijakan yang dianggap bisa digunakan dalam menangani penyelundupan manusia. Menurut Guido Friebel and Sergei Guriev pun berpendapat bahwa tiga kebijakan ini bisa menutup kekurangan peraturan Indonesia yang masih lemah. “Dalam 3 kebijakan ini, hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan kebijakan kontrol perbatasan yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak dari para imigran gelap dan para agen penyelundup. Kedua, kebijakan deportasi dan pengabsahan (deportation and legalization) yaitu mengenai dibutuhkannya suatu pengesahan kebijakan dari pemerintah RI terkait status para imigran tersebut karena dalam pelaksanaanya di Indonesia, deportasi tidak dapat dilaksanakan jika belum mendapatkan status pengungsi yang diberikan oleh UNHCR.15 Ketiga, kebijakan pemeriksaan dan tinjauan terhadap lokasi pekerjaan (work-site inspections, raids, and sanctions against employers or illegal immigrants), dalam kebijakan ini dilakukannya penggerebekan, dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku agen yang terlibat dalam penyelundupan manusia. Namun untuk bentuk ketiga dari kebijakan ini, belum ada aturan khusus yang mengatur people smuggling di Indonesia.”16
Lalu, selain itu terdapat kebijakan non penal yang dianggap bisa menanggulangi penyelundupan manusia. Di dalam pasal 89 ayat (1) UU Keimigrasian berbunyi “Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk melakukan upaya preventif dan represif dalam rangka mencegah terjadinya perdagangan orang dan penyelundupan manusia”. Selanjutnya dalam Pasal 89 ayat (2) UU Keimigrasian mengatur bahwa upaya preventif yang dimaksud dalam ayat (1) bisa dilakukan dengan cara:
-
1. “Melakukan pertukaran informasi dengan negara lain dan instansi terkait di dalam negeri, yang meliputi modus operandi, pengawasan, dan pengamanan dokumen perjalanan, serta legitimasi dan validitas dokumen;”
-
2. “Adanya kerjasama teknis dan pelatihan dengan negara lain yang meliputi perlakuan yang didasarkan oleh perikemanusiaan terhadap korban, pengamanan kualitas dokumen perjalanan, deteksi dokumen palsu,
pertukaran informasi, serta pemantauan dan deteksi penyelundupan manusia dengan menggunakan cara yang konvensional dan nonkonvensional;”
-
3. “Memberikan suatu penyuluhan hukum kepada masyarakat bahwa perbuatan penyelundupan manusia adalah tindak pidana agar orang tidak menjadi korban;”
-
4. “Menjamin bahwa dokumen perjalanan atau identitas yang dikeluarkan berkualitas sehingga dokumen tersebut tidak mudah disalahgunakan, dipalsukan, diubah, ditiru, atau diterbitkan secara melawan hukum;”
-
5. “Memastikan bahwa integritas dan pengamanan dokumen perjalanan yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh atau atas nama negara untuk mencegah pembuatan dokumen tersebut secara melawan hukum dalam hal penerbitan dan penggunaannya.”
Indonesia dan juga negara-negara di Dunia Internasional memandang kejahatan people smuggling sebagai suatu kejahatan transnasional yang dapat mengancam keamanan negara. Penanganan imigran ilegal dan tindak pidana penyelundupan manusia masih diatur dengan menggunakan UU Keimigrasian. Dengan hadirnya UU Keimigrasian, negara akhirnya berhak untuk mengatur bagaimana situasi keberadaan WNA di wilayah NKRI. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang berdaulat, maka dari itu Indonesia memiliki hak untuk mengawasi lalu-lintas pergerakan imigran ilegal di Indonesia yang memasuki wilayah Indonesia tanpa memiliki surat-surat perjalanan yang legal. Namun, dengan regulasi yang ada saat ini di Indonesia, UU Keimigrasian masih dirasa kurang efektif dalam menangani situasi keberadaan imigran ilegal. Masih belum ada regulasi yang mengatur secara implisit mengenai tindak pidana people smuggling. Oleh karena itu, pelaku yang telah melakukan tindak pidana people smuggling hanya dikenakan sanksi keimigrasian. Dengan kesimpulan yang telah terpapar diatas, adapun saran yang sekiranya penulis bisa berikan untuk menanggapi rumusan masalah yang telah dibahas:
-
1. Perlunya kerja sama yang lebih erat antara instansi pemerintah kepolisian, UNODC, IOM, UNHCR dalam menangani kasus people smuggling yang terjadi di negara Indonesia. Dalam upaya lainnya Indonesia juga melakukan upaya eksternal yaitu bekerja sama dengan pihak Internasional untuk mengatasi permasalahan penyelundupan manusia (people smuggling). Salah satunya adalah dengan membentuk Bali Process yang diikuti oleh 48 anggota termasuk diantaranya negara pengamat, UNHCR, IOM dan UNODC yang dipimpin oleh negara Indonesia dan Australia.
