CYBER TRAFFICKING DALAM HUKUM INTERNASIONAL
on
CYBER TRAFFICKING DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Oleh
Esther Sabatini Assa
Dr. Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LLM.
ABSTRACT
Despite what people may think, slavery is not a thing of the past; there are so many men, women, and children trapped in a modernized slavery that is known as ‘human trafficking’. With the technoligical advances that are being made, it is evolving into cyber trafficking is now a common phenomenon that often slips under the radar. This research is for the purpose of ensuring the safety of humanity, especially the younger generation. The juridical normative method is used in this research along with the document study technique. There is not yet a specific international legal instrument that regulates cyber-human trafficking, therefore one is needed. With the rapid development of technology, the existing arrangements will not able to keep up with the issue in the near future.
Keywords: Cyber Trafficking, Cybercrime, International Law
ABSTRAK
Perbudakan bukanlah sesuatu yang telah ditiadakan; terdapat begitu banyak pria, wanita, dan anak-anak yang terjebak dalam perbudakan modern yang dikenal sebagai ‘perdagangan manusia’. Dengan kemajuan teknologi yang ada, perdagangan manusia berkembang menjadi cyber trafficking yang kini menjadi fenomena umum di kalangan tertentu yang cukup tersembunyi dari masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk memastikan keselamatan uman manusia, terutama generasi muda. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta teknik studi dokumen. Dibutuhkan instrumen hukum internasional yang mengatur cyber trafficking secara khusus karena dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, pengaturan yang ada tidak akan mampu menangani masalah ini kedepannya.
Kata Kunci: Cyber Trafficking, Kejahatan Siber, Hukum Internasional
Internet adalah bagian yang sangat penting pada zaman ini sebab dapat dikatakan bahwa dengan setiap kemajuan yang terjadi di internet adanya juga kemajuan dalam bidang kehidupan manusia. Di era globalisasi ini internet digunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda tergantung dengan kebutuhannya. Pada umumnya, internet digunakan untuk berbagai hal positif seperti bekarja atau rekreasi, namun, adapun orang-orang yang menggunakan internet untuk hal negatif yang merugikan orang lain, yaitu cybercrime.
Cybercrime merupakan suatu istilah yang mengacu pada aktivitas kejahatan dengan menggunakan komputer ataupun jaringan komputer sebagai alat, sasaran, atau lokasi terjadinya kejahatan. Karakteristik dari cybercrime adalah sebagai berikut: ruang lingkup kejahatan yang bersifat global, sifat kejahatannya yaitu: non-violence; pelaku kejahatan yang bersifat lebih
universal; modus kejahatan yaitu dengan menggunakan teknologi informasi; dan jenis kerugian yang ditimbulkan yaitu dapat bersifat material maupun nonmaterial.
Cybercrime dapat terjadi pada 4 bagian dari internet, yaitu open web (konten dapat diakses secara publik dan IP address-nya terlihat), deep web (konten hanya dapat diakses secara privat tapi IP address-nya terlihat), dark web (konten dapat diakses secara publik tapi IP address-nya tersembunyi), dan deep and dark web (konten hanya dapat diakses secara privat dan IP address-nya tersembunyi).1 Terdapat banyak jenis cybercrime yang dapat dilakukan di open web, dan adapun juga jenis-jenis cybercrime yang dilakukan di bagian internet yang tersembunyi. Dapat disimpulkan bahwa kejahatan-kejahatan yang lebih ekstrim akan dilikukan di dark web dan juga deep and dark web. Hal ini dikarenakan IP address dari pelaku telah tersembunyi. Salah satu cybercrime yang berlangsung pada bagian dark web adalah cyber trafficking.
