PENGATURAN TENTANG SANKSI ADMINISTRATIF BAGI PENYELENGGARA LAYANAN APLIKASI FINTECH
on
PENGATURAN TENTANG SANKSI ADMINISTRATIF BAGI PENYELENGGARA LAYANAN APLIKASI
FINTECH *
OLEH :
I Gusti Ngurah Putu Wahyu Khrisnantara Putra**
A.A Ketut Sukranatha***
Hukum Perdata Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Di sebuah pengaturan layanan Fintech jenis peer to peer lending tidak terlepas dari berlakunya sanksi kepada penyelenggara apabila penyelenggara fintech itu melakukan pelanggaran, terhadap kegiatan penyelenggaraan layanan Fintech jenis peer to peer lending yang telah diatur dalam Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dapat dirangkum bahwa permasalahan tentang pengaturan Fintech jenis peer to peer lending di Indonesia dan pengaturan sanksi terhadap penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending agar terwujud kepastian hukum bagi para semua pihak. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui dan memahami tentang penyelenggaraan layanan Fintech jenis peer to peer lending dan mengetahui pengaturan sanksi terhadap penyelenggara layanan Fintech jenis peer to peer lending agar terwujud kepastian hukum bagi para pihak. Metode penulisan dalam jurnal ini adalah metode penulisan hukum normative dengan pendekatanan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Adapun Hasil studi dari penulisan ini adalah, Pengaturan layanan Fintech jenis peer to peer lending di Indonesia belum mencerminkan kepastian hukum sehingga belum terwujudnya keadilan bagi para pihak. Untuk mengatasi ketidakpastian hukum bagi penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending dalam pengaturan sanksi pada Peraturan OJK nomor 77/pojk.01/2016 Pasal 47 ayat (2) LPMUBTI, maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan modifikasi guna terwujudnya pengaturan sanksi sebagaimana
perundang-undangan yang baik sehingga tercapai kepastian serta keadilan bagi penyelenggara layanan Fintech jenis peer to peer lending.
Ka55ta ku8nci : Pengaturan, sanksi, fintech, peer to peer landing. 56
Ab4stract
In a Fintech service arrangement the type of peer to peer lending is inseparable from the imposition of sanctions to the organizer if the fintech provider violates the activities of the peer to peer lending type Fintech service that has been regulated in OJK Regulation No.77 / POJK.01 / 2016 About Information Technology Based Lending and Borrowing Services. It can be summarized that the problems regarding the regulation of Fintech types of peer to peer lending in Indonesia and the regulation of sanctions against Fintech organizers of peer to peer lending types in order to realize legal certainty for all parties. The purpose of this paper is to know and understand the implementation of peer to peer lending types of Fintech services and find out the sanctions arrangements against peer to peer lending types of Fintech service providers in order to realize legal certainty for the parties. The writing method in this journal is a normative legal writing method with a law approach and analysis of legal concepts. The study results of this paper are, Fintech peer to peer lending service arrangements in Indonesia do not yet reflect legal certainty so that justice has not yet been realized for the parties. To overcome legal uncertainty for Fintech organizers in the type of peer to peer lending in sanction arrangements in Article 47 paragraph (2) of LPMUBTI POJK, it is necessary to consider modification in order to realize sanction arrangements as well as legislation in order to achieve certainty and fairness for Fintech service providers type of peer to peer lending.
Keywords : Sanction, arrangements, fintech, peer to peer landing.
Lembaga keuangan merupakan padanan dari istilah Bahasa inggris Financial Institution. Sebagai badan usaha, lembaga keuangan menjalankan usahanya dibidang jasa keuangan,baik penyediaan dana untuk membiayai usah produktif maupun konsumtif, maupun jasa keuangan bukan pembiayaan1. Dengan perkembangan zaman dan arus
globalisasi, semakin banyak juga perkembangan dan kemajuan terjadi dalam Lembaga Keuangan. Memanfaatkan pesat dan semakin canggihnya teknologi informasi muncul banyaknya inovasi dalam lembaga keuangan non bank seperti hadirnya Financial Technology ( selanjutnya disebut Fintech ) yang berkembang di Indonesia akhir-akhir4ini.
Kegiatan ekonomi yang berpengaruh pada kepentingan publik salah satunya adalah kegiatan penyaluran dana yang harus dilaksanakan dengan adil dan sesuai dengan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi menggunakan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan juga kesatuan ekonomi nasional. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat berdampak pada transaksi dalam Lembaga Pembiayaan yang mengalami proses digitalisasi, sehingga transaksi
pembiayaan saat ini dapat diakses dengan mudahnya secara online. Fintech adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, sistem keuangan, dan efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. Lembaga pembiayaan ini memfokuskan kegiatan usaha pada fungsi pembiayaan yang membantu untuk menyediakan dana untuk kebutuhan masyarakat2.
