DASAR SUATU NEGARA MELAKUKAN KLAIM WILAYAH BENUA ANTARTIKA DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Oleh:

Hariady Putra Aruan

Putu Tuni Cakabawa Landra∗∗

Program Kekhususan Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Wilayah adalah suatu unsur penting yang harus dimiliki oleh negara yang berdaulat. Fungsi dan pelaksanaan kedaulatan suatu negara dilaksanakan di wilayah negara, sehingga setiap benda yang ada maupun perbuatan hukum yang terjadi di wilayah pada prinsipnya tunduk kepada kedaulatan suatu negara yang memiliki wilayah tersebut. Antartika merupakan suatu Benua yang tidak memiliki penduduk asli, banyak negara yang menginginkan wilayah Antartika karena memiliki sumber daya alam yang besar. Menurut Perjanjian Antartika tahun 1959, Antartika hanya digunakan untuk keperluan perdamaian. Sehingga klaim yang dilakukan oleh negara-negara tidak sah dan tidak diakui. Tujuan utama dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui cara apa saja yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk memperoleh suatu wilayah serta akibat hukum apa yang timbul ketika suatu negara melakukan klaim terhadap wilayah Antartika. Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah metode penulisan hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan-bahan hukum tentang cara negara memperoleh suatu wilayah serta akibat hukum yang timbul saat suatu negara melakukan klaim terhadap wilayah Benua Antartika dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan serta melalui bahan hukum terkait.

KATA KUNCI: Wilayah Negara, Klaim Wilayah, Antartika.

ABSTRACT

Territory is an important element that must be possessed by a sovereign state. The function and implementation of a country's sovereignty are carried out in the territory of the country, so that every object or legal action that occurs in the region is in principle subject to the sovereignty of a country that owns the territory. Antarctica is a continent that has no native populations, many countries want the Antarctic region because it has large natural resources. According to the 1959 Antarctic Treaty, Antarctica is only used for peace purposes. So that claims made by countries are invalid and not recognized. The main purpose of this paper is to find out ways that can be done by a country to obtain a region and what legal consequences arise when a country makes a claim against the Antarctic region. This paper is using the

Hariady Putra Aruan merupakan seorang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Korespondensi: [email protected]

∗∗ Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., MHum merupakan seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana

normative legal writing method, which is a study of legal materials on how the state obtains a territory and the legal consequences that arise when a country makes a claim to the Antarctic continent using a legislative approach and through related legal materials.

Keywords: Country Territory, Territorial Claim, Antartica.

  • I.    PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Dalam eksistensi suatu negara, wilayah merupakan salah satu atribut yang sangat penting. Satu negara yang berdaulat memiliki hak-hak terhadap setiap orang, benda maupun perbuatan hukum yang terjadi dalam suatu wilayah negara tersebut.1 Wilayah suatu negara pada umumnya terdiri atas wilayah darat, laut dan udara. Wilayah negara itu sendiri merupakan tempat tinggal bagi masyarakat dari negara yang bersangkutan dan tempat penyelenggaraan pemerintahan, tanpa adanya suatu wilayah yang tetap maka negara tersebut tidak dapat berdiri. Di bumi terdapat suatu wilayah yang tidak dikuasai oleh suatu negara, yakni Benua Antartika.

Antartika atau yang biasa disebut dengan Kutub Selatan adalah sebuah benua yang dikelilingi oleh lautan dengan intensitas angin yang keras dan daratan yang terdiri dari bongkahan es. Benua Antartika merupakan benua dengan ukuran terbesar kelima di dunia, akan tetapi benua ini tidak memiliki penduduk tetap dikarenakan cuaca yang sangat ekstrim. Sejatinya Antartika merupakan sebuah laboratorium alami raksasa untuk mempelajari bumi serta perubahan lingkungan hidup secara global. Terdapat negara-negara yang mengajukan klaim terhadap Benua Antartika

diantaranya, Inggris, Norwegia, Perancis, Australia, Selandia Baru, Chili dan Argentina. Sejarah klaim negara-negara tersebut atas wilayah di Antartika memang panjang bahkan sebelum diberlakukannya sistem Perjanjian Antartika pada tahun 1961. Meski dengan berlakunya sistem Perjanjian Antartika membuat klaim negara-negara tersebut atas wilayah Antartika tidak diakui tetapi mereka tetap mengklaim bahwa mereka memiliki hak dan kedaulatan atas wilayah di Antartika tersebut. Cara terbaik yang dapat dilakukan oleh negara-negara tersebut adalah dengan bertindak seolah-olah mereka memang memiliki wilayah di Antartika.