Menurut Greiman dan Bain, “‘Cyber trafficking’ adalah ‘transportasi manusia’, dengan menggunakan sistem komputer, layanan internet, perangkat seluler, layanan papan bulletin lokal, atau perangkat apa pun yang mampu menyimpan atau mentransmisikan data elektronik untuk memaksa, menipu, atau menyetujui untuk tujuan ‘eksploitasi’. Eksploitasi mencakup, sekurang-kurangnya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa atau layanan, perbudakan atau praktik yang mirip dengan perbudakan dan perhambaan. ‘Transportasi manusia’ berarti perekrutan, pengiklanan, pembujukan, pentransportasian, penjualan, pembelian, pentransferan, penyembunyian atau penerimaan orang, untuk tujuan eksploitasi dengan atau tanpa persetujuan dari korban.”2
Terdapat banyak bentuk trafficking yang menggunakan internet sebagai sarana untuk pengerahan ataupun perekrutan korban dan juga untuk mengiklankan ‘jasa dan produk’ yang diperdagangkan. Mereka yang terlibat dalam kejahatan tersebut memfasilitasi proses trafficking ini melalui internet. Sejak saat pelaku menggunakan internet sebagai alat untuk melakukan trafficking tersebut maka pada saat itulah dianggap sebagai cybercrime.3
National Human Trafficking Hotline di Amerika telah menemukan bahwa perekrutan untuk cyber trafficking banyak terjadi di media sosial seperti, Instagram, Facebook, Snapchat, Kik, Meetme, dan WhatsApp, serta juga situs/aplikasi kencan seperti Tinder, Grindr, dan Plenty of Fish. Pelaku dapat membangun suatu hubungan intim dengan korban melalui media tersebut ataupun mengiklankan peluang kerja palsu ataupun penipuan lainnya.4 Generasi muda adalah kelompok yang sangat rentan terhadap masalah cyber trafficking ini karena hampir semuanya telah menggunakan setidaknya salah satu dari media sosial tersebut. Bukan hanya itu, namun orang muda, karena kurangnya pengalaman hidup, berkemungkinan besar untuk menjadi target
dari cyber trafficking sebab lebih mudah untuk mempengaruhi pikiran mereka yang masih belum matang.
Penulisan ini bertujuan untuk memahami, mendalami, dan menganalisis cyber trafficking dalam hukum internasional, baik pengaturannya maupun penegakannya, agar supaya dapat memberi suatu pemahaman tentang bahayanya cyber trafficking serta menyadarkan masyarakat nasional maupun internasional akan isu tersebut.
-
II. ISI MAKALAH
-
2.1 Metode Penelitian
-
2.1.1 Jenis Penelitian
-
-
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Soekanto dan Mamudji berpendapat bahwa penelitian hukum normatif dilakukan dengan meneliti bahan pustaka ataupun data sekunder. Ini mencakup penelitian asas-asas hukum, penelitian sistematika hukum, penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.5 Objek penelitian hukum dengan karakteristik keilmuan normatif adalah norma-norma hukum yang tersebar dalam peraturan-peraturan hukum primer dan peraturan-peraturan hukum sekunder.6
-
2.1.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (a) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach / menggunakan legislasi dan regulasi);7 (b) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical and Conseptual Approach / mengetahui makna istilah-istilah dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional serta juga mengetahui mengenai penerapan dalam putusan dan praktik hukum);8 (c) Pendekatan Kasus (The Case Approach / menelaah suatu kasus hasil putusan pengadilan dengan kekuatan tetap);9 dan (d) Pendekatan Sejarah (The Historical Approach / semua aturan perundang-undangan mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri).10
-
2.1.3 Analisis
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
1. Teknik deskripsi: Uraian terhadap kondisi / posisi proposisi hukum atau non-hukum;
-
2. Teknik interpretasi: Penggunaan berbagai jenis interpretasi ilmu hukum seperti interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi sistematis, interpretasi teleologis, interpretasi kontekstual, serta interpretasi lainnya;
-
3. Teknik sistematisasi: Mencari kaitan rumusan konsep / proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Pengaturan Cyber Trafficking dalam Hukum Internasional
-
Cyber Trafficking dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kejahatan internasional, namun belum terdapat instrument hukum internasional yang secara spesifik mengatur tentang cyber trafficking. Meskipun belum ada instrumen yang mengaturnya secara khusus, pengaturannya tersebar dalam berbagai instrumen hukum internasional. Berikut akan diuraikan beberapa sumber hukum internasional yang substansinya berkaitan dengan cyber trafficking.