-
2. People Smuggling merupakan permasalahan yang dianggap serius di dalam bagian Dunia Internasional termasuk Indonesia. Dengan regulasi yang dimiliki saat ini, perbaikan regulasi ketentuan pidana penyelundupan manusia sangatlah diperlukan. Ketentuan yang diatur dalam UU
Keimigrasian masih banyak mengandung kekurangan yang dapat menimbulkan berbagai macam interpretasi. Menjadikan Prinsip Kedaulatan Negara sebagai landasan bagi Indonesia merupakan keputusan yang tepat, walaupun hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Namun dengan adanya Prinsip Kedaulatan Negara sebagai landasan artinya, Indonesia sebagai negara yang berdaulat harus menjadikan bangsa Indonesia dan warga negara Indonesia sebagai prioritas dalam mengambil suatu kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainuddin. ”Metode Penelitian Hukum.” Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Marzuki, P Mahmud. “Penelitian Hukum.” Jakarta: Kencana Prenada Media 55, 2005. Soekanto, Soerjano dan Mamudji, Sri. “Penelitian Hukum Normaif: Suatu Tinjaun Singkat.” Jakarta: Rajawali Pers, 2001
Sihombing, Sihar. “Hukum Keimigrasian dalam Hukum Indonesia.” Bandung: Nuansa Aulia, 2003.
Jurnal:
Fernando, Sam. "Politik Hukum Pemerintah (Direktorat Jenderal Imigrasi) Dalam Menanggulangi Masalah Penyelundupan Manusia." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, no. 1 (2014).
Gede Mahardhika Martha, I Dewa Agung. “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyeludupan Manusia” Jurnal Magister Hukum Udayana 5, No. 1 (2015): 115
Handayani, Dwi Wahyu, and Yuni Ratnasari. "Penanganan Penyelundupan Manusia di Wilayah Pesisir Provinsi Lampung." Andalas Journal of International Studies 8, no. 1 (2019): 88-103.
Julianthy, Evlyn Martha, and Dahlan Ali. "KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN PENYELUNDUPAN MANUSIA DI INDONESIA." Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 3 (2014).
Johan, Eva. "Kebijakan Indonesia Terhadap Imigran Ilegal dan Hubungannya dengan Kedaulatan Negara." Yuridika 28, no. 1 (2013): 1-15.
Kristin, Debby, and Chloryne Trie Isana Dewi. "Tindak Pidana Kejahatan Penyelundupan Manusia (People Smuggling) di Indonesia: Tanggug Jawab Indonesia dan Australia." Padjadjaran Journal of International Law 1, no. 1 (2017): 84-100.
Mohede, Noldy. "Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Keimigrasian." Jurnal Hukum Unsrat 19, no. 4 (2011): 40-52.
Nuryani, Dwi, and Politeknik Imigrasi. "PENYELUNDUPAN MANUSIA SEBAGAI TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN YANG MEMBAHAYAKAN KEDAULATAN NEGARA (PEOPLE SMUGGLING AS CRIMINAL ACTS THAT HARM THE COUNTRY'S SOVEREIGNTY)."
Paembonan, Eranovita Kalalo. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan Orang (People Smuggling)." Lex Crimen 3, no. 4 (2014).
Rahayu, Nofyora, and Irwan Iskandar. "Implementasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Imigran Ilegal (Studi Kasus: Provinsi Riau)." PhD diss., Riau University, 2017.
Rani, Faisyal, and Ferica Wardani. "Peran Bali Process On People Smuggling, Traficking In Person And Related Transnational Crime (Bali Process) dalam Menangani Penyelundupan Manusia di Indonesia Pada Tahun 2008-2013." PhD diss., Riau University, 2015.
Riadi, Wahyu. "Implementasi Pencegahan Perdagangan Orang Ditinjau dari Perspektif Pertahanan Negara." Strategi Perang Semesta 3, no. 2 (2017).
Instrumen Internasional:
Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyeludupan Manusia.
Ketentuan PerUndang-Undangan:
Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1955 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, Dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
E-ISSN: Nomor 2303-0585.
12
Discussion and feedback