PENGATURAN PETISI ONLINE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
on
PENGATURAN PETISI ONLINE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Suci Oktaviani
Komang Pradnyana Sudibya
Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Change.org merupakan salah satu situs yang berkembang di media sosial saat ini yang dapat menjadi sebuah wadah bagi penggunanya untuk memulai suatu petisi terhadap suatu kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan yang terjadi saat ini belum adanya suatu aturan khusus yang mengatur mengenai petisi. Dengan tidak adanya aturan khusus ini mengakibatkan pemerintah tidak wajib menjawab atau merespon petisi yang dibuat. Berbeda dengan negara lain, contohnya di Amerika Serikat petisi diatur oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS dan jelas ada yang menampung dan menjawab petisi tersebut yakni oleh Gedung Putih.
Tujuan penulisan dari jurnal ilmiah ini adalah untuk memahami dan menganalisis terkait dengan pengaturan petisi online dalam perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Maka dalam jurnal ilmiah ini, penulis mengangkat 2 rumusan masalah yakni bagaimana kekuatan hukum sebuah petisi online di Indonesia dan bagaimanakah kekuatan hukum mengikat di negara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Hasil penulisan ini menunjukan bahwa belum adanya aturan yang mengatur secara khusus mengenai petisi berbasis online ini. Selama ini petisi online hanya berisi tanda tangan yang diisi oleh pengguna situs change.org dan tidak wajib dijawab oleh pemerintah. Berdasarkan hasil analisis bahwa ada kasus-kasus dengan isu-isu tertentu yang digubris oleh pemerintah, artinya ada kesadaran pada pemerintah untuk mendengarkan aspirasi lewat petisi online tersebut. Namun petisi online harus didukung oleh kajian-kajian dan aksi agar tidak sekedar tanda tangan secara online saja. Namun disinilah seharusnya ada aturan khusus yang mengatur mengenai prosedur atau alur untuk mengajukan petisi serta jelas siapa yang wajib menampung dan menjawab petisi yang dibuat. Walaupun memang secara implisit dijamin didalam Pasal 28 UUD NRI 1945 tentang
kebebasan berpendapat dimuka umum petisi ini.
Kata Kunci : Pengaturan, Petisi Online
Abstract
Change.org is one of the growing sites on social media today that can be a forum for users to start a petition against a policy or decision made by the government. With what is happening at present there is no specific regulation governing the petition. In the absence of this special regulation, the government is not obliged to answer or respond to the petition. In contrast to other countries, for example in the United States the petition is regulated by the First Amendment to the US Constitution and it is clear that there are those who accommodate and respond to the petition by the White House.
The purpose of writing from this scientific journal is to understand and analyze the regulations related to online petitions. This paper uses the normative legal research method through the legislation approach and analysis of legal concepts. So in this scientific journal, the author raises two formulations of the problem namely concerning the legally binding power of an online petition in Indonesia and how the legal force is binding in the United States and South Korea. The results of this paper indicate that there are no specific rules governing this online-based petition. So far, online petitions only contain signatures that are filled in by users of the change.org site and are not required to be answered by the government. Based on the results of the analysis that there are cases with certain issues that are ignored by the government, it means that there is awareness of the government to listen to aspirations through the online petition. But online petitions must be supported by studies and actions so that they are not just online signatures. But this is where there should be special rules governing the procedure or flow to submit a petition and it is clear who is obliged to accommodate and answer the petition made. Although it is implicitly guaranteed in Article 28 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia concerning freedom of opinion in public the petition.
Keywords: Regulation, Online Petition
BAB I. PENDAHULUAN
-
1.1 Latar Belakang
Bahwa Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Ini menunjukkan bahwa mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan itu diperbolehkan oleh negara.
Bahwa sekarang ini telah banyak cara untuk mengemukakan pendapat atau argumen dimuka umum, bisa diartikan sebagai partisipasi gagasan saja dan dengan seiring kemajuan perkembangan teknologi informasi, salah satunya adalah dengan membuat dan menandatangani sebuah petisi online. Banyak sekali situs yang bermunculan seiring berkembang pesatnya petisi online ini.