Ilmu pengetahuan dan tingkat keingintahuan manusia terhadap apa yang terkandung dibawah lapisan es yang ada di Antartika merupakan suatu hal yang menyebabkan banyak negara yang ingin melakukan penelitian serta klaim terhadap wilayah di Antartika. Dalam hal penelitian peran ahli geologi adalah yang paling menonjol, hal ini disebabkan karena terdapat kandungan minyak bumi yang menambah daya tarik bagi negara-negara di dunia untuk terus berlama-lama melakukan penelitian. Tentu saja melakukan penambangan di Antartika merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya serta memerlukan dana yang besar dikarenakan iklim yang ekstrim dan es yang tebal serta jauhnya Antartika dari populasi manusia.

Melakukan penambangan di Antartika merupaka suatu tindakan yang bertentangan dengan Perjanjian Antartika Tahun 1959 yang ditandatangani oleh 12 negara pada 1 desember 1959 dan mulai berlaku pada tahun 1961. Perjanjian tersebut mengatur bahwa wilayah Antartika merupakan hak dari masyarakat internasional dan tempat penelitian ilmu pengetahuan serta melarang aktivitas militer

di wilayah tersebut. Tentunya dengan klaim yang dilakukan oleh negara-negara tersebut membuat negara lain tidak setuju akan klaim tersebut dan menimbulkan pertanyaan apakah suatu negara dapat begitu saja melakukan klaim terhadap Benua Antartika. Oleh karena itu, perlu dijelaskan apa yang menjadi dasar suatu negara untuk melakukan klaim terhadap suatu wilayah khususnya Benua Antartika dan akibat hukum yang ditimbulkannya menurut hukum internasional karena telah ada sistem Perjanjian Antartika yang menyebutkan bahwa wilayah Benua Antartika tersebut merupakan hak dari umat manusia. Tidak hanya dari suatu atau beberapa negara saja.

  • 1.2.    RUMUSAN MASALAH

  • 1.    Bagaimanakah cara suatu negara mendapatkan wilayah kekuasaan serta apa yang menjadi dasar suatu negara

melakukan klaim terhadap wilayah Benua Antartika ?

  • 2.    Bagaimanakah akibat hukum yang timbul apabila suatu negara melakukan klaim terhadap Benua Antartika ?

  • 1.3.    TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai karya ilmiah dalam pengamatan ilmu pengetahuan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan hukum dengan cara mempelajari masalah yang berkaitan dengan dasar suatu negara dalam melakukan klaim terhadap suatu wilayah serta akibat hukum yang timbul akibat klaim yang dilakukan oleh suatu negara terhadap wilayah Benua Antartika. II.    ISI MAKALAH

  • 2.1.  METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu komponen penentu sebagai syarat dalam penulisan karya ilimiah. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa, penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum2 yang dalam tulisan ini menggunakan Perjanjian Antartika 1959 serta berbagai literatur terkait.

  • 2.2.    HASIL DAN ANALISIS

    • 2.2.1.    Cara Suatu Negara Mendapatkan Wilayah Kekuasaan Serta Dasar Suatu Negara Dalam Melakukan Klaim Terhadap Wilayah Benua Antartika

Wilayah merupakan salah satu komponen penting yang harus dimiliki suatu negara agar diakui sebagai suatu negara yang berdaulat atau subjek hukum internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo Tahun 1933 “Negara sebagai subjek hukum internasional harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: (a) populasi permanen; (b) wilayah yang jelas; (c) pemerintah; dan (d) kapasitas untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain”(terjemahan bebas). Pada Konvensi Montevideo Tahun 1933 disebutkan bahwa wilayah yang jelas adalah suatu kualifikasi yang harus dimiliki untuk menjadi suatu negara.

Kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu  negara. Implementasi dari kedaulatan itu sendiri

dilaksanakan di dalam wilayah negara tersebut yang menyebabkan semua orang, benda yang berada atau peristiwa hukum yang terjadi di suatu wilayah pada dasarnya harus tunduk kepada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah tersebut dan kedaulatan tersebut bersifat tunggal asli, abadi dan tak terbagi-bagi.3

Dalam hukum internasional dikenal beberapa cara untuk mendapat suatu wilayah negara, sebagai berikut:

  • 1.    Penambahan Wilayah (Accretion)

Akresi adalah suatu cara penambahan wilayah yang terjadi secara alamiah (proses geografi), terbentuk dan bersatu dengan wilayah kedaulatan suatu negara yang telah ada.4 Salah satu contoh dari akresi adalah terbentuknya sebuah pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur pada suatu muara sungai atau mengeringnya bagian sungai yang disebabkan oleh adanya aliran sungai yang baru. Penambahan suatu wilayah dapat juga terjadi karena munculnya suatu pulau baru akibat dari letusan gunung api dilaut, pulau tersebut secara otomatis menjadi bagian dari suatu wilayah negara apabila pulau yang baru terbentuk itu berada dalam wilayah perairan suatu negara.

