TINDAKAN DENUKLIRISASI KOREA UTARA DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
on
TINDAKAN DENUKLIRISASI KOREA UTARA DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL1
OLEH :
Tabitha Eunice Elisabeth Pelupessy2
I Gede Pasek Eka Wisanjaya, S.H., M.H3 Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Denuklirisasi adalah tindakan penghapusan penggunaan dan pengoperasian senjata nuklir oleh suatu atau beberapa negara dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antar negara. Senjata nuklir merupakan senjata yang memiliki tenaga dan reaksi nuklir yang sangat dahsyat dan dapat memusnahkan sebuah kota. Senjata tersebut sudah berada di tangan beberapa negara dan pengoperasian senjata nuklir sudah mulai berkembang di beberapa negara lainnya. Korea Utara merupakan salah satu negara yang memiliki senjata nuklir. Negara ini pun sering mengancam negara yang dianggap musuh, Amerika Serikat, dengan senjata nuklirnya. Selama puluhan tahun negara-negara memiliki dan mengoperasi senjata nuklir, belum ada negara satu pun yang berhasil melakukan denuklirisasi. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan jurnal ini yaitu metode penelitian hukum normatif dipadukan dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, historis, komparatif, konseptual, analitis, dan filsafat terkait. Berdasarkan penelitian, deklarasi Presiden Korea Utara mengenai rencananya untuk melakukan denuklirisasi tidak mencerminkan hukum kebiasaan internasional karena Korea Utara tidak pernah menunjukan itikad untuk mematuhi dan menjalani perdamaian dengan negara lain. Pada kesimpulannya, denuklirisasi secara umum belum dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan yang mencerminkan hukum kebiasaan internasional. Adanya aturan mengenai denuklirisasi dan status senjata nuklir sangat dibutuhkan.
Kata Kunci: Denuklirisasi, Senjata Nuklir, Hukum Kebiasaan Internasional.
ABSTRACT
Denuclearization is an act of eliminating the use and operation of nuclear weapons by a state or several states with a specific aim to achieve nuclear peace between states. Nuclear wepaons are weapons that have the power to destroy a city. These weapons have been in the hands of many states, along with its developments. North Korea is one of nine states that is eccessively developing its weapons. This state alone had already given out threats to a state they call “enemies”, such as The United States of America. For decades, states have owned and operated nuclear weapons, without a single success in denuclearization.The research method used in this journal is a legal normative research method with legislation approaches, cases, historical, comparative, conceptual, philosophy and analysis of legal concepts. Based on the research conducted, the declaration of the North Korean President regarding his plans to denuclearize does not reflect international customary law because this state has never shown their intention in obeying the law which revolves around nuclear weapons, nor have they shown any intention to live in peace with other states. In conclusion, denuclearization in general cannot be said as an act that reflect international customary law. The existence of rules regarding denuclearization and the clear status of where nuclear weapons stand is very much needed.
Keywords: Denuclearization, Nuclear Weapons, Customary
International Law.
Dalam perkembangan negara-negara dewasa ini, sudah jelas bahwa senjata nuklir telah dimiliki oleh beberapa negara dengan alasan tertentu. Hanya saja tidak ada hukum yang mengatur mengenai
legalitas keberadaan senjata nuklir ini, dan Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons Advisory Opinion 1996 tidak dapat menemukan jawaban yang sah, dan juga tidak memiliki sifat mengikat.4 Tidak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa negara yang menginvestasikan pendapatannya ke dalam senjata-senjata nuklir, sebagaimana yang telah disebut dalam Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons Advisory Opinion 1996,
“In order to lessen or eliminate the risk of unlawful attack, States sometimes signal that they possess certain weapons to use in selfdefense against any State violating their territorial integrity or political independence. Whether a signaled intention to use force if certain events occur is or is not a "threat" within Article 2, paragraph 4, of the Charter depends upon various factors”.5
Dalam The Treaty on The Non-Proliferation Of Nuclear Weapons bahwa perjanjian tersebut mengakui kehancuran yang akan mengunjungi umat manusia oleh karena hasil perang nuklir, serta keharusan dalam segala upaya untuk menghindari bahaya perang, keharusan untuk menjaga keamanan masyarakat. Pasal 1 dalam The Treaty on The Non-Proliferation Of Nuclear Weapons mengatakan:
“Each nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes not to transfer to any recipient whatsoever nuclear weapons or other nuclear explosive devices or control over such weapons or explosive devices directly, or indirectly; and not in any way to assist, encourage, or induce any non-nuclear-weapon State to manufacture
or otherwise acquire nuclear weapons or other nuclear explosive devices, or control over such weapons or explosive devices”.