-
1. Perjanjian Internasional
-
a) United Nations Convention against Transnational Organized Crime
Pasal 3 dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons memberi keterangan mengenai definisi ‘perdagangan manusia’. Menurut huruf (c) dari Pasal tersebut, apabila menyangkut seorang anak, maka walaupun cara perekrutan, transportasi, pemindahan, penyimpanan ataupun penerimaan tidak termasuk cara-cara yang ditentukan pada huruf (a), tetap dikategorikan sebagai ‘perdagangan manusia’. Dengan ini, dapat dilihat bahwa protokol ini memang memprioritaskan keselamatan anak.
-
b) United Nations Convention on the Rights of the Child
-
i. Pasal 19 menjelaskan mengenai langkah yang seharusnya diambil oleh pihak negara demi keselamatan anak. Khususnya disebut dalam ayat 1 ‘orang tua atau wali’, karena memang merupakan suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa orang tua ataupun wali dari seorang anak yang akan seringkali mengeksploitasikan mereka.
-
ii. Pasal 34 mengharuskan negara untuk lebih memperhatikan dan melindungi anak dalam hal pengeksploitasian dan siksaan secara seksual dalam bentuk apapun. Hal ini dapat berupa pelacuran, pornografi, dan lain sebagainya.
-
c) Council of Europe Convention on Cybercrime
Pasal 9 menjelaskan mengenai pornografi anak serta dengan penyimpanan dan penyebarannya melalui suatu sistem komputer. Ayat 2 lebih khusus menjelaskan maksud dari pornografi anak, yaitu bahan/materi yang secara jelas menggambarkan anak melakukan suatu perilaku seksual.
-
d) Council of Europe Convention on the Protection of Children against Sexual Exploitation and Sexual Abuse
-
i. Pasal 18 melarang untuk mengeksploitasikan anak dengan cara apapun, namun tidak semuanya berlaku untuk sesama anak di bawah umur yang
melakukan kegiatan seksual secara konsensual sehingga dapat dikatakan bahwa pasal ini lebih fokus pada hubungan seksual antara seorang dewasa dan seorang anak.
-
ii. Pasal 19 menjelaskan mengenai kegiatan pelacuran anak. Dengan pasal ini dapat disimpulkan bahwa seorang ibu ataupun ayah tidak dapat menyuruh ataupun memaksa anaknya untuk melakukan kegiatan pelacuran agar dapat menghasilkan uang, dan dengan teknologi yang ada pada zaman ini, maka sangat mudah untuk orang tua melacurkan anaknya dengan mempostingkan foto ataupun video anaknya di internet untuk menarik pelanggan.
-
iii. Pasal 20 menjelaskan mengenai pornografi anak yang dilarang dan juga apa yang bisa disebut ‘tidak dilarang’. Untuk ayat 1 dari pasal ini, selain dapat dilakukan secara manual, dapat juga dilakukan melalui komputer dan internet. Huruf a dapat dilakukan via webcam; huruf b sampai dengan d dapat dilakukan via internet; huruf e dapat disimpan di dalam komputer; dan huruf f dapat dilakukan via internet.
-
iv. Pasal 21 menjelaskan mengenai partisipasi seorang anak dalam pertunjukan porno. Pertunjukan-pertunjukan ini secara nyata dapat dilakukan secara langsung ataupun melalui siaran di internet.
-
v. Pasal 23 mengatur mengenai anak yang diusulkan/disarankan untuk bertemu dengan seorang dewasa untuk suatu tujuan seksual. Dengan frasa ‘melalui teknologi informasi dan komunikasi’, maka dapat disimpulkan bahwa usul/saran tersebut dapat dilakukan melalui internet dari chatroom, forum, ataupun cara lainnya. Hal ini dapat dianggap sebagai online grooming, yang biasanya melibatkan orang dewasa yang berusaha untuk mendekati dan membangun suatu hubungan dekat dengan seorang anak di bawah umur dengan maksud untuk melecehkannya secara seksual.