Situs change.org contohnya, berdiri dari tahun 2006 di Delware, Amerika Serikat. Sejak situs tersebut berdiri sudah 34.182 petisi yang menang. Namun dengan banyaknya petisi online yang berkembang sekarang ini, belum ada dasar hukum yang secara khusus membahas mengenai petisi online. Padahal jika dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Petisi sangat mempengaruhi dalam hal kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Sebagai contoh yakni mengenai petisi pembatalan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang sempat ramai dibahas dan dijadikan petisi online dalam situs change.org pada awal tahun 2018. Dimana Pemerintah dengan kesadaran diri membatalkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) tersebut. Dan petisi mengenai penolakan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) mendapatkan tanda tangan paling banyak dari penggunanya yang berbasis online dalam situs change.org tersebut.
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini yakni sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah kekuatan hukum sebuah petisi online di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah kekuatan mengikat secara hukum sebuah petisi online di Amerika Serikat dan Korea Selatan?
Tujuan dari Penulisan jurnal hukum ini antara lain sebagai berikut :
-
1. Memahami dan menganalisis kekuatan hukum sebuah petisi online di Indonesia.
-
2. Menganalisis kekuatan mengikat secara hukum sebuah petisi online di Amerika Serikat dan Korea Selatan.
BAB II. ISI MAKALAH
Mukti Fadjar dan Yulianto Achmad membagi metode penelitian hukum menjadi metode penelitian hukum normatif (normative legal research) dan metode penelitian hukum empiris
(empirical legal research).1 Berdasarkan klasifikasi tersebut, tulisan ini merupakan tulisan yang dikembangkan dengan metode penelitian hukum normatif (normative legal research) yakni penelitian hukum yang berbasis pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.2
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini ialah pendekatan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) serta analisis konsep hukum (analitic & conseptual approach).
Sumber data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan terkait dengan permasalahan tersebut yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka umum. Serta bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, literatur dan jurnal hukum yang terkait dengan bahasan.
Di era teknologi saat ini, tumbuh kembang dunia mengenai informasi digital sangat mudah didapat, hal ini sejalan dengan kemudahan masyarakat mendapatkan akses terhadap internet. Salah satu situs yang dapat diakses guna menyalurkan aspirasi
atau pendapat yakni change.org. Antusiasme masyarakat khususnya kaum Millenial terhadap petisi online yang terdapat dalam situs change.org memang tidak bisa dibendung, melalui platform change.org pengguna Situs tersebut terus meningkat sejak tahun 2012. Hingga saat ini sudah 271.799.251 pengguna yang mengakses petisi di situs tersebut.
Petisi sendiri mempunyai arti pernyataan yang dikemukakan kepada pemegang kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap suatu isu yang berkembang di masyarakat. Dalam arti politik, petisi digunakan untuk menarik dukungan atau mendapatkan dukungan ketika pemilihan atau untuk mencabut sebuah UU3, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, yakni mengenai pencabutan UU MD3 yang cukup ramai isunya beberapa waktu lalu. Pasca Reformasi partisipasi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya semakin meningkat dan dalam berbagai bentuk penyampaian. Lebih dari itu, masyarakat memiliki akses untuk menyampaikan pendapat salah satunya melalui petisi online ini terutama masyarakat dapat menentukan baik atau tidak serta apa yang diperlukan atau tidak diperlukan oleh masyarakat.
Situs change.org bukan hanya di Indonesia, berawal dari amerika serikat, Situs ini lalu menyebar di seluruh dunia dan diakses oleh ribuan orang karena menyajikan isu-isu serius yang terjadi termasuk di Indonesia. Namun ketika sudah ribuan orang yang mengakses situs tersebut, belum ada regulasi hukum yang jelas mengenai petisi online di Indonesia, lain halnya dengan petisi di negara lain. Dengan tidak adanya regulasi khusus yang mengatur sehingga tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk
menjawab petisi tersebut. Namun, secara universal petisi diakui dalam Piagam Magna Charta atau yang disebut dengan The Right to Petition. Sedangkan dalam UUD NRI Tahun 1945, Hak petisi diatur dalam pasal-pasal terkait kebebasan berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat seperti dalam Pasal 28 A-J. Namun tidak ada pasal yang secara tegas menyebutkan mengenai petisi online tersebut. Sesuai dengan asas negara hukum maka Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang tertulis dan dilihat dari segi sejarah pula pembentukannya merupakan sebuah revolusi dari bangsa Indonesia.
