KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI TERHADAP PENGELOLAAN SEMPADAN PANTAI SECARA PRIVAT TERKAIT KEADILAN BAGI PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA RUANG
on
KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI
TERHADAP PENGELOLAAN SEMPADAN PANTAI SECARA PRIVAT TERKAIT KEADILAN BAGI PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA RUANG*
Cokorda Istri Sri Pradnyaswari Pemayun** I Ketut Sudiarta***
Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Pengelolaan sempadan pantai secara privat dengan langsung telah merenggut hak masyarakat umum untuk dapat mengakses kawasan sempadan pantai, dimana kawasan sempadan pantai yang seharusnya bersifat publik namun dibatasi pengaksesannya oleh pihak pengelola demi keuntungan beberapa pihak. Menjadi persoalan mengenai legitimasi dari pengelolaan sempadan pantai secara privat di provinsi Bali serta kebijakan dari pemerintah provinsi Bali terkait pengelolaan sempadan pantai secara privat yang tidak memberikan keadilan bagi publik sehingga perlu untuk diteliti lebih lanjut. Metode penelitian untuk menunjang penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Pembahasan permasalahan menunjukan bahwa sejauh ini tidak ditemukan legitimasi dari pengelolaan sempadan pantai secara privat di provinsi Bali, jika merujuk pada UUPR yang mengatur penataan ruang secara nasional dimana sempadan pantai termasuk kedalam ruang terbuka hijau yang dapat diakses oleh publik. Pemerintah provinsi Bali melalui wewenang yang diberikan oleh UUPR dapat melakukan pengarahan terhadap pemerintah kabupaten/kota untuk membentuk regulasi sebagai landasan untuk menindaklanjuti praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat dan juga memberikan pemahaman kepada penunjang pariwisata yang akan atau telah memanfaatkan sempadan pantai untuk tetap memperhatikan kepentingan dan keadilan bagi publik.
Kata kunci: Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali, Pengelolaan
Sempadan Pantai Secara Privat, Sempadan Pantai.
Abstract
The increasing number of privately-managed beaches has hampered people from accessing these supposedly-public spaces, solely for the benefits of the management. This situation leaves the question on whether privately-owned beaches in Bali are legitimate by law, and demands the public policy established by the local government in this regard to be further researched. This Article uses a normative methodological approach to answer such question based on some relevant regulations. It is found that there is an absent of law that allows private beaches in Bali, and if we take a further look into the Indonesian Spatial Management Act that regulates on the utility of national spaces, the national coastline is categorised as a ‘public open green space’ that should be open for public access. The Bali Province government has the authority as mandated by the aforementioned Act to direct its district/city local government in establishing a regulation to administrate these private beach managements and also to comprehend other tourism stakeholders to always prevailing public interest.
Keywords: Bali Provincial Government Policy, Beach Border, Private Management of Beach Border.
“Bali ialah surga dunia’’, kalimat itu sering didengar dari ungkapan wisatawan yang berkunjung ke Bali. Tak heran disamping keidentikan Bali dengan seni dan budayanya, keindahan alam dari pulau yang menjadi bagian dari negara Indonesia sangat memikat wisatawan domestik maupun mancanegara. Berbagai keindahan alam Bali yang disajikan melalui media visual pun seakan menghipnotis seseorang untuk datang berwisata ke Bali.
Pantai merupakan salah satu keindahan alam Bali yang menjadi destinasi favorit wisatawan. Penunjang kelangsungan pariwasata di Bali baik itu penyedia akomodasi, restoran, dan juga
tempat hiburan beberapa ada yang memanfaatkan pantai sebagai fungsi penunjang kegiatan usahanya.
Pemanfaatan pantai dilihat dari pengelolaan sempadan pantai. Merujuk pada pengertian sempadan pantai, berdasarkan pengaturan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, dimana sempadan pantai ialah daratan yang ada disepanjang pantai dengan ukuran lebar proporsional yang bentuk dan kondisi fisik pantai miniimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Beberapa penunjang pariwisata tersebut memanfaatkan sempadan pantai dengan cara dikelola secara privat. Dalam artian pengusaha tersebut membatasi maupun melarang pihak-pihak diluar kepentingan usahanya untuk memberikan akses berkunjung dan menikmati pantai disekitar tempat usahanya tersebut. Dalam praktiknya pengelolaan pantai secara privat ini dapat ditemui pada beberapa areal pantai di provinsi Bali diantaranya di Kabupaten Badung khususnya daerah Nusa Dua, Daerah Seminyak, Daerah Bukit Unggasan, Daerah Canggu, di Kabupaten Denpasar yaitu Daerah Sanur, dan di Kabupaten Karangasem Daerah Candi Dasa.1
Memperhatikan pengelolaan sempadan pantai secara privat tersebut, nampaknya tidak mencerminkan keadilan bagi publik. Contohnya sempadan pantai yang terletak pada kawasan hotel, dimana sempadan pantai tersebut dapat diakses melalui pintu masuk hotel dan hanya dapat dikunjungi oleh wisatawan yang menginap pada hotel tersebut. Selain itu mempersempit akses bagi nelayan dan warga yang melakukan upacara keagamaan.