Era globalisasi membawa banyak dampak bagi kehidupan masyarakat baik itu dampak positif maupun dampak negatif, salah satunya perkembangan teknologi dan informasi dalam kehidupan sehari-hari kini semakin pesat, ditambah dengan keberadaan dan kemudahan dalam mengakses internet juga mendorong kemajuan masyarakat dalam bidang teknologi baik dalam mengakses informasi atau dalam berbagai kebutuhan dalam menjalankan sebuah bisnis yang berbasis online. Kegiatan jual beli online menjadi salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat sebagai dampak dari perkembangan arus globalisasi3. Transaksi keuangan melalui fintech ini meliputi pembayaran, investasi, peminjaman uang, transfer, rencana keuangan dan pembanding4 produk keuangan.
Laya2nan keuan2gan online atau financ2ial techn2ology (fintech) dilaks2anakan deng2an berlan2daskan pa2yun8g huk2um Hal ini me2nyusul sete2lah dikelua2rkannya Per2aturan Otorit2as Jasa Keu2angan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016, ten2tang Lay2anan Pin2jam Memi5nj2am U2ang berb2asis Temkno2logi
Inf2ormasi (LPMUBTI). Di dal2am atu2ran ters2ebut, O6JK m2engatur berbag2ai h72al ya72ng har9us dita2ati oleh penye2lenggara bi2snis pinja82man dari peng2guna ke pen2gguna, atau y2ang bias2a di2sebut den2gan pe2er to peer lending (P2P lending).
Demi terciptanya industri jasa keuangan di Indonesia yang lebih baik diperlukan adanya lembaga yang berperan untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Berdasarkan Pasal 34 Undang - undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang -Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Lembaga yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK)5.
Menurut penjelasa2n Pasal 34 Unda2ng-Undang No2mor 3 Tahu2n 2004”, OJK be2rsifat mandiri dal2am menjalan2kan tugas2nya dan kedudukan2nya ber2ada dil2uar pemeri2ntah dan berkew2ajiban menyam2paikan lapor2an kepa2da Bad2an
Pemeri2ksaan Keuan2gan (BPK) dan Dew2an Perwak2ilan Rak2yat (DPR).6 Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan7.
-
1. Bagaimana Pengaturan tentang sanksi adminstratif bagi penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending dalam mewujudkan kepastian hukum bagi semua pihak?
-
2. Bag9aimana Sanksi adminstratif yang diberi oleh
lembaga Otoritas Jasa Keuangan apabila terjadi pelanggaran terkait dengan pelaksana penyelenggara fintech?
Jen8is Pen8elitian
Tulisan ini merup8akan hasil deng8an meto8de penelit8ian hukum norm8atif, di d8alam menul8iskan peneli8tian dengan be8rupa kaji8an pus8taka. Karakt8eristik Ilm8u Huk8um ad8alah ilmu suigen8eris atau ilm8u yang mem8iliki keprib8adian khasial8ah yang me8njadidas8ar dari penel8itian huk8um norm8atif.
Jen8is Pendek8atan
Jur8nal ilmi8ah ini menggu8nakan pende8katan norm8atif seba8gai jenis penel8itian yang dilak8ukan oleh pen8ulis.
Pendekat8annya mela8lui perun8dangan-unda8ngan (Statute Approach) mel8akukan pendek8atan pene8lit6ian ses8uai deng8an apa ya8ng akan diba8has ol8eh penul8is dida8lam jur8nal ilmi8ah ini.
Bah8an Huk8um
Sumber bahan hukum penelitian ini menggunakan dari kajian, bahan-bahan hukum diantaranya bahan hukum sendiri dan bahan hukum sekunder, yaitu sumber hukum primer terdiri dari Buku-buku dan refrensi jurnal hukum. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang telah terdata dan tertulis yang sudah mendokumenkan terkait isu yang dibahas oleh penulis.
Tek7nik pengu7mpulan baha7n hu7kum
Pen7ulis didal7am penel7itian jur7nal ilim7iah ini memperg7unakan studi dokum7en atau st7udi kepu7stakaan pada tek7nik pengu7mpulan ba7han huk7um yang dipergu7nakan untuk digu7nakan berkai7tan deng7an permas7alahan yang akan diba7has oleh pen7ulis. Mengu7mpulan baha7n hukum terk7ait lalu men7gutip yang akan digu7nakan seba7gai bah7an relev7an dan siste7matis dalam perma7salahan jurn7al ilmi7ah ini.