Bahwa dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama mempunyai hak untuk mengajukan pendapat kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan efisien baik dengan lisan maupun tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum menjelaskan bahwa tujuan pembentukan UU tersebut adalah untuk memastikan Kebebasan berpendapat atas tanggung jawab yang mencerminkan Hak Asasi Manusia serta sebagai perwujudan bentuk demokrasi di Negara Indonesia, dan juga sebagai perwujudan Perlindungan Hukum di Negara Indonesia. Karena berdasarkan sejarah, Indonesia mempunyai pengalaman yang cukup kelam mengenai terbatasnya kemerdekaan untuk bersuara atau berpendapat, seperti yang diketahui masyarakat umum, bahwa pada saat pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, banyak aktivis-aktivis maupun orang biasa yang diculik dan disembunyikan karena mereka berani untuk
bersuara dan mengkritik pemerintah pada masa itu didepan umum serta pergerakan pers yang terbatas karena tidak boleh adanya kritik terhadap pemerintah. Beberapa contoh kasus 1998 yang sampai saat ini masih memunculkan tanda tanya yakni Kasus Tanjung Priok, Pembunuhan Munir serta kasus lainnya. Sehingga masyarakat menjadi takut untuk berpendapat atau mengkritik kebijakan atau keputusan yang diambil pemerintah. Sistem Orde Baru telah membentuk kesannya sendiri dimata rakyat. Namun dalam sisi lain orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto mampu membangkitkan ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk, kemudian mencanangkan program KB waktu itu yang sampai saat ini program itu terus digaungkan.
Dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.4 Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang menganut sistem demokrasi dapat mengemukakan pendapat5 atau argumen terkait kebijakan yang dibuat atau yang sedang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan Bahan Hukum Primer yakni, UUD NRI 1945 dalam bagian penjelasan telah disebutkan bahwa sistem pemerintahan negara ditegaskan dalam undang-undang. Dimana Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang tidak berdasar kepada kepentingan kekuasaan, sistem pemerintahannya berdasar kepada konstitusi yang tidak bersifat absolut, artinya Indonesia tidak menganut kekuasaan yang tidak terbatas. Maka dari itu peran serta masyarakat dalam hal pembentukan kebijakan pemerintah sangat penting, apalagi pada masa reformasi ini keterbukaan akan pemerintah semakin terbuka.
Karena pada dasarnya petisi online (daring) bukan hanya membutuhkan tandatangan yang berbasis daring atau online saja, melainkan butuh dukungan lain. Seperti dibarengi dengan kajian, kampanye, aksi dan mediasi serta lainnya. Petisi online bukan satu-satunya jalan untuk mengemukakan pendapat atau jalan membuat perubahan, dan banyak unsur yang terkait didalamnya demi tercapainya tujuan pembuatan petisi tersebut seperti melakukan aksi, terbit di media dan temui pengambil keputusan yang mempunyai kewenangan dengan membawa suara dukungan tersebut.
Dalam Pasal 1 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 bahwa menyampaikan Pendapat di Muka Umum dapat berbentuk Rapat Umum, Unjuk Rasa atau Demonstrasi, Pawai serta Mimbar Bebas. Petisi dilakukan sekarang ini lazimnya sebelum demonstrasi, pawai, mimbar bebas ataupun rapat itu dilakukan. Jadi penulis berpendapat bahwa demonstrasi dan kegiatan sejenisnya itu adalah tindakan yang mendukung petisi karena seperti yang telah dijelaskan penulis bahwa petisi tidak hanya membutuhkan tanda tangan saja dari pengguna yang berbasis online, namun juga membutuhkan tindakan lain seperti kajian atau yang sejenisnya.
Berbeda dengan negara lain, Amerika contohnya, petisi yang berbasis online itu justru disediakan oleh Pemerintah sendiri. Dimana pembuat petisi harus bisa mengumpulkan tanda tangan dalam jumlah yang ditentukan dan dalam jangka waktu untuk direspon oleh pemerintah didalam website WhiteHouse.gov yang mulai diluncurkan pada tahun 2011 pada masa kepemimpinan Presiden Barack Obama. Dalam situs WhiteHouse.gov, sebuah
petisi harus melampaui batas yang diberikan seperti aturan yang diperbarui tanggal 7 maret 2016 bahwa suatu petisi harus mencapai 150 tandatangan selama 30 hari. Setelah melewati itu maka untuk direspon oleh pemerintah maka harus mencapai 100 ribu tandatangan dalam 30 hari.