Sebagaimana ditinjau dari Pasal 28 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur adanya ketentuan penambahan perencanaan dari tata ruang dalam wilayah kabupaten maupun kota yaitu salah satunya penyediaan serta pemanfaatan terhadap ruang terbuka hijau. Dimana Pasal 29 ayat (1) UUPR menegaskan terdapat 2 (dua) bagian dari ruang terbuka hijau yaitu ruang terbuka hijau publik dan privat. Dalam hal ini berdasarkan penjelasann Pasal 29 ayat (1) UUPR bahwa pantai dikategorikan sebagai ruang terbuka hijau publik. Lalu kategori sebagai ruang terbuka hijau privat yaitu kebun, halaman yang ada disekitar rumah, gedung yang dimiliki oleh masyarakat atau swasta yang ditanamkan tumbuh-tumbuhan.
Menjadi persoalan mengenai legitimasi dari pengelolaan sempadan pantai secara privat oleh pelaku pariwasata seperti pengusaha hotel atau restoran. Karena kembali merujuk pada uraian di atas, dimana UUPR menyatakan bahwa pantai sebagai ruang yang bersifat publik. Akan tetapi praktik pengelolaan pantai secara privat tersebut hingga saat ini masih dilakukan oleh pelaku pariwisata. Tidak adanya norma untuk menindak tegas praktik pengelolaan sempadan pantai, sehingga penting untuk diketahui bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dengan adanya pengelolaan sempadan pantai secara privat di wilayah Provinsi Bali yang tidak memberikan akses keadilan untuk dikunjungi ataupun dinikmati oleh publik.
Memperhatikan uraian latar belakang diatas, adapun permasalahan yang dapat dibahas melalui karya tulis ini yaitu:
-
1. Bagaimana legitimasi dari pengelolaan sempadan pantai secara privat di Provinsi Bali bila ditinjau berdasarkan dari aspek penataan ruang?
-
2. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi Bali terkait pengelolaan sempadan pantai secara privat yang tidak memberikan keadilan bagi publik?
Penting untuk dijelaskan mengenai tujuan penulisan dari karya ilmiah ini. Tujuan dari ditulisnya karya ilmiah ini yakni agar dapat mengkaji legitimasi serta bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dengan adanya pengelolaan sempadan pantai secara privat terkait keadilan bagi publik.
Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif. Dimana merujuk pada pendapat P.M.Marzuki, penelitian normatif ialah penelitian yang bertujuan untuk menemukan adanya aturan, prinsip, dan doktrin hukum dalam membahas permasalahan hukum yang dihadapi.2 Penelitian ini ditunjang oleh beberapa pendekatan diantaranya yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum primer dan sekunder adalah bahan hukum yang digunakan dalam menunjang penelitian ini. Bahan hukum primer yang dimaksud dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder dengan merujuk berdasarkan buku-buku dan penelitian ilmiah yang telah ada.
-
2.2. Hasil dan Analisis
2.2.1.1. Legitimasi Dari Pengelolaan Sempadan Pantai Secara Privat Di Provinsi Bali Bila Ditinjau Dari Aspek Penataan Ruang
Berdasarkan Pasal 25A UUD NRI 1945 diatur bahwa NKRI adalah negara kepulauan Nusantara yang dimana wilayah, batas-batas beserta hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang. Merujuk kepada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bumi, air berserta kekayaan alam di dalamnya dikuasaii oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Hal tersebut merupakan landasan dibentuknya undang-undang sebagai peraturan pelaksana dari UUD NRI 1945 yang mengatur tentang Penataan Ruang dengan diberlakukan secara nasional.
