PENGATURAN PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DI INDONESIA
on
PENGATURAN PENGANGKATAN ANAK
(ADOPSI) BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DI INDONESIA*
Oleh :
Angga Aidry Ghifari** I Gede Yusa*** [email protected]
Program Kekhususan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Karya tulis ini dilatarbelakangi terkait adanya proses pengangkatan anak antar WNI khususnya yang berdasarkan atas perundang-undangan yang nantinya akan ditinjau dari Indonesia. Perbedaan konsepsi mengenai pengangkatan anak antara hukum perdata, hukum Islam, dan hukum positif di Indonesia merupakan dasar Penulis untuk menyusun karya ilmiah ini supaya masyarakat mengetahui akan perbedaan dan lebih memahami konsepsi tersebut. Metodologi penulisan yang digunakan adalah penulisan bersifat Normatif. Penelitian Normatif merupakan penelitian yang dipusatkan untuk mendapatkan data-data yang relevan dengan penyusunan karya ilmiah ini, yaitu melalui buku-buku, majalah-majalah, tulisan dan karya ilmiah yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Dalam karya ilmiah ini, dapat diketahui mengenai perspektif hukum perdata dan hukum Islam terkait pengangkatan anak antar WNI serta tata cara atau prosedur adopsi bagi WNI.
Kata kunci: Pengangkatan Anak, Warga Negara Indonesia, Hukum Perdata
Abstract
The title of this article is “Legal Analysis Adoption of Children for Indonesian Citizens”. Research questions on this article are based on problematical process adoption of children among Indonesian Citizens especially based on legislation which later reviewed from perspective civil law and positive law that applicable in Indonesia. The difference in conception regarding adoption of children between civil law, Islamic law, and positive law in Indonesia is the basis of the author to compile this scientific work so that the public will be aware of the different conceptions. This research is normative-descriptive using library research to collect relevant source, such as books, magazines, scientific writing, etc. to support the writer’s argument on the issue. On this writing, one can acquire perspective of civil law and Islamic law related to adoption of children among Indonesian Citizens and that procedure in Indonesia.
Keywords : Adoption of Children, Indonesian Citizens, Civil Law
Kehadiran anak di tengah keluarga merupakan amanah dari Tuhan1. Anak adalah harapan bagi orang tua, bahkan kehadiran anak itu menjadi tujuan dari suatu perkawinan yaitu mendapatkan keturunan. Pada prinsipnya, kehadiran anak dalam perkawinan akan menambah kebahagiaan dari suami istri tersebut, sehingga ketidakhadiran anak dalam suatu perkawinan berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan antara suami dan istri, bahkan tidak sedikit yang mengakibatkan perceraian. Apabila suami istri mengalami kondisi yang seperti itu, maka dalam ketentuan yang berlaku di Indonesia dapat ditempuh upaya adopsi anak. Motivasi pengangkatan anak bisa bermacam-macam, seperti kondisi ekonomi dan sosial, bahkan dapat dipengaruhi oleh faktor budaya dan politik
di suatu negara.2 Selain berdasarkan hukum perdata, dikenal juga adopsi berdasarkan hukum / syariat Islam3 serta hukum kebiasaan setempat.
Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan guna peralihan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua/wali sah ke lingkungan dari orang tua angkatnya, sebagaimana ketentuan dalam PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dengan adanya payung hukum mengenai pengangkatan anak, maka untuk beberapa orang yang mengalami kondisi ingin cepat mendapatkan anak tetapi tidak melalui rahim istrinya, yakni dapat melalui tata cara pengangkatan anak tersebut. Bahkan, sebelum diterbitkannya PP Pengangkatan Anak, pengaturan mengenai pengangkatan anak juga tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni semata-mata hanya untuk kebaikan atau kepentingan yang terbaik dari si anak tersebut. Oleh karena itu, negara menjamin adanya hal tersebut, sebagaimana diatur melalui Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Dipandang dari sudut pihak antara COTA (calon orang tua angkat) dan CAA (calon anak angkat), maka pelaksanaan pengangkatan anak itu selain karena faktor belum dikaruniainya pasangan suami istri, juga dapat terjadi karena faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang dimaksud yaitu ketidakmampuan secara ekonomi dari orang tua anak untuk mengasuh anak tersebut sehingga orang tua anak rela untuk menyerahkan anaknya kepada COTA melalui mekanisme adopsi (pengangkatan anak) sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jenis pengangkatan anak (adopsi) terdiri dari dua, yaitu adopsi antar WNI dan antara WNI dengan WNA. Karya ilmiah ini akan membahas tentang tinjauan yuridis dari pelaksanaan pengangkatan anak antar WNI berdasarkan sudut pandang dari hukum perdata, khususnya jenis adopsi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
