PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI
on
PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI
Oleh :
Putu Mas Ayu Cendana Wangi
Sagung Putri M.E. Purwani
Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract:
Pregnancy due to rape is not only causes physical, mental and social suffering for the victim, but also very opposed to her reproductive rights. The problem that arises then is when the victim decides to have an abortion. According to the Penal Code, any form of abortion is a crime, but The Act Number 36 Year 2009 regarding The Health define exceptions abortion ban with any requirements. Therefore, this paper will discuss more about an abortion for rape victim and its relation to reproductive rights.
Key words : abortion, rape victim, reproductive rights
Abstrak:
Kehamilan akibat perkosaan tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik, mental dan sosial bagi korban, tetapi juga sangat bertentangan dengan hak-hak reproduksinya. Persoalan yang muncul kemudian adalah ketika korban perkosaan memutuskan untuk melakukan aborsi. Menurut KUHP, segala bentuk aborsi adalah kejahatan, tetapi Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menentukan pengecualian larangan aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai aborsi bagi korban perkosaan dan kaitannya dengan hak-hak reproduksi.
Kata kunci : aborsi, korban perkosaan, hak-hak reproduksi
Terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kehamilan akibat perkosaan. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, korban telah dipaksa oleh pelaku untuk bersetubuh dengannya diluar perkawinan. Apalagi jika sampai menimbulkan kehamilan sangatlah bertentangan dengan hak-hak reproduksi korban. Kehamilan tersebut akan membawa dampak negatif bagi korban yakni mengalami penderitaan secara fisik, mental dan sosial. Korban mengalami trauma psikologis dan merasa tidak berharga lagi dimata masyarakat. Hal ini dapat mendorong korban untuk melakukan aborsi ilegal yang bisa membahayakan nyawa korban itu sendiri, yakni melalui cara-cara diluar medis, oleh tenaga non-medis yang tidak kompeten dan pada usia kandungan yang tidak memenuhi syarat medis.
Aborsi istilah populernya adalah menggugurkan kandungan. Yang dimaksud dengan perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang bagaimanapun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut sebelum waktunya dilahirkan menurut alam, lahirnya bayi atau janin belum waktunya adalah menjadi maksud diketahui petindak. Perbuatan memaksa kelahiran bayi atau janin belum waktunya ini sering disebut dengan abortus provocatus atau kadang disingkat dengan aborsi saja.1
Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi yakni perbuatan menggugurkan kandungan dan perbuatan mematikan kandungan. Menurut KUHP, setiap tindakan aborsi dengan motif, indikasi dan cara apa pun dalam usia kehamilan berapa pun adalah tindak pidana. Tindak pidana aborsi dimasukkan ke dalam Bab XII Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa yaitu pada Pasal 346, 347, 348, 349 KUHP, selain itu juga diatur dalam Pasal 299 KUHP. Tetapi Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara khusus mengatur tentang pengecualian larangan aborsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan pengecualian larangan aborsi bagi korban perkosaan yang hamil akibat perkosaan dan untuk mengetahui tentang aborsi legal bagi korban perkosaan sebagai jaminan hak-hak reproduksinya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian hukum normatif dan dikaji dengan menggunakan jenis pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.2
KUHP secara terang menentukan aborsi sebagai tindak pidana, namun ketentuan tersebut dapat dikesampingkan dengan adanya pengaturan pengecualian larangan aborsi dalam Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, maka ketentuan pengecualian larangan aborsi dalam UU Kesehatan yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan larangan aborsi dalam KUHP yang bersifat umum.
Seperti halnya larangan aborsi yang diatur dalam KUHP, pada dasarnya UU Kesehatan juga melarang aborsi yang tercantum pada Pasal 75 ayat (1) yakni: “Setiap orang dilarang melakukan aborsi”. Namun, terdapat pengecualian larangan aborsi tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 75 ayat (2), yaitu:
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
-
a. indikasi kedaduratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
-
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Dengan demikian, pengecualian larangan aborsi bagi korban yang hamil akibat perkosaan berlandaskan pada Pasal 75 ayat (2) huruf b UU Kesehatan. Yang perlu digarisbawahi adalah kehamilan tersebut “dapat menyebabkan trauma psikologis” bagi korban perkosaan. Dalam hal ini, penting untuk diketahui ketentuan Pasal 75 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: “Tindakan aborsi tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.” Selanjutnya, adapun syarat-syarat aborsi ditentukan Pasal 76 UU Kesehatan, yaitu:
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
-
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
-
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri;
-
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
-
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
-
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Mengacu pada Pasal diatas, aborsi tidak serta merta dapat dilakukan oleh korban perkosaan yang hamil akibat perkosaan, tetapi aborsi adalah legal apabila memenuhi syarat-syarat pada Pasal 75 ayat (3) dan Pasal 76 UU Kesehatan. Bagi korban perkosaan, syarat Pasal 76 huruf d dikecualikan, sehingga syarat yang harus dipenuhi adalah Pasal 76 huruf a, b, c dan e. Pengecualian larangan aborsi tidak meniadakan larangan aborsi. Jika syarat-syarat aborsi tersebut tidak terpenuhi, maka aborsi tersebut adalah aborsi ilegal dan tergolong sebagai tindak pidana yang diancam sanksi pidana.
Aborsi menjadi salah satu aspek yang menyangkut kesehatan reproduksi. Mengacu pada Pasal 70 ayat (1) UU Kesehatan, kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Kesehatan reproduksi mencakup kesehatan reproduksi perempuan. Menurut Pasal 70 ayat (2) UU Kesehatan, kesehatan reproduksi meliputi: a) saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan; b) pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan c) kesehatan sistem reproduksi.
Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia mengatur prihal Hak Wanita salah satunya tentang jaminan hak reproduksi wanita, yaitu Pasal 49 ayat (3) menyebutkan:“Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”
Undang-undang mengakui bahwa setiap orang memiliki hak-hak reproduksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU Kesehatan. Hak-hak reproduksi adalah merupakan hak-hak asasi manusia, dan dijamin oleh undang-undang. Hak-hak 3 reproduksi tersebut mencakup:3
-
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
-
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
-
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
-
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perkosaan adalah jelas melanggar hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 UU Kesehatan. Korban perkosaan kehilangan hak-hak reproduksinya serta kehilangan kesehatan reproduksinya secara fisik, mental dan sosial. Seharusnya setiap perempuan berhak menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas, termasuk berhak menentukan kehamilannya sendiri. Jadi, demi untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagai salah satu bentuk hak asasi manusia, maka sangatlah pantas aborsi legal namun bersyarat bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan.
-
1. Aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 75 ayat (3) dan Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
-
2. Kehamilan akibat perkosaan adalah melanggar hak-hak reproduksi korban perkosaan, maka dari itu dilegalkannya aborsi bagi korban perkosaan bertujuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagai perwujudan hak asasi manusia.
-
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chazawi, Adami, 2004, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Notoatmojo, Soekidjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
5
Discussion and feedback