  • 2.    Cessie

Cessie adalah suatu cara untuk memperoleh wilayah dengan pemberian hak atas wilayah kedaulatan satu negara

kepada negara lain yang dilakukan dengan sebuah perjanjian damai yang diadakan antara penjajah dengan penduduk asli dari wilayah tersebut dan merupakan hasil dari peperangan antara kedua negara.5 Meskipun cessi biasanya berlangsung dengan adanya suatu perjanjian setelah usainya suatu peperangan, cessi dapat juga berlangsung dalam bentuk lain selain karena berakhirnya peperangan. Misalnya, pada tahun 1867 Amerika Serikat membeli Alaska dari Rusia (sebesar 7.200.000 dolar), atau penjualan wilayah-wilayah di West Indies oleh Denmark yaitu pulau St.Thomas, St. Jhon dan St. Croix kepada Amerika Serikat tahun 1916 sebesar 25.000.000 dolar.6 Hal yang menjadi ciri dari pengalihan dengan cara ini adalah bahwa negara yang mendapatkan wilayah tersebut hanya memiliki hak dan kedaulatan sebatas pada apa yang dimiliki oleh pendahulunya dan tidak lebih dari pada itu.

  • 3.    Okupasi atau pendudukan (Occupation)

Okupasi merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu wilayah dengan cara pendudukan terhadap suatu wilayah yang belum berada dibawah kedaulatan suatu negara manapun, dapat berupa tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun yang baru ditemukan.7 Cara ini harus dilakukan oleh suatu negara dan tidak dapat dilakukan oleh perorangan secara efektif serta terbukti bahwa negara

tersebut memiliki kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatannya.

  • 4.    Preskripsi

Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu negara yang telah didudukinya dalam jangka waktu yang lama dan dengan sepengetahuan dari pemilik wilayah tersebut serta tidak ada protes dari pemilik wilayah terhadap negara yang menduduki wilayah tersebut. Pelaksanaan kedaulatan oleh suatu negara tersebut secara de facto dan de jure.8 Persamaan preskripsi dengan okupasi adalah bahwa pelaksanaan kedaulatan tersebut harus dilaksanakan oleh suatu negara dan bukan oleh perorangan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan klaim kedaulatan tersebut.

  • 5.    Aneksasi atau Penaklukan

Aneksasi atau penaklukan merupakan suatu cara untuk memperoleh wilayah dengan cara kekerasan (penaklukan).9 Dalam hal perolehan suatu wilayah secara paksa yang penting adalah sejauh mana tindakan tersebut dianggap sah dan diakui oleh masyarakat internasional. Dalam hal mendapatkan suatu wilayah, hukum internasional melarang adanya cara kekerasan (militer) oleh negara. Hal ini diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 ayat 4 yang menyebutkan bahwa segenap anggota PBB menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap

integritas suatu wilayah atau kedaulatan negara dalam suatu wilayah dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.

Pada klaim terhadap wilayah Benua Antartika kita dapat mengambil salah satu contoh yakni klaim yang dilakukan oleh Inggris. Inggris melakukan klaim terhadap wilayah Benua Antartika berdasarkan kepentingan Inggris terhadap wilayah tersebut. Kepentingan Inggris tersebut dilihat dari beberapa perspektif yakni, perspektif geopolitik maritime, perspektif geopolitik aerospace, perspektif geopolitik continental, dan perspektif geopolitik sumber daya.10 Selain dasar yang diutarakan oleh pihak Inggris, pada umumnya negara-negara melakukan klaim terhadap wilayah Benua Antartika dengan dasar historis bahwa mereka telah melakukan eksplorasi serta melakukan pengembangan di wilayah Benua Antartika. Apabila kita telaah lebih jauh dapat kita temukan bahwa klaim yang dilakukan oleh negara-negara terhadap wilayah Benua Antartika tidak memiliki landasan yuridis sebelum berlakunya Perjanjian Antartika Tahun 1959.