-
1. Bagaimana mengatur hukum perdata dan hukum Islam mengenai pengangkatan anak (adopsi)?
-
2. Bagaimana prosedur pengangkatan anak (adopsi) antar WNI?
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini yaitu untuk mengetahui perspektif hukum perdata mengenai pengangkatan anak, serta untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak (adopsi) antar WNI.
Pengertian dari metopen (metode penelitian) menurut Soerjono Soekamto yaitu suatu tipe pemikiran yang dipakai dalam melakukan penelitian.4 Penulis menggunakan metopen normatif, yang mengkaji hukum tertulis dari sudut pandang berbagai sudut pemikiran (aspek).5 Dalam menyusun suatu penelitian hukum, ada bermacam-macam pendekatan, yaitu berdasarkan konseptual, undang-undang, analitis, kasus, komparatif, dan sejarah.6 Guna mencapai tujuan penulisan sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, penelitian ini
disusun dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan pendekatan analitis.
-
2.2 Hasil Dan Pembahasan
-
2.2.1. Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam Mengenai Pengangkatan Anak
-
Dalam KUHPerdata, istilah pengangkatan anak atau adopsi ini tidak dikenal, akan tetapi hanya mengenai adopsi di luar kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 280 s.d. 290 KUHPerdata, sehingga pada prinsipnya di dalam KUHPerdata ini tidak mengenal lembaga pengangkatan anak karena apabila dilihat dari sumber hukumnya yang berasal dari produk pemerintahan Hindia Belanda, negara penciptanya tersebut memang tidak diatur bahkan tidak dikenal istilah adopsi. Oleh karena itu, bagi penduduk dan/atau warga negara Belanda tidak dapat melakukan adopsi secara legal, meskipun saat ini Staten General mulai menerima adanya hukum positif berupa UU terkait pengangkatan anak (adopsi).7
Ketentuan yang dibuat tersendiri di luar KUHPerdata mengenai pengangkatan anak yaitu melalui Staatblaad 1917 No. 129, di mana ketentuan ini dibuat sebagai pelengkap dari KUHPerdata dan hanya berlaku bagi warga Tionghoa saja. Apabila dilihat dari sudut pandang akibat hukum adopsi, maka Staatblaad 1917 No. 129 menerangkan status anak dari proses adopsi tersebut tidak sebagai anak angkat, tetapi beruah menjadi anak sah, sehingga hubungan keperdataan antara anak angkat dengan orang tua kandung anak yang diadopsi
tersebut menjadi terputus atau hilang. Oleh karena itu, anak yang diadopsi tersebut mempunyai hak waris dari orang tua angkatnya.
Dalam ajaran agama Islam, memberikan status yang sama kepada anak angkat seperti halnya anak kandungnya sendiri serta memutuskan nazab dengan orang tua kandungnya dengan digantikan kepada orang tua angkatnya merupakan hal yang dilarang, sebagaimana ketentuan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5, sehingga prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam yaitu bersifat pengasuhan, serta larangan adanya hak waris.