Dari pihak Majelis Umum PBB telah membuat pernyataan bahwa adanya kesadaran mengenai keberadaan dan pengembangan senjata nuklir yang terus berlangsung menimbulkan risiko serius bagi umat manusia, serta yakin bahwa penghapusan senjata nuklir adalah salah satu jaminan yang akan melawan ancaman perang nuklir.6 Korea Utara sepertinya tidak dapat merubah keyakinan mereka dalam program-program nuklirnya, sampai pada tanggal 15 Agustus 2018, Presiden negara Korea Selatan Moon Jae-in mengatakan ketika beliau bertemu dengan Kim Jong Un, di bulan September, kedua pemimpin akan "mengambil langkah berani untuk melanjutkan menuju deklarasi berakhirnya Perang Korea dan penandatanganan perjanjian perdamaian juga sebagai denuklirisasi lengkap dari Semenanjung Korea." Presiden Moon Jae-in menambahkan bahwa "hubungan antar-Korea adalah kekuatan pendorong di balik denuklirisasi Semenanjung Korea." Dan telah di sahkan pada tanggal 19 September 2018.7
Tidak lama setelah itu, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump dan Kim Jong Un bertemu di Singapore (yang kini dikenal sebagai The Singaporean Summit) untuk membahas perdamaian, dan keinginan Amerika Serikat agar Korea Utara melakukan denuklirisasi. Namun, pertanyaan yang timbul dari permasalahan ini adalah, Pertama, bagaimana eksistensi state practice dan opinio juris mengenai kepemilikan dan pengoperasian senjata nuklir dari
perspektif Hukum Internasional, dan, Kedua, apakah denuklirisasi Korea Utara sesuai dengan Hukum Internasional, khususnya yang tertuang di dalam perjanjian internasional dan kebiasaan internasional.
Sesuai dengan uraian dalam latar belakang masalah tersebut yang telah dipaparkan, permasalahan dalam penyusunan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
-
1. Bagaimana eksistensi state practice dan opinio juris mengenai kepemilikan dan pengoperasian senjata nuklir dari perspektif Hukum Internasional?
-
2. Apakah denuklirisasi Korea Utara sesuai dengan Hukum Internasional, khususnya yang tertuang di dalam perjanjian internasional dan kebiasaan internasional?
Tujuan penulisan jurnal ini adalah:
-
1. Untuk mengetahui eksistensi state practice dan opinio juris mengenai kepemilikan dan pengoperasian senjata nuklir dari perspektif Hukum Internasional.
-
2. Untuk mengetahui apakah denuklirisasi Korea Utara sesuai dengan Hukum Internasional, khususnya yang tertuang di dalam perjanjian internasional dan kebiasaan internasional.