Peranan tata ruang sesungguhnya ditujukan untuk tercapainya pemanfaatan terhadap sumber daya secara optimal yang semaksimal mungkin guna menghindari terjadinya konflik dari pemanfaatan sumber daya, mencegah adanya kerusakan lingkungan hidup, dan meningkatkan keselarasan.3Ada beberapa kelompok penataan suatu ruang yang dikelompokan berlandaskan sistem, fungsi kawasan, administrassi, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. 4 Ditinjau dari penataan ruang secara administrasi, Pemerintah (Presiden) dan Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, serta perangkat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah) memiliki wewenang sebagai penyelenggara penataan ruang, yang meliputi kegiatan berupa pengaturan, pembinaan, pelaksanaaan, dan pengawasan dari penataan ruang, yang didasari atas pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Melalui pendekatan wilayah administratif, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas wilayah nasional, wilayah
provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota. Hal demikian dilihat dari wewenang atribusi yang diberikan oleh UUPR, yang diatur melalui Pasal 7 bahwa dalam melaksanakan dan menyelenggarakan penataan ruang, negara memberikan wewenangnya terhadap Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dilakukan berdasarkan hak yang dimiliki oleh seseorang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai pengelolaan sempadan pantai secara privat atau bisa disebut dengan privatisasi, secara umum diartikan sebagai proses pengalihan kepemilikan dari umum (areal publik) dalam hal ini sempadan pantai menjadi kepemilikan pribadi oleh pihak swasta, yang menyebabkan fungsi sempadan pantai yang dapat seharusnya dinikmati oleh masyarakat umum menjadi hanya dapat dinikmati oleh wisatawan.5 Terkait legitimasi dari pengelolaan sempadan pantai secara privat di provinsi Bali, secara lebih lanjut harus menelaah regulasi atau peraturan daerah dalam bidang penataan ruang provinsi dan juga kabupaten/kota. Sejauh ini tidak ditemukan legitimasi dari pengelolaan sempadan pantai secara privat di Provinsi Bali, pun juga merujuk pada UUPR yang mengatur tentang penataan ruang secara nasional juga telah menegasakan bahwa pantai merupakan ruang terbuka hijau publik termasuk sempadan pantai.
Aspek penataan ruang yang diatur dalam UUPR berlandaskan asas keterpaduan yang ditegaskan dalam Pasal 2 huruf a, dimana pelaksanaan penataan ruang adalah satu kesatuan, sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan harus bersinergi antara kebijakan yang ditujukan secara nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam hal ini penyusunan rencana tata ruang dilakukan mulai dari tingkat pusat sampai rencana tata ruang
kabupaten/kota harus saling melengkapi, tidak saling bertentangan, maupun agar tidak adanya tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraan penataan ruang.6
Dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 4 bahwa kawasan perlindungan setempat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 sebagai kawasan lindung terdiri atas sempadan pantai salah satunya. Kawasan lindung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 12 UUPR yaitu wilayah yang penetapannya sebagai fungsi utama untuk melindunngi kelestarian dari lingkungan hidup dengan cakupan sumber daya alam dan sumber daya buatan.
-
2.2.2. Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali Terkait Pengelolaan Sempadan Pantai Secara Privat Yang Tidak Memberikan Keadilan Bagi Publik
Ruang harus dimanfaatkan dengan bijaksana dan secara efisien, agar pemanfaatan dari sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bisa digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat semaksimal mungkin. Berlandaskan pada Pasal 1 angka 1 UUPR bahwa penataan ruang ialah tempat yang meliputi ruang darat, laut dan udara, termasuk juga ruang yang ada di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia maupun makhluk hidup lainnya, untuk hidup melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Terdapat 3 (tiga) aktifitas utama dalam penataan ruang diantaranya yaitu perencanaan, perwujudan, dan pengendalian
tata ruang. 7 Kegiatan utama tersebut dilakukan berdasarkan wewenang pemerintahan yang diberikan oleh UUPR. Sistem pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota bidang penataan ruang sama halnya dengan sistem pemerintahan yang lainnya, dimana urusan perencanaan tata ruang sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah otonom. Landasan secara yuridis sistem pemerintahan daerah tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menerangkan bahwa NKRI dibagi berdasarkan daerah-daerah provinsi, dimana daerah provinsi tersebut dibagi lagi menjadi kabupaten dan kota, yang setiap provinsi, kabupaten, dan kota memiliki pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.8
Mencermati praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat yang dilakukan pada wilayah hukum kabupaten/kota yang ada di Bali, pemerintah provinsi Bali yang memegang kewenangan menyelenggarakan penataaan ruang di wilayah provinsi berperan penting dalam menindaklanjuti praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat. Sebagaimana dalam UUPR ditegaskan beberapa asas yang menjiwai ketentuan yang termaktub dalam UUPR. Salah satu asas yang secara spesifik bertentangan dengan pengelolaan sempadan pantai secara privat yaitu asas kepastian hukum serta asas keadilan. Asas kepastian hukum serta asas keadilan sesuai dengan penjelasan Pasal 2 huruf h UUPR ialah penyelenggaraan penataan ruang berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan serta pelaksanaan penataan ruang dengan memberi pertimbangan keadilan bagi seluruh rakyat
serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak dengan adil melalui jaminan kepastian hukum. Secara konstitusional, hak-hak dari masyarakat umum terkait praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat yang tidak memberikan keadilan bagi publik, yang dimana bertentangan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945, Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 25 International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dimana berdasarkan pasal tersebut setiap orang memiliki hak bebas dari perlakuan diskriminatif. Jika ditinjau dari Pasal 6 -Pasal 15 International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, pengelolaan sempadan pantai secara privat bertentangan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Kebijakan publik sebagai fungsi utama pemerintahan, warga negara akan selalu bersentuhan dengan kebijakan publik, hal demikian karena kebijakan publik menyangkut tentang kepentingan umum. 9 Kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali terhadap pelaksanaan penataan ruang sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam UUPR merujuk pada Pasal 10 ayat (1) huruf a, bahwa wewenang pemerintah daerah provinsi diantaranya meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan kepada pelaksanaan penataan ruang wilayah maupun kawasan strategis kabupaten/kota.