-
2.2.2. Prosedur Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia (WNI) Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia
Prosedur pengangkatan anak antar WNI ini berdasarkan ketentuan PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yaitu meliputi:
-
1. Terhadap COTA (calon orang tua angkat) harus mengajukan permohonan adopsi kepada kementrian sosial (dalam hal ini adalah Menteri Sosial) di wilayah setempat, yang diajukan melalui yayasan atau organisasi sosial yang telah ditetapkan oleh kementrian sosial;
-
2. Dilakukan verifikasi berupa wawancara kepada COTA oleh organisasi sosial terkait syarat-syarat yang harus dilengkapi / dipenuhi dalam proses adopsi kepada CAA (calon anak angkat);
-
3. Organisasi sosial tersebut menyeleksi dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam adopsi;
-
4. Setelah persyaratan dinyatakan lengkap, maka petugas sosial akan berkunjung ke rumah COTA, yang mana petugas sosial tersebut dapat dibantu oleh organisai / yayasan sosial dalam wilayah setempat;
-
5. Kelengkapan berkas permohonan adopsi (pengangkatan anak) di atas diserahkan kepada kantor wilayah kementerian sosial di wilayah setempat;
-
6. Kantor kementerian sosial kemudian mengeluarkan surat izin pengasuhan keluarga kepada COTA dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan;
-
7. Kantor kementerian sosial mengadakan penelitian bersama-sama dengan PIPA untuk menelaah berkas permohonan adopsi (pengangkatan anak) sebagai dasar untuk pemberian izin;
-
8. Kantor kementerian sosial mengambil sikap terhadap permohonan adopsi (pengangkatan anak) yang telah diajukan, baik berupa pemberian surat izin atau menolak permohonan tersebut, di mana surat izin atau penolakan diberikan kepada organisasi sosial / yayasan yang mengajukannya;
-
9. Apabila permohonan adopsi (pengangkatan anak) telah disetujui, maka salinan surat izin diserahkan kepada pengadilan negeri (PN) guna dikuatkan dengan adanya penetapan dari hakim;
-
10. Salinan penetapan dari pengadilan negeri setempat tersebut, ditembuskan kepada kementerian sosial pusat dan wilayah setempat.
Selain prosedur di atas, maka untuk COTA dan CAA juga harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Permensos No. 110 / HUK / 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak sbb:
-
1. Bagi CAA
-
a. Syarat Materiil
Usia belum 18 tahun;
Kriteria anak yang ditelantarkan / terlantar;
-
- Di bawah pengasuhan lembaga anak atau keluarga; dan
-
- Dibutuhkan perlakuan khusus untuk melindungi si Anak;
-
b. Syarat Administratif
-
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari orang tua kandung;
-
- Apabila ada wali, maka memerlukan fotokopi KTP wali dari si Anak;
-
- Apabila tidak ada orang tua kandung dan wali sah, maka diperlukan fotokopi KTP kerabat calon anak angkat (CAA);
-
- Fotokopi KK (Kartu Keluarga) dari calon anak angkat (CAA);
-
- Fotokopi kutipan akta kelahiran dari calon anak angkat (CAA);
-
2. COTA
-
- Mempunyai kondisi kesehatan jasmani dan rohani;
-
- Maksimal berumur 55 tahun, dan minimal 30 tahun;
-
- Seagama dengan CAA;
-
- Tidak pernah dipidana atau dihukum;
-
- Telah menikah minimal selama 5 tahun usia perkawinan;
-
- Bukan seseorang yang mempunyai disorientasi seksual, seperti homo dan lesbian;
-
- Tidak memiliki anak, dan/atau belum mempunyai anak, atau sudah mempunyai anak tetapi hanya 1 (satu) anak saja;
-
- Kondisi ekonomi dan sosial yang terjamin;
-
- Mendapat persetujuan dari CAA maupun orang tua / wali CAA;
-
- Surat pernyataan mengenai tujuan utama permohonan adopsi (pengangkatan anak) yaitu semata-mata untuk kepentingan terbaik anak, serta tujuan kesejahteraan anak dan perlindungan anak;
-
- Terdapat hasil laporan dari Peksos (pekerja sosial);
-
- Sudah melakukan pengasuhan CAA tersebut minimal 6 bulan, yang dihitung dari ijin pengasuhan diterbitkan; dan
-
- Adanya ijin dari Kementerian Sosial setempat.
Pelaksanaan pengajuan permohonan anak antar WNI, merupakan kewenangan 2 (dua) peradilan yaitu peradilan agama dan peradilan umum. Kewenangan tersebut diberikan UU didasarkan pada PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Apabila permohonan adopsi dimohonkan oleh seseorang yang mempunyai agama Islam, maka diajukan ke peradilan agama. Terhadap nonIslam dimohonkan ke peradilan umum, dalam hal ini yaitu PN, untuk selanjutnya dikeluarkan penetapan.