-
2. Kebiasaan Internasional
-
a) Slavery (Perbudakan)
Apabila melihat sekilas dari sejarah, tidak ada satu hari tanpa adanya kasus perbudakan anak; pada masa sekarang pun, masih sering bertentangan dengan norma dan hukum nasional dan internasional. Larangan akan perbudakan diakui sebagai hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara terlepas dari apakah negara tersebut telah menjadi pihak dari satu atau lebih perjanjian yang secara khusus melarang perbudakan. Larangan-larangan hukum kebiasaan internasional ini telah dikodifikasikan dalam Slavery Convention 1926. Slavery dapat dibuktikan sebagai suatu kebiasaan internasional dengan melihat hukum yang ada di berbagai negara. Sebagai contoh: di Inggris dan Wales terdapat Modern Slavery Act 2015 yang dirancang sebagai alat hukum untuk melawan permasalahan perbudakan yang lebih modern; di Kanada terdapat Upper Canadian Act of 1793 Against Slavery yang tidak memperbolehkan mengimpor budak dan juga membebaskan seorang anak yang lahir dari seorang budak setelah berusia dua puluh lima tahun, dan juga sejak akhir 2018 mulai
merancang undang-undang yang lebih mengatur mengenai modern slavery;11 di Indonesia, larangan akan perbudakan dapat ditemukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam Pasal 74 ayat (2) huruf a jo Pasal 183 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta dalam Pasal 4 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
-
b) Torture (Penyiksaan)
Teks dari Convention against Torture telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Sejak konvensi ini mulai berlaku, larangan absolut terhadap penyiksaan dan tindakan atau hukuman kejam lainnya, yang tidak manusiawi ataupun merendahkan martabat telah diterima sebagai suatu hukum kebiasaan internasional. Torture dapat dibuktikan sebagai suatu kebiasaan internasional dengan melihat hukum yang ada di berbagai negara. Sebagai contoh: di Australia terdapat Crimes Legislation Amendment (Torture Prohibition and Death Penalty Abolition) Act 2010; di Madagaskar terdapat Loi No. 2008 – 008 du 25 Juin 2008 contre la torture et autres peines ou traitements cruels, inhumains ou dégradants; larangan torture di Swiss terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 25 Constitution fédérale de la Confédération Suisse du 18 Avril 1999.
-
3. Prinsip Hukum Umum
-
a) Prinsip Persamaan Derajat
Prinsip persamaan derajat, yaitu prinsip yang mendasarkan bahwa semua negara memiliki kedudukan yang derajatnya adalah sama; negara kecil ataupun negara besar sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan internasional.12 Dengan kata lain, prinsip ini mengatakan bahwa semua negara yang ada mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Bersangkutan dengan isu yang dibahas, artinya bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk memperhatikan masalah cyber trafficking yang terjadi dalam negaranya.
-
b) Prinsip Tanggungjawab Negara
Inti dari prinsip tanggung jawab negara adalah bahwa setiap tindakan kesalahan yang dilakukan suatu negara secara internasional harus dipertanggungjawabkan oleh negara tersebut. Tindakan negara yang melanggar kewajiban internasional menjadi suatu kesalahan secara internasional bahkan jika tindakan tersebut tidak melanggar hukum internal negara itu sendiri. Demikian pula, konsekuensi dari penemuan akan tanggung jawab tersebut terletak dalam hukum internasional. Terdapat dua elemen untuk menentukan apakah telah terjadi suatu tindakan kesalahan secara internasional: pertama, apakah tindakan atau kelalaian tersebut disebabkan oleh negara yang bersangkutan berdasarkan hukum internasional; kedua, apakah tindakan atau kelalaian tersebut merupakan
