KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MEMBATASI AKSES MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
on
KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MEMBATASI AKSES MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Oleh:
Made Aryandi Singa Gothama∗ Anak Agung Istri Ari Atu Dewi∗∗
Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Media Sosial adalah salah satu dari sekian banyak sumber informasi yang tersedia. Sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan informasi, akses media sosial dapat dikatakan sebagai bagian dari Hak Atas Informasi. Secara logika, maka pembatasan terhadapat akses media sosial dapat disebut sebagai pembatasan terhadap hak asasi manusia. Dalam penelitian ini akan menelusuri bagaimana kewenangan pemerintah dalam membatasi akses media sosial dan bagaimana pembatasan akses media sosial dalam prespektif hak asasi manusia. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian normatif melalui metode pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan pendekatan secara historis. Pembatasan akses media sosial oleh pemerintah jika dilihat dari peraturan perundang-undangan, belum memiliki prosedur hukum yang jelas mengenai pembatasan tersebut. Dalam perspektif hak asasi manusia, pembatasan terhadap akses media sosial dapat dilakukan jika terdapat ancaman terhadap keamanan nasional.
Kata Kunci : Pembatasan, Media Sosial, Hak atas Kebebasan Informasi
ABSTRACT
Social Media is one of the many sources of information available. As one means to obtain information, access to social media can be said to be part of the Right to Information. Logically speaking, restrictions on social media access can be called restrictions on human rights. In this study will explore how the authority of the government in limiting access to social media and how restrictions on access to social media in the perspective of human rights. The study was conducted with a normative research method through the method of legislation, conceptual, and historical approaches. The limitation of social media access by the government when seen from the legislation, does not yet have clear legal procedures regarding
∗Made Aryandi Singa Gothama adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana.
∗∗Anak Agung Istri Ari Atu Dewi adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
these restrictions. In the perspective of human rights, restrictions on access to social media can be done if there is a threat to national security.
Keywords: Restrictions, Social Media, Right to Freedom of Information
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara Hukum. Salah satu unsur penting dari suatu negara yang berlandaskan hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi.1 Kebebasan untuk mengelola dan memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh Negara. Sejak bertahun-tahun lalu, dunia internasional mengakui bahwa hak kebebasan informasi adalah hak asasi dasar dan merupakan tanda dari seluruh kebebasan yang akan menjadi titik perhatian PBB.2 Pada Dasarnya, informasi yang bebas di setiap Negara ditujukan agar lembaga publik lebih terbuka dan kredibel dengan menunjukan informasi sesuai dengan padangan dan minat publik. Oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa informasi yang terbuka dan menganut prinsip kebebasan merupakan salah satu hal yang harus dapat terpenuhi agar tercapainya pemerintahan yang baik (good governance).3
Esensi dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa semua orang berhak untuk menggunakan segala fungsi dan akses dari sebuah informasi baik elektronik maupun non eletektronik yang tersedia dalam berbagai bentuk seperti gambar, bunyi, video, tulisan dan lainnya melalui mediamedia atau saluran yang sudah tersedia. Dengan demikian maka kebebasan terhadap informasi bukan hanya sebagai hak asasi, melainkan juga hak yang dijamin dan diakui keberadaannya oleh kontitusi Indonesia.4
Media sosial telah menjadi salah satu saluran yang banyak digunakan untuk memperoleh informasi karena Media Sosial menyediakan hampir seluruh kebutuhan dalam kegiatan memperoleh serta informasi secara cepat dan efisien, baik dalam bentuk tulisan, gambar, video, suara, ataupun gabungan dari keempatnya. Media Sosial dalam era globalisasi berperan penting dalam upaya mematangkan proses demokrasi. Perkembangan teknologi informasi akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum di indonesia, dengan demikian maka hukum di Indonesia dituntut agar sesuai dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Oleh karena itu, jika pemerintah melakukan pembatasan terhadap akses terhadap media sosial, maka pembatasan tersebut haruslah memiliki dasar hukum yang jelas dan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dan merugikan masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti pembatasan akses media
sosial oleh pemerintah jika dilihat dari peraturan perundang-undangan dan prespektif hak asasi manusia.
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka kita dapatkan poin-poin permasalahan, yaitu :
-
1. Bagaimana pengaturan mengenai pembatasan akses media sosial dalam peraturan perundang-undangan ?
-
2. Bagaimana pembatasan akses media sosial oleh pemerintah dalam perspektif hak asasi manusia ?
Tujuan Penulisan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana pembatasan akses terhadap media sosial jika dilihat dari peraturan perundang-undangan di Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana pembatasan akses media sosial oleh pemerintah jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini adalah metode normatif yuridis. Pendekatan yuridis normatif berpanduan pada norma-norma hukum yang dapat ditemui pada peraturan-peraturan positif, doktrin-doktrin ahli atau sarjana, yurisprudensi atau keputusan-keputusan pengadilan, dan norma hukum yang sudah lama hidup dimasyarakat. Kemudian untuk teknik penelusuran data dalam tulisan ini menggunakan sebuah teknik studi dokumentasi dengan metode analisis menggunakan metode analisis kualitatif.