Kewenangan peradilan agama untuk pengajuan permohonan pengangkatan anak berdasarkan ketentuan pada Pasal 49 huruf a angka 20 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Adapun diterangkan dalam penjelasan pasal tersebut, ruang lingkup dari “perkawinan” adalah salah satunya terkait penetapan suatu asal usul dari anak dan “adopsi” sesuai syariat Islam. Dengan demikian, peradilan agama secara kompetensi absolut adalah berwenang dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan adopsi yang diajukan oleh orang beragama Islam.
Dengan adanya kewenangan peradilan agama sebagaimana UU Peradilan Agama tersebut, maka telah jelas bahwa untuk non-Islam
diajukan permohonan ke PN, di mana terdapat beberapa poin penting terkait adopsi dalam PN ini, sbb:8
-
a. Tujuan dari adanya adopsi yaitu untuk kepentingan terbaik bagi anak;
-
b. Menganut agama yang sama antara COTA, CAA, dan orang tua kandungnya;
-
c. Adopsi tidak menjadikan menghapuskan nazab;
-
d. Dalam hal pewarisan, anak angkat berhak mewaris yang disamakan dengan anak sah / kandung; dan
-
e. Semangat untuk melakukan adopsi yakni berdasarkan kepentingan terbaik si Anak.
Dalam masyarakat adat Bali, dikenal adanya istilah sentana yang mempunyai arti sama dengan anak keturunan. Istilah sentana dapat dibedakan menjadi preti sentana dan sentana peperasan. Adapun preti sentana adalah sentana yang didapat secara langsung dari hubungan darah karena adanya suatu proses perkawinan, sedangkan sentana peperasan adalah sentana yang didapatkan dengan suatu perbuatan hukum mengangkat anak (adopsi), berdasarkan ketentuan hukum adat setempat. Seperti diketahui, bahwa masyarakat adat Bali pada umumnya menganut sistem patrialisme, sehingga keturunan laki-laki yang lebih menonjol.
Perbuatan hukum pengangkatan anak merupakan suatu kebutuhan yang telah menjadi bagian dari dinamika masyarakat adat Bali. Ketentuan tertulis mengenai lembaga pengangkatan anak di
seluruh kabupaten di Bali adalah Peraturan Peswara tanggal 13 Oktober 1900 tentang Hukum Waris Yang Berlaku Bagi Penduduk Hindu Bali. Dengan demikian, untuk melakukan pengangkatan anak pada masyarakat adat Bali, maka harus memenuhi syarat materiil dan formil, yaitu sebagai berikut:
-
a. Syarat Materiil
-
1) Mengenai diri orang yang melakukan pengangkatan anak
-
- Sudah pernah atau masih dalam ikatan suami istri (pada umumnya daha tua dan teruna tua atau laki-laki maupun perempuan yang belum menikah tidak diperkenankan mengangkat anak).
-
- Memiliki penghasilan yang layat atau harta benda untuk menghidupi keluarga dan anak angkatnya.
-
- Tidak memiliki utang atau kewajiban lainnya terkait dengan kewajiban terhadap organisasi banjar adat dalam lingkungannya.
-
2) Mengenai diri orang yang akan diangkat anak
-
- Pada umumnya belum dewasa.
-
- Usia anak yang diangkat harus lebih muda dari yang mengangkat.
-
- Diutamakan anak laki-laku, apabila yang diangkat anak perempuan, maka statusnya harus diubah menjadi laki-laki (purusa) dengan jalan menetapkan menjadi sentana rajeg, sehingga suaminya kemudian akan berstatus perempuan (predana).
-
b. Syarat Formil, meliputi tata cara pengangkatan anak dan upacara ritual sesuai adat istiadat di daerah setempat.
Pelaksanaan pengangkatan anak dalam masyarakat adat Bali, secara konsepsi adat harus disaksikan oleh:
-
1) Tuhan Yang Maha Esa
Disebut dengan Dewa Saksi, yang dilaksanakan dengan upacara ritual keagamaan yang disebut Widhiwidana atau peperasan.
-
2) Manusa Saksi
Yang dimaksud Manusa Saksi yaitu pelaporan dan pengumuman atau siar yang dilaksanakan di balai desa kepada khalayak umum, disaksikan oleh Prajuru Desa atau sesepuh desa, ketua adat, ketua lingkungan banjar setempat, beserta masyarakat sekitarnya mengenai telah dilaksanakannya pengangkatan anak.
