PROBLEMATIKA PERTIMBANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM PENETAPAN DAFTAR CALON TETAP DEWAN PERWAKILAN DAERAH TAHUN 2019
on
PROBLEMATIKA PERTIMBANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM PENETAPAN DAFTAR CALON TETAP DEWAN PERWAKILAN DAERAH TAHUN 2019
Oleh :
Laila Zai Nur Azizah
Komang Pradnyana Sudibya
Pogram Kekhususan Hukum Ketatanegaraan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diformulasikan mengenai sistem pemilihan Anggota Dewan Peradilan Daerah dimana dalam pemilihannya dapat dipilih melalui jalur perseorangan dimaksudkan untuk mencegah kepentingan partai politik, kelompok ataupun kepentingan pribadi masuk didalamnya. Dalam rangka menyelenggarakan Pemilu, KPU telah mengeluarkan SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 terkait Penetapan Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Daerah dimana dalam penetapnnya menuai pro kontra diantaranya dianggap telah lalai diantaranya dengan memasukan Oesman Sapta Odang yang belum menyerahkan surat pernyataan perihal pengunduran dirinya dari kepengurusan parpol. Putusan tersebut dianggap tidak sejalan dengan putusan MK mengenai suatu keharusan agar mengundurkan diri dalam kepengurusan parpol serta memberikan pemahaman akan hak istimewa dalam penetapan Dartar Calon Tetap (DCT) dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tindak lanjut putusan MK tersebut, KPU kemudian mencoret nama Oesman Sapta Odang.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis problematika pertimbangan atas keluarnya SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 serta mengetahui perbedaan pertimbangan dua lembaga peradilan dalam memutus hak politik warganegara dalam pencalonan sebagai calon anggota DPD. Penelitian ini disusun mengunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta dan pendekatan analisis. Adapun kesimpulan adalah dalam
hal putusan oleh kedua lembaga negara tersebut bersifat final dan tetap, tetapi dalam pengimplementasian putusan tersebut kembali kepada para pihak yang bersangkutan untuk melaksanakannya.
Kata Kunci : Problematika, Komisi Pemilhan Umum, Daftar Calon Tetap.
ABSTRACT
Article 22E The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has been formulated regarding the election system for Members of the Regional Judiciary Council in which elections can be elected through individual channels intended to prevent the interests of political parties, groups or personal interests from entering into it. In the context of holding elections, the KPU has issued KPU Decree Number 1130 / PL.01.4-Kpt / 06 / KPU / IX / 2018 related to the Stipulation of the Fixed Candidate List of Members of the Regional Representative Council where in the stipulation reaped the pros and cons including being considered negligent including by entering Oesman Sapta Odang who has not yet submitted a statement regarding his resignation from the management of political parties. The decision was considered not in line with the Constitutional Court's ruling regarding an obligation to resign in the management of political parties as well as providing an understanding of the privileges in determining the Permanent Candidate (DCT) in the selection of members of the Regional Representative Council (DPD). Following up on the Constitutional Court's decision, the KPU then crossed out the name Oesman Sapta Odang.
The purpose of this study is to analyze the problematic considerations for the issuance of KPU Decree Number 1130 / PL.01.4-Kpt / 06 / KPU / IX / 2018 concerning the Establishment of the DCT of the Regional Representative Council in 2019 and find out the different considerations of two judicial institutions in deciding the political rights of citizens in nomination as a candidate for DPD member. This research was arranged using a normative research method with a statutory approach, fact approach and analytical approach. The conclusion is that if the decisions of the two state institutions are final and permanent, the implementation of the decisions will be returned to the parties concerned to implement them.
Keywords: Problems, General Election Commission, List of Permanent Candidates.
Pemilu merupakan suatu bentuk kedaulatan rakyat, dimana sesuai dengan formulasi Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan mengenai Kedaulatan suatu negara berada ditangan rakyat. Dari formulasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menganut paham akan kedaulatan rakyat (democracy), dimana rakyat dianggap sebagai pemegang dan pemilik kekuasaan tertinggi dalam suatu negara1.
Berkaitan dengan Surat Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 mengenai Penetapan DCT anggota DPD, tentu tak lepas dari putusan Bawaslu. Dimana Bawaslu mengeluarkan putusan kontroversial yang memutus kepada KPU untuk memasukkan nama Oesman Sapta Odang dalam DCT Anggota DPD dalam Pemilu 2019 dengan catatan saat Oesman Sapta Odang terpilih disyaratkan untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya dari kepengurusan (fungsionaris) partai politik maksimal sehari sebelum dikeluarkannya penetapan calon DPD. Dalam putusan tersebut Bawaslu telah mengabaikan Putusan MK yang berbicara mengenai syarat pencalonan bukan syarat calon terpilih dan Bawaslu hanya terfokus pada syarat calon terpilih. Dalam Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 secara tegas telah melarang pengurus parpol untuk merangkap jabatan sebagai anggota DPD.