Kebijakan pemerintah provinsi Bali yang dapat diupayakan dalam menindaklanjuti praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat sesuai wewenang yang diberikan UUPR ialah dengan
memberi pengarahan atau pembinaan terhadap penegak hukum di bidang penataan ruang dengan membentuk suatu regulasi yang menjadi landasan untuk menindak praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat. Dalam pembentukan suatu regulasi atau kebijakan yang dibentuk oleh Kepala daerah dan DPRD, serta keterlibatan masyarakatnya juga diperlukan. Selain itu, Pemerintah provinsi Bali dapat memberikan pemahaman terhadap penunjang pariwisata yang telah atau akan memanfaatkan sempadan pantai secara privat maupun tidak untuk tetap memperhatikan kepentingan dan keadilan bagi publik, agar berjalan sesuai rencana pemerintah provinsi Bali juga dapat menjalankan wewenang pengawasannya secara berkala terhadap penunjang pariwisata tersebut.
-
1. Sejauh ini belum ada regulasi yang melegitimasi praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat di Provinsi Bali, pun juga merujuk pada UUPR bahwa pantai merupakan ruang terbuka hijau publik, sebagaimana bahwa kebijakan yang dikeluarkan harus bersinergi antara kebijakan yang ditujukan secara nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
-
2. Dalam penataan ruang pemerintah provinsi telah diberikan wewenang oleh UUPR berdasarkan pada Pasal 10 ayat (1) huruf a, bahwa pemerintah daerah provinsi berwenang melakukan pengawasan pada pelaksanaan kegiatan penataan ruang wilayah maupun kawasan strategis kabupaten/kota yang meliputi pengaturan dan pembinaan, lebih lanjut kebijakan pemerintah provinsi Bali yang dapat dilakukan guna menindaklanjuti kegiatan pengelolaan sempadan pantai secara privat yang terjadi di beberapa kabupaten yang ada di Bali ialah
dengan memberikan pengarahan terhadap pemerintah daerah kabupaten/kota dengan membentuk suatu peraturan yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menindak tegas praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat.
-
1. Melihat praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat yang terjadi di beberapa kabupaten yang ada di Bali tidak terdapat legitimasi dalam sebuah regulasi pun juga bertentangan dengan unsur keadilan bagi publik dari aspek penataan ruang, sebaiknya dibentuk suatu landasan yuridis dalam menindak tegas praktik tersebut.
-
2. Kebijakan dari Pemerintah Provinsi Bali penting dalam menindak tegas praktik pengelolaan sempadan pantai secara privat beberapa kabupatan yang ada di Bali, sesuai wewenang yang diberikan oleh UUPR kepada Pemerintah Provinsi Bali sebaiknya Pemerintah Provinsi Bali segera menyikapi penindakan tegas praktik tersebut melalui wewenangnya dalam penataan ruang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Kencana, Jakarta.
Juniarso Ridwan, 2008, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung.
_____ dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung.
Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Press Indo, Yogyakarta.
Silalahi, M. Daud. 2006, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung.
Jurnal:
Efendi, et. al, 2010, “Sinergitas Penataan Ruang (Suatu Penelitian terhadap Kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh), Jurnal Kanun, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh.
Kusuma, Sanjiwani Putri, 2016, “Pengaturan Hukum Terhadap Privatisasi Sempadan Pantai Oleh Pengusaha Pariwisata di Provinsi Bali“, Jurnal OJS Fakultas Pariwasata – Analisis Pariwisata, Universitas Udayana, Denpasar.
Santosa Wahyu Yun, 2005, “Tarik Ulur Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Era Otonomi Daerah: Kajian Terhadap Proyek Konservasi Kawasan Segera Anakan Cilacap”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. VI No. 50, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya); Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik); Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 113
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1990
14
Discussion and feedback