Tek6nik an6alisa bah6an huk6um
Jurn6al ilm6iah pada penul6isan ini mela6lui tek6nik deskri6psi dan tek6nik sistem6atisasi yaitu te6knik desk6ripsi ialah pr6oses mengan6alisa ba6han huku6m yang diteta6pkan seba6gai gamb6ran dalam menjelas6kan keterk6aitan isuhuk6um deng6an bah6an huk6um yang ada.Tek6nik siste6mati sasi ialah lan6gkah yang digu6nan kan untuk menc6arin keter6kaitan
antara peratu6ran per6undang-undan6gan yang seder6ajat atau tid6ak sed6erjat8.
-
2.2 Ha9sil Ana9lisis
-
2.2.1. Bagaimana Fungsi Pengaturan tentang sanksi bagi penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending dalam mewujudkan kepastian hukum bagi semua pihak?
-
Agar Terwujud Kepastian Hukum Bagi Para Pihak Setiap pelanggar peraturan-peraturan hukum yang ada, akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Untuk menjaga agar peraturan itu dapat berlangsung dengan terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum di dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu9.
Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit). Terdapat unsur-unsur formal dari keadilan menurut Kelsen dan Rawls yang terdiri atas:
1. Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak).
-
2.1 Perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).
Keadilan adalah nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberi perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) bahwa perlindungan ini akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat). Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Berpedoman pada peraturan tersebut, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan wajib menggunakan asas yang baik agar produk hukum dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Adakalanya lembaga pembiayaan dalam menjalankan usahanya melanggar aturan-aturan yang ada, apabila telah tebukti terjadi pelanggaran terhadap kegiatan penyelenggaraan layanan Fintech jenis peer to peer lending, tidak luput dari ancaman sanksi. Pengaturan sanksi dalam POJK LPMUBTI harus mengedepankan kepastian baik bagi pengguna jasa maupun penyelenggara layanan Fintech jenis
peer to peer lending. Sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diatur bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Peraturan haruslah mengandung kepastian yang berlaku sebagai norma pengatur, pembimbing, dan penuntun perilaku ideal warga dalam kehidupan bernegara yang dilengkapi dengan sistem sanksi yang bersifat memaksa sehingga dapat memberikan efek jera guna memperbaiki perilaku menyimpang dan memulihkan keadaan kepada kondisi yang diidealkan.
Mengenai sanksi yang dapat diberikan kepada penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending yang telah terbukti melakukan pelanggaran yaitu pada Peraturan OJK nomor 77/pojk.01/2016 Pasal 47 ayat (2) LPMUBTI yang menentukan mengenai sanksi administratif “dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului peringatan tertulis”. Berkaitan dengan kalimat ini yang menyatakan kekaburan norma sehingga tidak memberikan suatu kejelasan dan kepastian hukum dalam pemberian sanksi terhadap penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending. Dengan adanya ketentuan tersebut tentunya dapat mengakibatkan kebingungan dan juga ketidakpastian hukum bagi penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending dalam hal terdapat sengketa dikemudian hari.
Sanksi adalah suatu langkah hukuman yang diberikan oleh Negara atau kelompok tertentu sebagai akibat dari adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang
atau kelompok. Dengan tujuan agar penyelenggara yang melakukan suatu pelanggaran menjadi sadar akan perbuatannya dan jera sehingga tidak akan melakukan kembali kesalahan yang telah diperbuat.
Karena apabila dalam pemberian sanksi administratif kepada penyelenggara tak diberi peringatan tertulis terlebih dahulu itu dirasa tak adil bagi Penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending karena berdasarkan asas perlakuan yang sama dalam hukum (equality before the law), dalam suatu peraturan tidak boleh ada pembedaan dalam pemberian sanksi karena efek dari suatu peraturan tidak boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi).10 Dan sanksi adminitratif dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan karena hakekatnya sifat dari sanksi adalah “reparatoir” artinya memulihkan pada keadaan semula. Maka penting untuk pemberian sanksi peringatan tertulis terlebih dahulu kepada penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending guna mendapatkan haknya untuk memperbaiki dan memulihkan keadaan kepada kondisi yang diidealkan.
Maka OJK selaku lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengetur dan mengawasi lembaga pembiyaan harus tetap berpedoman kepada cita hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum. Sanksi yang terdapat di dalam Pasal 47 ayat (2) POJK LPMUBTI yang dibuat oleh OJK haruslah mengedepankan kepastian dan keadilan hukum baik bagi pengguna jasa maupun penyelenggara mengacu pada rumusan dalam sila kelima Pancasila dan
Alenia IV Pembukaan UUD 1945 mengenai cita keadilan sosial.
Untuk mengatasi ketidakpastian hukum bagi penyelenggara Fintech jenis peer to peer lending dalam pengaturan sanksi pada Pasal 47 ayat (2) POJK
LPMUBTI, maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan revisi guna terwujudnya pengaturan sanksi sebagaimana perundang-undangan yang baik sehingga tercapai kepastian serta keadilan bagi penyelenggara layanan Fintech jenis peer to peer lending.