Berdasarkan latar belakang, adapun rumusan masalah yang dapat dikaji adalah sebagai berikut:
-
1.2.1 Apa yang mejadi dasar pertimbangan KPU untuk mengeluarkan SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-
Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang penetapan DCT Dewan Perwakilan Daerah tahun 2019?
-
1.2.1 Dimana perbedaan pertimbangan dua lembaga peradilan dalam memutus hak politik warganegara dalam pencalonan sebagai calon anggota DPD?
Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah sebagai berikut:
-
1.3.1 Untuk mengetahui problematika dan dasar pertimbangan atas keluarnya SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.
-
1.3.2 Mengetahui perbedaan pertimbangan dua lembaga peradilan dalam memutus hak politik warganegara dalam pencalonan sebagai calon anggota DPD.
Metode memiliki peran penting terhadap hasil akhir sebuah penelitian yang dirumuskan oleh karena statusnya sebagai alternatif atau sarana pelaksanaan penelitian2. Penulisan ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif (normative legal research). Dimana penelitian ini beranjak dari kepustakaan3. Untuk memperkuat kredibilatas pada metode penulisan hukum normatif ini didukung dengan pendekatan perundang-undang (the statue approach), pendekatan fakta (the fact approach), dan pendekatan analisis.
-
2.2 Dasar Pertimbangan KPU mengeluarkan SK Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa KPU ialah suatu lembaga nasional, bersifat tetap, dan merupakan lembaga negara yang mandiri. Keputusan KPU tidak bisa diintervensi oleh siapapun4.
Sifat independen suatu kelembagaan negara mempunyai peranan penting terhadap keberlangsungan suatu negara5. Independensi suatu kelembagaan negara sangat penting untuk mewujudkan dan menjamin demokrasi suatu negara. Apabila sifat tersebut tidak ada, maka fungsi lembaga-lembaga yang ada akan
mudah untuk disalahgunakan oleh pejabat atau pemerintah yang berwenang untuk melanggengkan kekuasaan6.
Penetapan Daftar Calon Tetap Dewan Perwakilan Daerah, tentu tidak terlepas dari penyelenggara pemilu diantaranya ialah Bawaslu, KPU, serta DKPP. Namun dalam Penetapan Daftar Calon Tetap KPU memiliki peran penuh didalamnya7.
Dalam menetapkan DCT tersebut, KPU mengeluarkan SK Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 berdasarkan perintah Bawaslu untuk memasukkan nama Oesman Sapta Odang kedalam DCT, serta berdasarkan putusan PTUN yang memutus untuk memaksukkan Oesman Sapta Odang kedalam DCT. Namun dalam rangka menyelenggarakan pemilu yang bermatabat KPU tentu tidak serta merta mengabaikan hukum yang ada. Surat Keputusan Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 sebelumnya telah mencantumkan nama Oesman Sapta Odang, kemudian setelah keluarnya Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang didalamnya memutus mengenai larangan bagi pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD, nama Oesman Sapta Odang dicoret dan tidak dimasukkan kedalam SK Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018. Dalam putusan MK tersebut mensyaratkan jika ingin ditetapkan sebagai calon DPD harus keluar dari kepengurusan parpol, hal itu berlaku bagi seluruh peserta pemilu yang mendaftarkan diri sebagai anggota DPD tanpa terkecuali.
Dengan memasukkan nama Oesman Sapta Odang kedalam DCT maka hal tersebut sama dengan membangkan dengan konsitusi yang ada serta dianggap telah memberikan privilege (hak istimewa). Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setara dengan norma dalam undang-undang. Dengan adanya norma hukum baru dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu yang didalamnya menambahkan syarat mutlak untuk mengundurkan diri bagi pengurus parpol yang akan menjadi peserta pemilu tahun 2019.
-
2.3 Perbedaan Pertimbangan Dua Lembaga Peradilan Dalam Memutus Hak politik Warganegara Dalam Pencalonan Sebagai Calon Anggota DPD
Kemunculan paradigma baru atas perlunya suatu sistem integritas nasional dalam menyelesaikan suatu permasalahan berkaitan dengan penyelenggara pemilu yang bermatabat sangatlah dibutuhkan. Baik mekanisme penegakan, sanksi ataupun mekanisme pembuktiannya. Paradigma sistem integritas nasional tersebut merupakan suatu gagasan yang sudah lama eksis dalam jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia yaitu Pancasila8.
Berdasarkan norma Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU wajib melaksanakan putusan Bawaslu kabupaten/kota paling lambat tiga hari kerja setelah putusan tersebut dibacakan. Sehingga konsekuensi yang ditimbulkan ialah apabila pihak KPU tidak menjalankan putusan Bawaslu maka akan berakibat tidak berlakunya SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tersebut dengan keluarnya putusan TUN Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT yang didalamnya
memutuskan pembatalan SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-
Kpt/06/KPU/IX/2018 yang tidak memasukkan Oesman Sapta Odang.