-
2.1 Hasil dan Analisis
-
2.2 Pengaturan mengenai pembatasan akses media sosial dalam peraturan perundang-undangan
Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada Pasal 40 ayat (2a) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mencegah dan memblokir situs yang memuat informasi-informasi tertentu. Kemudian pada Pasal 40 ayat (2b) UU ITE juga menegaskan bahwa dalam mencegah menyebarnya konten-konten negatiff atau konten yang dinilai melanggar aturan, pemerintah dapat saja memerintahkan para pihak penyelenggara informasi (dalam hal ini penyedia jaringan internet) untuk melakukan pemutusan akses terhadap layanan akses informasi, termasuk media sosial.
Kemudian, merujuk pada Pasal 4 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi dalam UU No 12 Tahun 2005, menegaskan bahwa dalam keadaan yang yang mendesak dan membahayakan kehidupan bangsa dan masyarakat banyak, pemerintah sebegai pengambil kebijakan dalam suatu Negara berwenang untuk tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam melaksanakan aturan internasional mengenai pemenuhan hak asasi manusia. Dalam hal ini artinya Negara memiliki kewenangan untuk membatasi hak asasi manusia, termasuk dalam hal membatasi hak masyarakat untuk memperoleh informasi melalui internet atau media sosial. Namun pembatasan tersebut harus memenuhi 2 (dua) syarat yang telah diisyaratkan dalam salah satu pasal yang terdapat pada kovenan internasional yang mengatur mengenai hak-hak sipil dan politik tersebut, yaitu :
-
1. Situasi Negara dalam keadaan darurat yang membahayakan kehidupan bangsa.
-
2. Negara telah melakukan penetapan keadaan darurat secara resmi.
Dalam peraturan-peraturan tersebut sebenarnya dapat menimbulkan persoalan karena tidak diatur mengenai prosedur atau tata cara untuk melakukan pembatasan tersebut. Prosedur ini tentunya sangat penting agar pemerintah tidak menyalahgunakan kewenangan terhadap pembatasan tersebut. Dan ukuran untuk informasi yang terdapat didalam media sosial yang dapat dikatakan sebagai informasi yang membahayakan Negara juga belum jelas.
Selain itu Media Sosial juga tidak hanya digunakan untuk menyampaikan atau memperoleh informasi, namun juga digunakan untuk tujuan lain seperti ekonomi, hiburan, dan lain-lain. Oleh karena itu, kewenangan pemerintah terhadapat pembatasan media sosial ini harus lebih diatur lebih jelas lagi prosedurnya, sehingga tidak menimbulkan kerugian di masyarakat. Kemudian jika melihat lebih jauh lagi sebenarnya Pasal 40 UU ITE sendiri hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan atau pemblokiran akses hanya terhadap informasi elektronik yang dinilai “Melanggar Hukum” saja, tidak seluruh aksesnya.
Ketika melalukan pembatasan itu pun pemerintah harus melibatkan masyarat dan wajib memberi pernyataan resmi di awal kepada publik bahwa layanan akses informasi di media sosial telah dibatasi. Hal ini sesuai dengan esensi dari Pasal 7 Permenkominfo No 19 Tahun 2014 mengenai pencegahan terhadap meluasnya konten-konten negative di dunia maya atau internet yang memuat partisipasi masyarakat dalam pemblokiran konten negatif di dunia maya atau internet.
Bedasarkan uraian tersebut, maka kewenangan pemerintah dalam membatasi layanan akses pada media sosial diakui oleh peraturan perundang-undangan, namun pembatasan tersebut tidak memiliki prosedur hukum yang jelas. Prosedur atau tata cara ini sangat penting, karena jika tidak diatur maka akan berpotensi menimbulan kesewenang-wenangan atau abuse of power oleh pemerintah terhadapat hak-hak asasi warga negaranya.
Berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) maka secara sederhana, Informasi adalah keterangan-keterangan yang memuat pesan atau makna-makna. Informasi dapat berupa video, teks, gambar, ataupun suara. Informasi dapat berbentuk elektronik maupun non elektronik. Sumber-sumbernya dapat berasal dari siapa saja yang menjadi saksi mata atau narasumber. Hak atas kebebasan informasi merupakan salah satu hak asasi manusia yang telah diakui negara-negara didunia sebagai hak asasi yang sudah ada sejak awal. PBB pada awalnya menempatkan hak kebebasan informasi merupakan hak yang fundamental, sehingga pemenuhannya haruslah tercapai sebaik-baiknya.
Hak kebebasan akan Informasi sebenarnya sudah diatur didalam konstitusi Negara Indonesia atau UUD 1945, tepatnya pada pasal 28F yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”. Maka dari itu, dengan dicantumkannya kebebasan informasi didalam dasar Negara tersebut, kita dapat mengambil poin penting, yakni Indonesia merupakan sebuah Negara yang mengakui keberadaan hak atas kebebasan informasi.