pelanggaran kewajiban internasional negara yang berlaku pada waktu yang relevan.13 Negara dapat diberi tanggung jawab internasional untuk tindakan yang dilakukan secara pribadi dalam kasus tindakan atau kelalaian tersebut dilakukan oleh organ dari negara itu sendiri; di mana organ tersebut bersalah karena tidak melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk mencegah tindakan merugikan dari seorang individu atau untuk memberikan hukuman sesuai.14
Prinsip best interests of the child adalah prinsip yang diterima oleh berbagai negara dan telah diabadikan dalam hukum internasional melalui Convention on the Rights of the Child. Menilai suatu best interest of a child berarti untuk mengevaluasi dan menyeimbangkan semua elemen yang diperlukan untuk membuat keputusan dalam situasi tertentu untuk seorang ataupun sekelompok anak tertentu. Prinsip ini terdapat dalam sejumlah instrumen hukum dan kebijakan khusus yang berhubungan dengan perdagangan manusia, termasuk European Trafficking Convention. Konvensi South Asia Association for Regional Cooperation mengharuskan negara-negara pihak untuk menjunjung tinggi best interests of the child sebagai prinsip yang sangat penting dan untuk mematuhi prinsip ini dalam semua tindakan menyangkut anak-anak. United Nations Trafficking Principles and Guidelines dan United Nations Children’s Fund Guidelines mengidentifikasi best interests of the child sebagai suatu prinsip umum yang harus diingat pada setiap tahap perawatan dan perlindungan anak korban perdagangan manusia di negara tujuan, negara transit, dan negara asal. Prinsip ini juga telah berulang kali ditegakkan dalam konteks perdagangan manusia dalam relosusi-resolusi United Nations Human Rights Council dan telah diusulkan sebagai bagian dari United Nations Office of Drugs and Crime Model Law.15
“Kejahatan terorganisir adalah suatu kejahatan yang mempercayakan penyelenggaraannya pada seseorang; dalam menentukan pembagian kerjanya terdapat seorang penaksir, pengumpul dan pemaksa.”16 Dapat ditarik kesimpulan dari doktrin tersebut bahwa kejahatan terorganisir dilakukan oleh sekelompok orang yang saling membagi tugas agar kejahatan tersebut dapat terlaksana.
“Perdagangan manusia adalah suatu proses yang terdiri dari ‘tindakan’, ‘sarana’ dan ‘tujuan’. Perdagangan manusia termasuk dalam spektrum eksploitasi, yang pada titik ekstrimnya dapat menjadi bentuk dari perbudakan.”17 Inti dari doktrin tersebut adalah bahwa perdagangan manusia adalah suatu | |
h.222 |
7 |
proses yang, jika dilakukan dengan ekstrim, dapat dikategorikan sebagai perbudakan.
-
c) Dr. M.N. Sirohi
“Secara umum, cybercrime adalah segala kegiatan di mana suatu komputer atau jaringan adalah alat, target ataupun tempat terjadinya kegiatan kriminal. Dalam beberapa kasus tertentu, cybercrime dapat berarti suatu kegiatan ilegal, ataupun dianggap ilegal, yang dilakukan dengan dimediasi oleh komputer dan dapat dilakukan melalui jaringan elektronik global.”18 Esensi dari doktrin tersebut adalah bahwa cybercrime merupakan kegiatan criminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi seperti komputer dan jaringan telekomunikasi global.
-
5. Yurisprudensi
-
a) Case of Rantsev v. Cyprus and Russia19
Kasus ini adalah mengenai OR, wanita Rusia yang berniat bekerja di Siprus sebagai ‘artis’ di sebuah kabaret. Setelah tiga hari bekerja di cabaret tersebut, OR menghilang dan ditemukan beberapa hari kemudian di sebuah diskotik oleh MA, saudara lelaki dari pemilik kabaret. OR dibawa ke pihak kepolisian, namun dipulangkan bersama MA. MA membawa OR kembali ke apartemen tempat tinggal para karyawan dan menjaganya sehingga ia tidak bisa lagi lari. Keesokan harinya OR ditemukan dalam keadaan tewas. Sehubungan dengan isu cyberhuman trafficking, kasus ini mempertegas bahwa negara-negara harus mengatur akan bisnis-bisnis yang sering digunakan untuk menutupi praktik perdagangan manusia serta megawasi para pendatang/imigran (tujuan kedatangan mereka).
