TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA PERKEBUNAN KELAPA KARENA ADANYA KECELAKAAN KERJA TERHADAP BURUH BORONGAN DI DESA AMBYARSARI KABUPATEN JEMBRANA, BALI*

Oleh :

I Made Adiguna Majuarsa**

Ayu Putu Laksmi Danyathi, S.H., M.Kn*** Program Kekhususan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Tanggung jawab pengusaha untuk para pekerja/buruh terjadi karena adanya suatu hubungan kerja, apabila hanya sebatas hubungan kerja borongan maka pemilik usaha tidak bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan kerja yang menimpa pekerja/buruhnya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan kerja antara pemilik perkebunan dengan para buruh pemetik buah kelapa serta tanggung jawab dari pemilik perkebunan apabila terjadi kecelakaan kerja pada buruh pemetik kelapa di perkebunan kelapa Desa Ambyarsari, Kabupaten Jembrana. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan hukum empiris. Berdasarkan hasil penelitian, buruh pemetik kelapa termasuk dalam hubungan kerja borongan dikarenakan hanya sebatas pemberian upah sebesar Rp. 3.000,00 (Tiga Ribu Rupiah) per pohon. Apabila terjadi kecelakaan yang menimpa pekerja/buruh pemilik perkebunan seharusnya pemilik kebun tidak ikut bertanggungjawab dan menanggungnya, dikarenakan pekerja/buruh tersebut hanya hubungan kerja borongan.

Kata Kunci: Hubungan kerja, Pekerja borongan

ABSTRACT

The responsibility of employers for workers / laborers occurs because of an employment relationship, if it is only limited to a piece of labor relations, the business owner is not responsible if a work accident

happens to the worker / laborer. This study aims to determine the working relationship between the plantation owner and the coconut picker workers and the responsibilities of the plantation owner in the event of a work accident at a coconut picker worker in the coconut plantation in Ambyarsari Village, Jembrana Regency. The method used in this research is to use an empirical legal approach. Based on the results of the study, coconut picker workers are included in the contractual work relationship because it is only limited to providing wages of Rp. 3,000.00 (Three Thousand Rupiah) per tree. In the event of an accident that befalls the worker / laborer of the plantation owner, the owner of the estate should not be responsible and bear it, because the worker / laborer is only a piece-work relationship.

Keywords: Employment relations, Wholesale workers

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Dalam melakukan pekerjaan, seseorang dapat berusaha dengan sendiri (wirausaha) ataupun dapat bekerja pada orang lain dan inilah yang berkaitan dengan Hukum ketenagakerjaan. Seorang pekerja/buruh yang bekerja di suatu perusahaan akan terjadinya suatu hubungan kerja. Pekerjai yaitu seluruh orangi yangi mau dani mampu bekerjai dalam melakukani aktivitas kerjai baik untuk diri sendiri maupuni orangi lain.1

Unsur-unsur dari adanya suatu hubungan kerja menurut definisi hubungan kerja dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan) adalah adanya hubungan antara pengusaha dengan pekerja, adanya perjanjian kerja, adanya unsur pekerjaan, adanya unsur upah, dan adanya unsur perintah. Dengan terpenuhinya segala unsur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut maka barulah dapat dikatakan adanya hubungan kerja.

Masih banyak orang belum mengetahui penting adanya suatu perjanjian kerja, perjanjian kerja dibuat oleh pihak pekerja/buruh dengan pihak pengusaha untuk mengatur sendiri aturan yang ingin mereka sepakati Bersama dan dilakukan dengan musyawarah, hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan.2

Apabila sudah terjadinya hubungan kerja maka dari pihak pengusaha wajib mendaftarkan diri dan pekerja/buruhnya menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan pernyataan dalam Peraturani Pemerintah Republik Indonesiai No.44 Tahuni 2015 Tentangi Penyelenggaraani Program Kecelakaani Kerjai dani Jaminani Kematiani (selanjutnya disebut PP No. 44 Tahun 2015) Pasal 4 ayat (1) yang dapat dimaknaii bahwai setiap Pengusahai selaini dari penyelenggarai Negarai harus mendaftarkani dirinyai dani para tenaga kerjanyai sebagai Pesertai dalam Jaminan Kecelakaan Kerja dani Jaminan Kematian program dengani BPJS Ketenagakerjaani sesuai sebagaimana yang telah di tentukan padai ketentuani peraturani perundang-undangan.