  • 2.2.2.    Akibat Hukum Yang Timbul Apabila Suatu Negara Melakukan Klaim Terhadap Benua Antartika

Antartika merupakan suatu benua besar yang meliputi Kutub Selatan bumi dan tidak memiliki penduduk asli. Benua Antartika juga merupakan benua terakhir yang ditemukan oleh manusia,

ratusan tahun yang lalu banyak bangsa Eropa berlomba-lomba untuk menemukan tanah baru diluar benua mereka. Pada saat itu klaim terhadap suatu wilayah harus diikuti oleh kolonialisasi terhadap wilayah tersebut yang artinya harus ada orang yang tinggal dan mengelola tempat tersebut. Hal tersebut juga berlaku untuk wilayah Benua Antartika. Namun, tidak mudah untuk hidup di Benua yang super dingin tersebut. Sehingga bangsa yang mengakui wilayah Benua Antartika tersebut belum tentu menempatinya. Klaim yang diberikan oleh negara-negara yang ingin menguasai wilayah Antartika hampir semuanya sama, yakni warganegara mereka pernah mendarat untuk pertama kalinya di Kutub Selatan. Akan tetapi, Antartika tidak termasuk wilayah negara manapun.

Pada tahun 1959 diadakan Perjanjian Antartika yang ditandatangani oleh beberapa negara diantaranya, Amerika Serikat, Argentina, Afrika Selatan, Australia, Belgia, Chili, Perancis, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Inggris, dan Irlandia Utara. Pada tahun 2019 sudah ada 54 negara pihak dalam Perjanjian Antartika ini. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Antartika akan dimanfaatkan untuk tujuan damai dan tidak akan menjadi tempat atau objek perselisihan internasional.

Hal yang patut dipertanyakan adalah apakah negara yang bukan sebagai pihak dalam perjanjian ini dapat melakukan klaim dan tidak terikat terhadap perjanjian Antartika tersebut ?

Terdapat banyak sebutan bagi perjanjian internasional, misalnya saja traktat, konvensi dan lain sebagainya. Dalam Black Law’s Dictionary definisi perjanjian internasional antara lain:

  • 1.    Traktat adalah perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih negara yang merdeka dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat

  • 2.    Suatu perjanjian, liga, atau kontrak antara dua negara atau lebih secara resmi ditandatangani oleh pihak yang memiliki wewenang untuk itu dan diratifikasi oleh masing-masing negara.

  • 3.    Suatu perjanjian bukan hanya hukum tetapi juga kontrak antara dua negara dan harus, jika mungkin, ditafsirkan sedemikian rupa untuk memberikan kekuatan penuh dan efek ke semua bagiannya. (Terjemahan Bebas)

Beberapa prinsip yang menjadi dasar dari traktat atau perjanjian internasional menurut John O’Brian, antara lain:

  • 1.    Timbul akibat daripada sebuah persetujuan.

  • 2.    Negara memberikan persetujuan atas diberlakukannya isi traktat atau perjanjian tersebut sebagaimana yang diatur dalam traktat itu sendiri terhadap para pihak yang terlibat.

  • 3.    Apabila traktat tersebut mengkodifikasi kebiasaan, maka negara-negara peserta yang terlibat didalamnya terikat oleh traktat yang didasarkan kepada prinsip-prinsip umum.

  • 4.    Dalam hal bukan Negara peserta. Sebagai akibat dari kebiasaan internasional, maka traktat tetap mengikat berdasarkan kepada kewajiban.

  • 5.    Traktat yang pesertanya lebih dari dua negara pada umumnya dibentuk di bawah International Law Commision, traktat ini

bertujuan untuk menciptakan hukum internasional yang progresif serta melibatkan kodifikasi atas hukum kebiasaan.11

Dari poin-poin tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Perjanjian Antartika tersebut tetap mengikat meskipun ada negara yang tidak ikut serta didalamnya sebagai akibat dari sebuah kebiasaan internasional.

Dengan berlakunya Perjanjian Antartika membuat klaim territorial terhadap wilayah Antartika tidak diakui. Hal ini dengan jelas diatur dalam Perjanjian Antartika Tahun 1959 Pasal 4 ayat (2) “Tidak ada tindakan atau kegiatan yang terjadi saat perjanjian ini berlaku akan menjadi dasar untuk menyatakan, mendukung atau menolak klaim atas kedaulatan wilayah di Antartika atau membuat hak kedaulatan apa pun di Antartika. Tidak ada klaim baru, atau perluasan klaim yang ada, terhadap kedaulatan teritorial di Antartika yang akan ditegaskan saat traktat ini berlaku (Terjemahan Bebas). Dari pasal ini dapat kita simpulkan bahwa klaim territorial yang dibuat oleh suatu negara terhadap wilayah Antartika tidak sah/diakui selama perjanjian ini berlaku.