-
II. Isi Makalah
-
2.1 Metode Penelitian
-
Jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini memiliki fokus untuk mendapat kebenaran normatif secara ilmiah, dan menjadikan konsep hukum atau pengertian asas hukum sebagai objek penelitian,8 dengan Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Khasus, Pendekatan Historis, Pendekatan Komparatif, Pendekatan Konseptual, Pendekatan Analitis, Pendekatan Filsafat.9
Sejak penemuan dan penggunaan pertama senjata nuklir pada tahun 1945, prediksi mengenai proliferasi senjata nuklir tidak terlalu dianggap secara serius. Saat ini hanya 9 (Sembilan) negara yang diyakini memiliki dan mengoperasi senjata nuklir, yaitu, Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok (Cina), Inggris, Perancis, India, Pakistan, Israel dan Korea Utara. Meskipun beberapa negara telah mengoperasikan senjata nuklirnya dalam 65 tahun terakhir, beberapa ahli berpendapat bahwa secara total 39 negara bagian pernah terlibat kegiatan senjata nuklir. Kebanyakan dari mereka, cepat atau lambat, berambisi untuk mendapatkan senjata ini. Apalagi sejak paruh kedua 1980-an, jumlah negara dengan kegiatan yang berhubungan dengan senjata nuklir menjadi relatif rendah.10
Tingkat ketergantungan negara akan kepemilikan senjata nuklir sangat berkaitan dengan ada atau tidaknya nilai keuntungan senjata nuklir untuk misi-misi tertentu. Misi dapat terwujud secara efektif, atau tidak, tanpa senjata nuklir.11 Sejak saat senjata ini ditemukan, hampir setiap negara berkeinginan untuk memiliki senjata nuklir karena merupakan senjata militer paling canggih dan kuat.12
State Practice merupakan cara negara berperilaku yang membentuk dasar hukum kebiasaan, namun bukti tentang apa yang dilakukan negara hanya dapat diperoleh dari beberapa sumber. Contoh nyata yaitu tindakan admisnistratif, undang-undang, keputusan pengadilan dan pembuatan perjanjian.13 Sesuai dengan Article 38 of The International Court of Justice Statute, hukum kebiasaan internasional harus berawal dan berlanjut dari “general practice of state”14 dan “consistency of the practice.”15
Sebelum suatu praktik dapat ditetapkan sebagai hukum kebiasaan, maka sangatlah penting untuk memastikan bahwa tindakan tersebut diikuti oleh sejumlah negara secara signifikan.16 Negara Rusia dan Amerika Serikat bersama-sama memiliki sebuah perjanjian yaitu Intermediate-Range Nuclear Force Treaty 1987 (INF Treaty).17
Adapun beberapa bukti yang termasuk realisasi State Practice dengan konsistensi State Practice negara-negara tersebut yang dapat disimpulkan sebagai tindakan umum. Tiongkok, pada bulan Desember 2013, menerbitkan edisi terbaru dari The Science of Military Strategy yang menjelaskan bahwa senjata nuklir memainkan peran yang sangat terbatas dalam strategi militer Tiongkok dan juga menyatakan bahwa, “China will not use nuclear weapons to attack or threaten non-nuclear states; China will not use nuclear weapons to respond to conventional attacks; and China will use nuclear weapons only after it has confirmed an incoming nuclear attack.”18
Perancis telah sangat mengurangi persenjataan nuklirnya sejak tahun 1990 dan alasan Perancis untuk melakukan hal tersebut adalah karena pembatasan anggaran; suatu kebijakan yang disebut sebagai “strict sufficiency”.19 India sebagai NWS, memiliki sebuah kebijakan yaitu No First Use (NFU) yang mengacu kepada janji atau kebijakan untuk tidak menggunakan senjata nuklir sebagai alat perang kecuali diserang lebih dulu oleh musuh yang menggunakan senjata nuklir.20 Inggris adalah satu-satunya NWS yang menyebarkan kapal selam rudal balistik sebagai sarana pengiriman senjata nuklir.21
Kebanyakan ahli hukum berpendapat bahwa “durasi” memiliki hubungan terbalik dengan konsistensi; semakin pendek durasi sebuah
tindakan, maka tindakan tersebut pasti konsisten. Atas dasar prinsip ini, hukum kebiasaan dapat berkembang dalam waktu yang singkat.22 Hingga saat ini, kesembilan negara-negara yang dinyatakan memiliki dan mengoperasi senjata nuklir, belum atau mungkin tidak akan melakukan tindakan denuklirisasi. Dapat disimpulkan bahwa denuklirisasi bukanlah sebuah state practice yang mencerminkan konsistensi.