Selain itu juga Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU BPJS) yang dapat dimaknai bahwa setiap orang yang bekerja di wilayah Indonesia bahkan Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA) pun wajib di daftarkan, namun untuk WNA minimal sudah bekerja selama 6 bulan di wilayah Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa salah satu

tujuan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.3 Dengan demikian ini merupakan program dari pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan semua pekerja/buruh yang ada di Indonesia.

Seperti halnya perkebunan kelapa milik Bapak I Kadek Karyanawan di Desa Ambyarsari, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, pada saat musim panen sangat sering kesulitan dalam melakukan pemetikan buah kelapa. Maka dari hal tersebut sangat diperlukannya seorang yang memang pekerja/buruh ahli dalam hal pemetikan buah kelapa tersebut agar dapat menghindari resiko yang dapat terjadi. Pemilik perkebunan Bapak I Kadek Karyanawan mengatakan bahwa apabila terjadi kecelakaan kerja ia hanya akan memberikan santunan seadanya saja sesuai dengan keadaan ekonominya.

Salah satu pekerja/buruh pemetik kelapa disana yang bernama Bapak Komang Bayu mengaku bahwa ia hanya dibayar Rp. 3.000,00 (Tiga Ribu Rupiah) untuk satu pohon kelapa. Pak Komang Bayu juga menyatakan bahwa diakhir tahun 2016 lalu ia mempunya teman bekerja, namun temannya terjatuh saat memetik buah kelapa yang mengakibatkan kecelakaan kerja. Teman Pak Komang Bayu pun dioperasi karena tulang bagian lengan kanannya patah akibat terjatuh dari pohon kelapa. Pak Komang Bayu juga mengatakan bahwa pemilik perkebunan hanya memberikan santunan sebesar Rp. 500.000,00 (Lima Ratus Ribu Rupiah), dan pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Pak Kadek Karyanawan selaku pemilik perkebunan tersebut.

Mengingat bahwa pentingnya suatu hubungan kerja serta penting adanya suatu jaminan sosial maka hal ini akan dikaji

dengan kasus nyata seperti pada perkebunan kelapa milik Bapak I Kaden Karyanawan dan pembahasan lebih lanjut akan dilanjutkan dalam penulisan jurnal ilmiah ini dengan judul “TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA PERKEBUNAN KELAPA KARENA ADANYA KECELAKAAN KERJA TERHADAP BURUH BORONGAN DI DESA AMBYARSARI KABUPATEN JEMBRANA, BALI”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah buruh pemetik kelapa bekerja dibawah hubungan kerja?

  • 2.    Apakah pemilik perkebunan bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan kerja pada buruh pemetik kelapa? Dikaji melalui perjanjian kerja.

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Mengetahui hubungan kerja buruh pemetik kelapa.

  • 2.    Mengetahui tanggung jawab dari pemilik perkebunan apabila terjadi kecelakaan kerja pada pekerja/buruh pemetik kelapa.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Metode yangi digunakani oleh peneliti pada penelitiani ini adalah dengani menggunakani pendekatani Hukum Empiris. Ini berarti bahwa hukum dikonsepsikan sebagai gejala empiris yang bisa diamati dalam kehidupan masyarakat yang nyata. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fakta dan pendekatan perundang-undangan.4

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    2.2.1.    Hubungan kerja

Hubungan kerja menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur atau memuat hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha.5 Selanjutnya, pekerja/buruh menurut ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Terjadinya hubungan kerja harus berdasarkan pada suatu perjanjian kerja yang merupakan salah satu bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUHPerdata.6

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan program Jaminan Sodial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Watu Tertentu (selanjutnya disebut Keputusan Menteri) dalam Pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan pekerja borongan dalah tenagakerja yang bekerja pada perusahaan untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima upah berdasarkan atas volume pekerja atau satuan hasil kerja.

Pada KUHPerdata Pasal 1601 a, perjanjian kerja ialah suatu pesetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.

Selanjutnya KUHPerdata dalam Pasal 1601 b, yang dimaksud dengan perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.

Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur Hubungan Kerja dalam Bab IX. Bab IX tersebut terdiri atas Hubungan Kerja (Pasal 50) Bentuk Perjanjian Kerja (Pasal 51 dan Pasal 63), Syarat Sah Perjanjian Kerja (Pasal 52), Pembebanan Biaya yang Timbul (Pasal 53), Isi dan Ketentuan Perjanjian Kerja (Pasal 54-55), Jenis Perjanjian Kerja dan Ketentuannya (Pasal 56-60), Berakhinrya Perjanjian Kerja (Pasal 61-62), dan Ketentuan mengenai Pemborongan Pekerjaan atau Penyediaan jasa Pekerja/Buruh (Pasal 64-66).

Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian antara Pengusaha dan Pekerja/ Buruh.” Berdasarkan Pasal tersebut, bahwa hubungan hanya dapat terjadi antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh.

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan “Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Pengusaha merupakan salah satu dari Pemberi Kerja.

Dengan demikian maka seorang buruh pemetik kelapa tersebut termasuk ke dalam hubungan kerja borongan, dikarenakan sudah memenuhi unsur yang ada dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Unsur pertama yaitu mengenai hubungan pengusaha dengan pekerja hal ini sudah

terpenuhi karena dapat diketahui bahwa pekerja/buruh pemetik kelapa tersebut bekerja di perkebunan kelapa tersebut. Unsur kedua yaitu perjanjian kerja, perjanjian kerja di perkebunan tersebut tidak ada, namun adanya suatu perjanjian borongan. Unsur ketiga yaitu pekerjaan, dapat diketahui bahwa pemilik perkebunan menerima pekerja/buruh tersebut untuk bekerja di perkebunannya sebagai pemetik kelapa. Unsur keempat yaitu upah, pekerja/buruh pemetik buah kelapa sudah sepakat dengan pemilik perkebunan mengenai upah, pemilik perkebunan memberi upah sebesar Rp. 3.000,00 (Tiga Ribu Rupiah) per pohon. Unsur yang terakhir yaitu adanya perintah, sangatlah jelas bahwa pekerja/buruh tersebut diberikan perintah untuk memetik kelapa tersebut.

  • 2.2.2.    Tanggung Jawab Dari Pengusaha Pada Pekerja Harian yang Mengalami Kecelakaan Kerja

Pekerja/buruh dalam melakukan pekerjaannya tidak mengesampingkan kemungkinan kecelakaan di tempat kerja sehingga perlindungan yang jelas diperlukan untuk setiap pekerja/buruh. Perlindungan tenaga kerja disediakan di tempat kerja, dengan memberi tuntutan, fisik maupun teknis, hak asasi manusia, serta perlindungan sosial dan ekonomi dengan norma-norma yang diberlakukan. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ditujukan dalam mewujudkan perlindungan untuk pekerja pada risiko sosial-ekonomi yang menerpa pekerja dalam menjalankan pekerjaan baik yang berwujud sakit, kecelakaan kerja, usia tua dan kematian.7

Berdasarkani Peraturani Pemerintah Republik Indonesiai No.44 Tahuni 2015 Tentangi Penyelenggaraani Program

Kecelakaani Kerjai dani Jaminani Kematiani (selanjutnya disebut PP No. 44 Tahun 2015) Pasal 4 ayat (1) yang dapat dimaknaii bahwai setiap Pengusahai selaini dari penyelenggarai Negarai harus mendaftarkani dirinyai dani para tenaga kerjanyai sebagai Pesertai dalam Jaminan Kecelakaan Kerja dani Jaminan Kematian program dengani BPJS Ketenagakerjaani sesuai sebagaimana yang telah di tentukan padai ketentuani peraturani perundang-undangan.

Pada PPi No.44 Tahuni 2015 dalam Pasal 16 ayat (2) yang menyatakan Besarnya Iuran JKK bagi setiap perusahaan ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan berpedoman pada kelompok tingkat risiko lingkungan kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan. Pada Lampiran I tersebut di tingkat risiko lingkungan kerja ada 5 tingkat yang pertama yaitu : tingkat resiko sangat rendah, tingkat resiko rendah, tingkat resiko sedang, tingkat resiko tinggi, dan tingkat resiko sangat tinggi.

Dalam Lampiran II PP No.40 Tahun 2015 yang pertama mengenai manfaat dari JKK poin a mengenai pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, poin b mengenai santunan berupa uang. Selanjutnya yang kedua mengenai tabel persentase cacat tetap sebagian dan cacat-cacat lainnya.