Namun seiring perkembangannya, PBB melalui Declaration of Human Rights mengklasifikasikan hak atas kebebasan informasi ditempatkan sebagai derogable right yang artinya hak atas kebebasan informasi merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya dapat dibatasi.5 Hal ini dilandasi pada perkembangan hak atas kebebasan informasi yang mendapat pembatasan dari Negara walaupun sebenarnya dalam Konvensi Eropa sendiri dinyatakan bahwa pelaksanaan dari hak atas kebebasan informasi seharusnya tidak mendapat gangguang dari dari penguasa Negara.
Media sosial adalah salah satu dari saluran yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Sebagai salah satu dari sarana komunikasi dan, media sosial menjadi wadah baru bagi masyarakat untuk menuangkan ekspresi, gagasan, dan perasaan yang berasal dari diri sendiri atau sebagai wadah untuk memberikan tanggapan atas sesuatu. 6
Berdasarkan uraian tersebut, maka mengakses media sosial dapat dikatakan sebagai bagian dari hak atas kebebasan informasi. Hal ini berarti mengakses media sosial merupakan Derogable Right yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh pemerintah. Namun, mengingat tetap saja hal itu bagian dari hak asasi, maka pembatasan atas pemenuhan tersebut harus berdasarkan koridor hukum dari yang sudah ditetapkan pada konvenan internasional yang mengatur tentang pembatasan tersebut.7 Pembatasan itu harus dilakukan dengan tujuan yang sah atau mempunyai legitimasi dan pembatasan itu dianggap sebagai hal yang benar-benar perlu untuk dilakukan.8
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembatasan atau pemblokiran akses media sosial tentu menjadi permasalahan karena Hukum dan Hak Asasi merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Jika suatu peraturan perundang-undangan dibangun tanpa menggunakan hak asasi sebagai acuan dasar, maka peraturan atau hukum tersebut hanya akan menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Sebaliknya jika hak asasi dipenuhi tanpa ada dasar dan prosedur hukum yang jelas mengatur mengenai hak asasi tersebut, maka hak tersebut tidak mendapat kepastian hukum dan tidak akan terpenuhi dengan baik.
-
1. Kewenangan mengenai pembatasan akses media sosial oleh pemerintah diakui oleh peraturan perundang-undangan,
namun belum memiliki prosedur hukum yang jelas karena pada aturan konvensi internasional yang telah diratifikasi ke dalam UU No 12 tahun 2005 serta Pasal 40 UU ITE hanya memuat mengenai kewenangannya saja, tidak memuat bagaimana tata cara dari pelaksanaan pembatasan akses tersebut.
-
2. Dalam prespektif Hak Asasi Manusia, mengakses media sosial merupakan bagian dari hak atas kebebasan informasi. Dengan demikian maka pembatasan tersebut dapat dilakukan karena hak atas kebebasan merupakan derogable right yang pemenuhannya dapat dibatasi. Namun pembatasan tersebut harus dilakukan dengan tujuan yang sah dan dianggap sebagai hal yang benar-benar perlu untuk dilakukan
-
1. Pemerintah hendaknya membuat aturan serta prosedur mengenai pembatasan itu sendiri. Hal ini penting dilakukan agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan justru akan merugikan masyarakatnya sendiri.
-
2. Walaupun media sosial dapat dibatasi, namun pembatasan tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek dan nilai-nilai kemanusian karena mengakses media sosial merupakan bagian dari hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Rahayu, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semaran
Sirajuddin, Didik Sukriono, Windardi, 2011, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi dan Keterbukaan Informasi, Setara Press, Malang.
Jurnal Ilmiah
Endang Retnowati, 2012, Keterbukaan Informasi Publik dan Good Governance (Antara Das Dein dan Das Solen), Jurnal Perspektif, Vol. 17, No. 1 Januari 2012.
Edi Atmaja, 2015, Kebebasan Mengakses Internet Sebagai Hak Asasi Manusia: Selayang Pandang Indonesia Dan Negara Asean Lainnya, Jurnal Opinio Juris, Vol. 18 Mei - September 2015.
Fauzan Khairaz, 2015, Implementasi Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal Inovatif, Vol. 08, No. 01 Januari 2015.
Luh Gede Mega Kharisma, 2016, Kedudukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sebagai Lembaga Negara Independen Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Kertha Negara, Vol. 04, No. 05, Juli 2016.
Nunuk Febriananingsih, Keterbukaan Informasi Publik Dalam Pemerintahan Terbuka Menuju Tata Pemerintahan Yang Baik, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 1, No.1 Januari – April 2012.
Sufiana Julianja, 2018, Pembatasan Kebebasan Berkespresi dalam Bermedia Sosial : Evaluasi Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Padjajaran Law Review, Vol.6, Desember 2018.
Syaifullah Noor, 2015, Informasi Dan Transaksi Elektronik Dikaitkan Dengan Kebebasan Berekspresi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 3 Agustus 2015,.
Tony Yuri Rahmanto, 2016, Kebebasan Berekspresi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Perlindungan, Permasalahan Dan Implementasinya Di Provinsi Jawa Barat, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol.7, No. 1, Juli 2016,.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4846)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1003)
13
Discussion and feedback