TINGKAT KEKERASAN TERHADAP ANAK JALANAN YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
on
TINGKAT KEKERASAN TERHADAP ANAK JALANAN YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
Oleh :
I Komang Putrayasa
I Gusti Ngurah Wairocana
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Tingkat kekerasan terhadap anak jalanan yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual ditinjau dari perseptif hukum pidana. Terhadap permasalahan bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak jalanan yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual? dan bagaimana sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak jalanan?. Metode penulisan menggunakan metode normatif yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kedua Bab XIV: Kejahatan Terhadap Seksual. Dunia jalanan penuh dengan kekerasan dan eksploitasi, berbagai bentuk kekerasan terhadap anak jalanan yaitu mulai dari fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.
Kata Kunci: Kekerasan, Seksual, Anak Jalanan, Perlindungan Anak.
ABSTRACT
The level of violence against street children who are victims of sexual abuse crime in terms of criminal law perceptive. To the problem of how to shape the legal protection of street children who are victims of sexual abuse crimes? and how the sanctions against perpetrators of sexual abuse of street children?. The method of writing using descriptive normative methods. The results related to Law No. 23 of 2002 on Child Protection and the Code of Criminal Second Book Chapter XIV: Crimes Against Sexual. World streets filled with violence and exploitation, other forms of violence against street children ranging from the physical, psychological, and sexual violence.
Keywords: Violence, Sexual, Street Children, Child Protection.
Isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia. Mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Meskipun diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun masih saja kekerasan terhadap anak terjadi.
Anak jalanan bertahan hidup dengan melakukan aktivitas di sektor informal, seperti menyemir sepatu, menjual koran, mencuri kendaraan, menjadi pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi mengemis, mengamen, mencopet, atau terlibat perdagangan sex. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomenal sosial yang
perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk, kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual, terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerap kali anak jalanan perempuan menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasanan lainnya adalah pemerkosaan.
Berbagai faktor utama yang munculnya anak jalanan di perkotaan pada umumnya keadaan sosial ekonomi menjadi sumber utama di hubungkan dengan ramainya anak-anak mencari nafkah di tempat-tempat umum atau jalanan. Kurangnya kepedulian dan sensitivitas negara terhadap peningkatan kesejahteraan sosial anak-anak jalanan telah menyebabkan berlakunya hukum rimba di tengah komunitas.
Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu: “Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain”. Yang diartikan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat, namun termasuk luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual.1
Kajian ini bertujuan untuk memahami dan mengerti tentang bentuk perlindungan hukum terhadap anak jalanan yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual, dan juga memahami dan mengerti tentang sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak jalanan.
Dalam penulisan ini, menggunakan metode normatif yang bersifat deskriptif. pendekatan normatif yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder, sedangkan pendekatan deskriptif yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.2
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Yang Menjadi
-
Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum di dalam kepustakaan hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescheming van de burgers“.3 Perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yakni “rechtscheming”. Maka perlindungan hukum diartikan suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.
Perlindungan hukum merupakan konsep universal dari negara hukum. Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Ada dua macam perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
-
1. Perlindungan hukum preventif
Preventif artinya rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum Keputusan Pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadi sengketa.
-
2. Perlindungan hukum represif
Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran. Dewasa ini di Indonesia terdapat berbagai badan yang menangani perlindungan bagi rakyat. Menurut Rochmat Soemitro dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu :
-
a. Peradilan dalam lingkungan peradilan umum
-
b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi
-
c. Badan-badan khusus
Bentuk perlindungan hukum terhadap anak jalanan yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual adalah perlindungan hukum preventif, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa terhadap Keputusan Hakim atas memutus ancaman pidana terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap anak, dan besarnya jumlah denda yang harus dibayarkan bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak jalanan.
Pelecehan seksual adalah suatu bentuk tindakan atau percakapan seksual, seorang dewasa mencari kepuasan dari seorang anak. Dan pelecehan seksual pada anak dapat mencakup kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, anak tersebut digunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban, termasuk di dalamnya kontak fisik yang tidak pantas, membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.
Hukuman bagi sanksi pelecehan seksual telah diatur menurut KUHP Buku Kedua Bab XIV: Kejahatan terhadap Kesusilaan, dalam pasal 287, pasal 290, pasal 293, pasal 294, dan pasal 295, menjelaskan bahwa tidak terdapat ancaman minimum bagi pelaku, jadi hakim dapat memutus rendah disebabkan tidak ada batas minimum untuk pelaku kekerasan seksual pada anak jalanan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan dalam pasal 78, pasal 82, dan pasal 88, bahwa ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan kepada pihak pelaku pelecehan seksual pada anak jalanan disebutkan secara jelas yaitu sanksi yang diberikan berupa sanksi pidana penjara dan denda.
-
III. SIMPULAN
-
3.1 Bentuk perlindungan hukum terhadap anak jalanan yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual adalah perlindungan hukum preventif, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa terhadap Keputusan hakim atas memutus ancaman pidana terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap anak, dan besarnya
-
jumlah denda yang harus dibayarkan bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak jalanan. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lebih kompleks karena di samping memuat tentang ancaman pidana juga memuat tentang denda bagi pelaku.
-
3.2 Sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak jalanan telah diatur secara
khusus dan umum, adanya asas yang mengatur “lex spesialis derogate lex generalis” yang artinya aturan khusus menyampingkan aturan umum, maka yang dipergunakan adalah aturan khusus, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah aturan yang bersifat khusus, sedangkan KUHP adalah aturan yang bersifat umum. Di dalam sanksi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memuat tentang ancaman fisik, ancaman denda, dan ancaman sanksi minimum. Sedangkan ancaman sanksi dalam KUHP hanya ancaman fisik dan tidak ada ancaman minimum bagi pelaku.
Bagong Suyanto dan Sri Sanituti, 2002, Krisis & Child Abuse, Airlangga University, Surabaya.
Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku Kedua Bab XIV: Kejahatan Terhadap Seksual
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5
Discussion and feedback