-
3) Butha Saksi
Yang dimaksud Butha Saksi, yaitu upacara berupa persembahan sesajen yang ditujukan kepada makhluk-makhluk di luar alam manusia, agar tidak mengganggu ketentrraman dan kebahagiaan keluarga yang baru disatukan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam satu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1461K/Sip/1974 menyatakan bahwa menurut hukum adat Bali, pengangkatan anak harus disertai upacara peperasan tersendiri dan penyiaran di banjar merupakan syarat mutlak. Oleh karena itu, mekanisme pengangkatan anak yang berlaku secara nasional melalui PP No. 54 Tahun 2007 dan Permensos No. 110/HUK/2009, berlaku juga terhadap pengangkatan anak pada masyarakat adat Bali, akan tetapi melalui putusan MA di atas, selain harus memenuhi persyaratan dalam PP dan Permensos tersebut, juga
harus memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana diatur dalam Peraturan Peswara tanggal 13 Oktober 1900.
-
a) Bahwa KUHPerdata tidak mengenal lembaga pengangkatan anak atau adopsi karena dalam KUHPerdata hanya mengenai adopsi untuk kondisi di luar kawin sebagaimana diatur pada Pasal 280 s.d. 290 KUHPerdata. Ketentuan yang dibuat tersendiri di luar KUHPerdata mengenai pengangkatan anak yaitu melalui Staatblaad 1917 No. 129, di mana ketentuan ini dibuat sebagai pelengkap dari KUHPerdata dan hanya berlaku bagi warga Tionghoa saja. Sedangkan dalam ajaran agama Islam dilarang adanya penyamaan kedudukan anak angkat dengan anak kandung karena prinsip pengangkatan anak di agama Islam adalah pengasuhan saja;
-
b) Bahwa prosedur mengenai pengangkatan anak di Indonesia telah diatur melalui PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Permensos No. 110 / HUK / 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak, yang mana selain prosedur permohonan pengangkatan anak juga diatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi, baik bagi CAA dan COTA, dan bagi masyarakat hukum adat Bali disesuaikan juga dengan Peraturan Peswara tanggal 13 Oktober 1900;
Diharapkan dengan adanya payung hukum mengenai pengangkatan anak ini dapat memberikan edukasi dan/atau pemahaman kepada masyarakat luas, khususnya yang akan melakukan permohonan adopsi dengan memenuhi beberapa syarat maupun prosedur, baik bagi CAA maupun COTA sehingga tujuan dari adanya pengangkatan anak ini yakni semata-mata untuk kepentingan terbaik anak dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta: Kencana
M. Budiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta: Aka Press
Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum. Penerbit Kencana
Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti
R. Soeroso, 2014, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika Offset
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press
Jurnal Ilmiah
Kharisma Galu Gerhastuti, Yunanto, Herni Widanarti, 2017, Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pegadilan Agama Dalam Pengangkatan Anak Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yang Beragama Islam, Diponegoro Law Journal, Volume 6 Nomor 2 Tahun 2017, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro
Muhammad Rais, 2016, Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Perdata (Analisis Komparatif), Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016
Putu Pramarta Wibawa, Ida Bagus; DIKE WIDHIYAASTUTI, I Gusti Agung Ayu, 2016, PENGATURAN MENGENAI PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH SESEORANG YANG TIDAK KAWIN. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], v. 5, n. 1, feb. 2016.
Haedah Faradz, 2009, pengangjatan anak menurut hokum islam Vol 9, No 2 (2009)
Cindy Cynthia,2017. Agung Basuki Prasetyo, Sri Wahyu Ananingsih , tinjauan yuridis terhadap pengangkatan anak yang dilakukan orang tua angkat yang belum menikah, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Indonesia , Vol 6, No 2 (2017)
Sari, Yunita (2016) Perlindungan Hukum terhadap Pengangkatan Anak Secara Illegal Menurut Hukum Islam. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Syafi’i, A. (2007, April 15). adopsi dalam perspektif hukum perdata, hukum dan hukum islam. hunafa ,Vol 4 No 1 (2007): Studi
16
Discussion and feedback