Dengan demikian daftar calon anggota DPD yang sebelumnya telah ditetapkan dalam SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tersebut dianggap tidak ada. Kedua, tidak terpenuhinya hak konstitusional pelapor atas nama Oesman Sapta Odang yang sudah melakukan proses yang sudah ditetapkan dalam daftar calon tetap (DTC) karena SK KPU tersebut telah dibatalkan oleh PTUN dan DKPP.
Pelanggaran dalam tahap pencalonan merupakan kewenangan lembaga lain yang sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Maka sangat dimungkinkan terjadinya dualism putusan lembaga kekuasaan kehakiman yang kedepannya akan menjadikan ketidakpastian hukum9.
Berkaitan dengan daftar perbedaan putusan dalam penetapan daftar calon tetap tersebut, dimana Mahkamah Konstitusi memutuskan agar KPU agar berpedoman kepada peraturan yang ada dengan tidak mencantumkan Oesman Sapta Odang dalam DCT, sedangkan dalam putusan PTUN memutuskan untuk mencantumkan Oesman Sapta Odang kedalam DCT dalam Pemilu Anggota DPD Tahun 2019.
Kedua putusan tersebut sama-sama memiliki kekuatan hukum. Namun KPU sendiri memiliki kewenangan untuk memutuskan mengenai syarat pencalonan tersebut. Serta dalam memutus suatu perkara mengenai pelanggaran pencalonan yang berkaitan dengan etik pemilu telah diputus oleh DKPP. Dimana
dalam Putusan DKPP Memerintahkan Terlapor (KPU) agar melakukan perbaikan dalam hal administrasi dengan cara mencabut SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tersebut.
-
1. Dalam SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 KPU tidak serta merta mengabaikan konstitusional yang ada. KPU yang merupakan salah satu lembaga independen berhak untuk meloloskan atau tidak meloloskan peserta pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam hal putusan oleh kedua lembaga negara tersebut bersifat final dan tetap, tetapi dalam pengimplementasian putusan tersebut kembali kepada para pihak yang bersangkutan untuk melaksanakannya (self respect).
-
2. Peradilan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga atau organ pemutus, namun juga sebagai organ yang berperan secara pasif untuk membatasi kekuasaan politik atau suatu kelompok. PTUN dapat mengadili perkara administrasi mengenai Penetapan Daftar Calon Tetap yang diajukan oleh pemohon agar diadili, namun hal tersebut haruslah tetap pada dasar konstitusi yang ada. Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang– undang serta membatalkan tindakan organ undang-undang yang tidak selaras dengan konstitusi yang ada. KPU sendiri memiliki kewenangan untuk memutuskan mengenai syarat pencalonan tersebut.
Dalam penyelenggaraan pemilu para penyelenggara pemilu harus professional dan berpedoman pada nilai hukum, diantaranya adalah kepastian hukum, aksesibilitas , tertib, terbuka, proposional, efektif, efisen, dan kepentingan umum. Para penyelenggara pemilu seharusnya lebih cermat dalam menyeleksi calon peserta pemilu sehingga dalam penetapannya tidak menyebabkan permasalahan yang dapat merugikan baik bagi setiap pemilih ataupun setiap peserta pemilu.
Daftar Pustaka
BUKU
Asshidiqie, Jimmy, 2004, Ilmu Hukum Tata Negara II, Cetakan Pertama, Konstitusi Pers, Jakarta.
_________________, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Pers, Jakarta.
Huda, Ni’matul, Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia Pasca-Reformasi Edisi Pertama, PT. Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta.
Kusnardi dan Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN-FHUI, Jakarta.
Susanti, Dyah Oktarina Susanti, 2013, Penelitian Hukum (Legal Research), Jember, Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Pers.
Prasetyo, Teguh, 2018, “DKPP RI Penegak Etik
Penyelenggara Pemilu Bermatabat”, Depok.
Makalah, Karya Tulis Ilmiah dan Publikasi lainnya
Herawati, Ratna, 2018, Kepastian Hukum Pemilu dalam Pemilu
Serentak 2019 Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia, Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang Volume 4 Nomor 3, Semarang.
Inosentius, Samsul, 2009, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Putusan Mahkamah Konsitusi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta.
Pradnyana , Dewa Putu Wahyu Jati, “Analisa Hukum Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum”, Jurnal Ketha Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 6109).
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perubahan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2018, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 137).
Surat Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 mengenai Penetapan Daftar Calon Tetap Dewan Perwakilan Daerah, diterbitkan di Jakarta pada tanggal 20 September 2018.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 terkait pengujian Pasal 182 huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Tahun Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diucapkan di Jakarta pada 23 Juli 2018.
Putusan Tata Usaha Negara Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT Perihal Pelaksanaan Putusan yang Telah Memperoleh kekuatan hukum tetap, diterbitkan di Jakarta pada 14 November 2018, Nomor W2.TUN1.287/HK.06/I/2019. Perihal pelaksanaan 21 Januari 2019.
11
Discussion and feedback