-
b) J. and Others v. Austria20
Kasus ini membahas negara Austria yang telah memenuhi kewajiban untuk mengidentifikasi, melindungi, dan mendukung Ibu J, Ibu G, dan Ibu C (warga negara Filipina) yang berpotensial menjadi korban perdagangan manusia. Ketika ketiga ibu tersebut mengambil pekerjaan sebagai pengasuh di Dubai, paspor mereka disita oleh majikannya dan mereka dipaksa untuk bekerja tanpa dibayar serta juga diancam secara fisik dan mental. Suatu saat, majikannya membawa mereka ke Wina untuk melaksanakan tugas sebagai pengasuh selagi berlibur. Setelah beberapa hari, ketiga ibu tersebut meninggalkan keluarga majikannya dan melaporkan kondisi mereka kepada pihak kepolisian. Dalam kasus ini, pengadilan memutuskan bahwa negara Austria telah memenuhi kewajibannya karena ketiga ibu tersebut telah diwawancarai oleh petugas kepolisian yang terlatih secara khusus untuk menangani korban perdagangan manusia (mengidentifikasi), dikenakan larangan pengungkapan data pribadi (personal data disclosure ban / melindungi), dan diberi izin menetap serta izin kerja (mendukung). Sehubungan dengan cyber-human trafficking, hasil dari kasus ini
menunjukkan bahwa adanya langkah-langkah untuk melindungi mereka yang menjadi korban, meskipun seringkali korban dari cyber-human trafficking masih dapat dikatakan berstatus sebagai korban ‘potensial’.
-
2.2.2 Penegakan Hukum Internasional terhadap Kasus Cyber Trafficking
Penegakan hukum internasional terhadap kasus cyber-trafficking akan berbeda tergantung pada kasusnya karena berbagai faktor, yaitu sebagai berikut:
-
1. Yurisdiksi dalam Cyberspace
Secara sederhana, cyberspace adalah ranah jaringan komputer beserta penggunanya di mana informasi disimpan, dibagikan, dan dikomunikasikan secara online. Peter Singer dan Allen Friedman21 menjelaskan lebih lanjut mengenai cyberspace sebagai berikut: “Sama seperti manusia yang membagi dunia secara artifisial menjadi wilayah yang disebut ‘bangsa’ dan membagi spesies manusia menjadi berbagai kelompok yang berbeda yang disebut ‘kebangsaan’ atau ‘etnis’, hal yang sama dapat dilakukan dengan cyberspace. Cyberspace bergantung pada infrastruktur fisik dan pengguna manusia yang keduanya terikat secara geografis, artinya juga tunduk pada konsep seperti kedaulatan, kebangsaan, dan harta milik.” Dengan kata lain, pembagian cyberspace sama nyatanya dengan garis-garis imaginer yang memisahkan Indonesia dari Malaysia ataupun Provinsi Sulawesi Utara dari Provinsi Gorontalo sehingga bisa juga tunduk kepada prinsip-prinsip yurisdiksi sebagai berikut:
-
a) Territoriality Principle (Prinsip Teritorialitas) yang memungkinkan negara untuk menyuruh service providers yang beroperasi dalam wilayahnya untuk mematuhi peraturan negara tersebut, termasuk membatasi akses ke situs web tertentu.
-
b) Nationality Principle (Prinsip Nasionalitas) berlaku secara hukum dan perorangan sehingga service providers, dalam berbagai kasus, akan tunduk pada yurisdiksi suatu negara sesuai dengan prinsip nasionalitas.
-
c) Effects Principle (Prinsip Efek) dapat diterapkan ketika suatu tindakan yang dilakukan di suatu negara menyebabkan kerusakan/kerugian pada wilayah negara lainnya.
-
d) Protective Principle (Prinsip Perlindungan) yaitu hak dari suatu negara untuk menghukum beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan di luar batas wilayah oleh orang yang tidak merupakan warganegaranya.
-
e) Universality Principle (Prinsip Universalitas) memberikan yurisdiksi atas kejahatan yang mendapatkan perhatian secara universal.