Petisi di Amerika Serikat diatur dalam Amandemen Pertama Konstitusi AS, bahwa konstitusi amerika serikat melarang kongres membuat undang-undang yang isinya membentuk suatu agama, melarang praktik agama secara bebas, serta menghambat kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan untuk menyampaikan petisi kepada pemerintahterkait dengan ganti rugi atas keluhan masyarakat. Amandemen ini ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1791 sebagai salah satu dari 10 amandemen konstitusi Amerika Serikat yang menjadi bagian dari deklarasi hak-hak. Tidak jauh berbeda dengan petisi yang ada di negara Korea Selatan, di Korea Selatan petisi juga diakomodir oleh pemerintah. Dimulai sejak Agustus 2017 dimana sebuah petisi harus menembus 200 ribu tandatangan dalam 30 hari. Selama pelaksanaan isu yang banyak muncul yakni mengenai Hak Asasi Manusia yang bila dipresentasikan adalah 18% dibanding isu isu yang lain.
Di Indonesia sendiri, petisi belum disediakan oleh pemerintah, melainkan oleh sebuah situs swasta. Namun efek dari petisi ini sedikit terasa dan direspon walaupun belum ada aturan yang mengharuskan, artinya dari dalam diri pejabat itu sudah ada self respect atau kesadaran diri dari para pemegang kepentingan. Seperti contoh petisi UU MD3 yang tidak jadi disahkan.
Pentingnya self respect dalam diri seorang pemegang kuasa yakni ketika tidak adanya keterpaksaan dalam menjalankan hal-
hal yang bertujuan baik maka pemegang kuasa menjalankan hal tersebut tanpa adanya pemaksaan atau keterpaksaan melainkan kesadaran diri. Itulah yang terjadi di beberapa isu serius di Indonesia yang juga merupakan sebuah petisi yang menang di situs change.org.
BAB III. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
-
1. Bahwa petisi online di Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mengatur mengenai petisi tersebut, yang mengakibatkan tidak ada kepastian pihak pemerintah menjawab atau merespon atas petisi yang berisi isu-isu penting dalam jejaring sosial internet. Secara Implisit memang diakui dan diatur didalam Pasal 28 UUD NRI 1945 tentang kebebasan berpendapat dimuka umum.
-
2. Berbeda dengan negara lain yang sudah memiliki regulasi khusus mengenai petisi, seperti di Amerika Serikat dan Korea Selatan. Di Amerika Serikat, sebuah petisi jelas siapa yang menampung dan menanggapi dan mempunyai syarat ambang batas tertentu, dan diatur dalam amandemen konstitusi pertama AS. Serupa dengan di AS, Korea Selatan juga terinspirasi oleh Barack Obama yang membuat cetusan mengenai wadah menampung petisi yang sedang ramai dengan tujuan agar dapat mendengar dan melihat keresahan warganya melalui petisi berbasis online tersebut.
-
1. Pemerintah Indonesia sebaiknya membuat regulasi khusus yang mengatur mengenai petisi agar terdapat kejelasan mengenai pendapat atau aspirasi rakyat yang ada dalam situs yang resmi sehingga menimbulkan kepastian didalamnya.
-
2. Dengan adanya situs resmi yang menampung aspirasi rakyat, ini menunjukan bahwa pemerintah serius mendengarkan pendapat rakyat seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Korea Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly, 2011, Pengantar Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
Fadjar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum : Normatif & Empiris, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum,
Kencana Prenada Media, Jakarta.
Riwanto, Agus, 2016, Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia, Thafa Media, Yogyakarta.
Sunggono, Bambang, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
JURNAL ILMIAH
Destrity, Nia Ashton, 2018, Petisi Online Sebagai Media Advokasi Alternatif Dalam Upstream Social Marketing, Jurnal
Komunikasi Global Universitas Brawijaya Volume 7 Nomor 2 Tahun 2018, Malang.
Mulyoto, Galih Puji, 2015, Petisi Online Sebagai Modal Sosial (Studi Fenemologi Situs www.change.org Pada Tahun 2015), Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 2 No 2, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Ponorogo.
Vikansari, Ni Putu Suci Dan I Wayan Parsa, 2019, Pengawasan Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Youtubers Sebagai Pelaku Influencer Di Platform Media Sosial Youtube, Jurnal Kertha Negara Vol. 7 No. 2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 181 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3789).
13
Discussion and feedback