Prinsip-prinsip moral dianggap netral dan tidak memihak pada tatanan sosial dan politik; yang mengikat secara universal dalam ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri.23 Senjata nuklir tidak melayani kebaikan bersama, melainkan melanggar prinsip dasar hak asasi manusia.24
Korea Utara pertama kali menggunakan istilah “nuclear deterrent” pada 6 Juni 2003, dan mengumumkan pengunduran diri dari NPT pada 10 Januari 2003, negara tersebut menyatakan tidak berniat untuk mengembangkan senjata nuklir dan kegiatan nuklir pun akan dibatasi untuk produksi listrik. Lima (5) bulan kemudian, Korea Utara telah mengembangkan senjata nuklir.25 Pengunduran diri Korea Utara dari NPT dapat dimaknai sebagai itikad untuk tidak mematuhi norma yang membatasi penggunaan senjata nuklir. Pengunduran diri Korea Utara dari NPT dapat ditarik kesimpulan bahwa selama negara
ini melibatkan dirinya dengan nuklir, tidak ada momentum apapun yang dapat diartikan sebagai “kepatuhan” Korea Utara terhadap NPT. Bahkan hingga saat ini, Korea Utara terus menjunjung tinggi ambisinya untuk semakin memajukan teknologi dan kemampuan senjata nuklirnya.
Korea Utara sama sekali tidak terisolasi dalam penentangannya terhadap NPT. Program nuklir Korea Utara tidak dapat dipahami dalam ruang hampa, melainkan harus dilihat dari sudut pandang persaingan Perang Dingin.26 Pada saat yang sama, dengan membantu program nuklir Korea Utara, Moskow memberikan informasi kepada Korea Utara yang berpotensi dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir.27 Dari sikap Korea Utara yang merahasiakan segala informasi dari IAEA saat Statuta IAEA mewajibkan semua negara anggota untuk menkomunikasikan informasi energi atom atau nuklir mereka28, menunjukan bahwa Korea Utara hampir tidak memiliki niat untuk menunjukan sebuah itikad baik, atau kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional serta resolusi-resolusi lainnya yang diterbitkan dengan tujuan untuk menjaga perdamaian dan kemanan internasional.
-
1. Cara negara berperilaku dianalisis juga melalui perilaku yang merupakan tindakan umum, dan konsistensi sebuah
negara dalam berperilaku. Seperti halnya dengan Amerika Serikat yang memiliki perjanjian Intermediate-Range Nuclear Force Treaty dengan Rusia, Amerika Serikat yang memiliki Federal Register Executive Order tahun 2000 yang mengatur tentang perlindungan pekerja-pekerja nuklir, India dengan kebijakan no-first-use, Tiongkok dengan kebijakan no-first-use, Perancis dengan kebijakan dana pengembangan senjata nuklir yang memiliki batas maksimum yang relatif sedikit, Inggris yang memiliki kapal selam sebagai sarana patroli dengan senjata nuklir. Negara-negara yang memiliki general practice mengenai senjata nuklir tidak memiliki konsistensi akan denuklirisasi, sebagaimana halnya dengan Korea Utara. Opinio juris merupakan alasan di balik perilaku atau tindakan-tindakan negara, opinio juris dianalisis dari pernyataan pejabat tinggi negara-negara. Hasil dari analisis pernyataan-pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa negara-negara yang memiliki senjata nuklir tidak mendekati denuklirisasi, maka denuklirisasi tidak mencerminkan opinio juris.