Cyberspace adalah sesuatu yang terus berkembang dan berevolusi seiring berjalannya waktu.22 Kombinasi antar teknologi dan manusia yang menggunakan teknologi tersebut selalu berubah; dari segi ukuran cyberspace itu sendiri hingga aturan-aturan teknis dan politis yang berupaya untuk mengaturnya. Peta geografis dari cyberspace jauh lebih mudah diubah dibandingkan peta geografis dunia nyata;
gunung dan lautan sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, untuk dipindahkan, akan tetapi bagian-bagian dari cyberspace dapat dinyalakan ataupun dimatikan hanya dengan datu klik saja. Firtur esensial dari cyberspace tetap sama, namun topografinya terus berubah, sehingga dapat dikatakan bahwa cyberspace yang ada saat ini sama dengan tetapi juga berbeda dari cyberspace yang ada pada tahun 1997.
-
2. Cyber Trafficking sebagai Tindak Pidana Internasional atau Transnasional
-
a) Tindak Pidana Internasional
Pasal 5 ayat 1 dari Rome Statute of the International Criminal Court (Rome Statute) mencatat tindakan pidana internasional sebagai berikut, yakni: “(a) Kejahatan genosida (Pasal 6: setiap perbuatan membuhuh, menimbulkan luka fisik/mental yang serius, menyebabkan kehancuran fisik, mencegah kelahiran, dan memindahkan secara paksa anak-anak yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasa atau keagamaan); (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi / pemindahan paksa, pemenjaraan / perampasan, penyiksaan, perkosaan beserta kejahatan seksual ekstrim lainnya, penganiayaan, penghilangan paksa, kejahatan apartheid, dan perbuatan tidak manusiawi lainnya apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu); (c) Kejahatan perang (Pasal 8: khususnya apabila kejahatan perang dilakukan sebagai bagian dari suatu pelaksanaan besar-besaran dari kejahatan tersebut); (d) Kejahatan agresi (Pasal 8 bis: perencanaan, persiapan, inisiasi / eksekusi, oleh seseorang yang berada dalam posisi efektif untuk mengontrol / mengarahkan tindakan politik / militer suatu negara, tindakan agresi yang berdasar pada unsur-unsurnya, gravitasinya, dan skalanya).”
Cyber-trafficking dapat dikategorikan sebagai tindak pidana internasional apabila memenuhi syarat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan Pasal 7 Statuta Roma, yaitu dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil dengan mengetahui adanya serangan ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil itu.
-
b) Tindak Pidana Transnasional
Pasal 3 ayat (2) dari United Nations Convention against Transnational Organized Crime menetapkan lingkup aplikasi dari tindak pidana transnasional, yaitu: “(a) dilakukan di lebih dari satu negara; (b) dilakukan di satu negara namun beberapa bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian terjadi di negara lain; (c) dilakukan di satu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorangisir yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; atau (d) dilakukan di satu negara namun memiliki dampak yang substansial di negara lain.”
Cyber-trafficking dapat dikategorikan sebagai tindak pidana transnasional apabila memenuhi syarat dari United Nations Convention against Transnational Organized Crime Pasal 3 ayat (2), yaitu seperti dicantumkan di atas.
Belum terdapat instrument hukum internasional yang mengatur cyber trafficking secara khusus, namun demikian terdapat instrumen hukum internasional yang berkaitan sebagai berikut: perjanjian internasional (United Nations Convention against Transnational Organized Crime; United Nations Convention on the Rights of the Child; Council of Europe Convention on Cybercrime; Council of Europe Convention on the Protection of Children against Sexual Exploitation and Sexual Abuse), kebiasaan internasional (Slavery; Torture), prinsip hukum umum (Prinsip Persamaan Derajat; Prinsip Tanggung Jawab Negara; Prinsip Kepentingan Terbaik untuk Anak), doktrin, dan yurisprudensi. Untuk sementara ini, para pihak yang berwenang dapat menggunakan instrumen-instrumen tersebut untuk mengisi kekosongan hukum cyber-human trafficking.