-
2.2.2. Bag9aimana Sanksi adminstratif yang diberi oleh lembaga Otoritas Jasa Keuangan apabila terjadi
pelanggaran terkait dengan pelaksana penyelenggara fintech?
Apabila pelakasama penyelenggara Financial
Technology melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan ketentuan dalam POJK 77/2016, maka lembaga otoritas jasa keuangan memiliki kewenangan memberikan sanksi administratif yaitu berupa :
-
A. Peringatan tertulis;
-
B. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
-
C. Pembatasan kegiatan usaha; dan pencabutan izin
Yang dimaksud diatas yaitu :
-
A. Peringatan tertulis :
Yaitu berupa peringatan tertulis yang diberikan oleh lembaga otoritas jasa keuangan untuk mengingatkan bahwa aka nada
sanksi yang diperoleh oleh penyelenggara fintech karena telah melanggar ketentuan dari POJK.
-
B. Denda :
Yaitu sanksi berupa denda untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada POJK Karena Penyelenggara fintech telah melanggar peraturan POJK.
-
C. Pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin :
Pembatasan kegiatasan usaha yang berarti gerak gerik para penyelenggara layanan fintech yang telah melakukan pelanggaran akan dipersempit, dan pencabutan izin berarti dicabutnya izin usaha dari layanan fintech tersebut oleh POJK karena telah melanggar ketentuan yang ada.
-
1. Jadi kesimpulan dari jurnal ini adalah Pengaturan dari layanan Fintech peer to peer lending di Indonesia tidak mencerminkan kepastian hukum sehingga masih belum tercapainya keadilan bagi para-para pihak yang
bersangkutan.
-
2. Juga pengaturan sanksi terhadap pelaksana Fintech jenis peer to peer lending belum jelas dalam penerapan sanksinya sehingga tidak terwujud kepastian bagi para pihak dan kekaburan dalam norma hukum.
-
1. Hendaknya tentang dalam sebuah pengaturan POJK LPMUBTI segera halnya dilakukan revisi peraturan agar tidak
lagi menimbulkan ketidakpastian atau kekaburan norma hukum di masyarakat.
-
2. Sebaiknya para penyelenggara layanan fintech ( financial technology ) bila telah melanggar suatu peraturan POJK yang sudah ditetapkan harus patuh menerima sanksi yang sudah diatur.
-
IV. DA7FTAR PUS7TAKA
-
1. Jimly Asshiddique, 2018, Konstitusi Keadilan Sosial, PT Gramedia, Jakarta H.160.
-
2. Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta, h.149.
-
1. I Wayan Bagus Pramana, 2018, “Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengawasi Lembaga Keuangan Non Bank Berbasis Financial Technology Jenis Peer To Peer Lending”, jurnal kertha semaya, Vol.2 No.4, h.2, URL:
-
2. Putu Gandiyasa Wijartama, 2018, “Cara-Cara Penagihan Utang Dalam Perspektif Hukum Perdata”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6 No. 5, h.3
-
3. . Ni Kadek Ariati, I Wayan suarbha , 2016, Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Melakukan Transaksi Online, Kertha Semaya, Vol.04, NO. 02, Februari 2016, h. 3, ojs.unud.ac.id
-
4. Ernama, Budiharto, Hendro S., “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016),” Diponegoro Law Journal,
-
5. Tasya Febri Ramadhanti, I Made Sarjana, 2018, peranan otoritas jasa keuangan dalam rangka perlindungan konsumen terhadap pengguna electronic money industri perbankan , Kertha Semaya, Vol.04, NO. 1, Agustus 2018, h. 3, ojs.unud.ac.id
-
6. Adrian Sutedi, 2014, “Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan”, Raih Asa Sukses, Jakarta Timur, h.38 , “peranan otoritas jasa keuangan dalam rangka perlindungan konsumen terhadap pengguna electronic money industri perbankan” Kertha Semaya, h. 3
-
7. NI Made Nita Widhiadnyani, I Gede Yusa, 2017, tanggung jawab otoritas jasa keuangan sebagai pengganti bank indonesia dalam pengawasan lembaga perbankan, Kertha Semaya, Vol.5, NO. 1, h. 2, ojs.unud.ac.id
-
8. Ngakan Putu Surya Negara, I Made Udiana, 2018, Perlindungan Nasabah perbankan Melalui Otoritas Jasa Keuangan , Kertha Semaya, Vol.1, NO. 11, November 2013, h.4, ojs.unud.ac.id, URL :
-
1. Peraturan otoritas jasa keuangan nomor 77/ Pojk.01/2016 (P2P LENDING) Edukasi dan perlindungan pengguna.
-
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
17
Discussion and feedback