-
2. Denuklirisasi Korea Utara tidak sesuai dengan perjanjian internasional di bidang kepemilikan dan pengoperasian senjata nuklir. Korea Utara terlihat tidak patuh terhadap norma dan prinsip dalam perjanjian internasional di bidang senjata nuklir, khususnya Non-Proliferation Treaty. Selain itu, tindakan Korea Utara tidak mencerminkan implementasi terhadap kebiasaan internasional yang berakar dari kebijakan dan tindakan Korea Utara yang
bertentangan dengan state practice, serta pernyataan pejabat tinggi Korea Utara yang tidak mendukung opinio juris di bidang kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir.
-
1. Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang merupakan organisasi internasional terbesar di dunia, diperlukan untuk segera memiliki solusi terhadap permasalahan senjata nuklir dalam bidang legal dan ilegalnya pengembangan dan kepemilikan senjata nuklir, serta menjunjung tinggi tindakan denuklirisasi.
-
2. Kepada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang sudah beroperasi saat ini untuk sebaiknya melanjutkan program nuklir yang dapat dimanfaatkan untuk energi listrik. Selain pentingnya nuklir sebagai energi listrik, kemungkinan menjadi Nuclear Weapon State perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia sebagai instrumen perdamaian antara negara-negara. Jika
Indonesia akan menjadi Nuclear Weapon State, maka setidaknya pemerintah Indonesia mencerminkan kebijakan yang dimiliki oleh India dan Tiongkok, yaitu kebijakan no-first-use.
DAFTAR PUSTAKA
Kim, Sung Chull, Michael D. Cohen, 2017, North Korea and Nuclear Weapons: Entering the New Era of Deterrence, George Town University Press, Washington D.C.
Soekanto, Soerjono, dan Mamudji, Sri, 1990, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta.
Shaw, Malcolm N., 2008, International Law, Cambridge University
Press, United Kingdom.
International Court of Justice, 1996, Advisory Opinion on The Legality of The Threat or Use of Nuclear Weapons, ICJ 2, available at https://www.icj-cij.org/files/case-related.
Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty Implementation, Arms Control, United States General Accounting Office, September 1991 (GAO/NSIAD-91-262 INF Treaty Implementation).
The Statute of the IAEA 1957.
D. Artikel/Jurnal
Boniface, Pascal, 1998, “French Nuclear Weapons Policy after the Cold War”, The Atlantic Council of the United States Occasional Paper.
Charlesworth, H.C.M, 1987, “Customary International Law and the Nicaragua Case”, Australian Yearbook of International Law.
Cohen, Avner, 1987, “A Review of Douglas P. Lackey Moral Principles and Nuclear Weapons“, Philosophy and Society Series, The University of Chicago.
Davis, Ian, 2019, “How Much Does The UK Spend on Nuclear Weapons?”, The British American Security Information Council.
Kulacki, Gregory, 2015, “The Chinese Military Updates China’s Nuclear Strategy”, The Union of Concerned Scientists.
Meer, Sico Van der., 2016, “States’ Motivation to Acquire or Forgo Nuclear Weapons: Four Factors of Influence”, Journal of Military and Strategic Studies, Vol. 17, Issue 1.
Sokov, Nikolai, 2002, “Why Do States Rely on Nuclear Weapons? The Case of Russia and beyond”, The Non Proliferation Review, Monterey Institute of International Studies, California.
Sundaram, Kumar, M.V. Ramana, 2018, “India and The Policy of No First Use of Nuclear Weapons”, Journal for Peace and Nuclear Disarmament, 10.1080/25751654.2018.1438737.
Szalontai, Balazs, Sergey Radchenko, 2006, “North Korea’s Efforts to Acquire Nuclear Technology and Nuclear Weapons: Evidence from Russian and Hungarian Archives”, Cold War International History Project, Working Paper No. 53.
Weisburd, Mark A., 2009, “The International Court of Justice and The Concept of State Practice”, Carolina Law Foundation, Vol. 31.
E. Website
Chronology of US and North Korea Nuclear and Missile Diplomacy, September 19 2018, www.armscontrol.org, diakses pada tanggal 20 September 2018.
15
Discussion and feedback