Akibat hukum yang timbul apabila suatu negara melakukan klaim territorial terhadap wilayah Antartika selama perjanjian Antartika 1959 berlaku adalah tidak sah dan tidak diakuinya klaim yang diajukan oleh negara tersebut serta tidak memiliki hak resmi di Antartika berdasarkan Perjanjian Antartika. Selain itu, dikarenakan banyak negara yang melakukan klaim akan terjadi tumpang-tindih

wilayah klaim yang akan sulit untuk diselesaikan apabila terjadi masalah hukum di wilayah tersebut.

  • III. PENUTUP

  • 3.1.    Kesimpulan

Wilayah merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan suatu negara, dalam wilayah tersebut negara memiliki kedaulatan penuh atas setiap benda maupun perbuatan hukum yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam hukum internasional dikenal beberapa cara untuk memperoleh wilayah negara yakni, penambahan wilayah, cessie, okupasi atau pendudukan, preskripsi dan aneksasi atau penaklukan. Salah satu klaim terhadap wilayah Benua Antartika dilakukan oleh Inggris, klaim yang dilakukan oleh Inggris didasarkan kepada kepentingan Inggris terhadap wilayah tersebut. Setelah di telaah lebih jauh dapat kita temukan bahwa klaim yang dilakukan oleh negara-negara terhadap wilayah Benua Antartika tidak berlandasan yuridis sebelum berlakunya Perjanjian Antartika 1959.

Antartika merupakan sebuah benua yang kaya akan sumber daya alam, sehingga banyak negara yang melakukan klaim terhadap wilayah tersebut. Akan tetapi Antartika tidak memiliki penduduk asli dikarenakan kondisi yang sangat ekstrim. Pada tahun 1959 diadakan Perjanjian Antartika yang pada intinya menegaskan bahwa Antartika digunakan untuk kepentingan perdamaian dan tidak ada negara yang dapat melakukan klaim atas dasar apapun terhadap wilayah di Antartika selama perjanjian tersebut berjalan (Pasal 4 ayat 2 Perjanjian Antartika Tahun 1959). Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul ketika negara melakukan klaim terhadap wilayah

Antartika adalah tidak sah dan tidak diakuinya klaim tersebut dalam hukum internasional serta negara tersebut tidak memiliki hak resmi di wilayah Antartika.

  • 3.2.    Saran

Perjanjian Antartika makin lama terus terdesak menghadapi perlombaan eksplorasi yang dilakukan oleh negara-negara. Banyak negara yang melakukan klaim dengan cara seperti memberi cap pada paspor wisatawan yang datang ke tempat yang mereka klaim. Oleh karena itu, penulis merasa bahwa pembuatan peraturan baru yang menunjang kekuatan mengikat dari Perjanjian Antartika adalah sesuatu yang perlu dan harus dilakukan secepatnya agar tidak ada lagi negara yang melakukan klaim sesuka hati di wilayah Antartika.

Daftar Pustaka

Buku:

Adolf, Huala, 2002, Aspek-Aspek dalam Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta.

Adolf, Huala, 2015, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, CV Keni Media, Bandung.

Iskandar, Jawahir Thantowi, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung.

Shaw, Malcolm, 2003, International Law 6th Edition, oxford university press, Inggris.

Sefriani, 2011, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta.

Widagdo, Setyo dkk, 2019, Hukum Internasional dalam Dinamika Hubungan Internasional, UB Press, Malang.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Jurnal Ilimiah:

Efendi, Agus, Kedaulatan Negara Republik Indonesia Atas Wilayah Udara Kepulauan Natuna Berdasarkan Chicago Convention 1944,             Edisi             Maret             2018,

https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/38 403, diakses tanggal 7 September 2019.

Hermawan, Dwi, Klaim Inggris Atas Wilayah Semenanjung Antartika, 2019,     https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content

/uploads/2019/02/eJurnal%20Dwi%20Hermawan%20(1302045 099)%20Klaim%20Inggris%20Atas%20Wilayah%20Semenanjung %20Antartika%20(02-04-19-02-02-23).pdf, diakses tangal 11 september 2019.

15