Penegakan hukum internasional terhadap kasus cyber-human trafficking bersifat case-by-case; apakah cyber-human trafficking yang terjadi di kasus tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana internasional (apabila memenuhi syarat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan Pasal 7 Statuta Roma) atau tindak pidana transnasional (apabila memenuhi lingkup aplikasi yang terdapat dalam Pasal 3 United Nations Convention against Transnational Organized Crime). Setelah ditentukan kategorinya, maka selanjutnya akan ditentukan yurisdiksinya berkaitan dengan kewenangan negara untuk menerapkan hukum internasional ataupun hukum nasional yang berlaku pada kasus tersebut.
Diperlukan penegasan kembali akan masalah perbudakan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sebab, pada esensinya cyber-human trafficking adalah bentuk modern dari perbudakan. Meskipun sudah ada pengaturan internasional yang mengatur mengenai hal ini secara terpisah (cybercrime dan human trafficking), kiranya tetap dibutuhkan suatu peraturan internasional yang secara khusus mengatur mengenai cyber-human trafficking sebab dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, pengaturan-pengaturan yang lama ini tidak lagi akan mampu untuk menangani masalahnya di kemudian hari; dan juga agar supaya adanya suatu bentuk kodifikasi yang dapat digunakan sehingga penanganannya akan lebih efisien.
Hendaknya disusun rancangan konvensi internasional, atau sekurang-kurangnya pedoman (guideline) yang dapat memudahkan penentuan yurisdiksi serta juga dibuatkan suatu definisi yang lebih spesifik dari kedua kategori tindak pidana (internasional dan transnasional) sehingga lebih mudah dan lebih cepat untuk menentukan yurisdiksi agar kasus-kasus cyberhuman trafficking dapat diselesaikan dengan lebih efisien.
BIBLIOGRAPHY
Buku
Diantha, I. M. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.
Efendi, J., & Ibrahim, J. (2016). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Depok: Prenadamedia Group.
Elliot, J. (2015). The Role of Consent in Human Trafficking. New York: Routledge.
Farhana. (2010). Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Gallagher, A. T. (2010). The International Law of Human Trafficking. New York: Cambridge University Press.
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana.
Singer, P. W., & Friedman, A. (2014). Cybersecurity: What Everyone Needs to Know. New York: Oxford University Press.
Sirohi, M. N. (2015). Definitions of Cyber Crime. In Transformational Dimensions of Cyber Crime. Delhi: Alpha Editions.
Sykiotou, A. P. (2017). Cyber trafficking: recruiting victims of human trafficking through the net. In Europe in Crisis: Crime, Criminal Justice, and the Way Forward (p. 1547). Athens: Ant. N. Sakkoulas Publishers L.P.
Jurnal dan Website
Bartoletti, A. (2018, July 29). What is the difference between the deep web and the dark web? Retrieved from Quora: https://www.quora.com/What-is-the-difference-between-the-dark-web-and-the-deep-web/answer/Anthony-Bartoletti-1
Best interests. (n.d.). Retrieved from Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Best_interests
Greiman, V., & Bain, C. (2013). The Emergance of Cyber Activity as a Gateway to Human Trafficking. International Journal of Cyber Warfare and Terrorism, 44-45.
Human Trafficking and Social Media. (n.d.). Retrieved from Polaris: https://polarisproject.org/human-trafficking-and-social-media
Johnston, K. L., & Wray, B. (2019, April). Modern slavery: Canada moves closer to supply chain legislation. Retrieved from Norton Rose Fulbright:
https://www.nortonrosefulbright.com/en/knowledge/publications/447f2d0d/moder n-slavery-canada-moves-closer-to-supply-chain-legislation
McKay, J. (2019, February 21). Creating Canada's Modern Slavery Bill. Retrieved from Delta87: https://delta87.org/2019/02/creating-canadas-modern-slavery-bill/
Pengertian Asas Persamaan Derajat. (2016, July 1). Retrieved from PengertianKewarganegaraanku.Blogspot:
http://pengertiankewarganegaraanku.blogspot.com/2016/07/pengertian-asas-persamaan-derajat.html
Podungge, M. F. (2014, September 14). Jenis-Jenis Penelitian di Bidang Keilmuan Hukum. Retrieved from FikriPodungge.Blogspot: http://fikripodungge.blogspot.com/2014/09/metode-penelitian-hukum.html
13
Discussion and feedback