Perlindungani pekerja ditujukani gunai menjamini hak-hak tenaga kerja dani memastikani pelayanani yangi samai tanpai diskriminasi atas dasar apai puni gunai mewujudkani kesejahteraani tenagai kerjai dani keluargai merekai sambil memperhitungkani kemajuani duniai bisnis.8 Jikai terjadi kecelakaani kerjai terhadap tenaga kerja, perusahaani seharusnyai memberi tanggungi jawab yangi samai dengani tidak membedakani tipe tenagai kerjai itu sendiri sesuai dengani hukum yangi

diberlakukan. Tanggungi jawab yangi seharusnyai diberikani perusahaani untuk kecelakaani kerjai yangi dideritai oleh pekerjai adalah bahwai hal itu bisai dalam wujud jaminani sosial tenagai kerjai atau dalam bentuk kompensasi kecelakaani kerja. Kompensasi kecelakaani kerjai merupakani kompensasi yangi diberikani padai pekerjai yangi menderitai kecelakaan.9

Perjanjian Kerja merupakan hal yang bersifat privat misalnya aturan yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan tersebut masih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengatur tersendiri atau menentukan sendiri ketentuan yang ingin diatur. Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “Penyusunan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.” Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut PKB) diatur di dalam Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Perdaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Selanjutnya disebut PERMEN No. 28 Tahun 2014).

Pasal 24 PERMEN NO. 28 Tahun 2014 tersebut memang mengatur tentang isi dari Perjanjian Kerja Bersama tetapi klausula yang digunakan adalah “Perjanjian Kerja Bersama sekurang-kurangnya harus memuat”. Dengan demikian ketentuan yang dituangkan di dalam suatu perjanjian kerja bersama ditentukan melalui musyawarah oleh para pihak dengan sekurang-kurangnya memuat ketentuan yang dimaksud di dalam Peraturan Menteri tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa ketentuan dari Perjanjian Kerja Bersama dibuat oleh para pihak harus melalui musyawarah/perundingan dan isi ketentuannya dapat lebih dari

apa yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sehingga ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang bersifat Privat.

Undang-undang Ketenagakerjaan memang tidak mengatur secara eksplisit mengenai pekerjaan apa saja yang boleh diperjanjikan, kecuali untuk perjanjian-perjanjian kerja tertentu misalnya pekerjaan yang hanya boleh diperjanjikan dengan Perjanjian kerja waktu tertentu. Dengan demikian ketentuan mengenai pekerjaan dapat dikatakan bersifat privat karena dapat dikembalikan kepada para pihak tetapi bersifat publik apabila terkait jenis perjanjian tertentu.10

Dengan demikian bahwa tidak adanya suatu perjanjian kerja antara pihak pengusaha dengan buruh pemetik kelapa. Namun adanya suatu peranjian borongan sesuai dengan ketentuan Pasal 1601 b KUHPerdata yang dapat dilihat pemilik perkebunan hanya memberi upah Rp. 3.000,00 (Tiga Ribu Rupiah) per pohon. Apabila terjadi suatu kecelakaan kerja yang menimpa pekerja/buruh pemetik kelapa tersebut bukanlah tanggu jawab dari pemilik kebun. Karena buruh pemetik kelapa dengan pemilik kebun tersebut hanya sebatas hubungan kerja borongan.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Buruh pemetik kelapa termasuk dalam hubungan kerja borongan dikarenakan hanya sebatas pemberian upah sebesar Rp. 3.000,00 (Tiga Ribu Rupiah) per pohon.

  • 2.    Pihak pemilik perkebunan seharusnya tidak ikut bertanggungjawab  dan  menanggung apabila terjadi

kecelakaan kerja  yang menimpa pekerja/buruhnya,

dikarenakan pekerja/buruh tersebut hanya hubungan kerja borongan.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Dalam perkembangan usaha industri utamanya industri, sudah menjadi kewajiban pengusaha untuk menjamin hak normatif pekerja dengan adanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha

  • 2.    Pengusaha-pengusaha yang belum mendaftarkan diri dan pekerjanya dalam program BPJS Ketenagakerjaan sebaiknya segera segera medaftarkan dikarenakan mengingat resiko kecelakaan kerja yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Adul Kadir Muhammad. 2014. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandar Lampung.

Asri Wijayanti. 2015. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta.

Eko Wahyudi, 2016, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar Grafika,

Jakarta

Sumarsono, Sonny. 2015. Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Udiana, Made. 2015, Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial, Udayana University Press, Denpasar.

Udiana, Made. 2018, Industrialisasi & Tanggung Jawab Pengusaha Terhadap Tenaga Kerja Terlibat Hukum, Udayana University Press, Denpasar.

Jurnal

Seprninal. 2018. Upaya Perlindungan untuk Mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Ditinjau dari UU. No. 3 Tahun 1992. Jurnal Pahlawan. Vol. 1 Nomor 1.

Susilo Andi Darma, 2017, Kedudukan Hubungan Kerja: Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah    Hukum

Ketenagakerjaan dan Sifat Hukum Publik dan Privat, Mimbar Hukum, Vol. 29 Nomor 2.

Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian.

Peraturan Menteri Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Perdaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

13